Rabu, 28 Oktober 2015
MU’TAZILAH
I.
Pendahuluan
Dalam kajian pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, dan aplikasinya dalam masyarakat Islam telah melahirkan berbagai
faham,
dokrin, baik dalam bidang fiqih
(ibadah) maupun juga dalam bidang Aqidah (keimanan). Dalam bidang hukum
misalnya terdapat perbedaan pendapat kalangan para Mujtahid terhadap
ketentuan hukum-hukum syariat, Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi’i dan Mazhab Hambali dan para mujtahid yang lainnya, yang terkadang antara satu dengan yang lainnya
terjadi perselisihan pendapat yang sangat jauh, antara kalangan para
mujtahid tersebut. Hal ini terjadi karena perbedaan metode, keragaman sumber,
serta perbedaan dan perselisihan
pendapat penilaian terhadap kesahihan
hadis dan dalil-dalil yang dipergunakan .
Dalam bidang theologi Islam, baik yang berhubungan langsung dengan keimanan kepada Allah, seperti zatNya
dan sifat Tuhan, kekuasaan Tuhan, keimanan
kepada rasul, hari akhirat, hal-hal yang ghaib seperti sorga dan neraka, dan orang-orang yang melakukan dosa-dosa
besar, terdapat juga perselisihan
pendapat kalangan para theolog, sehingga melahirkan sejumlah aliran, faham
seperti Khawarij, Syiah, Murjiah, Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, Maturudiyah
dan Asya’riyyah. yang masing-masing mengklaim bahwa merekalah yang paling
benar.
Apabila di cermati maka sebenarnya
kemunculan perselisihan dalam bidang teologi akidah ( keimanan ) sebenarnya
terjadi sejak terjadinya perebutan kekuasaan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib
dengan Mu’awiyah, yang akhirnya diakhiri dengan Tahkim (perundingan) antara kedua belah fihak. Akibat dari Tahkim (perundingan) tersebut, ada
di antara umat Islam yang tidak menerima keputusan tahkim itu, ada yang memfonis
terhadap orang-orang yang melakukan tahkim tersebut bahwa
mereka yang telah melakukan tahkim tersebut telah melakukan penyelewengan terhadap aturan Allah. Sehingga muncul berbagai kelompok atau
sekte-sekte sehingga ada yang mendukung Ali
yang disebut dengan Syiah ada yang tidak mendukung Ali bahkan mereka
keluar dari perselisihan tersebut yang disebut dengan Khawarij dan ada yang
meyerahkan hal tersebut kepada Allah Swt Murjiah. Yang akibat dari perselisihan ini telah melahirkan sekte-sekte dalam bidang theologi
yang masing-masing menganggap merekalah yang paling benar.
Aliran Mu’tazilah adalah merupakan bagian
dari sekte theologi tersebut dan termasuk aliran yang sangat banyak pengaruhnya
dalam masyarakat Islam terutama kajian terhadap akidah. Mengingat permasalahan Akidah (keimanan)
adalah hal yang sangat-sangat prinsipil, maka sangatlah perlu untuk dibahas
bagaimana pemahaman kaum Mu’tazilah tersebut dalam kajian theologi Islam.
- ASAL USUL MU’TAZILAH
Secara
harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala,
ya’tazilu i’tizalan mu’tazilatun yang
berarti berpisah atau memisahkan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
Ada beberapa pendapat yang
menerangkan apa sebab-sebab maka kaum ini dinamai kaum Mu’tazilah, yaitu :
1. Ada
seorang guru besar di bagdad, namanya
Syeikh Hasan Basri, (meninggal tahun 110 H.) diantara muridnya ada seorang yang
bernama Wasil bin Atho’( meninggal 131H) pada suatu hari Imam Hasan Basri
menerangkan bahwa orang Islam yang telah iman kepada Allah dan rasulnya tetapi
ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim, tetapi muslim
yang durhaka. Diakhirat nanti kalau dia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia
dimasukkan kedalam neraka buat sementara
untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi sesudah
menjalankan hukuman tersebut ia dikeluarkan dari dalam neraka dan dimasukkan
kedalam sorga sebagai seorang mukmin dan muslim.
Wasil bin Atho’ tidak sesuai dengan
pendapat gurunya itu, lantas ia membentak, lalu keluar dari majlis gurunya dan
kemudian mengadakan majlis lain di suatu pojok dari masdjid Basrah itu. Oleh karena
ini maka Washil bin Atho’ di namai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan diri
dari gurunya.
Dalam mengasingkan diri ini ia diikuti
oleh seorang kawannya, namanya Umar bin Ubeid (meninggal 145 H), sejarah tak
mencatat tanggal dan bulan penceraian, tetapi kalau umpamanya usia Wasil ketika itu 40 tahun yaitu usia seseorang yang sudah bertanggung jawab,
maka gerakan ini dimulai tahun 120 H, karena lahirnya Washil bin Atho’ adalah pada
tahun 80 H. Jadi dapat dikatakan bahwa permulaan munculnya faham Mu’tazilah adalah
pada permulaan abad ke dua H, dengan pendirinya Washil bin Atho’ dan Umair bin
Ubeid, sedangkan Khalifah yang berkuasa ketika itu adalah Khalifah Hisyam bin
Abdul Muluk dari Bani Umayah, yaitu dari tahun 100 H sampai tahun 125 H[2].
2. Ada
pula pendapat yang menyebutkan bahwa
sebab dinamakan Mu’tazilah adalah karena mereka mengasingkan diri dari
masyarakat, orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syiah
yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Ali bin Abu Thalib kepada Mu’awiyah lalu mereka menyasingkan diri dari
siasah (politik) dan hanya mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan. Demikian dikatakan oleh Abdul Hasan Tharaifi,
pengarang buku’ Ahlul hawa bil hida,
yang dikutik oleh Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya yang bernama as-Syafi’i
.
Apabila ucapan Tharaifi ini benar, maka
tanggal permulaan gerakan Mu’tazilah ini adalah sekitar tahun 40 H, karena
penyerahan pemerintahan Muawiyah adalah pada tahun 40 H. Baik Thairaifi maupun Muhamd Abu Zahrah tidak
menerangkan nama orang-oprang yang patah hati itu dan juga tidak pula
menerangkan tahun-tahunnya, karena itu pendapat ini tidak begitu kuat, apalagi
kalau dilihat dalam kenyataan-kenyataannya, bahwa orang-orang Mu’tazilah, dalam
prakteknya bukan patah hati, tetapi banyak sekali mencampuri permasalahan
politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al-Ma’mum, Khalifah Al Mu’tashim,
dan khalifah Al-Watsiq dan bahkan di antara mereka ada yang duduk mendampingi
kepala negara sebagai penasehatnya.
- AL-USHUL AL-KHAMSAH
Al-Ushul Al-Khamsah adalah lima dasar ajaran
pokok Mu’tazilah, kelima ajaran pokok ini adalah merupakan dasar-dasar yang
yang sangat prinsipil dari ajaran Mu’tazilah antara lain adalah :
1. Tauhid
( Pengesaan Tuhan )
Bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang
sangat spesifik, Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat
mengurangi arti kemaha esaanNya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tak ada satupun yang menyamainya. oleh
karena itu hanya dialah yang qodim, Bila
ada yang qodim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-Qudama (berbilangnya
zat yang tak berpermulaan).
Mu’tazilah tidak mengakui akan adanya
sifat-sifat Tuhan, mereka menolak konsep bahwa Tuhan memiliki
sifat-sifat, Tuhan adalah zat yang tunggal tampa sifat. Tuhan mendengar dengan zatnya, Tuhan berkata
dengan zatNya. Sifat Tuhan tidak ada. Mereka berpendapat bahwa Tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyerupaiNya, Dia maha melihat, maha mendengar, maha kuasa, maha mengetahui,
dan sebagainya. Namun mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya
itu bukan sifat melainkan zatnya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang
melekat, bila sifat Tuhan yang qodim, berarti ada dua yang qodim yaitu zat dan
sifatnya.
Washil
bin Atho’ dikutik oleh Asy-Syahrastani
mengatakan, sifat-sifat yang mengatakan
sifat yang qodim berarti telah menduakan Tuhan [3]. Ini tidak dapat diterima karena merupakan
perbuatan syirik.
Dokrin
tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang yang
menyamai Tuhan, Begitu pula sebaliknya
Tuhan tidak serupa dengan makhluknya. Tuhan adalah esa oleh karena itu, tidaklah
layak baginya diserupakan dengan makhluk. Segala yang mengesankan adanya sifat-sifat
Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Tegasnya Mu’tazilah menolak akan adanaya penyamaan
Tuhan dengan makhluk, penolakan terhadap paham ini, bukan semata-mata atas
pertimbangan akal melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan
pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan
(pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang maha mendengar danmelihat.[4]
2. al-Adl
2. al-Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah
Al-adl yang berarti Tuhan maha adil. Adil ini merupakan
sifat yang paling mudah untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan maha
sempurna, dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan
benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini
sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila
bertindak yang baik, dan terbaik dan bukan yang tidak baik, begitu pula Tuhan
itu adil apabila tidak melanggar
janjinya.[5]
Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya.
Adapun dasar yang digunakan oleh Mu’tazilah yaitu
Al-qur’an surat an-nisa ayat 111
Dan Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia
mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.[6]
Menurut
Mu’tazilah manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan diberi
pahala olehnya kalau ia membuat amal ibadat yang baik. Oleh karena itu sekalian
perbuatan manusia di atas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia itu
sendiri, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia
tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang
akan dikerjakan oleh manusia.
3. al-Wa’d
wa al-Wa’id
al-wa’ad wa al-wa’id berarti janji dan
ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya,
Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala
sorga bagi yang berbuat baik, dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang
durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang
bertobat nasuha pasti benar adanya, ini sesuai dengan prinsip keadilan.
Jelasnya siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapapun
yang berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
54. Maka pada hari
itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali
dengan apa yang telah kamu kerjakan (Qs. Yasin : 54)[7]
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan
selain menunaikan janjinya, yaitu
memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali
orang yang sudah bertobat nasuha. Tidak
ada harapan bagi pendurhaka kecuali bila
dia tobat, kejahatan yang menyebabkan masuk neraka adalah dosa besar sedangkan
terhadap dosa kecil Tuhan mungkin mengampuninya.
4. Al-Manzilah
bain al-Manzilatain
Ajaran
ini yang mula-mula menjadi penyebab
lahirnya mazhab Mu’tazilah, pokok
dari ajaran ini adalah bahwa orang
mukmin yang melakukan dosa-dosa besar,
dan belum bertobat bukan lagi mukmin ataupun kapir tetapi menurut Mu’tazilah mereka itu adalah
orang yang fasik.
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan
sebagai orang yang mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan menuntut akan adanya kepatuhan kepada Tuhan, kepatuhan kepada Tuhan tidaklah cukup hanya melalui
pengakuan dan pembenaran saja. Berdosa
besar bukanlah merupakan kepatuhan terhadap Tuhan melainkan kedurhakaan pelakunya
dan tidak dapat dikatakan kapir secara mutlak, karena ia masih percaya kepada
Tuhan dan Rasul dan mengerjakan pekerjaan yang baik, hanya saja kalau mereka
meninggal sebelum bertobat dia masukkan ke dalam neraka disuatu tempat yang lain yang bukan di neraka
tempatnya orang kapir, tetapi mereka tinggal diantara dua tempat di yakni antara
sorga dan neraka, tempat diantara dua tempat.
Menurut Mu’tazilah mereka ini tidak layak
berada dineraka sebab mereka masih percaya kepada Tuhan dan rasulNya, dan tidak
juga layak masuk sorga karena mereka berbuat dosa
besar. Jadi mereka menempati (berada) di
antara dua tempat yakni antara sorga dan neraka.
5. al-amr
bi al-ma’ruf wa an-naha anil mungkar
Ajaran
dasar Mu’tazilah yang kelima adalah
menyuruh kebajikan dan melarang akan kemungkaran.
Ajaran ini menekankan keberpihakan
kepada kebenaran dan kebaikan. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan
perbuatan baik diantaranya menyuruh orang lain berbut ma’ruf dan mencegahnya
dari kejahatan.
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mukmin dalam beramar ma’ruf
nahi mungkar, seperti yang dijelaskan oleh seorang tokoh Mu’tazilah, Abd Al-Jabbar
yaitu berikut ini :
a. Ia
mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu
memang mungkar
b. Ia
mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
c. Ia
mengtahui bahwa perbuatan amr
ma’ruf atau nahi mungkar tidak akan
membawa mudarat yang lebih besar
d. Ia
mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya[8]
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan
mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaaannya.
Menurut Mu’tazilah jika memang
diperlukan, maka kekerasan dapat ditempuh
untuk mewujudkan ajaran tersebut, asalkan tugas amar ma’ruf nahi mungkar tersebut dapat terlaksana . Adapaun dalil yang
digunakan adalah Qur’an surat ayat 104
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar];
merekalah orang-orang yang beruntung.[9]
C.
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MU’TAZILAH
1.
Akal dan wahyu
Sepanjang
sejarah membuktikan bahwa salah satu
keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah adalah mereka membentuk mazhabnya banyak
menggunakan akal. dan mereka menempatkan akal di atas wahyu, apabila sesuatu tersebut dapat di terima oleh akal berarti hal tersebut
sesuai dengan sunnah, tetapi apabila tidak sesuai dengan akal mereka menolak,
kendalipun hal itu terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Sebagai
Contoh, kaum Mu’tazilah tidak menerima isro’ dan mi’raj walaupun ada ayat Al-Qur’an
dan hadis Nabi yang sahih menyatakan hal
tersebut, karena hal tersebut menurut mereka adalah bertentangan dengan akal
sehat manusia. Kaum Mu’tazilah juga menolak adanya kebangkitan
dari kubur, dan siksa kubur, karena
mustahil mereka mandapatkan azab dalam kubur yang sempit itu, hal itu tidak
sesuai dengan akal[10]
2.
Sifat Tuhan
Kaum
Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mendengar dengan
zat, Tuhan melihat dengan zatNya dan Tuhan berkata dengan zatNya. Menurut meraka dasar faham ini adalah tauhid , kalau Tuhan
pakai sifat berarti Tuhan itu dua yaitu zat dan sifat.
Kaum
Mu’tazilah mencoba menyelesaikan
persoalan ini dengan menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Defenisi
mereka tentang Tuhan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh As’yari
adalah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat dan sebagainya ini tidak
berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup,
Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkusa tetapi bukan dengan sifat dalam
arti kata yang sebenarnya. Artinya Tuhan
mengetahui dengan pengetahun, dan
pengetahuan itu adalah pengetahuan
sendiri, dengan demikian pengetahuan Tuhan sebagaimana dijelaskan oleh
Abu Al-Khuzail adalah Tuhan Sendiri,
yaitu zat atau esensi Tuhan
Arti Tuhan mengetahui dengan esensinya
kata Al-Juba’i adalah, bahwa untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak
berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk
pengetahuan atau keadaan mengetahui .[11]
3.
Iman dan Kufur
Menurut
Mu’tazilah Iman dan kufur adalah dua hal yang tidak dapat disatukan, karena itu mereka mengatakan bahwa orang
mukmin yang kufur yang melakukan dosa besar pada hakikatnya dia bukan mukmin
lagi, dan apabila dia meninggal dalam keadaan tidak bertobat maka di akhirat
nanti dia dimasukkan kedalam neraka, mereka ini adalah orang yang fasik yang bukan
mukmin dan bukan pula kapir
4.
Perbuatan manusia
Mu’tazilah
mengitikadkan bahwa pekerjaan manusia dibuat
oleh manusia itu sendiri bukan oleh
Tuhan. Tuhan sama sekali tidak tahu apa yang sedang dan akan dibuat oleh
manusia, bagi mereka Khalik itu dua, yang pertama Tuhan yang menjadikan langit
dan bumi, dan yang lain manusia yang menjadikan perbuatannya sendiri
Menurut Mu’tazilah manusia melakukan
perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara
langsung maupun tidak, manusia benar-benar bebas dalam melakukan pilihan
perbuatannya baik ataupun buruk. Tuhan
hanya menyuruh dan menghendaki yang baik
saja bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah yang baik dan apa
yang dilarang -Nya tentulah yang buruk, Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk,
dengan demikian apapun yang akan diperoleh oleh manusia di akhirat nanti adalah
merupakan perbuatannya di dunia, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan
kejahatan akan dibalas dengan keburukan, karena ia berbuat atas kemauan dan
kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa. Adapun dalil yang mereka pergunakan
adalah Qur’an surat Ali Imran ayat 165
165. Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud),
padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu
(pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan)
ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri."
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[12]
5.
Perbuatan Tuhan dan Mihnah
Aliran
Mu’tazilkah berpendapat bahwa perbuatan
Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak
mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan
yang buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Dalam Al-Qur’an jelas dikatakan bahwa Tuhan
tidaklah berbuat zhalim. Diantara ayat Al-Qur’an yang dijadikan Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya adalah surat al-Anbiya ayat 23 dan surat ar-Rum ayat
8.
8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan
sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan,denganTuhannya. [14]
Qodi Abd Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan maha suci dari perbuatan yang buruk. Dengan demikian Tuhan tidak perlu ditanya tentang apa yang Ia lakukan. Adapun ayat kedua menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk[15]
Qodi Abd Jabar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan maha suci dari perbuatan yang buruk. Dengan demikian Tuhan tidak perlu ditanya tentang apa yang Ia lakukan. Adapun ayat kedua menurut al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk[15]
karena
itu Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban kepada manusia
yaitu kewajiban berbuat baik kepada manusia. Konsekwensi hal demikian memunculkan faham kewajiban Allah sebagai
berikut :
a.
Kewajiban tidak memberi beban diluar
kemampuan manusia
Memberikan
beban diluar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik, Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia.
b.
Kewajiban mengirimkan rasul
Argumentasi
mereka adalah bahwa kondisi akal manusia yang tidak dapat mengetahui setiap apa
yang harus diketahui manusia tentang Tuhan
dan alam ghaib, oleh karena itu Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia
dengan cara mengirimkan rasul, tampa rasul
manusia tidak akan dapat memperoleh hidup baik dan terbaik dunia dan
akhirat.
c.
Kewajiban menepati janji dan ancaman
Argumentasi
Mu’tazilah dalam hal ini adalah Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak
menepati janjinya untuk memberikan pahala
bagi orang yang berbuat baik dan
menjalankan hukuman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan
tidak menjalankan ancaman bagi yang
berbuat baik dan buruk tersebut bertentangan dengan maslahah dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman
adalah wajib bagi Tuhan.
II.
Kesimpulan
Dari
uraian tentang Mu’tazilah pada pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan
bahwa :
Mu’tazilah adalah suatu aliran dalam theologi Islam yang lahir akibat
adanya perselisihan dalam kajian terhadap masalah keimanan (i’tikad).
Tokoh yang paling utama adalah Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid. Dasar pengajian mereka adalah al-Ushul
al-Khamsah. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan hanya
mempunyai zat, Ia mendengar, Ia melihat, Ia berbicara hanya melalui zatnya.
Tuhan maha adil, dan akan menepati janjinya. Orang yang mengerjakan dosa besar
bukanlah mukmin dan bukan pula kapir, tetapi ia adalah orang yang fasik, jika
ia meninggal dalam keadaan berdosa, maka diakhirat ia menempati satu tempat
yang bukan di sorga dan bukan di neraka, tetapi diantara keduanya. buruk dan
baik ditentukan oleh akal manusia itu sendiri, Qur’an dan hadis di bawah akal, pekerjaan manusia adalah dijadikan oleh
manusia itu sendiri tampa campur tangan Tuhan. Isro’ dan mi’raj dan azab kubur tidak ada
karena bertentangan dengan akal. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ajaran Islam
yang mesti dilakukan, jika memang
diperlukan maka kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
DAFTAR
BACAAN
Luwis Ma’luf Al-munjid Al-lughah . Darul kitab
Al-Arabi, cet. X, Beirut
Sirajuddin Abbas, I’tikad Ahlus sunnah wal Jamaah, Bandung,
cet . 5
Abdul Rozak, Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, cet. 1,
Abd
Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, Kairo,
1965
M.
Yunan Yusuf , Alam pikiran Islam Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990 , hlm 90
Al-Asqalaniy, Ahmad bin Aliy Hajar Fath al-Bary , Dar –al-Fikr wa
Maktabat salafiyah
Said
Agil Al-Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, Ciputat Jakarta 2004
Muhammad
Thaha , Ushul at-takhrij wa Dirasah
al-asanid , Bairut Dar Al-qur’an Karim, 1978
Al-Imam
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Shahih Al-Bukhari, pustaka adil
Surabaya,2010
Ibnu
hamzah Al-Husaini Al -Hanafi Ad-Damsiqi, Asbabul Wurud , kalam mulia
Jakarta , 2002.
Urut terapi strok
Penyebabnya adalah
pembukuan darah pada otak kecil
Cara mengurut setelah
dibaca ayat-ayat ruqyah
1.
Diurut dari kepala
dimulai dari urutan antara dua alis mata diurut kebawah, ditekan dengan
dua jari ibu dan telunjuk ditekan dengan kuat, lalu dikuakkan
2.
Diurut dari
antara dua alis kekanan dan kekiri, diatas bulu alis mata kiri kanan beberapa
kali,
3.
Diurut dari
antara dua alis ditekan kekiri dan kanan, lalu
terus kewajah, lalu diurut diwajah dibawah pipi diatas gigi
4.
Diurut disebelah
leher belakang kanan dan kiri. Pada hakikatnya jika jka stroknya sebelah kanan
maka yang diurut itu otak belakang sebelah kiri, jika sebelah kiri maka yang diurut sebalah kanan
5.
Lalu diurut leher,
punggung kebawah . terutama daerah pergelangan tangan punggung belakang kiri
dan kanan.
6.
Diurut ketangan
kebawah terutama bagian bawah siku tangan
7.
Diurut kaki,
kanan dan kiri terutama paha terutama biwaha betis pada kanan dan kiri
8.
Diurut dibawah
telapah kaki dipijit ditengah-tengah kaki , lalu dibelakang mata kaki ,
kemudian diatas kelapak kaki
9.
Diurut anak-anak
jari kaki, bisa disepit dengan anak jari telunjuk dan ibu jari.
[3]
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, cet. 1, hlm, 81
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta, PT Sygma Examidia Arkanleema,
2009 , hal. 96
[5]
Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, Kairo,
1965 hlm 132
[6]
Op.Cit hal. 96
[7].
Departemen Agama Al-Quran dan terjemahannya, hal 443
[9]
Al-quran Dan Terjemahannya, Op.Cit hal. 63
[11]
Abdul Razzak, Ilmu Kalam, hlm
169
[12].
Al-Qur”an dan terjemahannya, Op.Cit hal.71
[13] Al-quran dan terjemahannya , Op.Cit hal.323
[14]
Ibid, 405
[15]
M. Yunan Yusuf , Alam pikiran islam : Pemikiran Kalam, Perkasa jakarta, 1990 ,
h. 90
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: