Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 28 Oktober 2015

Widgets

AL-KINDI





I.       PENDAHULUAN
Al-Kindī dikenal sebagai filsuf muslim keturunan arab yang berusaha mengkompromikan antara teori filsafat dan agama dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang benar (knowledge of the truth).[1]  Tujuan filsafatnya adalah mencari yang benar. Mencari yang benar itu menurut Al-Kindī tidak lain sama halnya dengan yang dipraktikkan dalam mempelajari agama. Kajian tentang sesuatu yang benar absolut ini bagi Al-Kindī adalah pengkajian konsep Tuhan. Konsep ketuhanan Al-Kindī dibangun atas dasar metafisika.  
Sedikit sekali informasi yang penulis peroleh tentang pendidikannya, semasa hidupnya, selain bisa berbahasa arab, ia mahir berbahasa Yunani, banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya kedalam bahasa arab setelah ia mempelajarinya, terlebih dahulu, termasuk karya-karya Aristoteles yang lebih dominan ia pelajari dan menterjemahkannya, sehingga pemikiran Aristoteles telah mempengaruhi konsep Al-Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran terutama dalam bidang sains dan psikologi. Meski ia pengikut Ariestoteles,  Filsafat Al-Kindī memiliki kekhasan sendiri, produk ijtihadnya akan membedakan baik dengan Aristoteles maupun filsuf muslim setelahnya. Bahkan filasafat Al-Kindī memiliki corak sendiri. orientasi filsafat, tentang Keesaan Tuhan, teori penciptaan alam adalah diantara aspek yang berseberangan dengan filsafat Yunani.
Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan membahas lebih lanjut apa dan bagaimana filsafat dan agama, filsafat keTuhanan, dan An-Nafs menurut Al-Kindi. Tapi sebelumnya penulis akan memaparkan terlebih dahulu biografi dan latar belakang sosial intelektual Al-Kindi.
1.    Biografi Al-Kindi
           Nama lengkap Al-Kindī adalah Abū Yūsuf Ya'qūb ibn Ishāq ibn Al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammaf ibn Al-Asy’as ibn Qais Al-Kindī. Ia populer dengan sebutan Al-Kindi, yaitu dinisbatkan kepada suku Kindah, yakni suatu kabilah terkemuka pra Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Ia lahir di kota Kufah pada tahun 185 H/ 801 M. Ia berasal dari kalangan bangsawan dari Irak, Ia dari keluarga kaya dan terhormat, kakek buyutnya Al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang gugur bersama Sa’ad ibn Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak. Sedangkan ayahnya, Ishaq ibn Al-Sabbah adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, ketika itu dipimpin oleh Al-Mahdi (775-785) dan Harun Al-Rasyid (786-809). Ayahnya wafat ketika ia masih kanak-kanak. Al-Kindi hidup semasa pemerintahan Daulah Abbasiyah (Al—Amin, 809-813 M; Al-Ma’mun, 813-833 M; Al-Mu’tashim, 833-842 M; Al-Watsiq, 842-847 M; dan Al-Mutawakkil, 847-861 M). dan ia meninggal di Bagdad pada tahun 260 H/ 876 M.[2]
2.    Latar Belakang Intelektual Al-kindi
Al-Kindī mengawali aktivitas intelektualnya di dua kota besar Irak, Kufah dan Basrah. Ia menghafal Al-Qur’an, mempelajari tata bahasa arab, sastra, matematika, fikih, ilmu kalam. Ia tertarik dengan ilmu filsafat setelah pindah ke Baghdad. Karya-karya filsafat Yunani ia kuasai setelah ia menguasai bahasa tersebut.  Kegiatan filsafat Al-Kindi yang berpusat di sekitar gerakan penerjemahan yang sudah dimulai dan didukung oleh Khalifah Abbasiyah, yaitu Al-Mu’taşim. Tampaknya sang Khalifah menjadi mediator antara penerjemah dan para ahli yang benar-benar melakukan menerjemahkan, banyak dari mereka adalah orang Kristen Suriah atau dari Suriah.[3] Tulisannya sendiri bisa dianggap sebagai sebuah perkenalan yang berkelanjutan dimaksudkan untuk mengenalkan pemikiran Yunani untuk abad kesembilan kepada kaum muslim kontemporer.
Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa arab, ia mahir berbahasa Yunani, banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya kedalam bahasa arab, salah satunya karya Aristoteles. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa arab yang mempelajari filsafat Aristoteles. Al-Kindi mendapat julukan Filosof Arab. filsafat Aristoteles  telah mempengaruhi konsep Al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran.[4]
            Ia termasuk filsuf muslim ensiklopedis, selain filsafat, Al Kindī menulis banyak karya lain dalam berbagai bidang; geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik (yang dibangunnya dari berbagai prinsip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik. Ibn Abī Usaibi’ah (w.668 H) penulis Tabaqāt al-Atibbā’ mencatat Al-Kindi sebagai salah satu dari empat penerjemah mahir pada era gerakan penerjemahan, selain Hunayn bin Ishāq, Tabit bin Qurrah dan Umar bin Farkhan al-Tabari. Al-Kindī tidak hanya menerjemah karya Yunani, tapi ia mengadapsi menjadi karya pemikirannya tersendiri, karya-karya Al-Kindī tidak hanya satu aspek, akan tetapi meliputi filsafat, logika, musik, aritmatika, Karya-karya itu kebanyakan karangan pendek, sebagian besar karangannya tidak sampai kepada kita.[5]
              Intelektualitas Al-Kindī termasuk diakui tidak hanya dunia timur, akan tetapi barat juga mengapresiasi karyanya. Beberapa karangannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geran. Karya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin ini mempengaruhi tradisi keilmuan Eropa pada abad pertengahan. Beberapa karya Al-Kindī baik yang ditulis sendiri atau oleh orang lain adalah; Kitab Kimiya’ al-‘Ithr, Kitab fi Isti’māl al-‘Adad al-Hindī, Risālah fī al-Illah al-Failai al-Madd wa al-Fazr, Kitāb al-Şu’aat, The Medical Formulary of Aqrabadhin of al-Kindi, al-Kindi’s Metaphysics: a Translation fo Yaqub ibn Ishaq al-Kindi’s Treatise “On First Philosophy”.[6]
Sebagai seorang filsuf Islam yang sangat produktif, banyak juga karya Al-Kindi lainnya, dalam bidang filsafat, diantaranya adalah:
Tentang filsafat pertama
كتاب الكندي الى المعتصم بالله في الفلسفة الأولى
1
Tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil serta metafisika
كتاب الفلسفة الداخلات و المسائل المنطقية و المقتصة و ما فوق الطبعية
2
Tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika
كتاب في النحو لا تنال الفلسفة إلاّ بالعلم الرياضيات
3
Tentang maksud-maksud ariestoteles dalam katagori-katagorinya
كتاب في قصد أرسططلس في المقولات
4
Tentang sifat ilmu dan klasifikasinya
كتاب في مائية العلم و أقسامه
5
Tentang defenisi benda-benda dan uraian
رسالة في الحدود الأشيأ و رسومها
6
Tentang substansi-substansi tampa badan
رسالة في النحو جوهر لا أجسام
7
Tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komrehensif
كتاب في ابارات جوامع الفكرية
8
Tentang tulisan filosofis, tentang rahasia-rahasia spritual
رسالة الحكمية في اصرار الروحنية
9
Tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan.[7]
رسالة في الإبانة عن العلّة الفاعلات القاربة للكون و الفسد.
10

II.  PEMBAHASAN
1.    Filsafat dan Agama
            Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosopihia, kata berangkai dari kata philiein yang artinya mencintai, dan sophia berarti kebijaksanaan. Philosophia berarti: cinta akan kebijaksanaan. Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut “filsuf” atau “filosof”, artinya pencinta kebijaksanaan.[8] Kebijaksanaan atau pengetahuan sejati itu tidak mungkin didapati oleh satu orang. Sejarah mencatat bahwa setelah timbulnya seorang filsuf, muncul kemudian filsuf lain yang mengoreksi penemuan pertama dan mengajukan gagasan-gagasan yang memperbaharui gagasan yang pertama, demikianlah seterusnya sepanjang kehidupan manusia berlangsung. Hal ini karena keinginan tahu manusia yang besar sebagai refleksi dari potensi kemanusian yang dimilikinya yang dianugerahkan oleh Allah SWT, yaitu akal, intuisi, alat deria, dan kekuatan fisik. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan, filsafat adalah hasil kerja berpikir manusia dalam mencari hakikat segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan universal.
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat Menurutnya filsafat adalah pengetahuan tentang yang benarبحث عن الحق ) knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan juga sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang Benar Pertama الحق الأولى (The First Truth) bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama ini pula dasarnya, filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian orang yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang keEsaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadaNya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Sebab tidak ada yang lebih berharga bagi pecari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri, tidak ada seorangpun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi muliya oleh kebenaran.
Konsepsi filsafat Al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut Al-Kindī adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut Al-Kindī adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui Al-Haq (Allah). Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah Filsafat Yang Pertamaفلسفة الأولى  (Falsafah Al-‘Ūlā). Yakni ilmu tentang الحق الأولى (Al-Haq Al- Ūlā) yang menjadi sebab segala sesuatu علّة كلّية شئ  (‘illah kulli syai’) yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT.[9]
            Pada asas pokok filsafatnya ini, Al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat dari penjelasan Al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.[10]
            Bagi Al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada Al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.[11]
            Dengan pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh Al-Kindī ditempatkan sebagai bagian dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at dengan agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka. Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā.[12]
            Karena asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbāniyah dan memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi. Melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian kebenaran agama, disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan juga mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal itu dibuktikan dalam beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan dari ketiadaan.
Sang Penyebab semua sebab itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat Al-Kindī adalah membahas soal Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja filsafat yang dilakukan Al-Kindī adalah mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa antar keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan “Falsafah yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”.[13]  Hal ini yang membedakan dengan orientasi filafat Aristoteles, bahwa filsafat adalah ilmu tentang wujud karena yang wujud memiliki kebenaran. Berarti, orienatasi filsafat Al-Kindī adalah metafisik sedangan Aristoteles adalah dibangun di atas teori fisika.
Di samping argumen rasional, Al-Kindi juga mengacu kepada Al-Qur’an yang banyak menyuruh meneliti dan mengamati segala macam fenomena yang terdapat di alam. Di antaranya adalah :

QS; Al-Hasyr, ayat 2.
uqèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ ÉA¨rL{ ÎŽô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøƒs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/̍øƒä NåksEqãç/ öNÍkÏ÷ƒr'Î/ Ï÷ƒr&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçŽÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»tƒ ̍»|Áö/F{$# ÇËÈ  
Artinya : Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.[14]

QS; Al-Ghaasyiyah, ayat 17-20.
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ   n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ  
Artinya; 17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan? [15]

QS; Al-‘Araaf, ayat 185.
óOs9urr& (#rãÝàZtƒ Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $tBur t,n=y{ ª!$# `ÏB &äóÓx« ÷br&ur #Ó|¤tã br& tbqä3tƒ Ïs% z>uŽtIø%$# öNßgè=y_r& ( Ädr'Î7sù ¤]ƒÏtn ¼çny÷èt/ tbqãZÏB÷sムÇÊÑÎÈ  
Artinya; dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?[16]

QS; Al-Baqarah, ayat 164.
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ̍øgrB Îû ̍óst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZtƒ }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uŠômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 7p­/!#yŠ É#ƒÎŽóÇs?ur Ëx»tƒÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̍¤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÊÏÍÈ  
Artinya; Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.[17]
            Adapun perbedaan antara filsafat dan agama menurut Al-Kindi, sebagaimana telah dijelaskan dalam karyanya Kammiyah Kutub Aristoteles sebagai berikut ;
FILSAFAT
AGAMA
1.     Filsafat termasuk humaniora yang dicapai filusuf dengan berpikir, belajar.




2.     Jawaban filsafat menunjukkan ketidak pastian (semu) dan memerlukan berpikir dan perenungan.

3.     Filsafat mempergunakan metode logika.
1.     Agama adalah ilmu ketuhanan yang menempatkan tingkat tertinggi karena diperoleh tampa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2.     Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan meyakinkan dengan mutlak.[18]
3.     Agama mendekatinya dengan keimanan.
2.    Filsafat Ketuhanan
            Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filsafatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama الحقّ الأوّل (Al-Haqq Al-Awwal), Yang Benar Tunggal الحقّ الواحد (Al-Haqq Al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat Al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.[19]
            Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran Al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi Al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat Al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.[20]
            Pertama-tama Al-Kindī  menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan جُزْئِيَّة (particular). Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada جُزْئِيَّة  yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni  كُلِّيَّة (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagaiجُزْئِيَّة   حَقِيْقَةyang disebutالأَنِيَّة  dan hakikat sebagaiكُلِّيّةَ  حَقِيْقَة yang disebut المَّـاهِيَّة yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies. [21]
            Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Ia adalah pencipta alam, Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk (الهيولى والصرة) Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
            Al-Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
            Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusia memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu.[22]
            Berkaitan dengan teori penciptakan, Al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bawah, secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan. Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bawah adalah terdiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melalui prosep penciptaan (creation/خلق), akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.[23]
            Namun, analisis secara umum Al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi Al-Kindī alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut Al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.[24]
            Alam atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan dengan al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa setelah terpisah, benar-benar substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[25]
            Sedang alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed Mover). Tuhan bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat.[26]
            Teori keabadian alam al-Kindī juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur  dari setiap fisik. Wujud, yang berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.
            Waktu bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas.[27]
3.    Filsafat Jiwa
Kaum filosof Muslim memakai kata jiwa (Al-Nafs) pada apa yang diistilahkan Al-Qur’an dengan Ar-Ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang kurang baik sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa nafsu Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.[28]  Justru itu, kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka selaras dengan ajaran Islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar), jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia, substansinya berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan inatahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani[29]
Argumen tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi ialah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa, dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Al-Kindi juga menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya yaitu daya bernafsu yang terdapat di perut, daya marah yang terdapat di dada, dan daya pikir yang berpusat dikepala.[30]
Al-Kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. la gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal, menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu: [31]
1.    Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut :
a.    Ia adalah Akal Pertama
b.    Ia selamanya dalam aktualitas
c.    Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
d.    Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya
2.    Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3.    Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis.

III.  KESIMPULAN
            Al-Kindi adalah seorang filsuf muslim, ia berasal dari kalangan bangsawan dari Irak, kemampuannya berbahasa yunani membuat banyak karya filsuf yunani diterjemahkannya kedalam bahasa arab, terutama karya Ariestoteles, karenanya filsafat Ariestoteles telah mempengaruhi doktrin pemikirannya, akan tetapi filsafat Al-Kindi memiliki kekhasan sendiri, karena produk ijtihadnya membuat hasil ijtihadnya berbeda dari sumber aslinya.  
Intelektualitas Al-Kindi diakui tidak hanya dunia timur tetapi juga barat. Ia sangat tekun mempeljari berbagai disiplin Ilmu, penguasaannya terhadap filasafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan arab dalam jajaran para filosuf terkemuka, karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf Al-‘Arab (filsuf berkebangsaan arab).
Menurutnya bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan adalah menjadi tujuan dari keduanya. Tujuan filsafat Al-Kindi adalah mencari yang benar, menurutnya mencari yang benar itu sama halnya dengan yang dipraktikkan dalam mempelajari agama, kajian tentang sesuatu yang benar absolut ini bagi Al-Kindi adalah pengkajian konsep Tuhan.
 Berbicara tentang jiwa, menurut Al-Kindi jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar), jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia, substansinya berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani.
Dari beberapa pemikiran filsafat yang ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat keTuhananlah yang mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya. Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya.


DAFTAR PUSTAKA

Alfred L Irvy,al-Kindi’s Metaphysics[terj. Fi al-Falsafah al-‘Ula, al-Kindi], (New York: State University of New York Press, 1974)
al-Kindi A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, First Pubished, 2006
Dedi Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka Setia,2009)
Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428
Hana’ Abduh Sulaiman Ahmad,Atsaru al-Mu’tazilah fi al-Falsafah al-Ilahiyah ‘inda al-Kindi,(Maktabah al-Tsaqafiyah al-Diniyyah, 1425/2005)
Joseph Schacht dan CE Bosworth,The Legacy of IslamI (Oxford: Oxford University Press, 1972)
MM Syarif (ed),Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993)
Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy, 1369/1950
Muhammad Lutffi Jum’ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927)
Peter F.E,Aristotle and  The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York: New York University Press, 1968)
Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), (Bangung: Mizan,2003)















Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem, (Wadsworth: Thomas Learning United States)


[2] Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), p. 337
[3] Baca Hana’ Abduh Sulaiman Ahmad,Atsaru al-Mu’tazilah fi al-Falsafah al-Ilahiyah ‘inda al-Kindi,(Maktabah al-Tsaqafiyah al-Diniyyah, 1425/2005)
[4]Joseph Schacht dan CE Bosworth,The Legacy of IslamI (Oxford: Oxford University Press, 1972).
[5]Cemill al-Hajj,Al-Mawsū’ah al-Muyassarah fi Fikri al-Falsafi wa al-Ijtima’i,(Beirut:Maktabah Lubnan Nasyirun), p. 460
[6]Muhammad Lutffi Jum’ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927)  p 1. Abdul Rahman Badawiy,Mawsū’ah al-Falsafah Jilid II,(Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyah li al-Dirāsāt wa al-Nasy, 1984), p. 297
[7]Dedi Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), p. 51
[8]Para penerjemah Kristen dan Yahudi adalah penerjemah bayaran, sehingga kerja mereka tidak berkelanjutan setelah proses penerjemahan. Tidak seperti al-Kindī dan al-Farabi yang kerjanya tidak hanya penerjemahan, akan tetapi juga mengadopsi, memberi komentar, menyeleksi dan mengislamkan. Buktinya, seperti diungkapkan oleh Peter bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir membahayakan iman Kristiani. Baca The Harper Collin Dictionari of Religion, Harper San Fransisco, 1986, p. 533, Peter F.E,Aristotle and  The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York: New York University Press, 1968), p. 57 lihat juga Jurnal Tsaqafah Vol 2 No.2 Thn 2006/1427 p. 286
[9]Dedi Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), p.54
[10] Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah,Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah,(Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1369 H/1950 M), p. 97
[11] Ibid, p. 98
[12]MM Syarif (ed),Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993), p. 17 baca juga Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy, 1369/1950
[13]Dedi Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, p. 63
[14] Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), p. 337
[15]Thomas F Wall, Thinking About Philosophical Problem, (Wadsworth: Thomas Learning United States), p. 126-127
[16] Baca Alfred L Irvy,al-Kindi’s Metaphysics[terj. Fi al-Falsafah al-‘Ula, al-Kindi], (New York: State University of New York Press, 1974)
[17]Dedi Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka Setia,2009), p.56
[18]Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), (Bangung: Mizan,2003), p.210
[19] Ibid
[20]Dedi Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka Setia,2009), p.56
[21] Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), p. 213
[22]Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, p.40 dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428
[23]Baca al-Kindi A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, First Pubished, 2006
[24]Ibid.
[25]Baca Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), (Bangung: Mizan,2003)
[26]Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 dan baca MM Syarif (ed),Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan,1993  p. 215
[27]Baca Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), (Bandung: Mizan,2003), p. 219 dan MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim, p. 215




[1] Orientalis mengenal Al-Kindi adalah filosof muslim pertama, padahal sebelum Al-Kindi banyak pengetahuan-pengetahuan filosofis di dunia Islam, tapi mereka tidak menyebut sebagai filsafat. Padahal beberapa pengetahuan filsafat seperti ilmu kalam Al-‘Asy’ari dan teori tasawwuf dapat dikatagorikan sebagai ilmu filsafat. Kajian orientalis ingin menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat dan baru dikenal filsafat setelah bersentuhan dengan Yunani. Lihat Jurnal Islamia Vol. II No.3 Desember 2005, hlm.44 dan Seyyed Hossein Nasr & oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), Bandung; Mizan, 2003, hlm .207
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm.15
[3] Para penerjemah Kristen dan Yahudi adalah penerjemah bayaran, sehingga kerja mereka tidak berkelanjutan setelah proses penerjemahan. Tidak seperti al-Kindī dan al-Farabi yang kerjanya tidak hanya penerjemahan, akan tetapi juga mengadopsi, memberi komentar, menyeleksi dan mengislamkan. Buktinya, seperti diungkapkan oleh Peter bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir membahayakan iman Kristiani. Baca The Harper Collin Dictionari of Religion, Harper San Fransisco, 1986, p. 533, Peter F.E,Aristotle and  The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York: New York University Press, 1968), hlm. 57 lihat juga Jurnal Tsaqafah Vol 2 No.2 Thn 2006/1427 hlm. 286
[4] Cemill al-Hajj,Al-Mawsū’ah al-Muyassarah fi Fikri al-Falsafi wa al-Ijtima’i, Beirut:Maktabah Lubnan Nasyirun,  hlm. 460.
[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 51.
[6]  ibid. hlm. 54
[7] Hasyimsyah Nasution, hlm. 17
[8] Ibid, hlm. 1
[9] Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah,Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1369 H/1950 M, hlm. 97-98.  
[10] MM Syarif (ed),Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993), hlm. 17 baca juga Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy, 1369/1950
[11] Dedi Supriyadi, hlm. 63
[12] Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 337
[13] Dedi Supriyadi, hlm. 56
[14] Al-Qur’an dan TerjemahNya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Jakarta; PT.Intermasa 1993.
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18]  Bandingkan dengan QS; Yasin, ayat 79-82.
[19] Seyyed Hossein Nasr &Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam , Bangung: Mizan,2003, hlm.210
[20] ibid
[21] Dedi Supriyadi, hlm. 56
[22] Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed), p. 213
[23] Baca al-Kindi A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, First Pubished, 2006
[24] ibid
[25]  Baca Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam , Bangung: Mizan,2003.
[26]  MM Syarif (ed),  hlm. 215

[27]  ibid, hlm. 215
[28]  Baca QS: Al-Isra’, ayat 85
[29]  MM Syarif (ed), hlm. 17
[30]  Dedi Supriyadi, hlm. 63
[31]  Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 337

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: