Jumat, 08 Juni 2018
IBTHOLUL QIYAS (PEMBATALAN QIYAS) Dalam kitab al-Ihkam fi Usulul Ahkam, Ibnu Hazm az-Zhohiri
I.
Pendahuluan
Dalam sketsa pemikiran hukum dikenal
bahwa Qiyas (Analogical Reasoning) merupakan suatu metode penetapan hukum yang
menempati posisi keempat dalam kerangka pemikiran hukum (Ushul Fiqh). Para
ulama dan praktisi hukum menilai bahwa semua produk hukum fiqh yang dihasilkan
oleh metode Qiyas ini benar-benar valid dan memiliki kekuatan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Secara metodologi dan operasional, Qiyas
merupakan upaya menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain yang
memiliki justifikasi hukum dengan melihat adanya persamaan kausa hukum
(‘illat). Dengan adanya persamaan kausa inilah, maka kasus yang pertama itu
ditetapkan dan diberikan ketentuan hukumnya.
Imam Syafi’i sebagai perintis pertama
metode Qiyas ini membuat kualifikasi ketat terhadap unsur-unsur yang ada pada
qiyas. Baginya Qiyas dapat berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang valid jika
keempat syaratnya terpenuhi yaitu ashl, hukm ashl, furu’ dan ‘illat. Keempat
syarat ini harus benar-benar terpenuhi apalagi dalam hal mencari ‘illat hukum,
karena untuk mencari ‘illat hukum diharuskan memiliki kualitas intelektual yang
tinggi dan analisis yang tajam. Banyak produk-produk hukum fiqh yang bertumpu
pada metode qiyas seperti halnya penerapan zakat profesi, dan seperti kasus
klasik dalam hal pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah sesudah wafatnya nabi
dan beberapa kasus lain yang serupa.
II. Pembahasan
A.
Sejarah singkat Ibnu Hazm az-Zhohiri
Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun
fahamnya dengan memahami sumber ajaran Islam secara tekstual. Mazhab ini
berkembang sejak abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Mazhab ini pertama kali
dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-Isfahani
(202-270 H) . Daud
al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di Baghdad pada
tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz,
dan pendiri Madzhab al-Zhahiri.
Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya
di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya
sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri. sejumlah
besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat,
haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut
informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam)
sudah tidak ada lagi [1]
Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat
kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer
dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.
Pada abad
ke-lima yakni di saat mazhab Zahiriyyah mulai mundur di belahan dunia timur,
akan tetapi sebaliknya di belahan dunia barat, tepatnya di Spanyol justeru
muncul Ibnu Hazm yang menyebarkan dan membangun mazhab Zahiriyyah, sehingga
mazhab Zahiriyyah menjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak. [2]
Munculnya
Ibnu Hazm di Barat bukan berarti mazhab Zahiriyyah baru dikenal di Spanyol pada
priode Ibnu Hazm tersebut. pada akir abad ke-tiga Baqi bin Bukhalat (200-276
H), Ibnu Waddah (w. 286 H) dan Qasim bin Asbagh (w. 340 H) ketiganya ahli fikih
dari Spanyol, sekembalinya menuntut ilmu dari dunia timur, mereka membawa
ajaran mazhab Zahiriyyah ke Spanyol. Bahkan terdapat ulama fikih dari
Iraq yang berkunjung ke Spanyol dengan membawa mazhab Zahiriyyah tersebut.
Ibnu Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab
Zahiriyyah berkembang pesat di dunia Barat. Ibnu Hazam menulis berbagai karya
dan mengkader beberapa orang muridnya sebagai upaya mengembangkan dan
memperjuangkan mazhab Zahiriyyah, sehingga menurut penilaian Muhammad Abu
Zahrah (w. 1394 H) seorang fakih kontemporer Mesir, tidak terdapat tokoh di
Spanyol yang tidak memiliki tokoh yang bermazhab Zahiriyyah, dan tidak ada di
pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab Zahiriyyah.
B.
Pengertian Qiyas
Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari
kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. Secara
etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan
sesuatu dengan sejenisnya[3].
Qiyas berarti, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si
A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh
yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti
mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula
membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqih qiyas berarti menetapkan hukum
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu[4]
Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam
yang keempat setelah Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Yakni cara
mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang
memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam
nash.
الكتاب
من المتقدم خبر على الموافقة الدلائل طلب ما هو والقياس
والسنة
“Qiyas
adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar
yang sudah ada dalam al-Qur’an dan sunnah”.
B. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan
di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat
unsur berikut:
1. Ashal
(asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (الاصل)
atau maqis ‘alaih (المقيس عليه) atau musyabbah bih (مشبه به).
2. Faru’
(cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau
yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u (الفرع) atau al-maqis
(المقيس) atau al-musyabbah (المشبه).
3. Hukum
ashal (حكم الاصل); yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian
akan menjadi hukum pula bagi cabang.
4. Illat
(العلة); yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat
yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’.[5]
Syarat-syarat
illat antara lain adalah:
1. Illat
itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra
2. Merupaka
sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada
furu’ dan tidak mudah berubah
3. Merupakan
sifat yang munasabah , yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya
4. Merupakan
sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa
satuan hukum yang bukan asl
Sebagai contoh ialah menjual harta anak
yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut far’u. untuk
menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa
kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan
firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Persamaan
‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau
habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak
yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
-
Ashal, ialah memakan harta anak yatim
-
Far’u, ialah menjual harta anak yatim
-
Hukum ashal, ialah haram
-
‘Illlat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.[6]
C.
Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: Qiyas ‘illat, Qiyas dalalah dan Qiyas
syibih.
- Qiyas ‘illat
Qiyas ‘illat
ialah qiyas yang mempersamakan ashl dengan far’u, karena keduanya mempunyai persamaan
‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
a. Qiyas
jali, ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada
kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali
terbagi menjadi:
- Qiyas
yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat
larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash.
- Qiyas
mulawi ialah yang hukum pada far’u sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding
dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata “ah” kepada
kedua orang tua berdasarkan firman Allah SWT:
فَلَا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” (Q.S al-Isra’: 23)
‘illatnya ialah menyakiti hati kedua
orang tua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa itu nyatalah
bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan
“ah” yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang
ditetapkan bagi far’u lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada
ashal.
- Qiyas
musawi, ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada far’u sebanding dengan hukum
yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada
memakan harta anak yatim. ‘illatnya adalah sama-sama menghabiskan harta anak
yatim.
Memakan
harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S an-Nisa’: 10).
Karena
itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua
peristwa ini nampak hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan
hukum yang ditetapkan pada far’u.
b. Qiyas
khafi, ialah qiyas yang ‘illatnya munkin dijadikan ‘illat dan munkin pula tidak
dijadikan ‘illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung buas kepada sisa
minuman binatang buas. ‘illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum
dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu.
‘illat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula
tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut
burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah
suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah
haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di
sini adalah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
- Qiyas dalalah
Qiyas dalalah
ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang
menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya
atau tidak. Cara ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta
orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan ‘illatnya, yaitu
kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi madzhab
Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, tetapi
kepada ibadat, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadat hanya diwajibkan
kepada orang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi
tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu ia
anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi
syarat-syarat zakat.
- Qiyas syibih
Qiyas syibih
adalah qiyas yang far’u dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi
diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan far’u. seperti hukum
merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena
kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda,
karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada
harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada
orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjual-belikan, diberikan
kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.[7]
Dilihat
dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada far’u dibandingkan yang terdapat
pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi, yaitu:
1. Qiyas
al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum ashl,
karena ‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat dari yang ada pada ashl.
Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.
Dalam
surat al-Isra’, 17:23 Allah berfirman:
Artinya
: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
(Q.S al-Isra’, 17: 23)
Para
ulama ushul fiqh mengatakan bahwa ‘illat larangan ini adalah menyakiti orang
tua. Keharaman memukul orang tua lebih kuat daripada sekedar mengatakan “ah”
karena sifat “menyakiti” melalui pukulan lebih kuat dari ucapan “ah”.
- Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas ‘illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam surat al-Nisa’, 2:2:
وَءَاتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ
وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ
إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
(yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu.
(Q.S an-Nisa’, 4: 2)
Ayat
ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul
fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara
tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu
sama-sama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim.
- Qiyas al-adna, yaitu ‘illat yang ada pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan ‘illat yang ada pada far’u sangat lemah disbanding ikatan ‘illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan. Dalam hadits Rosulullah saw. Dikatakan bahwa benda sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas, maka perbedaan itu menjadi riba fadhl. Dalam hadits tersebut diantaranya disebutkan gandum (H.R Bukhori Muslim). Oleh sebab itu, Imam al-Syafi’I mengatakan bahwa dalam jual beli apel pun bisa berlaku riba fadhl. Akan tetapi, berlakunya hukum riba pada apel lebih lemah dibandingkan dengan yang berlaku pada gandum, karena ‘illat riba al-fadhl pada gandum lebih kuat.[8]
D. Kehujjahan Qiyas dan Pembatalannya
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat
terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama
ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau
sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’ edangkan sebahagian ulama berpenderian
bahwa qiyas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum syara’.[9]
Pandangan ulama mengenai kehujjatan
qiyas qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma
ulama.
2. Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui
sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan
suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan
hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok
yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits
4.
Ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas
wajib diamalkan dalam dua hal saja,
yaitu :
1. Illatnya manshush
(disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum
far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili
mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi
dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang
dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai
dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama
mu’tazilah Irak.
Alasan
penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut
kelompok yang menolaknya adalah :
•
Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
Artiny
: “Hai orang – orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya…”.
Ayat ini menurut mereka melarang
seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan
sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu
diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang. Selanjutnya dalam
surat al-Isra’, 17:36 Allah berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya
: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya “.
Ayat
tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang
tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu berdasarkan ayat tersebut qiyas
dilarang untuk diamalkan.
Alasan
– alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan,
menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dia haramkan sesuatu, maka
jangan kamu langgat larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai
rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu”.
Hadits tersebut menurut mereka
menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan
adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma’afkan dan mubah
(boleh). Apabila di qiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib,
misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang
dima’afkan atau dibolehkan.
Sedangkan
jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam
hukum syara’ mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah :
Surat
al-Hasyr, 59 : 2
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَار
Artinya
: “maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang – orang yang
mempunyai pandangan”.
Ayat
tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap
kaum kafir dari Bani Nadhir di sebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah.
Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai
I’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur
ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang
disebut Allah dengan al-I’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya
Ayat
lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung
illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
•
Surat al-Baqarah 2 : 222 :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, “haid itu adalah
kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid”.
• Surat
al-Maidah 5 : 91 :
“Sesungguhnya
setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu,
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).
•
Surat al-Maidah 5:6
.”Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu … “
Alasan
jumhur ulama dari hadits rasululah adalah riwayat dari Muadz Ibn Jabal yang
amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadli.
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui
ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui
akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab
mendatangi Rasulullah seraya berkata :
“Pada
hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya,
sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”. Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :
“bagaimana
pendapatmu jika kamu berkumur – kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu
batal ?, Umar menjawab, “tidak”, lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu
kenapa engkau sampai menyesal ?”. (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar
Ibn al-Khatthab)
Dalam
hadits tersebut Rasulullah mengqiyaskan mencium istri dengan berkumur – kumur,
yang keduanya sama – sama tidak membatalkan puasa.
Contoh Penerapan Qiyas dalam Ekonomi
Islam
Memahami bunga bank dari aspek legal-formal
dan secara induktif, berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba yang diambil
dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral dalam
pengharamannya[10].
Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan
ada tambahan atau manfaat dari modal adalah riba, walaupun tidak berlipat
ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku bunga bank tetap haram. Karena
berdasarkan teori qiyâs, kasus yang akan di-qiyas-kan (fara’) dan kasus yang
di-qiyas-kan (asal) keduanya harus disandarkan pada illat jâlî (illat yang
jelas). Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat
yang sama, yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan
demikian, bunga bank sama hukumnya dengan riba.
Adapun
di antara tokoh-tokoh fikih Islam kontemporer yang menganut paradigma ini
adalah Abû Zahrah, Wahbah Zuhayli, Yûsûf al-Qardawi (masing-masing ahli fikih
Timur Tengah), Abdul Mannan, Syafi’i Antonio, Adiwarman Azwar Karim
(masing-masing ahli hukum Islam dan praktisi perbankan Islam Indonesia).
Yûsûf al-Qardawi berpendapat bahwa riba
yang diharamkan dalam Al-Qur’an tidak membutuhkan penjelasan dan pembahasan
lebih lanjut, karena tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia
yang tidak mereka ketahui bentuknya. Pemahaman riba sesuai yang tertuang dalam
Q.S Al-Baqarah [2]:278-279
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ( فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
menunjukkan segala kelebihan dari modal
adalah riba, sedikit maupun banyak. Maka setiap tambahan bagi modal yang
disyaratkan atau ditentukan terlebih dahulu, karena adanya unsur tenggang waktu
semata adalah riba[11].
Adapun Syafi'i Antonio yang merupakan
praktisi dan akademisi ekonomi Islam di Indonesia, terkait dengan bunga bank,
mengatakan bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi
itu hanya sifat. Artinya, besar atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat
umum riba adalah berlipat ganda (Antonio, 1999:82).
Sementara
dari segi konteks atau illat, pengharaman riba dalam Alquran adalah
karena adanya faktor zulm, yaitu memungut tambahan utang dari
pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara konteks bank adalah niaga (tijârah)
untuk mencari keuntungan bersama antara pihak yang punya modal (investor),
pihak yang membutuhkan modal (debitur/pengusaha), dan pihak perbankan sebagai
mediator dan penyedia jasa. Sehingga sama sekali tidak ada kaitannya dengan
tolong menolong antara si kaya dan si miskin, melainkan upaya kerjasama dalam
mengembangkan modal dengan menjadikan bank sebagai mediator antara penabung,
pengusaha dan bank [12].
Karena itu, aspek aniaya (ketidakadilan) di sini amat kecil kemungkinan terjadi
sebab masing-masing pihak telah saling rela dan mengetahui hak serta
kewajibannya masing-masing.
Dengan
konsep seperti itu, akhirnya mereka sampai kepada satu kesimpulan bahwa antara
riba dengan bunga bank memiliki konteks dan esensi yang berbeda. Riba dianggap
kelebihan yang diambil dari pinjaman yang ditujukan untuk keperluan konsumtif,
sedangkan bunga bank adalah kelebihan atas pinjaman yang ditujukan dalam
rangka, kebutuhan produktif.
Dengan analisis seperti itu, penganut
paradigma ini mengharuskan mereka, meninggalkan qiyâs dan lebih memilih
mengambil metode istihsân sebagai dasar untuk sampai kepada suatu
konklusi hukum yang dianggap lebih tepat untuk dijalankan[13].
Di antara tokoh dan ahli hukum Islam yang menganut paradigma kontekstual dalam
menilai permasalahan bunga bank adalah Munawir Syadzali, Quraish Shihab, Umar
Shihab dan M. Dawam Raharjo (masing-masing adalah ulama fikih dan
cendekiawan muslim Indonesia). Demikian pula, Fazlur Rahman, Mahmoud Syaltout,
dan Mustafa Ahmad al-Zarqa'.
III.
KESIMPULAN
Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun
fahamnya dengan memahami sumber ajaran Islam secara tekstual. Mazhab ini
berkembang sejak abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Mazhab ini pertama kali
dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-Isfahani
(202-270 H) .
Dari jalan
madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul
fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla”
dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah
ushul fiqh. Munculnya Ibnu Hazm di Barat
menjadikan mazhab zhahiriyah semakin berkembang
Secara etimologi qiyas berarti
pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya.
Rukun- rukun qiyas 1. Ashal
(asal) , 2. Faru’ (cabang) 3. Hukum ashal (حكم الاصل 4. Illat (العلة); . Syarat-syarat illat
antara lain adalah. Qiyas dapat dibagi
menjadi tiga macam yaitu: Qiyas ‘illat,
Qiyas dalalah dan Qiyas syibih..
Ulama ushul fiqih
berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’.
Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai
metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’ Sedangkan sebahagian
ulama berpenderian bahwa qiyas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum syara. Pandangan ulama
mengenai kehujjatan qiyas qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabat maupun ijma
ulama.
2. Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
3. Kelompok
yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits
4. Ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas
wajib diamalkan dalam dua hal saja,
1. Illatnya
manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum
far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : Pustaka Setia. 2008)
Muin
Umar, dkk, Ushul Fiqh 1 (Jakarta : Departemen Agama, 1986)
Djazuli,
Ushul Fiqih (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000)
Harun
Nasrun, Ushul Fiqh 1(Jakarta. Logos Wacana Ilmu: 1995)
Ahmad
Hanafie, Ushul Fiqih (Jakarta : Widjaya, 1962)
Amir
Syarifuddin,. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta Wacana Ilmu:1997)
Tajuddin
‘Abdul Wahab al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974)
Mas'adi, Ghufton A, Fiqh
Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id
al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa
al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)
[1].
.Abdul Dahlan, Enseklopidi Hukum Islam , Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hoeve,
2006 h.198
[2].
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, Bairut : Dar al-Fikr, 1994
h.56
[3]
. Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : Pustaka Setia. 2008) h.172
[4].
Muin Umar, dkk, Ushul
Fiqh 1 (Jakarta : Departemen Agama, 1986) h.107
[6]
. Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh
1…….h.118-119
[7]
. Muin Umar, dkk. Ushul
Fiqh……. h.139-142
[8]
. Nasrun Haroen. Ushul
Fiqh……. h.75-76
[9]
. Tajuddin ‘Abdul Wahab
al-Subki, Jam’u al-Jawani, (Beirut : Dar al-Fikr ,1974), hlm. 177. Lihat juga
Ibn Qudamah, Raudlah al-Nadkir wa Jannah al-Munadhir, (Beirut : Mu’assasah
al-Risalah, 1978), hlm. 234
[10]
. Mas'adi, Ghufton A, Fiqh
Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
[11]
. al-Qardawi, Yûsûf. 1993. Fawâ’id
al-Bunûk Hiya al-Ribâ al-Harâm; Dirâsat al-Fiqhiyyah fî Dau' al-Qur’ân wa
al-Sunnah wa al-Waqi'. Beirut: Mu'assasat al-Risâlah, 1993)
[12]
. Mas'adi, Fiqh Muamalah
[13]
. Ibid
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: