Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Jumat, 08 Juni 2018

Widgets

IBTHOLUL QIYAS (PEMBATALAN QIYAS) Dalam kitab al-Ihkam fi Usulul Ahkam, Ibnu Hazm az-Zhohiri




I.        Pendahuluan
Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal bahwa Qiyas (Analogical Reasoning) merupakan suatu metode penetapan hukum yang menempati posisi keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh). Para ulama dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan oleh metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Secara metodologi dan operasional, Qiyas merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum (‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka kasus yang pertama itu ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya.
Imam Syafi’i sebagai perintis pertama metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu’ dan ‘illat. Keempat syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat hukum, karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum fiqh yang bertumpu pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi, dan seperti kasus klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi dan beberapa kasus lain yang serupa.
II.  Pembahasan
A.                        Sejarah singkat Ibnu Hazm az-Zhohiri
Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun fahamnya dengan memahami sumber ajaran Islam secara tekstual. Mazhab ini berkembang sejak abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Mazhab ini pertama kali dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-Isfahani (202-270 H) . Daud al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz, dan pendiri Madzhab al-Zhahiri.
 Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri. sejumlah besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi [1] Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.
Pada abad ke-lima yakni di saat mazhab Zahiriyyah mulai mundur di belahan dunia timur, akan tetapi sebaliknya di belahan dunia barat, tepatnya di Spanyol justeru muncul Ibnu Hazm yang menyebarkan dan membangun mazhab Zahiriyyah, sehingga mazhab Zahiriyyah menjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak. [2]

Munculnya Ibnu Hazm di Barat bukan berarti mazhab Zahiriyyah baru dikenal di Spanyol pada priode Ibnu Hazm tersebut. pada akir abad ke-tiga Baqi bin Bukhalat (200-276 H), Ibnu Waddah (w. 286 H) dan Qasim bin Asbagh (w. 340 H) ketiganya ahli fikih dari Spanyol, sekembalinya menuntut ilmu dari dunia timur, mereka membawa ajaran mazhab Zahiriyyah ke Spanyol. Bahkan terdapat ulama fikih dari Iraq yang berkunjung ke Spanyol dengan membawa mazhab Zahiriyyah tersebut.

Ibnu Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab Zahiriyyah berkembang pesat di dunia Barat. Ibnu Hazam menulis berbagai karya dan mengkader beberapa orang muridnya sebagai upaya mengembangkan dan memperjuangkan mazhab Zahiriyyah, sehingga menurut penilaian Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H) seorang fakih kontemporer Mesir, tidak terdapat tokoh di Spanyol yang tidak memiliki tokoh yang bermazhab Zahiriyyah, dan tidak ada di pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab Zahiriyyah.

B.                        Pengertian Qiyas
Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya[3]. Qiyas berarti, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
     Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqih qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu[4]
Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.
الكتاب من المتقدم خبر على الموافقة الدلائل طلب ما هو والقياس
والسنة
Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-Qur’an dan sunnah”.
B.  Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur berikut:
1.      Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (الاصل) atau maqis ‘alaih (المقيس عليه) atau musyabbah bih (مشبه به).
2.      Faru’ (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u (الفرع) atau al-maqis (المقيس) atau al-musyabbah (المشبه).
3.      Hukum ashal (حكم الاصل); yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.
4.      Illat (العلة); yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’.[5]
Syarat-syarat illat antara lain adalah:
1.      Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra
2.      Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah
3.      Merupakan sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya
4.      Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan asl
Sebagai contoh ialah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut far’u. untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
-   Ashal, ialah memakan harta anak yatim
-   Far’u, ialah menjual harta anak yatim
-   Hukum ashal, ialah haram
-   ‘Illlat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.[6]
C.  Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam  yaitu: Qiyas ‘illat, Qiyas dalalah dan Qiyas syibih.
  1. Qiyas ‘illat
Qiyas ‘illat ialah qiyas yang mempersamakan ashl dengan far’u, karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
a.  Qiyas jali, ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi menjadi:
-     Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
-     Qiyas mulawi ialah yang hukum pada far’u sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tua berdasarkan firman Allah SWT:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua orang tua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan “ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi far’u lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.
-     Qiyas musawi, ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada far’u sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. ‘illatnya adalah sama-sama menghabiskan harta anak yatim.
Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristwa ini nampak hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada far’u.
b.  Qiyas khafi, ialah qiyas yang ‘illatnya munkin dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. ‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
  1. Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Cara ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadat, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan kepada orang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu ia anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
  1. Qiyas syibih
Qiyas syibih adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjual-belikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.[7]
Dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi, yaitu:
1. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum ashl, karena ‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.
Dalam surat al-Isra’, 17:23 Allah berfirman:
Artinya : Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” (Q.S al-Isra’, 17: 23)
Para ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘illat larangan ini adalah menyakiti orang tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah” karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat dari ucapan “ah”.
  1. Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam surat al-Nisa’, 2:2:
وَءَاتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. (Q.S an-Nisa’, 4: 2)
            Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
  1. Qiyas al-adna, yaitu ‘illat yang ada pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada far’u sangat lemah disbanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena ‘illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.[8]

  D.  Kehujjahan Qiyas dan Pembatalannya
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas  dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas  bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’ edangkan sebahagian ulama berpenderian bahwa qiyas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah  dalam penetapan hukum syara’.[9]
Pandangan ulama mengenai kehujjatan qiyas qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1.   Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma ulama.
2.    Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3.   Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits
4.  Ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal   saja, yaitu :
      1.  Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun   melalui isayrat.
     2.   Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.

        Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas  menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas  sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas  sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :
•      Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artiny : “Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an  dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas  merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya “.
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas  dilarang untuk diamalkan.
Alasan – alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan, menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima’afkan atau dibolehkan.
Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
Surat al-Hasyr, 59  : 2 فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَار                                        
Artinya : “maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang mempunyai pandangan”.
Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas  yang disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas  adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
•      Surat al-Baqarah 2 : 222 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid”.
•  Surat al-Maidah 5 : 91 :
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu, lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
•      Surat al-Maidah 5:6
.”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “
Alasan jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli. Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas  termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :
“Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau sampai menyesal ?”. (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)
Dalam hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur, yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.
      Contoh Penerapan Qiyas dalam Ekonomi Islam
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal dan secara induktif, berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam pengharamannya[10]. Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan (fara’) dan kasus yang di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat yang jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Adapun di antara tokoh-tokoh fikih Islam kontemporer yang menganut paradigma ini adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi (masing-masing ahli fikih Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio, Adiwarman Azwar Karim (masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi perbankan Islam Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an tidak membutuhkan penjelasan dan pembahasan lebih lanjut, karena tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia yang tidak mereka ketahui bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam Q.S Al-Baqarah [2]:278-279
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ   ( فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
menunjukkan segala kelebihan dari modal adalah riba, sedikit maupun banyak. Maka setiap tambahan bagi modal yang disyaratkan atau ditentukan terlebih dahulu, karena adanya unsur tenggang waktu semata adalah riba[11].
Adapun Syafi'i Antonio yang merupakan praktisi dan akademisi ekonomi Islam di Indonesia, terkait dengan bunga bank, mengatakan bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi itu hanya sifat. Artinya, besar atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat umum riba adalah berlipat ganda (Antonio, 1999:82).
Sementara dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam Alquran adalah karena adanya faktor zulm, yaitu memungut tambahan utang dari pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah niaga (tijârah) untuk mencari keuntungan bersama antara pihak yang punya modal (investor), pihak yang membutuhkan modal (debitur/pengusaha), dan pihak perbankan sebagai mediator dan penyedia jasa. Sehingga sama sekali tidak ada kaitannya dengan tolong menolong antara si kaya dan si miskin, melainkan upaya kerjasama dalam mengembangkan modal dengan menjadikan bank sebagai mediator antara penabung, pengusaha dan bank [12]. Karena itu, aspek aniaya (ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan terjadi sebab masing-masing pihak telah saling rela dan mengetahui hak serta kewajibannya masing-masing.
Dengan konsep seperti itu, akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan bahwa antara riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang berbeda. Riba dianggap kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan konsumtif, sedangkan bunga bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan dalam rangka, kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut paradigma ini mengharuskan mereka, meninggalkan qiyâs dan lebih memilih mengambil metode istihsân sebagai dasar untuk sampai kepada suatu konklusi hukum yang dianggap lebih tepat untuk dijalankan[13]. Di antara tokoh dan ahli hukum Islam yang menganut paradigma kontekstual dalam menilai permasalahan bunga bank adalah Munawir Syadzali, Quraish Shihab, Umar Shihab dan M. Dawam Raharjo (masing-masing adalah ulama fikih dan cendekiawan muslim Indonesia). Demikian pula, Fazlur Rahman, Mahmoud Syaltout, dan Mustafa Ahmad al-Zarqa'.















III.             KESIMPULAN
Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun fahamnya dengan memahami sumber ajaran Islam secara tekstual. Mazhab ini berkembang sejak abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Mazhab ini pertama kali dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-Isfahani (202-270 H) .
Dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.  Munculnya Ibnu Hazm di Barat menjadikan mazhab zhahiriyah semakin berkembang
Secara etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Rukun- rukun qiyas 1. Ashal (asal) , 2. Faru’ (cabang) 3. Hukum ashal (حكم الاصل  4. Illat (العلة); . Syarat-syarat illat antara lain adalah.  Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam  yaitu: Qiyas ‘illat, Qiyas dalalah dan Qiyas syibih..
          Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas  dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas  bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’ Sedangkan sebahagian ulama berpenderian bahwa qiyas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah  dalam penetapan hukum syara. Pandangan ulama mengenai kehujjatan qiyas qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1.   Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma ulama.
2.    Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
3.   Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits
4.  Ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal   saja,
  1.  Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun   melalui isayrat.
     2.   Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.










DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : Pustaka Setia. 2008)
Muin Umar, dkk,  Ushul Fiqh 1 (Jakarta : Departemen Agama, 1986)
Djazuli, Ushul Fiqih (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1(Jakarta. Logos Wacana Ilmu: 1995)
Ahmad Hanafie, Ushul Fiqih (Jakarta : Widjaya, 1962)
Amir Syarifuddin,. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta Wacana Ilmu:1997)
                     Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974)
                     Mas'adi, Ghufton A, Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
                     al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)























[1]. .Abdul Dahlan, Enseklopidi Hukum Islam , Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2006  h.198
[2]. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Bairut : Dar al-Fikr, 1994 h.56
[3] . Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : Pustaka Setia. 2008) h.172
[4]. Muin Umar, dkk,  Ushul Fiqh 1 (Jakarta : Departemen Agama, 1986) h.107

[5] . Djazuli, Ushul Fiqih (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000)  h. 136-137


[6] . Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1…….h.118-119

[7] . Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh……. h.139-142

[8] . Nasrun Haroen. Ushul Fiqh……. h.75-76
[9] . Tajuddin ‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974), hlm. 177. Lihat juga Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, (Beirut : Mu’assasah al-Risalah, 1978), hlm. 234

[10] . Mas'adi, Ghufton A, Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)

[11] . al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)

[12] . Mas'adi,  Fiqh Muamalah
[13] . Ibid

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: