Senin, 18 September 2017
BIAYA PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA
1.
Pengertian Biaya
Pernikahan
Tata
cara pernikahan adalah salah satu materi yang perlu diketahui oleh penasehat
pernikahan dan calon mempelai yang akan melakukan suatu proses pernikahan. Tata
cara pernikahan tersebut antara lain meliputi pemberitahuan kehendak nikah,
pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak nikah, akad nikah dan pencatatannya,
penolakan kehendak nikah, pencegahan pernikahan, pembatalan pernikahan.[1]
Dari
beberapa tata cara pernikahan di atas, untuk memperoleh kepastian hukum akad
nikah harus dilangsungkan di bawah pengawasan atau di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Hal itu dilakukan untuk
memperoleh pencatatan akta nikah.[2]
Akta
nikah yang merupakan akta otentik, harus memuat hal-hal sebagaimana tersebut
dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah (PP) nomor 9 tahun 1975 dan penjelasannya
serta ditambah pula dengan hal-hal lain yang dianggap perlu. Akta nikah ini
dibuat dalam rangkap dua. Helai pertama disimpan oleh PPN. Helai kedua disimpan
pada panitera pengadilan dalam wilayah kantor pencatat pernikahan itu berada.
Sedangkan suami istri masing-masing diberikan kutipannya.[3]
Sebagaimana
dipaparkan oleh Riduan Syahrani dalam bukunya, bahwa hakikat adanya pencatatan
nikah itu sendiri antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Agar
dapat kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan
mengenai pernikahannya, sehingga memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan
pihak ketiga.
b. Agar
lebih terjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan
akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.
c. Agar
ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan sosial lebih efektif.
d. Agar
nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai dengan
dasar negara pancasila lebih dapat ditegakkan.[4]
Suatu
proses pencatatan pernikahan yang telah terjadi dan telah dilakukan pencatatan
pernikahan untuk dijadikan alat bukti atas keabsahan pernikahan antara
masing-masing mempelai dikenakan biaya. Sesuai dengan peraturan yang berlaku
pencatatan pernikahan tersebut dikenai suatu biaya pencatatan pernikahan.
Masyarakat
sering menyebut biaya pencatatan pernikahan ini dengan biaya nikah, biaya
talak, atau biaya rujuk. Penyebutan istilah yang kurang tepat dalam hukum dapat
memberikan penafsiran yang salah dan dapat mengacaukan pengertian dalam
masyarakat.[5]
Dengan menyebut biaya nikah, seolah-olah untuk nikah itu perlu dipungut biaya,
padahal dalam Islam ada yang mengatakan haram adanya biaya nikah. Dalam
penjelasan pasal 23 UUD 1945, hal keuangan dijelaskan bahwa segala tindakan
yang menempatkan beban kepada masyarakat, seperti pajak dan lain-lain harus
ditetapkan dengan undang-undang. Maka dalam penetapan pungutan biaya Nikah
Talak Cerai dan Rujuk (NTCR) ini harus pula berdasarkan Undang- Undang. Karena
pembayaran biaya merupakan beban bagi masyarakat. Tentang biaya ini telah
ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1946 pada pasal 1 ayat 4, yang berbunyi:
“seorang yang nikah, menjatuhkan talak atau merujuk diwajibkan membayar biaya
pencatatan yang banyaknya ditetapkan oleh Meteri Agama”.
Jadi
jelas yang dimaksud dalam Undang-undang adalah menerangkan biaya pencatatan
bukan NTCR-nya. Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk mendefinisikan biaya
pencatatan pernikahan per-frase. Biaya sendiri diartikan sebagai ongkos,
belanja, pengeluaran, uang yang dikeluarkan untuk membayar suatu keperluan.[6]
Sedangkan
pencatatan pernikahan sendiri memiliki arti sebagai suatu proses mencatatkan
atau menuliskan tentang suatu kejadian pernikahan yang telah terjadi dan
dilakukan oleh kedua pihak yang bersangkutan dalam sebuah akta nikah.[7] Dalam Peraturan Menteri
Agama (PERMA) nomor 71 tahun 2009, biaya pencatatan pernikahan diartikan
sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari biaya yang
dipungut dari masyarakat atas pencatatan pernikahan atau rujuk.[8]
Jadi
dapat penulis simpulkan bahwa “biaya pencatatan pernikahan didefinisikan
sebagai suatu ongkos atau uang yang dikeluarkan untuk membayar proses penulisan
atau pencatatan terhadap kejadian pernikahan yang telah terjadi”.
2. Dasar Hukum Biaya Pernikahan
Seperti
yang telah dijelaskan di atas bahwa segala tindakan yang menempatkan beban
kepada masyarakat, seperti pajak dan lain-lain harus ditetapkan dengan
undang-undang. Begitu juga halnya dengan masalah biaya pencatatan pernikahan.
Jika melihat masyarakat yang berbeda keadaan sosialnya, yang terdiri dari
kalangan bawah menengan, dan kalangan atas. Hal pembiayaan pernikahan ini pasti
akan dirasa membebankan bagi kalangan masyarakat bawah. Dalam skripsi ini
penulis akan mencoba memaparkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait
yang mengatur tentang biaya pernikahan.
a. Ketetapan
Menteri Agama (KEMA) nomor 122 tahun 1978 tentang Biaya Pencatatan Pernikahan.
Keputusan Menteri Agama (KEMA) ini
diterangkan biaya pencatatan pernikahan diatur sebagai berikut:[9]
Peristiwa
|
Kas
Negara
|
Formulir
|
Pengantar
|
BKM
|
Materai
|
Jumlah
|
Nikah
|
500
|
300
|
200
|
1000
|
200
|
2000
|
Talak
|
500
|
300
|
-
|
1000
|
200
|
2000
|
Cerai
|
500
|
300
|
-
|
1000
|
200
|
2000
|
Rujuk
|
500
|
300
|
200
|
1000
|
200
|
2000
|
b. Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Biaya
Pencatatan Nikah dan Rujuk.
Peraturan Mentreri Agama (PERMA) nomor
71 tahun 2009 ini disahkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, yaitu
Muhammad M. Basyuni pada tanggal 13 Mei 2009. Selain itu, PERMA ini pun
merupakan hasil revisi atas PERMA No. 46 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Biaya
Pencatatan Pernikahan. Dalam PERMA No. 71 Tahun 2009 ini, mengenai penerimaan
tentang biaya pencatatan pernikahan tercantum dalam Pasal 2 ayat 1, BAB II;
Penerimaan dan Penyetoran yang berbunyi “catin membayar biaya NR kepada
bendahara penerima pada Kandepag melalui bendahara pembantu pada KUA”.[10]
c. Peraturan
Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) di
Departemen Agama.
Biaya atau ongkos pencatatan pernikahan
ini sudah barang tentu bukanlah pungutan wajib atau semata-mata atas
permintaan/kehendak dari yang bersangkutan, karena ingin melaksanakan
pernikahan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Oleh karena itu, bagi
mereka yang ingin melangsungkan pernikahan di luar KUA, diwajibkan pula
membayar ongkos jalan bagi PPN/P3N sebesar yang ditentukan oleh Kepala KUA
setempat.
Biaya pencatatan nikah dan rujuk biasa
disingkat NR yang diatur dalam PP No. 47 Tahun 2004, dengan besaran Rp
30.000,00 per peristiwa. Uang yang masuk dari masyarakat ini dikategorikan
sebagai PNBP dari KUA Kecamatan dan harus disetor seluruhnya ke kas negara.
Atas izin Menteri Keuangan, setoran yang masuk dapat digunakan kembali oleh
Departemen Agama maksimal 80%.[11]
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
|
SATUAN
|
TARIF
(Rp)
|
II. PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
|
per peristiwa
|
30.000,00
|
d. Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004
Peraturan pemerintah ini merupakan
peraturan baru yang merevisi atas PP No. 47 Tahun 2004. PP No. 48 Tahun 2014
ini baru disahkan pada tanggal 27 Juni 2014 kemarin. Dalam revisinya lebih
difokuskan merevisi Pasal 6 ayat 1. Perubahan itu dilakukan pada ketentuan
Pasal 6 (enam), sehingga dalam PP No. 48 Tahun 2014 berbunyi sebagai berikut:
1) Setiap
warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama
Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya
pencatatan nikah atau rujuk.
2) Dalam
hal nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan
dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor
Urusan Agama Kecamatan.
3) Terhadap
warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang
melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp 0,00 (nol rupiah).
4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan tarif Rp 0,00
(nol rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan / atau
korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama
Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Agama
setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
|
SATUAN
|
TARIF
(Rp)
|
II. PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
|
per peristiwa nikah atau rujuk
|
600.000,00
|
e. Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar Kantor Urusan
Agama Kecamatan.
PERMA No. 24 Tahun 2014 merupakan
peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti atas PP No. 48 Tahun 2014
tentang PNBP di Kementerian Agama yang membahas pengelolaan biaya nikah dan
rujuk. Dalam PERMA No. 24 Tahun 2014. Mengenai mekanisme pengelolaan penerimaan
PNBP biaya nikah dan rujuk tertuang dalam BAB III Pasal 6, dimana bunyi pasal
tersebut sebagai berikut:
1) Catin
wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk ke rekening Bendahara Penerimaan
sebesar Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah)
2) Apabila kondisi geografis, jarak tempuh, atau
tidak terdapat dalam layanan Bank pada wilayah kecamatan setempat, Catin
menyetorkan biaya nikah atau rujuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui PPN
pada KUA kecamatan
3) PPN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetorkan biaya nikah atau rujuk
yang diterimanya ke rekening Bendahara Penerimaan paling lambat 5 (lima) hari
kerja
4) Dalam
hal nikah atau rujuk dilakukan di luar negeri, biaya nikah atau rujuk disetor
ke rekening Bendahara Penerimaan.[12]
Sedangkan
untuk masalah pembiayaan pencatatan biaya nikah gratis Rp 0,00,- bagi orang
yang dikatakan secara ekonomi dianggap miskin, dalam PERMA Nomor 24 Tahun 2014
ini pun diatur dalam BAB VII Pasal 19 tentang syarat dan tata cara dikenakan
tarif Rp 0,00 (Nol Rupiah). Berikut bunyi Pasal 19 tersebut:
1) Catin
yang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana dapat dikenakan biaya
nikah atau rujuk tarif Rp 0,00 (nol rupiah)
2) Kriteria
tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didasarkan pada surat keterangan
tidak mampu dari lurah/kepala desa yang diketahui oleh camat
3) Bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan bencana alam yang menyebabkan catin
tidak dapat melaksanakan pernikahan secara wajar
4) Catin
korban bencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib memperoleh surat
keterangan dari lurah/kepala desa.[13]
Peraturan
perundang-undangan yang telah peneliti paparkan di atas merupakan sebagaian
kecil dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang biaya
pencatatan pernikahan yang berada di Indonesia. Dan dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang peneliti berikan akan menjadi salah satu bahan
informasi bagi masyarakat Kecamatan Sumber khususnya, dan umumnya bagi seluruh
warga negara Indonesia.
3.
Biaya Pencatatan
Pernikahan dalam Pandangan Hukum Nasional dan Hukum Islam.
a. Dalam
Pandangan Hukum Nasional
Biaya pencatatan perkawinan berdasarkan tarif
resmi diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2014
merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif
atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama. Pasal 1
berbunyi:
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 149, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4455) diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Setiap
warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama
Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya
pencatatan nikah atau rujuk.
(2) Dalam hal
nikah atau rujuk dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan dikenakan
biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama
Kecamatan.
(3) Terhadap
warga negara yang tidak mampu secara ekonomormi dan/atau korban bencana yang
melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nomorl rupiah).
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara untuk dapat dikenakan
tarif Rp0,00 (nomorl rupiah) kepada warga negara yang tidak mampu secara ekonomormi
dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar Kantor
Urusan Agama Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
2.
Ketentuan dalam
Lampiran angka II mengenai Penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
|
SATUAN
|
TARIF
(Rp)
|
II. PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
|
per peristiwa nikah atau rujuk
|
600.000,00
|
Peraturan tersebut di atas sudah
sangat jelas, dengan adanya peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan pencatatan nikah atau rujuk serta untuk melakukan penyesuaian jenis
dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun
2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama, perlu dilakukan
penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang
berlaku pada kementerian agama.
Penetapan tarif pencatatan
perkawinan yang tertera pada lampiran sebesar Rp. 600.000 merupakan biaya
transportasi dan jasa profesi terhadap pagawai KUA yang menikahkan, dalam hal
ini adalah penghulu. Hal ini dilakukan sejalan dengan upaya mengoptimalkan penerimaan
negara bukan pajak guna menunjang pembangunan nasional, sebagai salah satu
sumber penerimaan negara yang perlu dikelola dan di manfaatkan untuk
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
b. Dalam
Pandangan Hukum Islam
Al-Qur’an
dan Hadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun
dirasakan masyarakat mengenai pentingnya itu, sehingga diatur melalui
perundang-undangan, baik Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 maupun melalui
Kompilasi Hukum Islam.[14]
Pada
masa Nabi Muhammad SAW, pernikahan tidak dicatatkan karena masyarakat masih
banyak yang ummy (tidak mengetahui huruf) sehingga kesaksian dan sumoah
masih diterima sebagai alat bukti hukum di pengadilan. Sekarang kondisinya
berbeda, alat bukti tertulis lebih kuat dari sekedar kesaksian dan sumpah,
karena itu pencatatan nikah menjadi sangat penting.[15]
Dalam
al-Qur’an dan Hadis maupun pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih klasik,
secara eksplisit tidak didapatkan ketentuan dalil hukum pencatatan perkawinan.
Tetapi ada beberapa faktor yang menjadi penyebab perkawinan itu tidak dicatat
pada masa dahulu.
a) Budaya baca tulis, khususnya
dikalangan orang Arab Jahiliyah masih jarang. Oleh karena itu, orang Arab
mengandalkan pada ingatan (hafalan) ketimbang menulis.
b) Perkawinan bukan syariat baru dalam
Islam. Ia merupakan syariat nabi-nabi terdahulu yang secara terus-menerus
diturunkan. Ketika Islam datang, Islam berlahan-lahan membenahi hal-hal yang
bertentangan dengan prisnsip-prinsip Islam. Namun hal-hal yang bersesuaian
masih tetap dipelihara dan dipertahankan.
c) Pada masyarakat zaman dahulu
nilai-nilai kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan kehidupan masih kuat.
Sikap saling percaya dan tidak saling mencurigai menjadi fundamen kehidupan
masyarakat ketika terjadi akad perkawinan yang disaksikan oleh dua orang saksi
dan para handai taulan, serta masyarakat sekitarnya sudah cukup membuktikan
bahwa pasangan suami istri itu telah melakukan perkawinan yang sah, oleh karena
itu tidak bisa dianggap pasangan kumpul kebo.
d) Problematika hidup pada zaman sekarang
ini. Jaman semakin maju, persaingan semakin ketat, rasa makin percaya kepada
manusia semakin luntur, ketakutan untuk ditipu dan dizalimi oleh orang lain
atau keraguan atas kejujuran orang lain mulai bangkit, sehingga tuntutan atas
legalitas hukum secara tertulis menjadi hal yang niscaya. Tanpa adanya
legalitas hukum dengan pencatatan resmi, suatu kepemilikan dianggap tidak
sempurna.
Siatuasi, kondisi dan kebutuhan zaman
berubah. Apa yang dahulu tidak penting, apa yang dahulu sia-sia, mungkin
sekarang menjadi suatu yang beranfaat. Kalau zaman dahulu pencatatan perkawinan
tidak terlalu penting untuk diadakan, karena kondisi sosiologisnya
memungkinkan. Namun, ketika zaman sudah berubah justeru pencatatan perkawinan
merupakan hal yang sangat penting dan harus dilakukan.
Biaya pencatatan perkawinan di dalam
Islam baik dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak ada yang mengaturnya, begitu juga
dengan sumber hukum Islam yang dijadikan patokan dalam menetapkan hukum baik di
persidangan di pengadilan agama maupun urusan lain di lingkungan kementerian
agama dan warga negara Indonesia yang beragama Islam, yakni Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Dalam KHI juga tidak dijelaskan bagaimana dan berapa tarif
pernikahan.
4. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perubahan PP No. 47
Tahun 2004 Menjadi PP No. 48 Tahun 2014.
Perubahan
PP No. 47 Tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berlaku Pada Departemen Agama menjadi PP No. 48 Tahun 2014 ini pada
intinya hanya terjadi perubahan pada Pasal 6. Perubahan tersebut terjadi karena
beberapa faktor. Berikut Penulis paparkan faktor-faktor yang menyebabkan
perubahan PP No. 47 Tahun 2004 menjadi PP No. 48 Tahun 2014:
a. Adanya
perbedaan tarif pencatatan pernikahan pada tiap-tiap provinsi.
b. Belum
adanya peraturan yang mengatur tentang besaran tarif pencatatan pernikahan yang
dilangsungkan di luar jam kerja dan di luar Kantor Urusan Agama (KUA).
c. Keluhan
para penghulu, dengan alasan harus menanggung biaya transportasi dengan biaya
sendiri serta jarak tempuh ke tempat pernikahan yang jauh.
d. Adanya
isu gratifikiasi kepada para PPN/P3N.
[1] BP4
Pusat, Pedoman Penasehatan Perkawinan, (Jakarta: BP4 Propinsi Jawa Barat
Jakarta, 1985), h. 25
[2] Ibid.
[3] Riduan
Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit
ALUMNI, 1989), h. 86-87
[4] Saidus Syahar,
Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaanya (Ditinjau Dari Segi Hukum
Islam), (Bandung: Penerbit Alumni, 1976), h. 119
[5] BP4 Pusat, Pedoman
Penasehatan Perkawinan, h. 44
[6] Daryanto, Kamus
Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: APOLLO, 1997), h. 102
[7]
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 56
[8]
Kementrian Agama Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 Tentang Pengeloaan Biaya Pencatatan Nikah dan
Rujuk, (Jakarta: 2009), h. 3
[9] BP4 Pusat, Pedoman
Penasehatan Perkawinan, h. 45
[10]
Kementrian Agama Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2009…h. 1-2
[11]
Diyya Zahratun Nisa, Biaya Bedolan Pendaftaran Nikah Pada Masyarakat Desa
Beran Kecamatan Ngawi, Yogyakarta: Skripsi tidak diterbitkan, 2009, diakses
tanggal 24 Agustus 2016, pukul 16.15 WIB.
[12] Kementerian
Agama Republik indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014, (Jakarta:
Departemen Agama, 2014), h. 6
[13] Ibid, h.
11
[14] Zainuddin Ali,
Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar grafika, 2007), h. 26
[15] Muhammad Zain
dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Harmonis, (Jakarta; Graha
Cipta, 2005), h. 40
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sangat informatif, coba kunjungi juga KTA Danamon Dana Instant buat yang butuh pinjaman buat nikah.
BalasHapus