Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 30 Maret 2021

Widgets

TAFSIR AYAT-AYAT POLIGAMI

 

Perlu kita membahas ayat-ayat poligami dan pandangan para mufassir dan feminis dalam menafsirkan ayat poligami yaitu surat an-Nisa’ ayat : 3 sebagai berikut :

÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès?

Artinya:  Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (an-Nisa’: 3)

Sebelum menginjak pada tafsir ayat diatas perlu kita melihat asbabun nuzul ayat ini lebih dahulu. Dalam pangkal ayat ini terdapat lanjutan tentang memelihara anak yatim dan juga Allah mengizinkan untuk beristri lebih dari satu, yaitu sampai dengan empat. Untuk mengetahui duduk persoalan, lebih baik diterangkan riwayat Aisyah istri Rosulullah, tentang sebab turunya ayat ini, karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair, anak Asma kakak Aisyah, yang sering bertanya kepadanya tentang masalah agama yang musykil. Urwah bertanya bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri lebih dari satu sampai empat, dengan alasan memelihara hak anak yatim. Aisyah menjawab : ” Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, dan telah tercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik pada harta dan kecantikan anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secara adil, sebagaimana pembayaran mahar  dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu, kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lain. Daripada melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dianjurkan lebih baik menikah dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat”[1]

      a. Ulama Tafsir

Ulama Tafsir memahami dan menafsirkan ayat di atas sebagaimana berikut ini. Imam Ath-Thabari memahami ayat di atas dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih lanjut menurut Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun “jika khawatir” tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu miliki, karena mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak tidak menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap perempuan.[2]

Dari penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat jelas beliau menekankan untuk berlaku adil bagi kaum lelaki baik terhadap hak-hak anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai empat orang istri dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat tersebut tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh setiap laki-laki.[3] Adapun syarat-syaratnya, sebagaimana disebuatkan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitabnya “Pembebasan Wanita” sebagai berikut :

1. Tidak lebih dari 4 (empat) istri, sebagaimana al-Qur’an 4:3.

2.  Mampu memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggunganya.

3. Mampu memeliara istri-istri dan nanak-anaknya dengan baik.

4. Dapat berbuat adil.[4] 

            Berbeda dengan Ath-Thabari, ar-Razi menambahkan bahwa firman Allah : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا (jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil) sebagai syarat, dan فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ  (maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi) sebagai suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan yang disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut di atas.[5]

            Menurut ar-Razi, untuk menjawab pertanyaan tersebut, dikalangan para mufassir ada empat alasan :

1. Karena adanya wali yang tertarik kepada kecantikan dan harta anak yatim perempuan dan bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar mahar. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut ini.

”Bahwa Urwah bin Zubair telah bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah), apa maksud firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى Aisyah menjawab: ” wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan pada kecantikan anak itu. Maka bermaksudlah dia untuk menikahinya dengan memberi mahar yang paling rendah, kemudian ia menggaulinya dengan cara yang tidak baik. “Oleh karena itu, Allah berfirman, jika kamu khawatir akan menganiaya terhadap anak-anak yatim ketika kamu menikahi mereka, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu suka. Aisyah meneruskan pembicaraanya: “Kemudian ada orang meminta fatwa kepada Rosulullah tentang perempuan-perempuan itu  sesudah ayat ini turun. Selanjutnya turunlah ayat (surat an-Nisa’ juga ayat 127). Mereka meminta fatwa kepadamu  tentang perempuan-perempuan. Katakanlah : Allah akan memberi keterangan kepadamu di dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan yang kamu tidak mau memberikan apa yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu menikahinya. Kata Aisyah selanjutnya: “Yang dimaksud dengan yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini  ialah ayat yang pertama itu, yaitu jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan  (lain) yang kamu senangi,”[6]

2. Karena adanya lelaki yang berpoligami tetapi tidak memberi hak-hak istri-istrinya dan tidak berlaku adil terhadap mereka.[7]

3.   Karena adanya lelaki yang engan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak yatim perempuan, disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya akan tetapi dia takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, sementara dia takut juga dari dosa zina, maka hendaknya menikahi saja perempuan-perempuan yang dihalalkan baginya.[8]

4.  Karena adanya seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi anak-anak yatim tetapi tidak mampu memberikan nafkah kepada istri-istri mereka, maka mereka mengambil harta anak anak yatim yang ada padanya untuk diberikan kepada istri-istri mereka. Ketika seorang lelaki tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak yatim karena banyak istri maka dilarang untuk berpoligami. Sebagaimana disebutkana dalam riwayat Ikrimah dibawah ini.

”Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa ia berkata: ” Ada seorang laki-laki yang memiliki banyak istri, dan ia juga mengayomi anak-anak yatim. Ketika ia menafkahkan harta pribadinya  untuk istri-istrinya dan tidaklah cukup harta tersebut, karena ia banyak kebutuhan, maka diambillah harta anak yatim untuk menafkahi mereka. Allah berfirman: Jika kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak-anak yatim, karena kamu banyak istri, maka dilarang bagi kamu menikahi lebih dari empat istri, supaya kamu bebas dari ketakutan itu. Jika kamu masih takut dengan beristri empat , maka nikahlah dengan seorang istri saja. Ingatlah, batas maksimal (paling banyak) adalah emapt orang, dan batas minimal adalah satu orang, dan diperingatkan antara keduanya. Maka Allah juga mengatakan: Jika kamu khawatir dengan empat orang, maka nikahilah tiga orang, jika kamu khawatir dengan tiga orang maka nikahilah dua orang, jika kamu khawatir dengan dua orang, maka nikahilah satu orang orang saja. Penafsiran ini lebih dekat, seolah-olah Allah mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi ia akan terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam asuhannya, untuk menutupi kebutuhan nafkah yang banyak disebabkan ia memiliki istri yang banyak.[9]

Berdasarkan penjelasan diatas, baik Ath-Thabari maupun ar-Razi, memahami ayat tersebut masih dalam kaitanya dengan perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga keharusan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi. At-Thabari mengatakan : “Jika kamu khawatir tidk mampu berlaku adil terhadap anak yatim, demikian juga terhadap perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, maka janganlah kamu nikahi mereka walaupun hanya satu orang. Tetapi cukuplah kamu menikahi budak-budak yang kamu miliki. Sebab mengawini budaknya sendiri lebih memungkinkah untuk tidak berbuat penyelewengan (semena-mena terhadap perempuan).

Sementara itu, ar-Razi berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain sebanyak yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Dan jangan menikahi lebih dari empat orang istri, agar hilang kekhawatiran tersebut. Namun jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap empat orang istri maka seorang istri lebih baik bagi mereka. Kemudian ar-Razi memperingatkan bahwa batas maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu orang istri. Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-boleh saja, asal kamu mampu berlaku adil.[10] 

     b. Pandangan Ulama Tentang Poligami

            Sebelumnya telah kita bahas poligami dalam pandangan kaum liberal dan feminis, pada pembahasan ini kita akan melihat, bagaimana pandangan ulama terhadap poligami. Pada umumnya yang dijadikan dasar kebolehan dan tidak bolehnya melakukan poligami adalah al-Qur’an surah An-Nisa: 3 dan 129, maka perlu kita melihat pendapat para ulama tentang kedua ayat tersebut.

1.  Pendapat ulama klasik

Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat). Hingga abad ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya poligami, dan semuanya sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Sebab kebolehannya telah didasarkan pada dalil yang qath’i (pasti).[11]

Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, sepakat bahwa poligami itu mubah. Hal ini dapat kita lihat pendapat mereka dalam kitab “al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah“, pada pembahasan pembagian nafkah dan bermalam kepada para istri.[12]

Demikian juga bisa kita lihat, dalam pembahasan sebelumnya pendapat ulama terutama para (mufassir), baik Thabari ataupun Ar-Razi, bahwa poligami adalah dibolehkan selama bisa berlaku adil. Sedangkan ulama yang lain yaitu Al-Jashshash yang juga intensif mengupas poligami, menurut Jashshash bahwa poligami bersifat boleh (mubah). Kebolehan ini juga disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil diantara para istri, termasuk material, seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan sejenisnya. Kedua kebutuhan non material, seperti rasa kasih sayang, kecendrungan hati dan semacamnya. Namun dia memberikan catatan, bahwa kemampuan berbuat adil di bidang non material ini amat berat.[13] Demikian juga Zamahsyari berpandangan bahwa poligami adalah dibolehkan, bahkan pandangan jumlah wanita yang boleh dinikahi bagi laki-laki yang bisa berbuat adil, bukan empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan. Dengan menjumlahkan dua tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan.[14]

Para ilmuan klasik (fuqaha) berpendapat, bahwa Allah mengizinkan menikahi empat wanita. Menurut mereka, walaupun kebolehan di sini ditambah dengan kondisi yang tidak mungkin ditunaikan, keadilan dalam kasih sayang, perasaan, cinta dan semacamnya, namun, selama kemampuan berbuat adil di bidang nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan, izin untuk berpoligami menjadi sesuatu yang bisa diperoleh. Alasan yang mereka kemukakan untuk mendudung ide ini adalah, bahwa nabi sendiri pernah berkata hubungannya dengan ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal kebutuhan batin.[15]

2. Pendapat Ulama Kontenporer.

Sebagaimana telah kita paparkan diatas pendapat ulama klasik dalam poligami, dan perlu juga kita membaca bagaimana pandangan pemikir kontemporer dalam menyikapi poligami.

Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut disini termasuk dalam bidang nafkah, mu’amalat, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.[16]

Berbeda dengan Sayyid Qutub bahwa Muhamammad Abduh dengan sengit menentang poligami karena dianggap menjadi sumber kerusakan di Mesir, dan dengan tegas menyatakan bahwa, adalah tidak mungkin mendidik bangsa Mesir dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami yang bobrok ini masih dipraktekkan secara luas.[17] Dan bahkan beliau pernah mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar pemerintah mesir melarang poligami diluar kondisi darurat yang membenarkannya dan tidak membuat kerusakan.[18] Muhammad Abduh juga berpendapat. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar (bahaya) seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.[19]

Sedangkan M. Syahrul berpendapat, bahwa menikah (poligami) adalah boleh dengan keyakinan bisa berbuat adil pada anak-anak yatim. Ini artinya istri kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi harus janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.[20]



[1] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili Al-Qur’an, (Muassasah Al-Risalah, , Cetakan pertama, 2000), V, hlm. 532.

[2] Ibid, V:540-541.

[3] Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2003), hlm. 214.

[4] Abdul Halim Abu Syuqqah, Pembebasan Wanita, hlm. 388-389.

[5] Imam Fahruddin ar-Razi, Mafaatihu al-Ghoib, (Beirut: Darul Kutub, 2000), Cet. IX , hlm. 139

[6] Ibid, IX: hlm.139.

[7] Ibid, IX : hlm.140.

[8] Ibid, IX : hlm.140.

[9] Ibid, IX : hlm. 140.

[10] Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, hlm.218-219.

[11] Abdurrahim Faris Abu Lu’bah, Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri, (Disertasi Doktor), (Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah Kulliyah Asy-Syariah li Dar al-Fatwa Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005), hlm. 360

[12] Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut : Darul Fikr, 1996), Juz IV hlm. 206-217.

[13] Al-Jashshash, Ahkam Al-Qur’an,(Beirut: Dar Al-Kitab Al-Islamiya), II.50.

[14] Zamahsyari, Al-Kasyaaf, http://www.altafsir.com.I. Hlm. 373

[15] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami sebuah studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 99.

[16] Sayyid Qutub, Tafsir fi dhilali al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1961), IV. Hlm. 236.

[17] Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, hlm.56.

[18] Ibid, hlm. 57.

[19] Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirutdar Al-Fikr,tt.IV) hal. 350.

[20] M. Nashirudin,-Sidik Hasan, Poros-poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan Pemikiran Muslim, (Surabaya: Jaring Pena, 2009), hlm. 249.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: