Rabu, 28 Oktober 2015
IKHWAN AL-SHAFA
I.
Pendahuluan
Seiring dengan perluasan wilayah islam
keberbagai negara terjadi kemajuan diberbagai bidang, termasuk juga dibidang
ilmu pengetahuan dan teologi. Majunya ilmu pengetahuan umum sangat terasa
ketika berkuasanya daulah Abbasiyah. Banyak faktor yang telah melatar belakangi
berkembangnya aliran-aliran pemikiran dalam sejarah islam pada masa ini,
seperti: pergolakan politik, kekecewaan terhadap pemerintahan yang bertindak
sewenang-wenang dan kebutuhan akan ilmu pengetahuan itu sendiri agar membantu
kelancaran dalam kehidupan. Hal ini tidak terlepas dari peran akal yang
digunakan untuk berpikir yang akan menghasilkan paham-paham yang baru yang
berperan dalam berbagai bidang kehidupan.
Ketika
Mu’tazilah digunakan sebagai mazhab resmi negara, maka dinasti Abasiyah
mengalami kemajuan yang pesat diberbagai bidang kehidupan. Karena mereka
rasionalis, menggunakan kekuatan logika untuk berpikir dan pengetahuan juga
diperoleh dengan cara berpikir. Sehingga banyaklah ilmu-ilmu baru yang mereka
peroleh. Namun, semenjak pemerintahan Daulah Abbasiyah dipimpin oleh khalifah
Al-Mutawakkil yang berpikiran tradisonal terjadi perubahan peraturan. Khalifah
membatalkan teologi rasional Mu’tazilah yang telah dianut oleh para pendahulunya.
Khalifah mengganti semua jabatan kaum rasionalis yang ada di pemerintahan dan
mereka diusir keluar kota Baghdad. Pemerintah juga melarang mengajarkan
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, keadaan ini menyebabkan tumbuhnya cara
berpikir tradisional. Pengaruh yang ditimbulkan pemikiran tradisional
pemerintah ini menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat dan kerusakan
akhlak rakyat.
Berdasarkan
kondisi tersebut maka lahirlah ikhwan al-Shafa. Mereka ada untuk menyelamatkan
masyarakat agar bisa menuntut ilmu dan mendekatkan diri kejalan yang bisa
menimbulkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka ingin agar senantiasa berada
dijalannya.
Bertitik
tolak dari kondisi tersebut maka dalam makalah ini penulis akan menjelaskan
bagaimana sejarah lahir dan karya Ikhwan al-Shafa, pendapat Ikhwan al-Shafa
tentang filsafat ketuhanan, penciptaan dan al-nafs.
II.
Pembahasan
A.
Sejarah
Hidup dan Karyanya
Ikhwan al-Shafa (Brethren of Purity
atau The Pure Brethen) adalah nama sekelompok pemikir Muslim Rahasia
(filosifiko-religius) berasal dari sekte Syi’ah Isma’iliyah yang lahir ditengah
komunitas Sunni.[1]
Merupakan perkumpulan rahasia yang bergerak dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Sesuai dengan namanya, Ikhwan al-Shafa berarti persaudaraan yang
suci dan bersih.[2]
Disebut juga Khullan al-wafa, Ahl al-‘Adl, Abna al-Hamdi, atau dengan
sebutan singkat Ikhwanuna, atau disebut juga Auliya’ Allah.[3]
Asas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus
ikhlas, kesetiakawanan yang suci murni dan saling menasehati antar sesama
anggota dalam menuju ridha Allah. Dari sini kita ketahui bahwa Parsaudaraan
mereka tulus sehingga suci dan bersih.
Perkumpulan
ini lahir pada abad ke-4 H/ 10 M di kota Basrah pada masa pemerintahan
al-Mansur, khalifah kedua pemerintahan Bani Abbas. Dari Basrah, Ikhwan al-Shafa
terus menyebar dan berkembang keberbagai daerah seperti Iran dan Kuwait. Dalam
perkembangannya, perkumpulan ini menggunakan cara yang halus dengan mengutus
beberapa orang anggotanya untuk merekrut orang-orang yang dianggap dapat
bekerja sama terutama dari kalangan pemuda Mereka takut kalau kegiatan mereka
diketahui oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Maka mereka melakukan kegiatan
secara sembunyi-sembunyi. Baru terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi,
yang berpaham Syi’ah di Baghdad pada Tahun 983 M. Ada kemungkinan kerahasiannya
ini dipengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) ajaran
Syi’ah karena basis kegiatannya ditengah masyarakat Sunni yang tidak sejalan
dengan ideologinya.[4]
Latar
belakang munculnya ikhwan al-Shafa adalah karena keprihatinan terhadap
pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar Islam.
Mereka hadir untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada Ilmu pengetahuan
dikalangan umat Islam. Menurut mereka, syari’at telah dinodai bermacam-macam
kejahilan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk
membersihkannya adalah filsafat.
Kelompok
ini sangat merahasiakan nama-nama anggotanya karena khawatir akan tindakan
penguasa pada waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan pemikiran yang
timbul. Kondisi ini menyebabkan Ikhwan al-Shafa memiliki anggota yang terbatas,
mereka juga sangat selektif dalam menerima anggota baru dengan melihat berbagai
aspek. Diantara syarat yang mereka tetapkan dalam merekrut anggota adalah:
memiliki ilmu pengetahuan yang luas, loyalitas yang tinggi, memiliki
kesungguhan dan berkhlak mulia.[5]
seandainya
saja perkumpulan ini ada pada zaman sekarang, kemungkinan besar juga tidak akan
banyak pengikutnya. Bukan karena takut pada pemerintah yang sedang berkuasa,
tapi karena sulitnya mencari pemuda yang betul-betul bisa melakukan
persaudaraan yang suci dan bersih. Kesibukan dan budaya individualisme juga telah
mendominasi berbagai bidang kehidupan sekarang ini.
Kelompok
mereka juga telah mengirimkan orang-orangnya kekota tertentu untuk menyebarkan
pahamnya dengan membentuk cabang-cabang baru, namun mereka sangat selektif
dalam memilih anggota sehingga kerahasiaan mereka tetap terjaga. Ada empat
tingkatan anggota mereka:
1. Ikhwan al-Abrar
al-Ruhama, yakni kelompok yang berusia15-30 tahun yang memiliki jiwa yang
suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus sebagai murid, karenanya dituntut
tunduk dan patuh kepada guru.
2. Ikhwan al-Akhyar
wa al-Fudhala, yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini
mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap
berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
3. Ikhwan al-Fudhala
al-Kiram, yakni kelompok berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan
mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah mengetahui aturan ketuhanan
sebagai tingkatan para nabi.
4. Al-Kamal,
yakni kelompok yang berusia 50 tahun keatas. Mereka disebut dengan tingkatan al-Muqarrabin
min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga
mereka sudah berada di atas alam realitas, syariat dan wahyu sebagaimana
malaikat al-muqarrabin.[6]
Dari tingkatan diatas
terlihat betapa selektifnya kelompok Ikhwan al-Shafa dalam memilih anggota.
Tidak semua orang bisa tergabung dalam anggota kelompok mereka.
Karena
dari tingkatan anggota mereka tidak semua orang memiliki kriteria yang bisa
mereka terima. Mereka yang ingin bergabung harus memiliki kualitas pemikiran
yang bagus. Dan yang memiliki kualitas bagus itu juga tidak banyak. Karena
kebanyakan orang malas menggunakan akalnya untuk berpikir menghasilkan suatu
karya yang baru.
Ketika
khalifah Al-Muntazid memimpin Daulah Abbasiyah, ia mengintruksikan agar seluruh
karya dan filsafat ikhwan al-Shafa diserahkan kepadanya untuk dibakar. Maka
sangat wajar saat ini tidak ditemukan karya asli mereka. Sangat disayangkan
sekali karya mereka yang cukup banyak dilenyapkan begitu saja oleh khalifah
karena berpedaan pola pikir khalifah yang Sunni dan Ikhwan al-Shafa yang
Syi’ah. Menurut saya, dimasa sekarang pada zaman modern ini hal seperti ini
juga sering terjadi. Sebagai contoh adalah ketika salah seorang staf biasa
berbicara atau melahirkan suatu karya yang tidak sesuai dengan pendapat
atasannya, maka tidak perlu menunggu waktu lama surat mutasi akan keluar.
Bahkan bisa menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pertemuan-petemuan
yang diselenggarakan Ikhwan al-Shafa melahirkan karya tulis sebanyak 52 buah
yang dinamakan Rasa’il Ikhwan al-Shafa. Ia merupakan ensiklopedia populer
tentang ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu. Ditinjau dari segi isi,
Rasa’il ini dapat diklasifikasikan menjadi empat bidang:
a. 14 risalah tentang
risalah matematika, yang mencakup geometri, astronomi, musik, geografi, seni,
modal dan logika.
b. 17 risalah tentang
fisika dan ilmu alam, yang mencakup geneologi, mineralogi, botani, hidup dan
matinya alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan
kesadaran.
c. 10 risalah tentang ilmu
jiwa, mencakup metafisika Pythagoreanisme dan kebangkitan alam.
d. 11 risalah tentang
ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan
Allah, akidah mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk
konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat.[7]
B.
Filsafat Ketuhanan
Dalam
filsafat ketuhanan, ikhwan al-Shafa terpengaruh oleh Neo-Pythagoreanisme yang
dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus pada Ikhwan al-Shafa. Barangkali
kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik Ikhwan al-Shafa
mengambilnya sebagai argumen tentang keesaan Allah.
Mereka
melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka, ilmu
bilangan adalah lidah yang mempercakapkan tauhid, al-tanzih, dan
meniadakan sifat tasybih serta dapat menolak atas orang yang
mengingkari keesaan Allah. [8]Ilmu
pengetahuan tentang angka bisa membawa manusia memahami Allah yang maha esa
dengan angka satu sebagai angka pertama.
Mereka
juga mengatakan angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung
pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama
dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu,
keutamaan terletak pada angka yang dahulu yakni satu. Sementara angka dua dan lainnya
terjadinya kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang Maha Esa (Allah)
lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka yang
lain.[9]
Adanya
Allah merupakan sesuatu yang sangat nyata karena dengan fitrahnya manusia bisa
mengenal semua yang ada di alam ini. Tentu saja semua ini ada karena ada
menciptakannya. Dan Allah itu maha esa yang meliputi semesta alam.
Sebagai
aliran filsafat, Ikhwan al-Shafa hadir dengan rasionalisme pemikiran seperti
Mu’tazilah, mereka menolak dan meniadakan sifat bagi Allah. Allah itu satu,
tidak tersusun, karena jika Allah tersusun dengan sifatnya maka akan terganggu
kekadimannya. Allah tidak dapat diserupakan dengan makhluknya, peletakan sifat
bagi Allah hanyalah untuk memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam.
C.
Penciptaan
Filsafat penciptaan Ikhwan al-Shafa
terpengaruh oleh Pythagoras dan Plotinus. Menurut mereka, Allah adalah pencipta
dan mutlak esa. Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan akal pertama atau Akal
Aktif secara emanasi. Kemudian, Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan akal.
Selanjutnya Allah menciptakan materi pertama (al-kayula al-ula). Dengan
demikian, kalau Allah kadim, lengkap dan sempurna, maka akal Pertama juga
demikian. Pada akal pertama segala potensi yang ada akan muncul pada wujud
berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaraan akal,
maka jiwa kadim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Demikian juga halnya materi
pertama karena terciptanya secara emanasi dengan perantaraan jiwa, maka materi
pertama adalah kadim, tidak lengkap dan tidak sempurna.[10]
Kemurnian tauhid dapat senantiasa
terjaga karena Allah tidak berhubungan secara langsung dengan alam materi.
Proses emanasi Allah Maha Pencipta, dari-NYA timbullah: a. Akal Aktif atau akal
pertama (al-‘Aql AL Fa’al)
b. jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
c. Materi Pertama (al-Hayula al-Ula)
d. Alam Aktif (al-Thabi’at al Failat)
e. Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism
al-Muthlaq)
f. Alam Planet-Planet (Alam al-Aflak)
g. Unsur-Unsur alam terendah (‘Anashir al-Alam
al-Sufla), yaitu: air, udara, tanah dan api
h. Materi gabungan, yang terdiri dari
mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu manusia termasuk kelompok
hewan, yaitu hewan yang berbicara dan berpikir.[11]
Selaras
dengan prinsip matematika yang digunakannya maka Ikhwan Al-Shafa dapat
menggabungkan kedelapan mahiyah diatas bersama zat Allah yang mutlak,
maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini juga
membentuk sustansi organik pada tubuh manusia, yakni tulang, sumsum, daging,
urat, darh, saraf, kulit, rambut dan kuku.[12]
Proses
penciptaan secara emanasi diatas, menurut Ikhwan al-Shafa terbagi menjadi dua:
penciptaan sekaligus, (daf’atan wahidah) dan penciptaan secara gradual
(tadrij). Penciptaan sekaligus apa yang mereka sebut alam rohani,
yakni Akal Aktif, Jiwa Universal, dan Materi Pertama. Sementara itu, penciptaan
secara gradual apa yang mereka sebut alam jasmani, yakni Jisim Mutlak dan
seterusnya. Jisim mutlak dan seterusnya. Jism Mutlak tercipta dalam zaman yang
tidak terbatas dalam periode yang panjang. Periode-periode ini akan membentuk
perubahan dalam masa, seperti penciptaan dalam masa enam hari. Tentang
alam semesta, menurut Ikhwan al-Shafa, bukan kadim, tetapi baharu. Karena alam
semesta ini, menurut mereka, diciptakan Allah dengan cara emanasi secara
gradual, mempunyai awal, dan akan berakhir pada masa tertentu.[13]
Dari
pendapat mereka tersebut kita ketahui bahwa penciptaan alam semesta dan seluruh
isinya ini memerlukan proses. Dalam jangka waktu tertentu dia ada dan sampai
pada masanya juga akan berakhir.
D.
Al-Nafs
Menurut Ikhwan al-shafa, tentang jiwa
manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangan jiwa manusia banyak
dipengaruhi oleh materi yang mengitarinya. Agar potensi jiwa itu tidak kecewa
dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal. Jiwa anak-anak pada mulanya
seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih
tersebut akan tertulis dengan adanya
tanggapan panca indera yang menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya
imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), dari sini meningkat kepada daya
berpikir (al-quwwah al-mufakkirah) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada
tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan
buruk. Setelah itu disalurkan ke daya ingatan (al-quwwah al-hafizhah) yang
terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ii seseorang telah sanggup
menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan
terakhir adalah daya berbicara (al-quwwah al-nathiqah), yaitu kemampuan
mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada
pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.[14]
III.
Penutup
1. Ikhwan
al-Shafa (Brethren of Purity atau The Pure Brethen) adalah
nama sekelompok pemikir Muslim Rahasia (filosifiko-religius) berasal dari sekte
Syi’ah Isma’iliyah yang lahir ditengah komunitas Sunni. Merupakan
perkumpulan rahasia yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sesuai
dengan namanya, Ikhwan al-Shafa berarti persaudaraan yang suci dan bersih.
2. Dalam
filsafat ketuhanan, ikhwan al-Shafa terpengaruh oleh Neo-Pythagoreanisme yang
dipadukan dengan filsafat keesaan Plotinus.
3. Adanya
Allah merupakan sesuatu yang sangat nyata karena dengan fitrahnya manusia bisa
mengenal semua yang ada di alam ini. Tentu saja semua ini ada karena ada
menciptakannya. Dan Allah itu maha esa yang meliputi semesta alam.
4. penciptaan
alam semesta dan seluruh isinya ini memerlukan proses. Dalam jangka waktu
tertentu dia ada dan sampai pada masanya juga akan berakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2007), h. 139
Ramayulis
dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam, (Ciputat : PT. Ciputat Press Group, 2005),h. 101
Ya’cub,
A.Tasman, Filsafat Islam, (Padang :
IAIN IB Press, 1999)
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah
Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 64.
Hasymsyah
Nasution, Filsafat Islam, (JAKARTA :
Gaya Media Pratama, 1999), h.47-52
http://faridfann.wordpress.com/2008/05/21/biografi-dan-pemikiran-ikhwan-al-shafa/
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2007), h. 139
[2] Ramayulis dan Syamsul
Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
(Ciputat : PT. Ciputat Press Group, 2005),h. 101
[3] Ya’cub, A.Tasman, Filsafat Islam, (Padang : IAIN IB Press,
1999)
[4] Sirajuddin Zar, Op .Cit,
h. 139
[5] Ramayuilis dan
Syamsul Nizar, Op.Cit, h.102
[6] Sirajuddin Zar, Op. Cit, h.141
[7] Sirajuddin Zar, ibid, h.142-143
[8] Sirajuddin Zar, ibid, h.148
[9] Sirajuddin Zar, ibid,
h.147
[10] Ibid, h.149
[11] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.) oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan,
2002), hal. 64.
[12] Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam, (JAKARTA : Gaya Media
Pratama, 1999), h.47-52
[14] Hasymsyah Nasution, Filsafat Islam, (JAKARTA : Gaya Media
Pratama, 1999), h.47-52
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: