Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 30 Maret 2021

Widgets

PENELITIAN HUKUM ISLAM DAN SOSIAL BUDAYA

 

 

A. PENDAHULUAN.

Hukum Islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat berbeda dan bahkan dikatakan saling bertentangan. Dalam satu sudut pandang, hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap yang qadim, bersifat statis tidak berubah.[1] Sebaliknya, masyarakat secara substansial mengalami perubahan yang cukup besar dan bersifat dinamis. Sesuatu yang bersifat dinamis tidak mungkin dihubungkan kepada sesuatu yang bersifat stabil dan statis, namun hukum Islam tidak statis tetapi mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan sesuatu yang berubah dan bergerak.[2]

Hukum selain berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat atau social control, juga berfungsi sebagai pembentuk masyarakat atau Social Enginering. Kedua fungsi itu juga terdapat pada hukum Islam. Diharapkan kedua fungsi ini dapat mengatur kehidupan masyarakat sejalan dengan perkembangan zaman. Dua peran di atas tidak serta merta mudah dapat dipahami karena akan berhadapan dengan cara pemahaman terhadap hukum Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan kesungguhan dan keluwesan dalam memahami dan menganalisis setiap ajaran hukum Islam agar tidak termakan oleh waktu serta mampu menjawab tantangan zaman.

Pemikiran hukum Islam yang merupakan produk pemikiran ulama-ulama terdahulu bukanlah merupakan hal yang absolut atau tidak perlu diperbaharui. Sebaliknya, hasil pemikiran yang tidak sesuai dengan zaman kekinian perlu ditinjau ulang dan ini menunjukkan bahwa daya lentur dan dinamika pemikiran tersebut kurang mampu mempertahan-kan diri dalam perkembangan zaman.

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika pergumulan hukum Islam dengan dinamika perubahan sosial selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan spektrum masalah dewasa ini yang semakin kompleks dan luas. Salah satu masalah yang mendasar adalah apakah hukum Islam mampu mengantisipasi perkembangan dinamika persoalan sosial budaya atau tidak? Dalam konteks ini tentunya dibutuhkan terobosan baru dalam perumusan hukum Islam. Salah satu terobosan tersebut adalah mengin-tegrasikan pemikiran hukum Islam dan dinamika perubahan sosial budaya yang terus berkembang. Permasalahan tersebut akan dibahas dalam makalah ini dengan terfokus pada masalah pemikiran hukum Islam dan dinamika perubahan sosial

B. PEMBAHASAN.

1. Pengertian dan Karakteristik Hukum Islam

Pengertian hukum Islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah, dan fiqih untuk itu dalam pengertian hukum Islam disini di maksudkan didalamnya dimaksudkan pengertian syariat. Dalam kaitan ini di jumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqih adalah sekelompok dengan syari’at-syari’at yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di ambil dari nash Al-qur’an dan Sunnah. Bila ada nash dari Al-qur’an atau Sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber sumber lain. Bila tidak ada nash dari Al-qur’an atau Sunnah di bentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang di sebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil yang terperinci.[3] Berikut ini penulis paparkan pengertian syariah, fiqih dan hukum Islam.

A. Syariah

Secara etimologis, kata syariat, (dalam bahasa Arab, aslinya, syarî’ah/ شريعة) berasal dari kata syara’a ( شرع) yang berarti jalan ke tempat keluarnya air untuk minum atau tempat lalu air di sungai.[4] Dalam perkembangannya, kata syari’ah digunakan orang Arab untuk konotasi jalan lurus ( الطريقة المستقيمة ). Dalam al-Qur`an kata syara`a, dalam berbagai bentuknya diungkapkan sebanyak lima kali, yaitu surat al-Maidah/ 5: 48, al-A`raf/ 7: 163; al-Syûra/ 42: 13 dan 21, dan dalam surat al-Jâtsiyah/ 45: 18. Kata syariat pada ayat-ayat tersebut mengandung arti jalan yang lurus dan jelas menuju kebahagiaan hidup. Pengertian ini menurut para ahli, identik dengan pengertian agama (al-din/ الدّين ). Karena hanya agamalah yang dapat membimbing manusia kepada kebenaran hakiki untuk memperoleh kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Firman Allah dalam surat al-Jâtsiyah ayat 18.

¢OèO y7»oYù=yèy_ 4n?tã 7pyèƒÎŽŸ° z`ÏiB ̍øBF{$# $yg÷èÎ7¨?$$sù Ÿwur ôìÎ7®Ks? uä!#uq÷dr& tûïÏ%©!$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ

Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Dalam surat al- Syûra ayat 13 ditegaskan:

* tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù

Artinya : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.

Kata syariat dalam ayat di atas, tampaknya, identik dengan agama, yang mengandung arti mengesakan Allah, mematuhi dan mengimani utusan-Nya, kitab-kitab-Nya, hari pembalasan, dan mentaati segala sesuatu (perintah dan, atau larangan Allah) yang membawa seseorang menjadi muslim dalam arti sesungguhnya.
       Apabila dicermati arti syariat secara bahasa di atas, tampaknya terdapat keterkaitan kandungan makna antara syari’at dengan air, seperti dijelaskan Amir Syarifuddin, bahwa orang yang mematuhi syariat, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan lahiriah (fisik) sebagaimana Dia menjadikan syariat sebagai penyebab kehidupan jiwa (batiniah) manusia.

Menurut istilah, Mannâ’ al-Qatthân mengemukakan, bahwa syariat adalah:            

           
ما شرع الله لعباده من العقائد والعبادات والأخلاق والمعاملات

Artinya: Segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-Nya baik          menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun mu`amalah.

 

Defenisi di atas, tampaknya masih mengacu pada pengertian agama (al-dîn), dimana aspek-aspek pokok ajaran agama (Islam) dimasukkan ke dalam cakupan syariat.

Muhammad ‘Alî al-Sâyis. Berdasarkan kesimpulannya terhadap pendapat para ulama, mengatakan bahwa syari’at adalah:

الأحكام الّتي سنّها الله لعباده ليكونوا مؤمنين عاملين على ما يسعدهم فى الدّنيا والآخر

Artinya: Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah agar manusia  beriman dan beramal saleh, yang dapat membuat mereka bahagia di dunia dan di akhirat.

Menurut al-Sâyis, pengertian syari’at seperti ini mengandung tiga dimensi; salah satunya adalah dimensi hukum, yaitu meliputi tindakan-tindakan manusia, seperti ibadah, mu`amalah, hukuman dan lain sebagainya yang termasuk ke dalam kajian fikih. Pengertian inipun masih berorientasi pada pengertian agama. Sementara, menurut Mahmûd Syaltût, syariat adalah:


هي النّظم الّتى شرعها الله أصولها ليأخذ الإنسان بها نفسه بعلاقاته بربّه وعلاقاته بأخيه المسلم وعلاقاته بأخيه الإنسان وعلاقاته بالكون وعلاقاته بالحياة

Artinya: Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah atau hasil penalaran atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia; sesama muslim atau non muslim, maupun dengan alam sekitarnya.

Pengertian yang dikemukakan Syaltût ini dengan jelas telah memisahkan antara agama dengan syariat. Menurutnya, agama (Islam) terdiri dari dua ajaran pokok, yaitu akidah dan syariat, dimana syariah lebih dikhususkan pada persoalan amaliah. Lebih lanjut, masih menurut Syaltût, aspek akidah merupakan pondasi tempat tumbuh dan berkembangnya syariah. Sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus tumbuh dari akidah itu.

Defenisi di atas juga menunjukkan, bahwa syariat --sebagai ketentuan yang mengatur persoalan-persoalan amaliah-- terdiri dari dua kategori; pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang secara langsung ditetapkan oleh Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur`an dan Sunnah). Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah, karena tidak ada yang punya wewenang merubahnya kecuali Allah. Kedua, ketentuan-ketentuan hukum hasil kajian para ulama mujtahid yang merujuk pada al-Qur`an dan Sunnah dengan menggunakan metode-metode istinbâth hukum seperti kias, mashlahah al-mursalah, istihsan, sadd al-dzarî’ah ataupun metode ijtihad lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum kategori kedua ini tidak memiliki sifat keabadian dan bisa berubah-ubah dan amat dipengaruhi oleh keilmuan mujtahid yang bersangkutan serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat.

B. Fiqih

Secara lughawi (semantis), kata fiqih berasal dari bahasa Arab, fiqh/ فقـه bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Di beberapa tempat, al-Qur`an menggunakan kata ”faqiha/ فقـه ” dalam berbagai bentuknya untuk pengertian yang umum, yaitu pemahaman. Himbauan al-Qur`an "ليتفقّهوا فى الدّين" (untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama) menunjukkan bahwa fikih tidak menegaskan suatu pengertian eksklusif tentang hukum, melainkan suatu pemahaman yang mendalam tentang agama (Islam) secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islam, istilah fikih belum memiliki arti khusus. Kendati demikian, terminologi fikih mulai mengarah pada kedalaman intensitas keyakinan, tauhid, hukum-hukum dan ajaran Islam lainnya. Keadaan seperti ini menurut kesimpulan Ahmad Hasan, berjalan sampai pada abad kedua Hijriah, dimana terminologi fikih mencakup persoalan-persoalan teologis, akhlak dan hukum. Sebuah buku yang terkenal, al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbahkan pada Abu Hanifah (w. 150 H.), menurut Hasan, adalah bukti nyata di mana Abu Hanifah memasukkan persoalan-persoalan akidah, hukum dan akhlak sebagai bagian yang dicakup oleh terminologi fikih. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, muatan terminologi fikih tidak lagi bersifat umum, melainkan khusus pada hukum-hukum syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan manusia.

Secara istilah defenisi fikih yang dikemukakan oleh para ulama fikih (fuqahâ`) berkisar:


االعلم بالأحكام الشّرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التّفصيليّة

Artinya: Ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemukan dari dalil-dalilnya yang rinci.

Berdasarkan defenisi di atas, paling tidak ada empat hal yang membedakan istilah fikih, sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman, dengan selainnya, yaitu:

1. Fiqih adalah suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, sudah jelas, fikih memiliki tema pokok dengan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip khusus. Karenanya, dalam mengkaji fikih para mujtahid menggunakan metode-metode atau pendekatan tertentu, seperti kias, istihsan, mashâlih al-mursalah, sadd al-dzarî`ah, atau metode ijtihad lainnya.

2. Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat. Penggunaan kata " بالأحكام الشرعيّة "(tentang hukum-hukum syariat) menunjukkan bahwa kajian dan ruang lingkup fikih menyangkut ketentuan-ketentuan yang bersifat syar`i dan tidak mencakup persoalan-persoalan yang di luar hukum syarak, seperti hukum-hukum akal. Contoh, satu adalah separoh dari dua, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih menurut istilah.

3. Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah.
Kata amaliah menunjukkan bahwa hukum-hukum fikih selalu berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu`amalah. Dengan demikian, hukum-hukum non amaliah, seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan dasar-dasar iman (i`tiqâdiyyah) serta cabang-cabangnya, tidak termasuk ke dalam kajian fiqih.

4. Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang ditemulkan dari dalil-dalilnya yang tafshîlî. Artinya, hukum-hukum fikih diambil atau digali dari sumbernya yaitu nash al-Qur`an atau Hadis melalui proses istidlâl (pencarian hukum dengan dalil), atau istinbâth (deduksi atau penyimpulan), atau analisis (nazhar). Pengetahuan tentang kewajiban shalat lima waktu, salah satu contoh, tidak termasuk ke dalam pengertian fikih, karena hal ini secara langsung (tekstual) dapat ditemukan di dalam nash. Adapun kata tafshili, maksudnya adalah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum dari suatu perbuatan tertentu, apakah haram, wajib, makruh, dan, atau kategori hukum lainnya.

Dari definisi fikih dan penjelasannya di atas dapat dipahami, bahwa fikih yang menurut Amir Syarifuddin adalah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah, berbeda dengan syariat. Perbedaan itu dapat dilihat, antara lain dari segi di mana syariat itu bersifat tetap dan kebenaran serta keadilannya pasti karena berasal dari kehendak Allah (sebagai Syâri’ atau Pembuat syariat). Seperti ditegaskan Abu Zahrah, hanya Allah yang berhak menetapkan hukum syarak. Sementara fikih, tidak bersifat tetap. Fikih bisa saja diubah dan dirombak sesuai dengan perbedaan tempat, perubahan waktu, serta lingkungan dan dinamika kultur masyarakat di mana fikih itu diterapkan. Begitu juga kebenaran dan keadilan fikih tidak bersifat pasti, melainkan nisbi (relatif). Sifat fikih yang demikian disebabkan fikih adalah interpretasi terhadap hukum syarak. Satu hal lagi, dan tidak bisa diingkari, berdasarkan fakta sejarah pembentukan fikih, bahwa faktor sosio kultural, politik, dan faktor-faktor lainnya ikut mempengaruhi bagaimana bentuk atau corak suatu fikih. Meskipun demikian, syariat bukan fikih, akan tetapi keduanya memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Karena, syariat adalah asal, pokok, sari atau inti, ajaran yang ideal serta berlaku secara universal. Sementara fikih, adalah cabang (furû), atau perwujudan dan syariat. Dalam kedudukannya sebagai cabang atau perwujudan dari syariat, fikih harus responsif terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya. Dalam kaitan ini, Muhammad ‘Alî al-Sâyis mengatakan bahwa formulasi fikih tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat kultural, dan karenanya, masa berlakunya bersifat temporal sesuai dengan kebutuhan ruang dan zaman tertentu. Konsekuensinya, seperti diutarakan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaam waktu, tempat, situasi, tujuan, niat dan adat istiadat. Hal di atas adalah suatu keniscayaan sehingga fikih, sebagai perwujudan syariat memiliki adaptabilitas dengan dinamika kehidupan sosial yang setiap saat terus berubah dan berkembang. Di sinilah letak pentingnya arti fikih bagi syariat. Syariat, sebagai ajaran yang diyakini, selalu up to date (cocok sepanjang zaman), hanya bisa dibuktikan melalui fikih. Konsep-konsep syariat yang ideal --dan untuk kategori hukum yang berhubungan dengan kategori kemasyarakatan umumnya bersifat global-- harus diterjemahkan dalam tataran praktis, wujud nyata atau dibumikan --meminjam istilah Quraish Shihab-- dalam realitas sosial, lagi-lagi melalui fikih.

Dengan demikian, pengembangan syariat sangat tergantung pada fungsi dan pola fikih. Dan, pengamalan hukum-hukum fikih adalah bagian dari pengalaman syariat juga. Dengan ungkapan lain, fikih adalah bagian dari syariat, tetapi bukan syariat itu sendiri.

C. Hukum Islam.

Kata hukum dan Islam, keduanya berasal dari bahasa Arab dan digunakan dalam al-Qur`an di beberapa tempat. Akan tetapi, al-Qur`an tidak pernah menggunakan kedua kata ini secara bergandengan. Begitu juga dalam literatur hukum Islam klasik, sejauh yang penulis ketahui tidak pernah menggunakan kata hukum Islam. Ungkapan yang digunakan  yang mengandung konotasi hukum biasanya adalah kata syarî’ah al-Islâm, hukum syara’, syarî’ah atau syara’, dan, atau fikih. Para pakar hukum Islam menduga, bahwa istilah hukum Islam merupakan terjemahan Indonesia dari Islamic law, yang sering dijumpai dalam literatur yang berbahasa Barat.

Secara leksikal, kata hukum seperti disebutkan di atas berasal dari bahasa Arab, yaitu hukm ( حكم ), jamaknya ahkâm ( أحكام ) yang berarti, antara lain menolak. Dari sinilah terbentuk kata al-hukm ( الحكم ) yang, antara lain, berarti menolak kezaliman atau penganiayaan.[5] Dalam bahasa Indonesia, kata hukum juga mengandung beberapa pengertian. Di antaranya, yang penting disebutkan di sini adalah: (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; (2) undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis, dan sebagainya.

Adapun menurut istilah, sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya, para ahli memberikan defenisi yang beragam tentang hukum. Dari sejumlah defenisi tersebut, menurut Hazairin, sebagaimana telah disinggung, dapat dikelompokkan kepada dua pandangan. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa hukum hanyalah suatu segi dari penjelmaan hidup kemasyarakatan. Yakni, serangkaian perhubungan tertentu yang timbul dalam, dan dari masyarakat tertentu pula. Jelasnya menurut pandangan ini, hukum adalah seperangkat peraturan hidup yang berpokok kepada hak dan kewajiban yang berlaku selama didukung oleh masyarakat itu. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa hukum bukanlah hanya suatu segi dari penjelmaan hidup masyarakat saja. Dengan kata lain, tidak hanya sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan ada kaitannya yang sangat erat dengan Tuhan. Bahkan melihat tuhan sebagai sumber hukum yang utama. Yang disebut pertama, oleh Hazairin, dinamakan dengan paham kemasyarakatan, dan, yang kedua, dinamakannya dengan paham ketuhanan.

Defenisi hukum yang dikemukakan Muhammad Muslehuddin (cendikiawan muslim lulusan Fakultas Hukum Universitas London), agaknya mendekati kedua paham (pandangan) di atas, yaitu: kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu menerima aturan-aturan tersebut.

 Apabila dihubungkan defenisi Muslehuddin ini dengan pengertian hukum secara bahasa di atas, maka dapat dirumuskan bahwa hukum pada hakekatnya merupakan kaedah atau pegangan bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap, prilaku dalam melangsungkan hubungan dan kegiatan dengan sesama manusia lainnya dalam pergaulan hidup masyarakat. Jika seseorang telah mematuhi hukum yang berlaku, atau berbuat sesuai dengan hukum, maka orang tersebut akan menolak berbuat zalim atau aniaya, baik terhadap dirinya sendiri, terhadap sesama manusia, maupun terhadap sesama makhluk.
Bila hukum itu dihubungkan dengan hukum Islam atau hukum syara’, maka akan terbayang bahwa hukum Islam adalah hukum yang sesuai dengan atau berdasarkan kehendak Allah. (Itulah sebabnya mengapa seorang mukalaf yang bertindak menurut hukum (Islam) dalam segala macam situasi dan kegiatan dianggap memenuhi kehendak Allah). Akan tetapi, seperti ditegaskan Amir Syarifuddin, sebagian besar kehendak Allah itu tersimpan di balik apa yang tertulis dalam al-Qur`an dan hadis Rasul-Nya (syariat). Untuk itu, lanjut Amir, dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang al-Qur`an dan hadis (syariat) itu. Hasil pemahaman tersebut, yang dituangkan dalam bentuk ketentuan rinci, dinamakan fikih.

Dengan dasar pemikiran seperti di atas, maka pernyataan Hasbi Ash-Shiddieqy yang menyamakan fikih Islam dengan hukum Islam dapat diterima. Menurut Hasbi, hukum Islam adalah koleksi daya upaya fuqahâ (ahli hukum Islam) untuk menerapkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kata ”koleksi syariat” dalam defenisi di atas menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam seperti, juga, ditegaskan Amir Syarifuddin adalah yang bernama fikih dalam literatur Islam yang berbahasa Arab. Cuma saja, dalam penggunaan kata-kata hukum Islam dikalangan umat Islam Indonesia sering menimbulkan kebingungan. Istilah hukum Islam, seperti halnya fikih, sering diidentikkan dengan syariat dalam arti sempit. Padahal, seperti telah dijelaskan, fikih atau hukum Islam memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan syariat dalam pengertian teknis. Sedangkan kata ”sesuai kebutuhan masyarakat” menunjukkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis, disamping harus memiliki daya adaptabilitas dengan realitas kehidupan masyarakat. Artinya, ruang dan waktu serta kondisi-kondisi tertentu akan mempengaruhi corak hukum Islam, dimana koleksi daya upaya fuqahâ` (fikih-fikih klasik), seperti disinggung Hasbi dalam defenisi di atas, untuk bab-bab tertentuntidak harus dilaksanakan secara kaku atau tekstual, melainkan harus melalui transformasi. Hukum Islam dalam konteks ini adalah hukum Islam (fiqih) lokal.

Dengan demikian, hukum Islam yang berlaku pada suatu negara nasional bisa saja berbeda dengan hukum Islam yang berlaku di negara nasional lain seperti perbedaan suatu mazhab dengan mazhab lain dalam pengertian fikih tradisional. Sungguhpun begitu, hukum Islam dalam berbagai negara nasional tetap berasal dari sumber yang sama, yaitu syariat sebagai hukum Ilahi yang bertujuan menjaga lima hal seperti tersimpul dalam maqâshid al-syarî’ah [6](tujuan hukum disyariatkan).

2. Pengertian Perubahan Sosial

Masyarakat adalah sebuah organisme yang dinamik, berubah dan berkembang secara terus-menerus. Perubahan tersebut dikarenakan ada sebab-sebab nyata yang mempengaruhinya dan bukan merupakan suatu kebetulan atau taqdir Allah SWT semata. Hubungan antara pengaruh sosial dan sebab-sebab yang mengarah pada pengaruh itu adalah bersifat universal dan pasti. Dan tidak ada yang bersifat kebetulan dalam sepanjang sejarah masyarakat, kecuali sebab dan akibatnya semata.[7] Ibnu Khaldun mengklasifikasi masyarakat, dari sudut kontrol sosial, dalam dua tipe, badawah (primitif, nomadisme) dan hadharah (peradaban). Dalam masyarakat primitif, di mana hubungan darah lebih diutamakan, masyarakat dikontrol oleh motivasi mereka sendiri yang muncul secara spontan. Di kalangan masyarakat nomad, semangat kesukuan (‘ashabiyyah) berfungsi mempertinggi nilai-nilai kelompok. Sebaliknya dalam masyarakat hadharah, kekuatan seperti polisi, diperlukan sebagai kontrol sosial. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menempatkan ‘ashabiyyah orang-orang nomad umumnya ke dalam tempat yang baik. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa sifat-sifat manusia merupakan akibat dari pergaulan dengan lingkungannya. Dalam membahas sifat-sifat manusia beradab dengan manusia-nomad, seperti kecenderungan ilmiah, keterampilan, dan kerendahan hati, sebagai lawan dari kebutuhan orang nomad dan kebanggaan diri mereka. Ibnu Khaldun sampai pada suatu kesimpulan bahwa masyarakat hadharah tidak serta merta lebih baik daripada masyarakat nomad. Ashabiyyah, menurut Ibnu Khaldun, tampaknya untuk mengganti dari segala kebaikan masyarakat hadharah.[8]

Ibnu Khaldun menggambarkan bahwa perubahan masyarakat tersebut bergerak dari keadaan yang sederhana menuju keadaan yang lebih maju atau bersifat linier, meminjam istilah filsafat Auguste Comte. Dalam melihat perubahan masyarakat, Ibnu Khaldun menganalogikannya dengan usia manusia. Dalam hubungan ini, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak mungkin kekal untuk selamanya. Menurutnya, umur empat puluh tahun merupakan puncak pertambahan dan pertumbuhan kekuatan manusia. Bila mencapai umur empat puluh tahun, maka manusia berhenti sejenak untuk berkembang, kemudian mulai menuju gerak menurun. Sebuah masyarakat manusia ketika telah tumbuh, ia akan berkembang hingga mencapai puncaknya, kemudian mengalami kemunduran hingga hancur sama sekali.[9] Secara lebih jelas, Ibnu Khaldun, menggambarkan perubahan sebuah kekuasaan dalam negara. Persis sebagaimana manusia yang lahir dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, untuk kemudian tumbuh berkembang menjadi kanak-kanak, lalu remaja, dewasa dan tua, untuk akhirnya meninggal dunia. Dalam kekuasaan, perubahan seperti ini terjadi pula.[10]

Emile Durkheim dan Comte, memakai perspektif linearitas untuk melihat perubahan model solidaritas masyarakat. Ia menggambarkan masyarakat mengalami perubahan dari cirinya yang mekanik, yakni masyarakat tradisional yang membangun solidaritas atas dasar perasaan emosional dan saling tergantung satu sama lain, menuju masyarakat modern yang tertata secara organik, yang di dalamnya masyarakat terdeferensasi dan terspesialisasi. Sementara Comte, melihat perkembangan sejarah selalu dipengaruhi oleh perkembangan jiwa dan cara berfikir masyarakat yang selalu melahirkan hukum tiga tahap, yaitu bermula dari masyarakat teologis-primitif, menuju metafisis-tradisional, dan akhirnya memunculkan masyarakat positifistik. Ketiga tahapan baru telah muncul, maka ciri-ciri masyarakat lama telah ditinggalkan[11]

Ferdinan Tonnis menggambarkan perubahan masyarakat tradisional yang bercorak paguyuban (gemeinschaft). Dalam tahap ini masyarakat dipersatukan oleh perasaan, darah, tempat tinggal atau tanah, dan jiwa atau rasa kekerabatan, ketetanggaan serta persahabatan. Masyarakat sedemikian ini menurut Tonnies, akan digantikan atau ditinggalkan oleh masyarakat yang lebih percaya diri (gessellschaft) yang lebih rasional dan bertindak atas dasar kontrak atau perjanjian, sehingga menjunjung tinggi supremasi hukum, disiplin dan sikap yang zaklik.[12]

Paradigma Tonnies ini dilanjutkan Talcoot Parsons pemikir yang datang kemudian, yang membawa teori fungsialisme menjadi sangat terkenal, melihat masyarakat tidak dari sisi perubahan, tetapi justru dari keseimbangan. Perubahan dengan demikian diabaikan, kalau toh dinilai ada, perubahan itu bersifat gradual (evolusioner). Namun, Parsons membedakan karakteristik masyarakat terpola ke dalam dua variabel. Variabel pertama menggambarkan masyarakat tradisional yang memiliki ciri-ciri: mengedepankan perasaan (effectivity), mengarah kepada kolektifitas (collectivity orientation), bertindak atas dasar relasi-relasi khusus (particular), menekankan status bawaan (ascription), dan campur baur (diffiuseness). Variabel kedua adalah yang disebut dengan masyarakat modern dengan memiliki ciri: lebih berpola netral perasaan (affective neutrality), mengarah kepada diri sendiri (self orientation), bertindak atas dasar prinsip-prinsip umum (universalisme), menekankan status perolehan diri sendiri (achievement), dan ada spesifikasi (specificity).[13] Dengan demikian, makna perubahan sosial adalah perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, komunitas, atau organisasi, ia dapat menyangkut pola “nilai dan norma” atau “struktur sosial”.

Perubahan sosial yang terbesar dalam sepanjang abad Islam mungkin adalah apa yang telah dibawa oleh Muhammad saw. Melalui metode-metode yang dipakai telah mampu mengubah pola perilaku masyarakat dari yang suka berperang, suka membunuh anak perempuan, suka mabuk-mabukan menjadi masyarakat yang progresif, intelektual, terpelajar, dan yang terpenting, semua perilaku masa lalunya hilang ketika Muhammad mengubah sosio-kultural yang ada pada waktu itu. Muhammad adalah nabi sekaligus pemimpin yang terhebat sepanjang sejarah ini. Dan ini telah dibuktikan. Michael Hearts dalam bukunya “100 orang yang berpengaruh di dunia” menempatkan Muhammad diurutan pertama. Ajaran Islam yang dibawanya mampu mengakar kedalam sosio-kultural mereka, mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang intelektual. Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah evolusi. Proses itu digerakkan dengan mekanisme interaksi dan komunikasi sosial, dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang dicanangkan adalah strategi yang sesuai dengan nalar, fitrah, bakat, asaz atau tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Strategi atau apalah namanya yang diterapkan oleh Muhammad sebenarnya patut kita pelajari, mengapa dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun, Muhammad bisa mengubah masyarakat yang jahiliyah kepada masyarakat yang intelektual tadi. Bahkan bukan Cuma untuk kaum Arar saja, akan tetapi hampir seluruh dunia dihegemoni oleh fikroh atau pemikiran Muhammad tadi. Ini sangat jelas, mengapa dan ada apa dibalik dari strategi yang diterapkan oleh Muhammad. Suatu hipotesis yang perlu diketengahkan, bahwa sistem teologi yang dibawa oleh Muhammad sangat bertentang dengan sistem teologi yang ada dalam masyarakat jahiliyah.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan

Masyarakat dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”.[14] Senada dengan Marx Weber dan Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial hubungannya dengan perubahan hukum. Menurutnya, perubahan hukum itu akan dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya komulasi progresif dari penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik antar kehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).[15]

Menurut teori-teori di atas, jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial. Pengaruh-pengaruh unsur perubahan tersebut dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan fiqih Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran fiqih Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian fiqih Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya pembaruan fiqih Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan fiqih Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.[16] Di dalam masyarakat Islam itu sendiri sebenarnya terbagi menjadi dua dalam menerima perubahan dan tidak menerima perubahan. Masyarakat muslim yang tidak menerima perubahan adalah mereka untuk menyelamatkan iman dan agama mereka. Tidak menerima perubahan berarti tidak meneriman sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu adalah mungkin berbentuk ide, konsepsi, ataupun gagasan.

Selain daripada itu di atas, masyarakat Islam terbuka dalam perubahan sosial entah itu dalam sesuatu yang baru, ataupun karena asimilasi, difusi, dan akulturasi. Namun, ada juga masyarakat muslim yang menerima perubahan sosial tanpa batas. Demi untuk maju, semua perubahan dihalalkan. Apakah mengenai prinsip sosialnya atau cara pelaksanaannya. Dengan menerima prinsip yang bukan dari Islam, maka ia tergelincir kepada cara hidup yang bukan kepada Islam, walaupun sebenarnya ia masih beragama Islam atau mungkin bisa juga disebut materialisme, hedonisme, dan isme-isme yang baru. Karena sosiobudayanya tidak mengikuti dengan apa yang telah digariskan oleh Islam. Dan mereka yang menolak perubahan sosial menjadi statik. Prinsip dan cara pengalamannya hanya terhenti saat ada dalil naqli. Akal tidak mempunyai kewenangan untuk mengubahnya.

Dengan demikian perubahan sosial sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Sementara Islam memudahkan semua hal untuk berubah secara shahih dan aman. Artinya, agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.[17]

4. Fiqih Islam dan Perubahan Sosial

Untuk mengawal fiqih Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi ini ijtihad merupakan inner dynamic bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan. Umat Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid menyatakan bahwa:

“Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur‟an dan al-Hadis), jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnya bisa menghadapi sesuatu yang tidak terbatas”.[18]

Pesan moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu Rusyd di atas adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian, Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia. Mengingat fiqih Islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang penting, maka perlu ditegaskan aspek mana yang mengalami perubahan (wilayah ijtihadiyah). Dalam hal ini objek ijtihad itu dapat di bagi menjadi tiga bagian; pertama, ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash; kedua, ijtihad dalam melakukan qiyas terhadap hukum-hukum yang telah ada dan telah disepakati; dan ketiga, ijtihad dalam arti penggunaan ra‟yu. Pembagian objek ijtihad di atas mengacu pada dua pemeliharaan objek ijtihad yang luas. Pertama, adalah persoalan-persoalan yang sudah ada ketentuan nashnya, namun masih bersifat dzanny (dugaan). Terhadap objek yang seperti ini, cara yang ditempuh adalah penelitian dalam menentukan makna al-‘aam (umum) atau al-khash (khusus), al-mutlaq (mutlak) dan al-muqayyad (makna yang dibatasi). Kedua, persoalan-persoalan yang sama sekali belum ada nashnya. Pada hal yang semacam ini, maka pemecahannya dilakukan melalui ijtihad dengan menggunakan qiyas, istihsan dan dalil-dalil hukum lainnya.

Dalam masalah ijtihad terhadap hukum Islam, Azhar menyatakan: “Agama dalam pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia tentang ajarannya, terutama dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan di tengah-tengah masyarakat, mungkin berubah”[19] Perubahan dimaksud bukanlah perubahan secara tekstual, tetapi secara kontekstual.

Secara historis, landasan normatif ijtihad sebagai sumber hukum sekaligus sebagai metodologi istinbat hukum dalam rangka dinamisasi ajaran agama adalah dialog Rasulullah dengan sahabat Muadz Ibn Jabal yang menyatakan bahwa ia akan melakukan ijtihad bila tidak mendapatkan ketentuan hukum dalam al-Qur‟an dan Hadis dari suatu kasus hukum. Tidak terdapatnya penjelasan hukum dalam al-Qur‟an dan al-Hadis, menurut Syarifudin dapat dilihat dari dua segi sebagai berikut:

1.      Al-Qur‟an dan al-Hadis secara jelas dan langsung tidak menetapkannya, tidak secara keseluruhan dan tidak pula sebagiannya. Contoh pada kasus ini adalah gerakan kodifikasi al-Qur‟an dalam satu mushaf.

2.       al-Qur‟an dan al-Hadis memang tidak menyinggung hukum suatu kasus, namun secara tidak langsung atau bagiannya ada penjelasannya. Contoh hukum memukul kepala orangtua tidak ada aturan secara eksplisit dalam al-Qur‟an, tetapi ada larangan mengucapkan kata-kata kasar (uff) terhadap orangtua. Hukum memindahkan organ tubuh orang mati kepada orang yang masih hidup (tranplantasi) tidak ada ketentuan nashnya yang secara spesifik merujuk pada hal itu, namun ada larangan merusak jasad orang mati. Karena tidak jelas dan tidak langsungnya penjelasan al-Qur‟an dan al-Hadits, maka diperlukan upaya ijtihad.[20]

D. Hukum Islam dalam Dinamika Perubahan Sosial

Hukum Islam pada prinsipnya bersifat konstan; tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu. Pemikiran dan interpretasi umat Islam yang selalu berubah, sesuai dengan perubahan kondisi sosiohistoris, mobilitas sosial, dan dinamika kemajuan zaman. Hukum Islam dapat saja menerima interpretasi, sejauh tidak bertentangan dengan maksud, tujuan, dan hakikat syara’. Interpretasi ini kemudian menjadi fiqih imam mazhab dalam Islam. Atas dasar ini, Hukum Islam tersebut mencakup syara‟ dan juga hukum fiqih , karena arti syara‟ dan fiqih terkandung di dalamnya.[21]

Hukum Islam sangat elastis dalam dinamika perubahan sosial. Hukum Islam tumbuh dalam berbagai situasi dan kondisi yang mengitari umat Islam. Realitas ontologis hukum Islam ini, kemudian melahirkan epistemologi fiqh yang pada dasarnya merupakan resultante dan interaksi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya. Fakta sejarah tersebut menunjukan bahwa fiqh menjustifikasi pluralitas formulasi epistemologi hukum disebabkan adanya peran language games yang berbeda.

Karakteristik pemikiran mengenai hukum Islam mencuat pada gagasan yang orisinil dalam dinamisasi dan kontekstualisasi fiqh di kalangan umat Islam. Dalam pandangan salah seorang ulama di Indonesia, misalnya, ditegaskan bahwa prinsip al-mashlahah al-mursalah (kemaslahatan dalam perspektif syara‟), yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan serta sadd adz-dzari’ah (mencegah terjadinya kerusakan) merupakan grand theory dalam kontekstualisasi hukum Islam. Prinsip ini merupakan kombinasi dari prinsip-prinsip yang dipegang para imam mazhab, terutama aliran Madinah dan Kufah, yang terbukti mampu membawa ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat.[22]

Secara leksikal, maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Misalnya, menuntut ilmu dalam Islam itu mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin.[23] Formulasi kemaslahatan itu di atas, dalam kerangka “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syara‟.” Suatu kemaslahatan, harus seiring dengan tujuan syara‟, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang menjadi tolok ukur dari maslahat itu adalah tujuan dan kehendak syara‟, bukan didasarkan pada kehendak hawa nafsu manusia. Tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu pada prinsipnya mengacu pada aspek perwujudan kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Muatan maslahat itu mencakup kemaslahatan hidup di dunia maupun kemaslahatan hidup di akhirat. Atas dasar ini, kemaslahatan bukan hanya didasarkan pada pertimbangan akal dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu itu baik atau buruk, tetapi lebih jauh dari itu ialah sesuatu yang baik secara rasional juga harus sesuai dengan tujuan syara‟.

Mengacu kepada kepentingan dan kualitas kemaslahatan itu, pada prinsipnya penetapan-penetapan hukum (tasyri’) dalam Islam adalah dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan itu secara substantif-universal dengan mengklasifikasikan al-mashlahah itu kepada tiga jenis, sebagaimana juga dirumuskan secara general oleh para ahli hukum Islam lain.[24]

1.      mashlahah dharuriyah,

yaitu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini berkaitan dengan lima kebutuhan pokok, yang disebut dengan al-mashalih al-khamsah, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta.

Segala sesutu yang tidak sesuai dengan kelima unsur pokok di atas adalah bertentangan dengan tujuan syara‟. Karena itu, tindakan tersebut dilarang tegas dalam agama. Allah melarang murtad demi untuk memelihara agama; membunuh dilarang untuk memelihara jiwa, minum-minuman keras dilarang untuk memelihara akal sehat, berzina diharamkan untuk memelihara keturunan, dan mencuri atau merampok dilarang untuk memelihara kepemilikan terhadap harta.

2.      mashlahah hajiyah,

yaitu kemaslahatan yang keberadaannya dibutuhkan dalam menyempurnakan lima kemaslahatan pokok tersebut yang berupa keringanan demi untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar (basic need) manusia. Misalnya, rukhshah berupa kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, kebutuhan terhadap makan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, menuntut ilmu untuk mengasah otak dan akal, berniaga untuk mendapatkan harta. Semua ini disyari‟atkan untuk mendukung pelaksanaan kebutuhan lima pokok tersebut.

3.      mashlahah tahsiniyyah,

yaitu kemaslahatan yang bersifat pelengkap (komplementer) berupa keleluasaan yang dapat memberikan nilai plus bagi kemaslahatan sebelumnya. Kebutuhan dalam konteks ini perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Umpamanya, dianjurkan memakan yang bergizi, berpakaian yang rapi, melaksanakan ibadah-ibadah sunat, dan lain sebagainya.

Ditinjau dari dimensi cakupan kemaslahatan, para ahli mengklasifikasikan teori ini kepada dua hal.

1.    mashlahah ‘ammah, yaitu kemaslahatan umum yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak atau mayoritas umat. Misalnya, ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah dan dhalalah karena dapat merusak aqidah mayoritas umat.

2. mashlahah khasshah, yaitu kemaslahatan khusus yang berhubungan dengan kemalahatan individual. Misalnya, kemaslahatan yang berkenaan dengan pemutusan hubungan status perkawinan terhadap seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud).

Urgensi dari pengklasifikasian kedua jenis kemaslahatan ini berkaitan dengan skala prioritas manakala antara teori kemaslahatan umum dengan kemaslahatan individual terjadi perbenturan. Dalam konteks ini, mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi menjadi suatu keniscayaan.

Dalam aspek keberadaan mashlahah dalam perspektif syara‟ dan adanya keselarasan antara anggapan baik secara rasional dengan tujuan syara‟, diklasifikasikan kepada tiga hal.

1.      mashlahah mu’tabarah,

yaitu kemaslahatan yang berada dalam kalkulasi syara‟. Dalam hal ini ada dalil yang secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan itu, baik secara langsung ada indikator dalam syara‟ (munasib mu’atstsir) ataupun secara tidak langsung ada indikatornya (munasib mulaim). Misalnya, salah satu bentuk hukuman bagi pencuri adalah keharusan mengembalikan barang curian kepada pemiliknya, apabila masih utuh atau mengganti dengan sesuatu yang sama nilainya. Hukuman ini dianalogikan kepada ketentuan hukuman ghashab (orang yang mengambil harta orang lain tanpa izin) sebagai suatu keharusan mengambil barang orang lain tanpa izin pemiliknya.

2.      mashlahah mulghah,

yaitu bentuk kemaslahatan yang ditolak, karena bertentangan dengan ketentuan syara‟. Meskipun sesuatu itu secara rasio dianggap baik, tetapi syara‟ menetapkan hukum yang berbeda karena muatan maslahat itu. Misalnya, dewasa ini dengan alasan gender dan emansipasi wanita, secara rasional dapat diterima kedudukan yang sama antara hak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh harta warisan. Tetapi berdasarkan ketentuan syara‟, hak waris anak laki-laki tetap dua kali lipat hak anak perempuan.

3.       mashlahah mursalah, atau dalam beberapa literartur disebut juga dengan al-istishlah, mashlahah muthlaqah, atau munasib mursal.

Yaitu kemaslahatan yang eksistensinya tidak didukung syara‟ dan esensinya tidak pula ditolak melalui dalil yang terperinci, tetapi cakupan makna nash terkandung dalam substansinya. Dalam hal ini, sesuatu itu dalam anggapan baik secara rasio dengan pertimbangan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Sesuatu yang baik menurut rasio akan selaras dengan tujuan syara‟ dalam penetapan hukum, yang secara khusus tidak ada indikator dari syara‟ untuk menolak ataupun mengakui keberadaannya.

Mashahah mursalah dalam kedudukan sebagai metode ijtihad secara jelas juga digunakan oleh Imam Malik beserta penganut mazhab Maliki. Selain itu, mashlahah mursalah juga digunakan kalangan ulama non-Maliki sebagaimana dinukilkan pula oleh al-Syathibi.

Atas dasar kemaslahatan itu, dalam fiqh dikenal adanya siyasah syar’iyah, yakni suatu metode kebijaksanaan agar masyarakat lebih kondusif dan interest terhadap kebajikan dan menjauhi keburukan dan kerusakan. Substansi mashlahah mursalah ini yang digali melalui qiyas, kaidah umum (qawaid ‘ammah) hukum dan istihsan. Memang, hukum yang dinashkan syara‟ yang didasarkan atas ‘illat, bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, demikian versi Jumhur ulama.

Pendekatan qiyas semata dalam memecahkan masalah hukum, seperti konsep al-Syafi‟i, akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan. Karena, qiyas kadangkala tidak dapat memenuhi tuntutan perubahan kebutuhan masyarakat, sedangkan mashlahah mengalami perubahan secara kontinuitas.[25] Dalam konteks itu, konsep qiyas Malik yang berlandaskan mashlahah mursalah dan konsep ra’yu Abu Hanifah yang berlandaskan istihsan, selain mengandung makna yang sama, keduanya juga mengarah kepada terwujudnya satu tertib hukum yang mengayomi dan memberi kemaslahatan bagi masyarakat. Atas dasar ini, penggunaan prinsip mashlahah mursalah sebenarnya juga penggunaan qiyas. Differensiasinya, jika qiyas dikaitkan dengan nash tertentu, sedangkan mashlahah mursalah dihubungkan dengan jiwa syari‟at.

Kemaslahatan umum dalam perspektif hukum Islam adalah sesuatu yang prinsip. Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan fiqih Islam telah disepakati oleh para teoritisi hukum Islam. Grand theory ini kemudian dikombinasikan dengan sadd adz-dzari’ah (pencegahan terjadinya kerusakan). Sebagai suatu prinsip hukum, sadd adz-dzari’ah secara substantif digunakan sebagai dalil oleh para ahli fiqih Islam. Atas dasar prinsip sadd adz-dzari’ah ini, misalnya dalam konteks pemerintah dapat dibenarkan melakukan pengawasan atas nilai sewa, pemilikan tanah, penggunaan harta kekayaan dan sebagainya. Dasar pemikiran dengan berpegang pada dua prinsip ini, yakni al-mashlahah al-mursalah dan sadd adz-dzari’ah adalah karena kemaslahatan umum, keadilan dan kemanfaatan serta mencegah timbulnya kerusakan merupakan suatu hal yang rasional dan menjadi kebutuhan bagi ketenteraman dan kesejahteraan hidup manusia dalam dinamika perubahan sosial yang sangat cepat. Inilah tujuan yang paling signifikan dari penetapan hukum Islam.

Tujuan syara‟ secara substansial memang untuk terciptanya kemaslahatan umum (public interest) dalam kehidupan manusia tersebut. Kemaslahatan umum itu bersifat dinamis dan fleksibel yang seiring dengan lajunya perubahan sosial dan perkembangan zaman, yang merupakan ciri dalam dinamisasi fiqih Islam dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai dan tujuan syara‟ dengan pertimbangan kemaslahatan umum dan mencegah kerusakan menjadi solusi alternatif terhadap berbagai permasalahan kehidupan manusia dewasa ini yang makin kompleks.

E. Pendekatan Studi Islam

Bertitik tolak dari objek ijtihad di atas, ada dua corak penalaran yang perlu dikemukakan dalam upaya menggali maqashid al-syari’ah. Dua corak penalaran dalam berijtihad tersebut adalah; penalaran ta’lili, dan penalaran istislahi. Penalaran ta’lili adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan illat-illat hukum yang terdapat dalam suatu nash. Asumsi dasar dari penalaran ini bahwa nash-nash dalam masalah hukum sebagian diiringi dengan penyebutan illat-nya. Dalam kajian ushul fiqh, corak ta’lili ini mewujud dalam bentuk qiyas dan istihsan. Adapun penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan diri nash.

Kedua model penalaran di atas bertumpu pada penggunaan al-ra’yu. Oleh karena itu, terdapat tiga karakter yang melekat dalam dua pendekatan di atas. Pertama, pendekatan ini mencoba memahami ketentuan nash tanpa terikat secara kaku dengan bunyi teks dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mencari semangat moral yang terkandung dalam nash. Kedua, upaya mengganti pendekatan ta’abudi kepada pendekatan ta’aquli. Ketiga, upaya merumuskan illat hukum dan pesan moral nash dengan melihat setting sosial dan konteks zamannya. Dalam kaitan dengan dinamika masyarakat yang selalu berubah diiringi dengan munculnya masalah yang kompleks, maka dua corak atau pendekatan penalaran di atas tampak lebih responsif dan solutif dalam menjawab masalah hukum. Tawaran teoritik dua pendekatan ini adalah kerja ilmiah melalui deduksi analogis dengan dasar pijakannya kemaslahatan.

Salah satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi‟i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi‟i ketika beliau berada di Mesir. Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi‟i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq (Baghdad) dan Mesir. Dalam konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan. Dengan perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf. Dalam posisi demikian, fiqih Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial (social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Untuk menempatkan hukum pada posisi yang betul-betul fungsional dalam menghadapi setiap perubahan sosial, diperlukan terobosan metodologis disertai kemampuan membaca fenomena zaman. Banyak perangkat ilmu bantu yang bisa menopang perumusan hukum menjadi aplikatif, seperti ilmu-ilmu tafsir, tarikh, dan ilmu tata bahasa Arab. Diharapkan melalui pendekatan konvergensi antara ilmu ushul fiqh dan ilmu-ilmu lainnya akan dapat mengurangi formalisme fiqih Islam.

Dalam konteks ini, pemaknaan hukum Islam tidak harus dilihat dari perspektif nilai saja, tetapi perlu dicari keterkaitan secara organik dan struktural dalam kehidupan sosial. Di sinilah letak pentingnya fenomena transformasi pemikiran fiqih Islam, tidak hanya dilihat sebagai fenomena keagamaan saja. Transformasi pemikiran fiqih Islam di Indonesia merupakan suatu pergumulan kreatif antara Islam dengan masyarakat Indonesia, antara nilai-nilai Islam dengan kenyataan struktural masyarakat. Oleh karena itu, maka program pembaruan pemikiran hukum Islam adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses kehidupan masyarakat yang selalu berubah. Akan tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam (fiqh) diperlukan beberapa syarat;

1. adanya tingkat pendidikan yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat muslim;

2. Hukum Islam harus dipandang sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu;

3. memahami faktor sosio–kultural dan setting politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum agar dapat memahami partikularisme dari pemikiran hukum tersebut;

4. mengorientasikan istinbat hukum dari aspek qaulan (materi hukum) kepada aspek manhajan (kerangka metodologis).

Di samping itu, perlu juga memahami pemikiran hukum yang tidak dibatasi sekat-sekat madzhab. Keterbatasan alternatif yang dibingkai dengan sekat madzhab akan menghasilkan produk pemikiran yang rigid (kaku) dan akan mempersulit upaya pembaruan hukum Islam itu sendiri.

 

C. PENUTUP.

KESIMPULAN

Jadi konsep hukum Islam dalam perubahan sosial itu ada. Bahkan Allah pun menyuruh masyarakat untuk berubah. Akan tetapi, ada beberapa jenis masyarakat muslim yang mau melakukan perubahan sosial karena mereka ingin menjadikan Islam itu agama yang fleksibel. Tapi bukan dalam hal yang prinsip. Namun ada juga masyarakat Islam yang begitu mereka melakukan perubahan sosial, prinsip-prinsip yang telah Allah gariskan telah hilang dalam perubahan mereka. Artinya Islam sudah menjadi agama kenangan. Akan tetapi ada juga masyarakat Islam yang sama sekali tidak ingin melakukan perubahan. Akhirnya, mereka terjebak pada satu agama yang statika atau tidak berubah kemudian mereka menjadi terbelakang.

Memahami konsep perubahan sosial dalam Islam memang tidak mudah. Karena kita juga akan bersinggungan dengan hal-hal yang baru dalam Islam, dimana Islam sebenarnya mengatur tapi tidak dijelaskan secara detail. Maka dalam hal ini, sebagai masyarakat muslim yang intelektual seharusnya memahami hukum-hukum yang seharusnya dipelajari secara mendalam, seperti fiqh muwazanat, fiqh aulawiyat, hukum kemenangan dan kejayaan, dan mungkin zaman terus akan berlanjut maka akan bermunculan hukum-hukum yang baru. “Jikalau tidak ada hukum-hukum yang baru atau suatu aturan untuk menyamakan kualitas dan kuantitas agama dalam peredaran zaman, maka sesungguhnya Islam ini hanya akan menjadi suatu agama yang catatan sejarahnya berhenti sampai di situ.”


DAFTAR PUSTAKA

 

A. Hassan. 1994. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: PT al-Ma‟arif.

 

Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. tt. I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin. Bairut: Daar al-Fikr.

 

Ali, Mohammad Daud,  Hukum Islam. Jakarta: Rajawali press, 1998

 

Ash-Shiddiqie, M. Hasbi. 1993. Falsafah Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

 

As-Syatibi, Abu Ishaq. 1996. Konsep Maqhashid Syari’ah. Jakarta: Rajawali Press.

 

Azhar, Muhammad. 1996. Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Az-Zarqa, Musthafa Muhammad. 2000. Fiqih Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Baali, Fuad dan Ali Wardi. 1981. Ibnu Khaldun and Islamic Thought-Styles. Massachusetta: G.K. Hall and Co Boston.

 

Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Ibn Rusyd. tt. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah.

 

Khaldun, Ibnu. 2000. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Ter. Ahmadi Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.

 

Mas‟ud, Muhammad Khalid. Hukum Islam dan Perubahan Sosial, alih bahasa Yudian W. Asmin,Cet. 1, Al-Ikhlas, Surabaya, 1995,

 

M. Atho‟ Muzdhar. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

 

Syihab, Umar. Hukum Islam dan Transpornasi pemikiran, Cet. I: Dina Utama semarang; Semarang, 1996.

 

Soekanto, Soerjono. 1994. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

 

Soesanto, Astrid S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta.

 

Syamsul, dkk. 1996. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sipres.

 

Syarifudin, Amir. 1999. Ilmu Ushul Fiqh 2. Jakarta: Logos.

 

Syarifuddin, Amir. Meretas Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002),

 

Uways, Abdul Halim. 1998. Fiqh Statis Dinamis. Bandung: Pustaka Hidayah.

 

Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.

 

Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman. 1996. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung: PT Al-Ma‟arif.

 

Zainuddin, A. Rahman. 1992. Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Utama.

 



                        [1] Muhammad Khalid Mas‟ud, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, alih bahasa Yudian W. Asmin,Cet. 1, Al-Ikhlas, Surabaya, 1995, hal 23.

                        [2] Amir Syarifuddin, Meretas Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 3.

                [3] Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al_Ma’arif, 1986), cet. Ke-10, h 15.

                [4] Ali, Mohammad Daud,  Hukum Islam. (Jakarta: Rajawali press, 1998).,hal 235.

[5] Umar syihab, Hukum Islam dan Transpornasi pemikiran, (Cet. I: Dina Utama semarang; Semarang, 1996), h. 8.

                        [6] Maqasid al-Syari‟ah atau tujuan-tujuan hukum Islam adalah dalam rangka memelihara dan melindungi kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara dalam tiga bagian yaitu : Dharuriyyat, Hajiyat, dan Tahsiniyyat. Lihat Asy-Syatibhibi, al-Muwafaqat Fi Ushul qal-Ahkam, Jilid. 2, Tnp, Cario, 1969, hal.4.

[7] Khaldun, Ibnu. 2000. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Ter. Ahmadi Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, h. 71-72

[8] Baali, Fuad dan Ali Wardi. 1981. Ibnu Khaldun and Islamic Thought-Styles. Massachusetta: G.K. Hall and Co Boston. h. 108

[9] Khaldun, op.cit. h. 433

[10] Zainuddin, A. Rahman. 1992. Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Utama. h. 58

[11] Fuad Baali dan Ali Wardi, op.cit : 201-203

[12] Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia, h. 127-128

[13] Veeger, K.J, op.cit.h. 205-206

[14] Az-Zarqa, Musthafa Muhammad. 2000. Fiqih Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana. Jakarta: Rineka Cipta, h. 45

[15] Soekanto, Soerjono. 1994. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, h. 96

[16] Azhar, Muhammad. 1996. Fiqh Kontemporer dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h. 69-7

[17] Uways, Abdul Halim. 1998. Fiqh Statis Dinamis. Bandung: Pustaka Hidayah. h. 221

[18] Ibn Rusyd. tt. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Indonesia: Daar al-Kutub al-Arabiyyah. h. 2

[19] Azhar, Op. Cit.  h. 58

[20] Syarifudin, Amir. 1999. Ilmu Ushul Fiqh 2. Jakarta: Logos. h. 287

[21] Syarifudin, Op.Cit h. 18

[22] Ash-Shiddiqie, M. Hasbi. 1993. Falsafah Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang. h. 32

[23] A. Hassan. 1994. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: PT al-Ma‟arif. h. 3-4

[24] As-Syatibi, Abu Ishaq. 1996. Konsep Maqhashid Syari’ah. Jakarta: Rajawali Press. h. 8-12

[25] Ash-Shiddiqie, M. Hasbi. 1993. Falsafah Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang. h. 33-35

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: