Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 30 Maret 2021

Widgets

Hukum Poligami Dalam Perundang-Undangan di Indonesia

 

Ada beberapa aturan atau undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami antara lain:

a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dalam  UU  No.1  Tahun  1974,   yang  berkaitan  dengan  poligami  adalah pasal 3, 4 dan 5[1]. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:

      -Pasal  3  (1)  Pada  azasnya  dalam  suatu  perkawinan  seorang  pria  hanya  boleh mempunyai seorang isteri. seorang isteri hanya boleh mempunyai  seorang suami.

(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri  lebih  dari  seorang  apabila  dikehendaki  oleh  pihak-pihak  yang berkepentingan.

       -Pasal  4   (1)   Dalam   hal   seorang  suami  akan  beristeri  lebih  dari  seorang, sebagaimana  tersebuta  dalam  pasal  3  (2)  UU  ini,  maka  ia  wajib mengajukan  permohonan  kepada pengadilan  di  daerah  tempat tinggalnya.

(2)  Pengadilan  dimaksud   dalam   dalam  ayat  (1)  pasal  ini  hanya  memberikan izin kepada  seorang  suami yang  akan  beristeri  lebih dari seorang apabila :

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b.  issteri  mendapat  cacat  badan  atau  penyakit  yang  tak  dapat disembuhkan

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

     -Pasal 5 (1)   Untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalan pasal 4 (1) UU ini, harus dipenuhi  syarat-syarat sebagai berikut :

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.

b.  adanya   kepastian   bahwa   suami    menjamin   keperluankeperluan hidup, isteri-isteri danak-anak mereka.

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak mereka.

(2)   Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak  diperlukan  bagi  seorang  suami  apabila  isteri/isteri-istrinya tidak  mungkin  dimintai  persetujuannya  dan  tidak  dapat  menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selam sekurang-kurangnya 2 (dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.

b. Peraturan  Pemerintah  No.  9  Tahun  1975  tentang  Pelaksanaan  UU  No.1  tahun 1974. Dalam  PP  No.9  Tahun  1975,   yang  berkaitan  dengan  poligami  adalah pasal 40, 41, 42, 43 dan 44[2].

c. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983  tentang   izin perkawian dan Perceraian

Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP No.10 Tahun 1983, yang berkaitan dengan poligami  adalah pasal 4,5,6,7,8,9,10 dan 11[3].

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990  tentang    Perubahan atas PP No 10 /1983 tentang izin perkawian dan Percraian Pegawai Negeri Sipil.

Dalam  pasal   1  disebutkan   bahwa   mengubah   beberapa   ketentuan dalam PP No 10 /1983, sehingga berbunyi sebagai berikut:

-Pasal 3   (1)  Pegawai  Negeri  Sipil  yang  akan  melakukan  perceraian  wajib memperoleh izin atau surat keterangan terlebih dahulu dari pejabat.

   (2)  Bagi  PNS  yang  berkedudukan  sebagai  penggugat  atau  PNS  yang berkedudukan  sebagai  tergugat  untuk  memperoleh  izin  atau  surat keterangan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  harus mengajukan permintaan secara tertulis.

   (3)   Dalam  surat  permintaan  izin  atau  pemberitahuan  adanya  gugatan perceraian  untuk  mendapatkan  surat  keterangan,  harus dicantumkan alasan lengkap yang mendasarinya:

-Pasal 4  (1)  PNS   pria   yang   akan   beristeri   lebih   dari   seorang,    wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.

(2)  PNS  wanita  tidak  diizinkan  untuk  menjadi  isteri  kedua /ketiga/keempat.

(3)  Perrmintaan  izin  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  diajukan secara tertulis

(4)  Dalam  surat  permintaan  dimaksud  dalam  ayat  (3)  harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang.

-Pasal 5  (2)  Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari PNS dalam lingkungannya,  baik  untuk  melakukan  perceraian  dan  atau  untuk beristeri  lebih  dari  seorang,  wajib  memberikan  pertmbangan  dan meneruskannya  kepada  Pejabat  melalui  saluran  hierarki  dalam jangka  waktu  selambat-lambatnya  tiga  bulan  terhitung  mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.

-Pasal 9  (1)  Pejabat  yang  menerima  permintaan  izin  untuk  beristeri  lebih  dari seorang  sebagaimana  yang  dimaksud  dalam  pasal  4  ayat  (1)  wajib memperhatikan  dengan  saksama  alasan-alasan  yang  dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasa PNS yang bersangkutan.

e. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Adapun pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal 55, 56, 57, dan 58.[4] Dari beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat di pahami bahwa  azas  perkawinan   adalah  monogami  yang  tidak  bersifat  mutlak[5],  tetapi monogami  terbuka,  sebab  menurut  pasal  3  (1)  UU  No.1/1974  dikatakan  bahwa seorang  suami  hanya   boleh  mempunyai  seorang  isteri  begitu  pula  sebaliknya. Tetapi  pada  pasal  3  (2)  UU  No.1/1974  yang  menyatakan  bahwa    Pengadilan dapat  memberi  izin  kepada  seseorang  suami  untuk  beristeri  lebih  dari  seorang apabila  dikehendaki  oleh  pihak-pihak  yang  bersangkutan.  Dengan  adanya  ayat (2) ini berarti undang-Undang ini menganut azas monogami terbuka, oleh karena itu  tidak  tertutup  kemungkinan  dalam  keadaan  tertentu  seorang  suami melakukan poligami yang tentunya dengan pengawasan pengadilan. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan  permohonan  kepada  pengadilan  di  daerah  tempat  tinggalnya.  Pengadilan dimaksud hanya memberi izin kepada suami yang beristeri lebih dari seorang  apabila  cukup  alasan-alasannya  (lihat  pasal  4  ayat  (1  dan  2)  UU No.1/1974, pasal 41 PP No. 9/ 1975) sebagai berikut:

a). isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri

b). isteri mendapat cacat  badan  atau  penyakit  tidak  dapat  disembuhkan  dan 

c).  isteri  tidak  dapat melahirkan keturunan.

Jadi  seorang  suami  yang  yang  mempunyai  isteri  masih  hidup,  tetapi ternyata  tidak  dapat  menjalankan  kewajibannya  sebagai  isteri,  misalnya  tidak dapat mendampingi dan melayani suami  dengan baik, mengatur rumah  tangga dengan  baik,  mengurus  dan  mendidik  anak-anaknya  dengan  baik,  termasuk tidak  menjaga  kehormatan  dirinya  dari  makziat,  begitu  pula  jika  istercacat badannya, misalnya lumpuh, gila, lepra yang susah disembuhkan, apalagi jika isteri tak mendapatkan keturunan[6]. Dengan alasan-alasan demikian suami dapat beristeri lebih dari seorang dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan.



[1] Sudarsono,  Hukum Perkawinan Nasinal  (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 289

[2] Ibid., h. 329

[3] Ibid., h.347

[4]Abd. Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 126

[5]Soemiyati, op. cit., h.77

[6] Hilman  Hadikusuma, Hukum  Perkawinan  di  Indonesia:  “Menurut Perundangan, Hukum Adat, Agama”  (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.35. Lihat Juga Ahmad Rafiq.,  Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h.73

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: