Rabu, 28 Oktober 2015
AL-KINDI
I. PENDAHULUAN
Al-Kindī dikenal sebagai filsuf muslim keturunan
arab yang berusaha mengkompromikan antara teori filsafat dan agama dengan
tujuan untuk mengetahui sesuatu yang benar (knowledge of the truth).[1] Tujuan filsafatnya adalah mencari yang benar. Mencari
yang benar itu menurut Al-Kindī tidak lain sama halnya dengan yang dipraktikkan
dalam mempelajari agama. Kajian tentang sesuatu yang benar absolut ini bagi Al-Kindī
adalah pengkajian konsep Tuhan. Konsep ketuhanan Al-Kindī dibangun atas dasar
metafisika.
Sedikit sekali informasi yang penulis peroleh
tentang pendidikannya, semasa hidupnya, selain bisa berbahasa arab, ia mahir
berbahasa Yunani, banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya
kedalam bahasa arab setelah ia mempelajarinya, terlebih dahulu, termasuk
karya-karya Aristoteles yang lebih dominan ia pelajari dan menterjemahkannya,
sehingga pemikiran Aristoteles telah mempengaruhi konsep Al-Kindi dalam
berbagai doktrin pemikiran terutama dalam bidang sains dan psikologi. Meski ia
pengikut Ariestoteles, Filsafat Al-Kindī
memiliki kekhasan sendiri, produk ijtihadnya akan membedakan baik dengan
Aristoteles maupun filsuf muslim setelahnya. Bahkan filasafat Al-Kindī memiliki corak sendiri. orientasi filsafat, tentang
Keesaan Tuhan, teori penciptaan alam adalah diantara aspek yang berseberangan
dengan filsafat Yunani.
Maka dari itu, dalam makalah ini penulis akan
membahas lebih lanjut apa dan bagaimana filsafat dan agama, filsafat keTuhanan,
dan An-Nafs menurut Al-Kindi. Tapi sebelumnya penulis akan memaparkan terlebih
dahulu biografi dan latar belakang sosial intelektual Al-Kindi.
1.
Biografi Al-Kindi
Nama lengkap Al-Kindī adalah Abū Yūsuf Ya'qūb ibn
Ishāq ibn Al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammaf ibn Al-Asy’as ibn Qais Al-Kindī. Ia
populer dengan sebutan Al-Kindi, yaitu dinisbatkan kepada suku Kindah, yakni
suatu kabilah terkemuka pra Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang
menetap di Yaman. Ia lahir di kota Kufah pada tahun 185 H/ 801 M. Ia berasal dari
kalangan bangsawan dari Irak, Ia dari keluarga kaya dan terhormat, kakek
buyutnya Al-Asy’as ibn Qais adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang gugur
bersama Sa’ad ibn Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di
Irak. Sedangkan ayahnya, Ishaq ibn Al-Sabbah adalah gubernur Kufah pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiyah, ketika itu dipimpin oleh Al-Mahdi (775-785) dan
Harun Al-Rasyid (786-809). Ayahnya wafat ketika ia masih kanak-kanak. Al-Kindi
hidup semasa pemerintahan Daulah Abbasiyah (Al—Amin, 809-813 M; Al-Ma’mun,
813-833 M; Al-Mu’tashim, 833-842 M; Al-Watsiq, 842-847 M; dan Al-Mutawakkil,
847-861 M). dan ia meninggal di Bagdad pada tahun 260 H/ 876 M.[2]
2. Latar Belakang Intelektual Al-kindi
Al-Kindī mengawali aktivitas intelektualnya di
dua kota besar Irak, Kufah dan Basrah. Ia menghafal Al-Qur’an,
mempelajari tata bahasa arab, sastra, matematika, fikih, ilmu kalam. Ia tertarik dengan ilmu
filsafat setelah pindah ke Baghdad. Karya-karya filsafat Yunani ia kuasai
setelah ia menguasai bahasa tersebut. Kegiatan filsafat Al-Kindi yang berpusat di sekitar gerakan penerjemahan
yang sudah dimulai dan didukung oleh Khalifah Abbasiyah, yaitu Al-Mu’taşim. Tampaknya
sang Khalifah menjadi mediator antara penerjemah dan para ahli yang benar-benar
melakukan menerjemahkan, banyak dari mereka adalah orang Kristen Suriah atau
dari Suriah.[3] Tulisannya sendiri bisa dianggap sebagai
sebuah perkenalan yang berkelanjutan dimaksudkan untuk mengenalkan pemikiran
Yunani untuk abad kesembilan kepada kaum muslim kontemporer.
Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa arab,
ia mahir berbahasa Yunani, banyak karya-karya para filsuf Yunani
diterjemahkannya kedalam bahasa arab, salah satunya karya Aristoteles. Ia
merupakan seorang tokoh besar dari bangsa arab yang mempelajari filsafat
Aristoteles. Al-Kindi mendapat julukan Filosof Arab. filsafat Aristoteles
telah mempengaruhi konsep Al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran.[4]
Ia termasuk filsuf muslim ensiklopedis, selain filsafat, Al Kindī
menulis banyak karya lain dalam berbagai bidang; geometri, astronomi,
astrologi, aritmatika, musik (yang dibangunnya dari berbagai prinsip
aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik. Ibn Abī Usaibi’ah (w.668 H) penulis Tabaqāt al-Atibbā’ mencatat Al-Kindi
sebagai salah satu dari empat penerjemah mahir pada era gerakan penerjemahan,
selain Hunayn bin Ishāq, Tabit bin Qurrah dan Umar bin Farkhan al-Tabari.
Al-Kindī tidak hanya menerjemah karya Yunani, tapi ia mengadapsi menjadi karya
pemikirannya tersendiri, karya-karya Al-Kindī tidak hanya satu aspek, akan
tetapi meliputi filsafat, logika, musik, aritmatika, Karya-karya itu kebanyakan
karangan pendek, sebagian besar karangannya tidak sampai kepada kita.[5]
Intelektualitas Al-Kindī termasuk diakui tidak hanya dunia
timur, akan tetapi barat juga mengapresiasi karyanya. Beberapa karangannya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geran. Karya yang telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin ini mempengaruhi tradisi keilmuan Eropa pada abad
pertengahan. Beberapa karya Al-Kindī baik yang ditulis sendiri atau oleh
orang lain adalah; Kitab Kimiya’ al-‘Ithr, Kitab fi Isti’māl al-‘Adad
al-Hindī, Risālah fī al-Illah al-Failai al-Madd wa al-Fazr, Kitāb al-Şu’aat,
The Medical Formulary of Aqrabadhin of al-Kindi, al-Kindi’s Metaphysics: a
Translation fo Yaqub ibn Ishaq al-Kindi’s Treatise “On First Philosophy”.[6]
Sebagai seorang filsuf Islam yang sangat
produktif, banyak juga karya Al-Kindi lainnya, dalam bidang filsafat, diantaranya
adalah:
Tentang filsafat pertama
|
كتاب الكندي الى المعتصم بالله في الفلسفة
الأولى
|
1
|
Tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil
serta metafisika
|
كتاب الفلسفة الداخلات و المسائل المنطقية و
المقتصة و ما فوق الطبعية
|
2
|
Tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan
matematika
|
كتاب في النحو لا تنال الفلسفة إلاّ بالعلم
الرياضيات
|
3
|
Tentang maksud-maksud ariestoteles dalam katagori-katagorinya
|
كتاب في قصد أرسططلس في المقولات
|
4
|
Tentang sifat ilmu dan klasifikasinya
|
كتاب في مائية العلم و أقسامه
|
5
|
Tentang defenisi benda-benda dan uraian
|
رسالة في الحدود الأشيأ و رسومها
|
6
|
Tentang substansi-substansi tampa badan
|
رسالة في النحو جوهر لا أجسام
|
7
|
Tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komrehensif
|
كتاب في ابارات جوامع الفكرية
|
8
|
Tentang tulisan filosofis, tentang rahasia-rahasia spritual
|
رسالة الحكمية في اصرار الروحنية
|
9
|
Tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan
kerusakan.[7]
|
رسالة في الإبانة عن العلّة الفاعلات القاربة
للكون و الفسد.
|
10
|
II. PEMBAHASAN
1.
Filsafat dan Agama
Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosopihia,
kata berangkai dari kata philiein yang artinya mencintai, dan sophia
berarti kebijaksanaan. Philosophia berarti: cinta akan kebijaksanaan.
Orang yang berfilsafat atau orang yang melakukan filsafat disebut “filsuf” atau
“filosof”, artinya pencinta kebijaksanaan.[8] Kebijaksanaan atau pengetahuan sejati itu
tidak mungkin didapati oleh satu orang. Sejarah mencatat bahwa setelah
timbulnya seorang filsuf, muncul kemudian filsuf lain yang mengoreksi penemuan
pertama dan mengajukan gagasan-gagasan yang memperbaharui gagasan yang pertama,
demikianlah seterusnya sepanjang kehidupan manusia berlangsung. Hal ini karena
keinginan tahu manusia yang besar sebagai refleksi dari potensi kemanusian yang
dimilikinya yang dianugerahkan oleh Allah SWT, yaitu akal, intuisi, alat deria,
dan kekuatan fisik. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan, filsafat adalah
hasil kerja berpikir manusia dalam mencari hakikat segala sesuatu secara
sistematis, radikal, dan universal.
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara
agama dan filsafat Menurutnya filsafat adalah pengetahuan tentang yang benarبحث عن الحق ) knowledge of truth). Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang
lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang
dihasilkan filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak
dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam
diwajibkan mempelajari teologi.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran
dan kebaikan juga sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu
mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang Benar Pertama الحق الأولى (The First Truth) bagi
Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama
ini pula dasarnya, filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian orang yang menolak filsafat
maka orang tersebut menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, karena
pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang
keEsaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, juga sebagai alat untuk
berpegang teguh kepadaNya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Sebab tidak
ada yang lebih berharga bagi pecari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri,
tidak ada seorangpun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang
akan menjadi muliya oleh kebenaran.
Konsepsi filsafat Al-Kindī secara umum
memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut Al-Kindī adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu,
ilmu filsafat menurut Al-Kindī adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya
ilmu manusia yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini
hakikat ilmu didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah
mengetahui Al-Haq (Allah). Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan
paling tinggi derajatnya adalah Filsafat Yang Pertamaفلسفة الأولى (Falsafah
Al-‘Ūlā). Yakni ilmu
tentang الحق الأولى (Al-Haq Al- Ūlā) yang menjadi sebab segala sesuatu علّة
كلّية شئ
(‘illah kulli syai’) yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT.[9]
Pada asas pokok filsafatnya ini, Al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti,
bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya
adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar
keduanya dapat dilihat dari penjelasan Al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama
memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama,
ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan
kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut
ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi
adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.[10]
Bagi Al-Kindī, filsafat
Islam didasarkan kepada Al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah
yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb.
Hal tersebut menurut al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga
al-Qur’ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.[11]
Dengan pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh Al-Kindī ditempatkan sebagai bagian dari budaya
Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles
Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan
agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan mendamaikan
antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at dengan agama
Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka. Ia
menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk
istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk
tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā.[12]
Karena asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa
filsafat mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah
ilmu rabbāniyah dan memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi. Melalui penafsiran
filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian kebenaran agama,
disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan juga
mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan
falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal itu dibuktikan dalam
beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi
Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan
dari ketiadaan.
Sang Penyebab semua sebab itulah adalah Tuhan.
Dengan demikian, filsafat Al-Kindī adalah membahas soal Tuhan dan agama
menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja filsafat yang dilakukan Al-Kindī adalah
mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa antar keduanya tidak ada
perbedaan yang kontras. Ia mengatakan “Falsafah yang termulia dan tertinggi
derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang
menjadi sebab bagi segala yang benar”.[13] Hal ini
yang membedakan dengan orientasi filafat Aristoteles, bahwa filsafat
adalah ilmu tentang wujud karena yang wujud memiliki kebenaran. Berarti,
orienatasi filsafat Al-Kindī adalah metafisik sedangan Aristoteles adalah dibangun di
atas teori fisika.
Di samping argumen rasional, Al-Kindi juga
mengacu kepada Al-Qur’an yang banyak menyuruh meneliti dan mengamati segala
macam fenomena yang terdapat di alam. Di antaranya adalah :
QS; Al-Hasyr, ayat 2.
uqèd üÏ%©!$# ylt÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ô`ÏB È@÷dr& É=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNÏdÌ»tÏ ÉA¨rL{ Îô³ptø:$# 4 $tB óOçF^oYsß br& (#qã_ãøs ( (#þqZsßur Oßg¯Rr& óOßgçGyèÏR$¨B NåkçXqÝÁãm z`ÏiB «!$# ãNßg9s?r'sù ª!$# ô`ÏB ß]øym óOs9 (#qç7Å¡tGøts ( t$xs%ur Îû ãNÍkÍ5qè=è% |=ôã9$# 4 tbqç/Ìøä NåksEqãç/ öNÍkÏ÷r'Î/ Ï÷r&ur tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
Artinya : Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka,
bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka
dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada
mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan
ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan
tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah
(Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.[14]
QS; Al-Ghaasyiyah, ayat
17-20.
xsùr& tbrãÝàYt n<Î) È@Î/M}$# y#ø2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ
Artinya; 17. Maka Apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19. dan gunung-gunung bagaimana ia
ditegakkan?
QS; Al-‘Araaf, ayat 185.
óOs9urr& (#rãÝàZt Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $tBur t,n=y{ ª!$# `ÏB &äóÓx« ÷br&ur #Ó|¤tã br& tbqä3t Ïs% z>utIø%$# öNßgè=y_r& ( Ädr'Î7sù ¤]Ïtn ¼çny÷èt/ tbqãZÏB÷sã ÇÊÑÎÈ
Artinya; dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan
mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan
beriman sesudah Al Quran itu?[16]
QS; Al-Baqarah, ayat 164.
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@ø©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ÌøgrB Îû Ìóst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZt }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkÏù `ÏB Èe@à2 7p/!#y É#ÎóÇs?ur Ëx»tÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷èt ÇÊÏÍÈ
Artinya; Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan.[17]
Adapun perbedaan antara filsafat dan
agama menurut Al-Kindi, sebagaimana telah dijelaskan dalam karyanya Kammiyah
Kutub Aristoteles sebagai berikut ;
FILSAFAT
|
AGAMA
|
1.
Filsafat termasuk humaniora yang dicapai
filusuf dengan berpikir, belajar.
2.
Jawaban filsafat menunjukkan ketidak pastian
(semu) dan memerlukan berpikir dan perenungan.
3.
Filsafat mempergunakan metode logika.
|
1.
Agama adalah ilmu ketuhanan yang menempatkan
tingkat tertinggi karena diperoleh tampa melalui proses belajar, dan hanya
diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
2.
Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang
dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti dan meyakinkan dengan mutlak.[18]
3.
Agama mendekatinya dengan keimanan.
|
2. Filsafat Ketuhanan
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu
Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh.
Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Pembahasan utama filsafatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya,
adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan
tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama الحقّ الأوّل (Al-Haqq Al-Awwal), Yang Benar Tunggal الحقّ الواحد (Al-Haqq Al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat Al-Kindī adalah
teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan
yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia
membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.[19]
Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran Al-Kindī dalam
menjelaskan ketuhanan. Bagi Al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan
penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala
kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari
semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu,
tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab
Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya
adalah tentang keesaan. Teologi filsafat Al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama,
membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang
merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True
One ini.[20]
Pertama-tama
Al-Kindī
menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia
mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan جُزْئِيَّة (particular).
Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada جُزْئِيَّة yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting
dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni كُلِّيَّة (universal). Tiap-tiap benda memiliki
dua hakikat, hakikat sebagaiجُزْئِيَّة حَقِيْقَةyang disebutالأَنِيَّة dan hakikat sebagaiكُلِّيّةَ حَقِيْقَة yang disebut المَّـاهِيَّة yakni hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies. [21]
Tuhan dalam filsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah,
karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Ia adalah pencipta alam, Ia tidak tersusun
dari materi dan bentuk (الهيولى والصرة) Tuhan juga tidak
mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk genus atau
spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan.
Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
Al-Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan
keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri
dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi
terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu
individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian tubuh.
Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral.
Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain.
Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral
tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang
multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.
Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud,
eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh
akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi,
sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap
oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang
dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusia memiliki sisi
kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa
ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan
akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu.[22]
Berkaitan dengan teori penciptakan, Al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia
membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bawah, secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab
Pertama, yaitu Tuhan. Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah
ini berbeda alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan
ruh. Sedangkan alam bawah adalah terdiri dari wujud badaniyah manusia, materi
bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual
keberadaanya tidak melalui prosep penciptaan (creation/خلق), akan tetapi ia ada melalui emanasi.
Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.[23]
Namun, analisis secara umum Al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya
adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama
adalah konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka,
bagi Al-Kindī alam dunia
mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut Al-Kindī tidak qadīm.
Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi
dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.[24]
Alam atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan
dengan al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam
ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa setelah terpisah, benar-benar
substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek
dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka
setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam
waktu. Ia dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia.
Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[25]
Sedang alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas
oleh waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed
Mover). Tuhan bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan,
sebab baginya, jika Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak
akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat.[26]
Teori keabadian alam al-Kindī juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik
setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan.
Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan
tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas
materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu.
Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik.
Wujud, yang berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena
mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.
Waktu
bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain
adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri
dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi
berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari
dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan
yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan
tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas.[27]
3.
Filsafat Jiwa
Kaum filosof Muslim
memakai kata jiwa (Al-Nafs) pada apa yang diistilahkan Al-Qur’an dengan Ar-Ruh.
Kata ini telah masuk
ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata
nafsu dalam pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan
perbuatan yang kurang baik sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu
dengan kata hawa, yakni hawa nafsu Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW
tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai
sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui
hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.[28] Justru itu, kaum filosof Muslim membahas jiwa
mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani,
kemudian mereka selaras
dengan ajaran Islam.
Sebagaimana jiwa
dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith
(tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar), jiwa mempunyai arti
penting, sempurna, dan mulia, substansinya berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan
hubungan cahaya dengan inatahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah,
dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani[29]
Argumen tentang bedanya jiwa dengan
badan, menurut Al-Kindi ialah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila
nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa
menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang
tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles
yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua
unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia.
Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk
atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula
sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa, dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih
dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan
adalah kesatuan acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Al-Kindi juga
menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya yaitu daya bernafsu yang
terdapat di perut, daya marah yang terdapat di dada, dan daya pikir yang
berpusat dikepala.[30]
Al-Kindi dalam
risalahnya menjelaskan akal. la gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana
yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal,
menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu: [31]
1. Akal yang selamanya dalam aktualitas.
Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya
dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang
membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual.
Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut :
a. Ia adalah Akal Pertama
b. Ia selamanya dalam aktualitas
c. Ia membuat akal potensial menjadi aktual
berpikir
d. Ia tidak sama dengan akal potensial,
tetapi lain daripadanya
2. Akal yang bersifat potensial, yakni akal
murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum
menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah
akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai
memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan
dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis.
III. KESIMPULAN
Al-Kindi adalah seorang filsuf muslim, ia berasal dari kalangan bangsawan dari
Irak, kemampuannya berbahasa yunani membuat banyak karya filsuf yunani
diterjemahkannya kedalam bahasa arab, terutama karya Ariestoteles, karenanya
filsafat Ariestoteles telah mempengaruhi doktrin pemikirannya, akan tetapi
filsafat Al-Kindi memiliki kekhasan sendiri, karena produk ijtihadnya membuat
hasil ijtihadnya berbeda dari sumber aslinya.
Intelektualitas Al-Kindi diakui tidak hanya
dunia timur tetapi juga barat. Ia sangat tekun mempeljari berbagai disiplin
Ilmu, penguasaannya terhadap filasafat dan disiplin ilmu lainnya telah
menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan arab dalam
jajaran para filosuf terkemuka, karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang
gelar Failasuf Al-‘Arab (filsuf berkebangsaan arab).
Menurutnya bertemunya agama dan filsafat dalam
kebenaran dan kebaikan adalah menjadi tujuan dari keduanya. Tujuan filsafat
Al-Kindi adalah mencari yang benar, menurutnya mencari yang benar itu sama
halnya dengan yang dipraktikkan dalam mempelajari agama, kajian tentang sesuatu
yang benar absolut ini bagi Al-Kindi adalah pengkajian konsep Tuhan.
Berbicara tentang jiwa, menurut Al-Kindi jiwa adalah
jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar), jiwa
mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia, substansinya berasal dari
substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri,
terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani.
Dari beberapa pemikiran filsafat yang
ditekuni, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat keTuhananlah yang
mendapat derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya.
Ia memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah
sebagai bagian filsafat yang paling tinggi kedudukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred L Irvy,al-Kindi’s
Metaphysics[terj. Fi al-Falsafah al-‘Ula, al-Kindi], (New York: State University
of New York Press, 1974)
al-Kindi A Muslim
Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy, First
Pubished, 2006
Dedi Supriyadi,Pengantar
Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka Setia,2009)
Hamid Fahmi Zarkasyi,The
Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1
Zulqa’dah 1428
Hana’ Abduh Sulaiman
Ahmad,Atsaru al-Mu’tazilah fi al-Falsafah al-Ilahiyah ‘inda al-Kindi,(Maktabah
al-Tsaqafiyah al-Diniyyah, 1425/2005)
Joseph Schacht dan
CE Bosworth,The Legacy of IslamI (Oxford: Oxford University Press, 1972)
MM Syarif (ed),Para
Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993)
Muhammad Abdul Hadi
Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy,
1369/1950
Muhammad Lutffi
Jum’ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927)
Peter F.E,Aristotle
and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York: New
York University Press, 1968)
Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003)
Thomas F Wall,
Thinking About Philosophical Problem, (Wadsworth: Thomas Learning United
States)
[2] Isma’il R.
Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah
Peradaban Gemilang Islam.terj oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), p.
337
[3] Baca Hana’ Abduh
Sulaiman Ahmad,Atsaru al-Mu’tazilah fi al-Falsafah al-Ilahiyah ‘inda
al-Kindi,(Maktabah al-Tsaqafiyah al-Diniyyah, 1425/2005)
[5]Cemill al-Hajj,Al-Mawsū’ah
al-Muyassarah fi Fikri al-Falsafi wa al-Ijtima’i,(Beirut:Maktabah Lubnan
Nasyirun), p. 460
[6]Muhammad Lutffi
Jum’ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927) p 1. Abdul Rahman
Badawiy,Mawsū’ah al-Falsafah Jilid II,(Beirut: al-Mu’assasah
al-‘Arabiyah li al-Dirāsāt wa al-Nasy, 1984), p. 297
[7]Dedi Supriyadi,Pengantar
Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
p. 51
[8]Para penerjemah
Kristen dan Yahudi adalah penerjemah bayaran, sehingga kerja mereka tidak
berkelanjutan setelah proses penerjemahan. Tidak seperti al-Kindī dan al-Farabi
yang kerjanya tidak hanya penerjemahan, akan tetapi juga mengadopsi, memberi
komentar, menyeleksi dan mengislamkan. Buktinya, seperti diungkapkan oleh Peter
bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya
Aristotle karena khawatir membahayakan iman Kristiani. Baca The Harper Collin
Dictionari of Religion, Harper San Fransisco, 1986, p. 533, Peter F.E,Aristotle
and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York: New
York University Press, 1968), p. 57 lihat juga Jurnal Tsaqafah Vol 2 No.2 Thn
2006/1427 p. 286
[9]Dedi Supriyadi,Pengantar
Filsafat Islam;Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
p.54
[10] Muhammad Abdul Hadi
Abu Zaidah,Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah,(Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1369
H/1950 M), p. 97
[12]MM Syarif (ed),Para
Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993), p. 17 baca juga Muhammad Abdul Hadi
Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy,
1369/1950
[14] Isma’il R.
Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah
Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), p.
337
[15]Thomas F Wall,
Thinking About Philosophical Problem, (Wadsworth: Thomas Learning United
States), p. 126-127
[16] Baca Alfred L Irvy,al-Kindi’s Metaphysics[terj. Fi
al-Falsafah al-‘Ula, al-Kindi], (New York: State University of New York Press,
1974)
[17]Dedi Supriyadi,Pengantar
Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka Setia,2009),
p.56
[18]Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003), p.210
[20]Dedi Supriyadi,Pengantar
Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka Setia,2009),
p.56
[22]Lihat Hamid Fahmi
Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, p.40 dalam
Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428
[23]Baca al-Kindi A
Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic Philosophy,
First Pubished, 2006
[25]Baca Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003)
[26]Lihat Hamid Fahmi
Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural Theologi, dalam Jurnal
Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 dan baca MM Syarif (ed),Para Filosof
Muslim, Bandung: Mizan,1993 p. 215
[27]Baca Seyyed Hossein
Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bandung: Mizan,2003), p. 219 dan MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim,
p. 215
[1] Orientalis mengenal Al-Kindi adalah filosof muslim
pertama, padahal sebelum Al-Kindi banyak pengetahuan-pengetahuan filosofis di
dunia Islam, tapi mereka tidak menyebut sebagai filsafat. Padahal beberapa
pengetahuan filsafat seperti ilmu kalam Al-‘Asy’ari dan teori tasawwuf dapat
dikatagorikan sebagai ilmu filsafat. Kajian orientalis ingin menunjukkan bahwa
dalam Islam tidak ada filsafat dan baru dikenal filsafat setelah bersentuhan
dengan Yunani. Lihat Jurnal Islamia Vol. II No.3 Desember 2005, hlm.44
dan Seyyed Hossein Nasr & oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam (ed), Bandung; Mizan, 2003, hlm .207
[3]
Para penerjemah Kristen dan Yahudi adalah penerjemah bayaran, sehingga kerja
mereka tidak berkelanjutan setelah proses penerjemahan. Tidak seperti al-Kindī
dan al-Farabi yang kerjanya tidak hanya penerjemahan, akan tetapi juga
mengadopsi, memberi komentar, menyeleksi dan mengislamkan. Buktinya, seperti
diungkapkan oleh Peter bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon
karya Aristotle karena khawatir membahayakan iman Kristiani. Baca The Harper
Collin Dictionari of Religion, Harper San Fransisco, 1986, p. 533, Peter F.E,Aristotle
and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam, (New York: New
York University Press, 1968), hlm. 57
lihat juga Jurnal Tsaqafah Vol 2 No.2 Thn 2006/1427 hlm. 286
[4] Cemill al-Hajj,Al-Mawsū’ah al-Muyassarah fi Fikri
al-Falsafi wa al-Ijtima’i, Beirut:Maktabah Lubnan Nasyirun, hlm. 460.
[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam;Konsep
Filsuf dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009, hlm. 51.
[9]
Muhammad Abdul Hadi Abu Zaidah,Rasāil al-Kindī al-Falsafiyah, Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1369 H/1950
M, hlm. 97-98.
[10] MM
Syarif (ed),Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan,1993), hlm. 17 baca juga Muhammad Abdul Hadi
Abu Zaidah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyah, (Darul Fikr al-‘Arabiy,
1369/1950
[11] Dedi Supriyadi, hlm. 63
[12] Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas
Budaya Menjelajah Khasanah Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas
Hasan,(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 337
[13] Dedi Supriyadi, hlm. 56
[14] Al-Qur’an dan TerjemahNya, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Jakarta; PT.Intermasa 1993.
[19]
Seyyed Hossein Nasr &Oliver
Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam , Bangung: Mizan,2003, hlm.210
[22]
Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam
(ed), p. 213
[23]
Baca al-Kindi A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of
Islamic Philosophy, First Pubished, 2006
[25] Baca Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam , Bangung:
Mizan,2003.
[30] Dedi Supriyadi,
hlm. 63
[31] Isma’il R.
Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi,Atlas Budaya Menjelajah Khasanah
Peradaban Gemilang Islam.terj. oleh Ilyas Hasan,(Bandung: Mizan, 2003),
hlm. 337
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: