Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 28 Oktober 2015

Widgets

AL-MATURIDIYAH



A.    Sejarah dan Latar Belakang
    Abu Mansur ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan menminggal di tahun 944 M.[1] Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistim Pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah.
   Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran –ajaran  Asy’ariah. Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte seperti buku-buku al-Syarastani, Ibn Hazm, al-Baghdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangan-karangan al-Maturidi sendiri masih belum dicetak dan tetap dalam bentuk MSS (Makhtutat).
    Di antara MSS itu ialah Kitab al-Tawhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Seterusnya adapula karangan-karangan yang dikatakan disusun oleh al-Maturidi yaitu risalah Fi al-‘Aqa’id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al- Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al-Maram oleh al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-Bazdawi.[2]
    Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistim teologinya.
Aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sikte Ahl al-Sunnah Wal Al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamat diri dari ekstrimitas kaum rasionalis dimana yang berada dibarisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupunn ekstrimitas kaum tekstualis dimana yang berada dibarisan paling depan adalah kaum hanabillah. Pada awalnya antara kedua aliran Maturidiyah dan Asy’ariyah dipisahkan oleh jarak, aliran Asy’ariyah di Irak dan (Suriyah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand .
Almaturidi lahir dan hidup ditengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyah, sehingga aliran Maturidiyah berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah.        Disini penulis berpendapat antara aliran Maturidiyah dengan Asy’ariyah disamping banyak persamaan juga terdapat banyak  perbedaan. Dan banyak pula perbedaan antara Maturidiyah (termasukAhlussunnah wal Jamaah) dengan selain Maturidiyah (Ahlussunah wal jamaah)
Salah seorang pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek L-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi , dan al-bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid –murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturidi, tapi terdapat pemikiran –pemikiran al-Bazdawi yang tidak sepaham dengan al-Maturidi , antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham, sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan : golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut – pengikut al-bazdawi. Memang pada mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yaitu pemikiran –pemikiran dari pendirinya (al-maturidi). Namun jauh setelah al-maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi , Al-Bazdawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran – pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan – perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidi yang disebut dengan Maturidiyah Samarkand, dan pengikut al-bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara 
B.     Akal dan wahyu
    Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql ((العقل yang dalam bentuk kata benda berlainan dengan kata al-wahy(  الوحي  ) , tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22 ayat.[3] Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut :
* tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sムöNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,ƒÌsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=Ÿ2
 «!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÐÎÈ
 Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?[Al-Baqaroh :75].
     Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan.[4] Maka tali pengikat  serban, terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dan lain-lain. Disebut ‘iqal, dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala dan tempat tahanan mu’taqul.
      Arti asli dari kata ‘aqala keliohatannya adalah mengikata dan menahan dan orang yang aqil di Zaman jahiliyah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masaalah yang dihadapinya.[5]
      Akal adalah sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan. Dalam kitab Bahr al-Haqa’iq, dikatakan bahwa ’Aql adalah cahaya ruhani yang berasal dari alam uluwwi (alam tinggi). Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi Muhammad Saw, bahwa Akal adalah suatu cahaya yang tersusun atas air kasih sayang. Ruhnya adalah ilmu, badannya adalah menahan amarah, Kepalanya adalah tawadu’, makanannya adalah takut, keningnya adalah merendahkan diri, matanya adalah tawakkal, hidungnya adalah ridha dan sidq, giginya adaalah sukur, bibirnya adalah zikir, lehernya fakir, dadanya adalah sabar, dan perutnya adalah qanaah.
        Kalau kita selidiki buku klasik tentang ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan akal dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat, masalah pertama bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan. Kedua cabang dari masalah ke dua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan   perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat.
      Menurut al-Maturidi mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk, dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang memestikanadanya perintah dan larangan. Akal kata al-Maturidi selanjutnya, mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak adil dan tak lurus adalah buruk. Oleh karena itu akal memandang mulia terhadap orang yang adil serta lurrus dan memandang rendah terhadap orang yang bersikap tak adil dan tak lurus. Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan perbuatan yang membawa pada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian, menjadi wajib dengan kemestian akal.[6]
       Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidi, akal dapat mengetahui baik dan buruk. Tetapi tetap menjadi pertanyaan apakah akal bagi al-maturidi dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjahui kejahatan. Uraian di atas tidak memberi pengertian bahwa akal dapat mengetahui hal itu. Yang diwajibkan akal, menurut uraian itu, ialah adanya perintah dan larangan, dan bukan mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tak dapat mengetahui kewajiban itu. Sekiranya dapat maka keterangan al-Maturidi di atas seharusnya berbunyi yang dapat diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan Tuhan.
      Pendapat al-Maturidi di atas diterima oleh pengikut-pengikutnya di-samarkand. Adapun pengikut-pengikutnya di Bukhara mereka mempunyai paham yang berlainan sedikit. Perbedaan paham antara golongan samarkand dan Bukhara berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
  Dalam hubungan ini al-Bayadi mengatakan bahwa menurut pendapat Abu Hanifah mengetahui Tuhan adalah wajib menurut akal walaupun pemberitaan dari Rasul tak ada.[7] Abu Mansur dan sebahagian terbesar dari alim ulama Irak, kata al-Bayadi selanjutnya berpendapan bahwa itu berarti wajib menurut akal naluri. Jika kewajiban mengetahui dan percaya kepada Tuhan berarti kewajiban menganut kepercayaan itu maka umumnya alim ulama tidak sepaham dengan al-Imam Abu Mansur tetapi jika yang dimaksud, ialah asal kewajiban, maka umumnya alim ulama berpendapat demikian. Seperti dilihat sebelumnya, adanya perbedaan paham antara samarkand dan Bukhara, telah disinggung pula oleh Abu ‘Uzbah. Al-Maturidi sepaham dengan Mu’tazilah berpendapat bahwa matangnya akallah yang menentukan kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak, dan bukan tercapainya umur dewasa oleh anak itu. Golongan Bukhara tidak mempunyai paham yang demikian dalam paham mereka akal tidak mampu untuk menuntukan kewajiban, akal hanya mampu untuk mengetahui sebabnya kewajiban.
  Sebagai kata Abu ‘uzbah, akal bagi mereka adalah alat untuk mengetahui kewajiban dan yang menentukan kewajiban ialah Tuhan. Bahwa akal adalah alat, kata al-Bayadi dapat diketahui dari kata-kata Abu Hanifah bi ‘uqulihim dan kata ba’ disini mengandung arti alat.[8]
          Dengan demikian akal menurut paham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapan mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Akibat dari pendapat demikian ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini merupakan pendapat dari golongan Bukhara. Alim ulama Bukhara, kata Abu ‘uzbah berpendapat bahwa sebelum adanya Rasul-rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan tidaklah merupakan dosa.
           Al-maturidi mengakui bahwa akal merupakan salah satu sumber ma’rifah yang dikhawatirkan dapat membawa kesesatan. Namun, kekhawatirannya itu tidak membuatnya melarang penalaran sebagaimana dilakukan oleh muhadditsin dan fuqaha. Bahkan, hal itu mendorongnya untuk bersikap hati-hati dan berusaha menjaga diri dari kesesatan dengan bersandarkan kepada dalil naqli, disamping dalil ‘aqli. Ia mengatakan: “barang siapa mengingkari hal itu dan bermaksud untuk mencapai apa saja yang tertutup bagi akal pikiran serta meliput seluruh hikmah ketuhanan dengan akalnya yang tidak sempurna dan amat terbatas, tampa berdasarkan petunjuk dari Rasul, maka sebenarnya ia menzalimi akal dan membebaninya dengan suatu beban yang diluar kesanggupannya”.
           Kesimpulannya, al-Maturidi berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidfak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.[9]
          Prinsip al-Maturidi ini, yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash, merupakan pembimbingnya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam menafsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih pada makna yang muhkam. Ia menta’wilkan yang mutasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mukmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat. Ia menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sepanjang ia mampu untuk melakukannya, sebab ayat-ayat Al-Qur’an tidak saling bertentangan. Allah berfirman: ”sekiranya Al-Qur’an bukan berasal dari Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan didalamnya”.(Qs.al-Nisa, 4: 82). Dengan prinsipnya ini, al-Maturidi mempunyai kesesuaian dengan Mu’tazilah dalam sebagian metode rasional, walaupun ia juga banyak berbeda pendapat dengan mereka. Al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah tentang keweajiban memikirkan dan mengenal Allah dengan penalaran akal dan menentukan baik dan buruk berdasarkan akal, sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya.
Sedangkan kata Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat[10]. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti  “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.
  
C.   Sifat Tuhan
  Mengngenai sifat Allah, aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt itu merupakan sesuatu yang berada di luar zat. Mereka juga menetapkan adanya  qudrah, iradah, ‘ilm, hayah, sama’, bashar, dan kalam pada Dzat Allah. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya, . Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an seperti : ‘Alim ( Maha Mengetahui ), Khabir ( Maha Mengenal ), Hakim ( Maha Bijaksana ), dan Bashir ( Maha Melihat ), merupakan nama-nama bagi Dzat Allah.[11]
Al-Maturidi kemudian muncul dan menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah, tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari dzat-Nya. Sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari Dzat-Nya, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa kepada banyaknya yang qadim ( kekal ).
Dengan pandangan ini, Al-Maturidi dekat dengan Mu’tazilah atau lebih tegas lagi, ia hampir sependapat dengan mereka. Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Berkehendak, Maha Kuasa, dan Maha Mendengar. Perbedaan pendapat diantara mereka hanya berkisar pada apakah semua itu merupakan sesuatu yang bereksistensi di luar Dzat-Nya ataukah tidak.
Al-Maturidi menegaskan bahwa kalam Allah merupakan makna yang berdiri pada Dzat-Nya. Dengan demikian, kalam merupakan salah satu sifat yang menyatu dengan Dzat-Nya, ia kekal bersama kekalnya Dzat yang agung, dan tidak tersusun dari huruf dan kalimat. Alasannya, huruf dan kalimat adalah baru, diciptakan, dan tidak dapat mengambil tempat pada yang kekal, yang wajib adanya. Sesuatu yang baru adalah ‘ardh, sedangkan ‘ardh tidak dapat berdiri pada Dzat Allah. Berdasarkan penjelasan itu, maka huruf dan susunan Al-Qur’an yang menunjukan makna ini adalah baru. Kesimpulannya, Al-Qur’an yang terdiri atas huruf, lafaz dan susunan kalimat yang menunjukan makna yang kekal itu adalah baru. Dengan demikian, al-Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah, karena ia mensifati Al-Qur’an sebagai sesuatu yang baru, kendatipun tidak mensifatinya sebagai makhluq. Dengan pandangannya ini, maka dihadapan kita terdapat tiga pernyataan yang mensifati Al-Qur’an. Mu’tazilah mensifati Al-Qur’an sebagai makhluq, tetapi tidak mensifati dengan qadim, dan Maturidiyyah mensifatinya sebagai yang baru, tetapi tidak mensifatinya sebagai makhluq. Inilah letak perbedaan pendapat itu, dan perbedaan itu tidak prinsipal dan tampak hanya bersifat redaksional.[12]

.E. Iman dan Kafir Keadilan Tuhan
Berbeda dengan faham-faham teologi lainnya, konsep iman dengan dipengaruhi oleh teori mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu. Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif. Iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orangsebagai benar. Bagi aliran-aliran ini iman mesti mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahuipun belemlah cukup. Menurut ‘Abd al-Jabbar, orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadaNya, bukanlah orang yang mukmin. Dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah, tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan. Tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksana perintah-perintah Tuhan. Menurut Abu al-Huzail yang dimaksud dengan perintah-perintah Tuhan bukanlah hanya yang wajib saja, tetapi juga yang sunat. Sedang menurut al-Jubba’i, yang dimaksud dengan itu hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib. Al-Nazzam mempunyai pendapat lain. Iman baginya menjauhi dosa-dosa besar. Sungguhpun ada perbedaan faham dalam hal ini, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa iman bukanlah tasdiq, tetapi suatu hal yang lebih tinggi dari itu.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Sejlan dengan pendapat mereka bahwa akal tidak dapat sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan, iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifah atau amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan Dia.          Bagi golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidi  menulis bahwa Islam adalah mengetahui Tuhan dengan tidak betanya bagaimana bentuk-Nya, iman adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya dan tauhid adalah mengenal Tuhan dalam Ke-Esa-an-Nya. Da juga diberi dalam hati. Tetapi definisi ini kelihatannya bukanlah definisi al-Maturidi, karena dalam Syarh al-fiqh al-akbar.
Bagaimanapun batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiah golongan Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiah golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah atau ‘amal.

F. Perbuatan Manusia
        Kaum Mu’tazilah, dalam sitem toelogi manusia mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tuntu menganut paham qadariah atau free will. Dan memang mereka disebut kaum qadariah. Keterangan dan tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatannya.[13]     Al-Jubba’i, umpamanya, menerangkan bahwa manusialahyang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.
        Bagi golongan Maturidiyah perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini ,[14] al-Maturidi , sebagai pengikut Abu Habnifah , menyebut dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-dengan sama perbuatan ,[15] jadi tidak sebelum perbuatan sebagaimana yang dikatakan oleh kaun Mu’tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan . pemberian upah dan hukum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan [16]. dengan demikian manusia diberikan hukum atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian yang benar  atas daya.
       Al-Maturidi menyebut daya yang diciptakan , tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, sebagai mana yang disebut Mu’tazilah, ataukah daya Tuhan sebagaimana yang disebut Asy’ariyah. Berpegang kepada pendapatnya bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebanarnya, daya untuk berbuat itu tak boleh tidak mestilah daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya sendiri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu. Sebagaimana dilihat kaum Asy’ariyah, karena memandang perbuatan adalah perbuatan Tuhan, tidak berani memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan manusia yang sebenarnya.
         Mengenai soal kehendak , keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukum mengandung arti bahwa kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena untuk menilai salah atau benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka manusia diberikan hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada dibawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya.
        Sungguhpun demikian , didalam pendapat aliran Maturidiyah, baik golongan Samarkan maupun golongan Bukhara, kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. Dan ini selanjutnya mengandung arti paksaan atau fatalisme dan bertentangan dengan faham al-Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini  faham masyi’ah atau kemauan dan rida atau kerelaan [17]. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk, atas kehendak Tuhan. Tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya manusiaberbuat baik atas kehendak Tuhan dan dengan kerelaan Tuhan, sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan Tuhan.
        Jadi kehendak dalam faham al-Maturidi  bukanlah kehendak bebas yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Kekebebasan kehendak disini bukanlah kekebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak dikehendak Tuhan, tetapi kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan kata lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tak disukai Tuhan.jelaslah bahwa kebeasan serupa ini lebih kecil dari kebeasan dalam menentukan kehendak yangterdapat dalam aliran Mu’tazilah.
       Dengan demikian kehendak dan daya berbuat bagi al-Maturidi adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan.            

G. Kesimpulan
       Al-Maturidi menetapkan sifat Qudrah, iradah, ‘ilm,Bayah, sama’ bashar dan kalam itu bagi Allah, tetapi mereka mengatakan bahwa sifat sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya..
         Semua aliran dalam Islam, baik ,Asy’ariah,Mu’tazilah maupun Maturidiyah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal, seperti menggunakan kata “wajib”, sedangkan inti persoalannya sama.
  Untuk mengetahui sistim pemikiran al-Maturidyah, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-Asy’ari dan Aliran Muktazilah, sebab ia tidak bisa terlepas dari suasana masanya.
 Bagi golongan al-Maturidi perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan, dalam hubungan ini ,al-Maturidi ,sebagai pengikut abu Hanifah, menyebut dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
Al-maturidiyah terpecah kepada dua golongan, yakni Maturidiyah samarkand dan Maturidiyah Bukhara















                      Daftar Buku Bacaan

Harun Nasution, Teologi Islam aliran –aliran sejarah Analisa Perbandingan,  Cet 5, Jakarta: Penerbit Unipersitas Indonesia,1986

Prof.DR.Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Penerbit Inipersitas Indonesia Pres, Cet.I,1982

A.Hanafi,MA, Theologi Islam,Penerbit PT Al-Husna Zikra,Cet ke 6, 1995,

Prof.DR.Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah,Penerbit UI-Press,1987

Prof.Dr.Harun Nasution,Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah, Cet.I, 1987

DR.Abuddin Mata,MA.Ilmu Kalam,Filsafat dan Tasawuf,Penerbit PT Raja Grafindo Persada,1995

Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, Cet Pustaka,Cet II,1995

Prof.DR.Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Pilitik dan Aqidah Dalam Islam,Penerbit: Logios Publisling House,Cet 1 ,1996


[1] Harun Naution, Teologi Islam aliran –aliran sejarah Analisa Perbandingan, Harun Nasution, Cet 5, Jakarta: Penerbit Unipersitas Indonesia,1986, hal 76
[2]  Ibid, hal 76
[3] Prof.DR.Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Penerbit Inipersitas Indonesia Pres, Cet.I,1982,  hal . 5
[4] Ibid, hal .6
[5] Ibid
[6] Prof.DR.Imam Muhammad Abu Zahroh,Aliran Politik dn Aqidh dalam Islam, Penerbit: Logos Publishing House, Cet I, 1996, Hal 4
[7] A.Hanafi,MA, Theologi Islam,Penerbit PT Al-Husna Zikra,Cet ke 6, 1995, hal 134
[8] Ibid, hal 135
[9][9] Op Cit, Hal 10
[10] .Prof.DR.Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah,Penerbit UI-Press,1987 Cet I Hal.47
[11] Prof.DR.Harun Nasution,Filsafat Agama,Penerbit:Bulan Bintang,Cet 7,1989,hal 105
[12] Prof.Dr.Harun Nasution,Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah, Cet.I, 1987,hal71
[13] DR.Abuddin Mata,MA.Ilmu Kalam,Filsafat dan Tasawuf,Penerbit PT Raja Grafindo Persada,1995,cet 3 ,hal 73
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: