Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 28 Oktober 2015

Widgets

MU’TAZILAH




I.         Pendahuluan
          Dalam kajian pemahaman terhadap  al-Qur’an dan al-Sunnah, dan aplikasinya  dalam masyarakat Islam telah melahirkan berbagai  faham,    dokrin, baik dalam bidang fiqih (ibadah) maupun juga dalam bidang Aqidah (keimanan).  Dalam bidang  hukum  misalnya terdapat perbedaan pendapat kalangan para Mujtahid terhadap ketentuan hukum-hukum syariat,  Mazhab  Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab  Syafi’i dan Mazhab Hambali   dan para mujtahid yang lainnya,  yang terkadang antara satu dengan yang lainnya terjadi perselisihan  pendapat  yang sangat jauh, antara kalangan para mujtahid tersebut. Hal ini terjadi karena perbedaan metode, keragaman sumber, serta perbedaan dan perselisihan  pendapat  penilaian terhadap kesahihan hadis dan dalil-dalil yang dipergunakan .
            Dalam bidang  theologi Islam,  baik yang berhubungan  langsung  dengan keimanan kepada Allah, seperti zatNya dan sifat Tuhan, kekuasaan Tuhan,  keimanan kepada rasul, hari akhirat, hal-hal yang ghaib seperti sorga dan neraka,  dan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, terdapat juga  perselisihan pendapat kalangan para theolog, sehingga melahirkan sejumlah aliran, faham seperti Khawarij, Syiah, Murjiah, Jabariyah, Qodariyah, Mu’tazilah, Maturudiyah dan Asya’riyyah. yang masing-masing mengklaim bahwa merekalah yang paling benar.
            Apabila di cermati maka sebenarnya kemunculan perselisihan dalam bidang teologi akidah ( keimanan ) sebenarnya terjadi sejak terjadinya perebutan kekuasaan antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah, yang akhirnya diakhiri dengan Tahkim (perundingan)  antara kedua belah fihak.  Akibat dari Tahkim (perundingan) tersebut, ada di antara umat Islam yang tidak menerima keputusan tahkim itu, ada yang memfonis terhadap orang-orang yang melakukan  tahkim tersebut   bahwa mereka yang telah melakukan tahkim tersebut telah melakukan  penyelewengan terhadap aturan Allah.  Sehingga muncul berbagai kelompok atau sekte-sekte sehingga ada yang mendukung Ali  yang disebut dengan Syiah ada yang tidak mendukung Ali bahkan mereka keluar dari perselisihan tersebut yang disebut dengan Khawarij dan ada yang meyerahkan hal tersebut kepada Allah Swt  Murjiah.  Yang akibat dari perselisihan  ini telah melahirkan sekte-sekte dalam bidang theologi yang masing-masing menganggap merekalah yang paling benar.
          Aliran Mu’tazilah adalah merupakan bagian dari sekte theologi tersebut dan termasuk aliran yang sangat banyak pengaruhnya dalam masyarakat Islam terutama kajian terhadap akidah.  Mengingat permasalahan Akidah (keimanan) adalah hal yang sangat-sangat prinsipil, maka sangatlah perlu untuk dibahas bagaimana pemahaman kaum Mu’tazilah tersebut dalam kajian theologi Islam.
  1. ASAL USUL MU’TAZILAH
              Secara harfiah, kata Mu’tazilah berasal dari  i’tazala, ya’tazilu  i’tizalan mu’tazilatun yang berarti berpisah  atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
              Ada beberapa pendapat yang menerangkan apa sebab-sebab maka kaum ini dinamai kaum Mu’tazilah, yaitu :
1.      Ada seorang  guru besar di bagdad, namanya Syeikh Hasan Basri, (meninggal tahun 110 H.) diantara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atho’( meninggal 131H) pada suatu hari Imam Hasan Basri menerangkan bahwa orang Islam yang telah iman kepada Allah dan rasulnya tetapi ia kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim, tetapi muslim yang durhaka. Diakhirat nanti kalau dia wafat sebelum taubat dari dosanya, ia dimasukkan kedalam neraka buat sementara  untuk menerima hukuman atas perbuatan dosanya, tetapi sesudah menjalankan hukuman tersebut ia dikeluarkan dari dalam neraka dan dimasukkan kedalam sorga sebagai seorang mukmin dan muslim.
        Wasil bin Atho’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya itu, lantas ia membentak, lalu keluar dari majlis gurunya dan kemudian mengadakan majlis lain di suatu pojok dari masdjid Basrah itu. Oleh karena ini maka Washil bin Atho’ di namai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan diri dari gurunya.
        Dalam mengasingkan diri ini ia diikuti oleh seorang kawannya, namanya Umar bin Ubeid (meninggal 145 H), sejarah tak mencatat tanggal dan bulan penceraian, tetapi kalau umpamanya usia  Wasil ketika itu  40 tahun  yaitu usia seseorang yang sudah bertanggung jawab, maka gerakan ini dimulai tahun 120 H,  karena lahirnya Washil bin Atho’ adalah pada tahun 80 H. Jadi dapat dikatakan bahwa permulaan munculnya faham Mu’tazilah adalah pada permulaan abad ke dua H, dengan pendirinya Washil bin Atho’ dan Umair bin Ubeid, sedangkan Khalifah yang berkuasa ketika itu adalah Khalifah Hisyam bin Abdul Muluk dari Bani Umayah, yaitu dari tahun 100 H sampai tahun 125 H[2].
2.      Ada pula pendapat  yang menyebutkan bahwa sebab dinamakan Mu’tazilah adalah karena mereka mengasingkan diri dari masyarakat, orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syiah yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Ali bin Abu Thalib kepada  Mu’awiyah lalu mereka menyasingkan diri dari siasah (politik) dan hanya mengadakan kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan.  Demikian dikatakan oleh Abdul Hasan Tharaifi, pengarang buku’ Ahlul hawa bil hida,  yang dikutik oleh Muhammad Abu Zaharah dalam bukunya yang bernama as-Syafi’i .
        Apabila ucapan Tharaifi ini benar, maka tanggal permulaan gerakan Mu’tazilah ini adalah sekitar tahun 40 H, karena penyerahan pemerintahan   Muawiyah adalah pada tahun 40 H.  Baik Thairaifi maupun Muhamd Abu Zahrah tidak menerangkan nama orang-oprang yang patah hati itu dan juga tidak pula menerangkan tahun-tahunnya, karena itu pendapat ini tidak begitu kuat, apalagi kalau dilihat dalam kenyataan-kenyataannya, bahwa orang-orang Mu’tazilah, dalam prakteknya bukan patah hati, tetapi banyak sekali mencampuri permasalahan politik dan bahkan sampai mendominasi Khalifah Al-Ma’mum, Khalifah Al Mu’tashim, dan khalifah Al-Watsiq dan bahkan di antara mereka ada yang duduk mendampingi kepala negara sebagai penasehatnya.
  1. AL-USHUL AL-KHAMSAH
   Al-Ushul Al-Khamsah adalah lima dasar ajaran pokok Mu’tazilah, kelima ajaran pokok ini adalah merupakan dasar-dasar yang yang sangat prinsipil dari ajaran Mu’tazilah antara lain adalah :
1.      Tauhid ( Pengesaan Tuhan )
      Bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang sangat spesifik, Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemaha esaanNya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa,  yang unik dan tak ada satupun yang menyamainya.   oleh karena itu  hanya dialah yang qodim, Bila ada yang qodim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-Qudama (berbilangnya zat yang tak berpermulaan).
           Mu’tazilah tidak mengakui akan adanya sifat-sifat  Tuhan,  mereka menolak konsep bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat, Tuhan adalah zat yang tunggal tampa sifat.  Tuhan mendengar dengan zatnya, Tuhan berkata dengan zatNya. Sifat Tuhan tidak ada. Mereka berpendapat bahwa Tuhan itu esa,  tak ada satupun yang  menyerupaiNya,  Dia maha melihat,  maha mendengar, maha kuasa, maha mengetahui, dan sebagainya.   Namun  mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan zatnya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat, bila sifat Tuhan yang qodim, berarti ada dua yang qodim yaitu zat dan sifatnya.
           Washil bin Atho’ dikutik oleh Asy-Syahrastani  mengatakan, sifat-sifat yang mengatakan sifat yang qodim berarti telah menduakan Tuhan [3].  Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.
           Dokrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang yang menyamai Tuhan,  Begitu pula sebaliknya Tuhan tidak serupa dengan makhluknya. Tuhan adalah esa oleh karena itu, tidaklah layak baginya diserupakan dengan makhluk. Segala yang mengesankan adanya sifat-sifat Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil.   Tegasnya Mu’tazilah menolak akan adanaya penyamaan Tuhan dengan makhluk, penolakan terhadap paham ini, bukan semata-mata atas pertimbangan akal melainkan memiliki rujukan yang sangat  kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berlandaskan pada pernyataan Al-Qur’an yang berbunyi:
        
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang maha mendengar danmelihat.[4]

2. al-Adl
      Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah Al-adl yang berarti Tuhan maha adil. Adil ini merupakan sifat yang paling mudah untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan maha sempurna, dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak yang baik, dan terbaik dan bukan yang tidak baik, begitu pula Tuhan itu adil  apabila tidak melanggar janjinya.[5] Dengan demikian Tuhan terikat dengan janjinya.
Adapun dasar yang digunakan oleh Mu’tazilah yaitu Al-qur’an surat an-nisa ayat 111
Dan Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[6]
Menurut Mu’tazilah manusia dihukum oleh Tuhan karena ia mengerjakan dosa dan diberi pahala olehnya kalau ia membuat amal ibadat yang baik. Oleh karena itu sekalian perbuatan manusia di atas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia itu sendiri, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Semua pekerjaan manusia tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan dan bahkan Tuhan tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh manusia.
3.      al-Wa’d wa al-Wa’id
          al-wa’ad wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana tidak akan melanggar janjinya, Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya sendiri, yaitu memberi pahala sorga bagi yang berbuat baik, dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya, ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya siapapun yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapapun yang berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
      54. Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan (Qs. Yasin : 54)[7]

            Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan selain menunaikan janjinya,  yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha.    Tidak ada  harapan bagi pendurhaka kecuali bila dia tobat, kejahatan yang menyebabkan masuk neraka adalah dosa besar sedangkan terhadap dosa kecil Tuhan mungkin mengampuninya.
4.      Al-Manzilah bain al-Manzilatain
          Ajaran ini yang mula-mula menjadi penyebab  lahirnya mazhab Mu’tazilah,  pokok dari ajaran ini adalah  bahwa orang mukmin yang melakukan dosa-dosa besar,  dan belum bertobat bukan lagi mukmin ataupun kapir  tetapi menurut Mu’tazilah mereka itu adalah orang yang fasik.
           Menurut pandangan Mu’tazilah,  pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai orang yang mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan  menuntut akan adanya kepatuhan kepada Tuhan,  kepatuhan kepada Tuhan tidaklah cukup hanya melalui pengakuan dan pembenaran saja.  Berdosa besar bukanlah merupakan kepatuhan terhadap Tuhan melainkan kedurhakaan pelakunya dan tidak dapat dikatakan kapir secara mutlak, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Rasul dan mengerjakan pekerjaan yang baik, hanya saja kalau mereka meninggal sebelum bertobat dia masukkan  ke dalam neraka  disuatu tempat yang lain yang bukan di neraka tempatnya orang kapir, tetapi mereka tinggal diantara dua tempat di yakni antara sorga dan neraka, tempat diantara dua tempat.  
            Menurut Mu’tazilah mereka ini tidak layak berada dineraka sebab mereka masih percaya kepada Tuhan dan rasulNya, dan tidak  juga  layak masuk sorga karena mereka berbuat dosa besar.  Jadi mereka menempati (berada) di antara dua tempat yakni antara sorga dan neraka.
5.      al-amr bi al-ma’ruf wa an-naha anil mungkar
           Ajaran dasar Mu’tazilah yang kelima  adalah menyuruh kebajikan  dan melarang akan kemungkaran.  Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik diantaranya menyuruh orang lain berbut ma’ruf dan mencegahnya dari kejahatan.
           Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mukmin dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, seperti yang dijelaskan oleh seorang tokoh Mu’tazilah, Abd Al-Jabbar yaitu berikut ini :
a.      Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang mungkar
b.      Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan orang
c.      Ia mengtahui bahwa perbuatan  amr ma’ruf   atau nahi mungkar tidak akan membawa mudarat yang lebih besar
d.     Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya[8]
            Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaaannya. Menurut Mu’tazilah  jika memang diperlukan, maka kekerasan dapat ditempuh  untuk mewujudkan ajaran tersebut,  asalkan tugas amar ma’ruf nahi mungkar  tersebut dapat terlaksana . Adapaun dalil yang digunakan adalah Qur’an surat  ayat 104

104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar]; merekalah orang-orang yang beruntung.[9]

C.     PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MU’TAZILAH
1.    Akal dan wahyu
Sepanjang  sejarah membuktikan bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah adalah mereka membentuk mazhabnya banyak menggunakan akal. dan mereka menempatkan akal di atas wahyu,  apabila sesuatu tersebut  dapat di terima oleh akal berarti hal tersebut sesuai dengan sunnah, tetapi apabila tidak sesuai dengan akal mereka menolak, kendalipun hal itu terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Sebagai Contoh, kaum Mu’tazilah tidak menerima isro’ dan mi’raj walaupun ada ayat Al-Qur’an  dan hadis Nabi yang sahih menyatakan hal tersebut, karena hal tersebut menurut mereka adalah bertentangan dengan akal sehat  manusia.  Kaum Mu’tazilah juga menolak adanya kebangkitan  dari kubur, dan siksa kubur, karena mustahil mereka mandapatkan azab dalam kubur yang sempit itu, hal itu tidak sesuai dengan akal[10]
2.      Sifat Tuhan
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mendengar dengan zat, Tuhan melihat dengan zatNya dan Tuhan berkata dengan zatNya. Menurut  meraka dasar faham ini adalah tauhid , kalau Tuhan pakai sifat berarti Tuhan itu dua yaitu zat dan sifat.
Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Defenisi mereka tentang Tuhan,   sebagaimana yang telah disampaikan oleh As’yari adalah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan,  kekuasaan, hajat dan sebagainya ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkusa tetapi bukan dengan sifat dalam arti  kata yang sebenarnya. Artinya Tuhan mengetahui dengan pengetahun,   dan pengetahuan itu adalah pengetahuan  sendiri, dengan demikian pengetahuan Tuhan sebagaimana dijelaskan oleh Abu Al-Khuzail  adalah Tuhan Sendiri, yaitu zat atau esensi Tuhan
            Arti Tuhan mengetahui dengan  esensinya  kata Al-Juba’i adalah, bahwa untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak berhajat  kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui .[11]

3.      Iman dan Kufur
Menurut Mu’tazilah Iman dan kufur adalah dua hal yang tidak dapat disatukan,  karena itu mereka mengatakan bahwa orang mukmin yang kufur yang melakukan dosa besar pada hakikatnya dia bukan mukmin lagi, dan apabila dia meninggal dalam keadaan tidak bertobat maka di akhirat nanti dia dimasukkan kedalam neraka,  mereka ini adalah orang yang fasik yang bukan mukmin dan bukan pula kapir
4.      Perbuatan manusia
Mu’tazilah mengitikadkan bahwa pekerjaan manusia  dibuat oleh manusia itu sendiri  bukan oleh Tuhan. Tuhan sama sekali tidak tahu apa yang sedang dan akan dibuat oleh manusia, bagi mereka Khalik itu dua, yang pertama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, dan yang lain manusia yang menjadikan perbuatannya sendiri
            Menurut Mu’tazilah manusia melakukan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak, manusia benar-benar bebas dalam melakukan pilihan perbuatannya baik ataupun buruk.  Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki  yang baik saja bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah yang baik dan apa yang dilarang -Nya  tentulah yang buruk,  Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk, dengan demikian apapun yang akan diperoleh oleh manusia di akhirat nanti adalah merupakan perbuatannya di dunia, kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan akan dibalas dengan keburukan, karena ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa. Adapun dalil yang mereka pergunakan adalah Qur’an surat Ali Imran  ayat 165
165. Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[12]

5.      Perbuatan Tuhan dan Mihnah
Aliran Mu’tazilkah  berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.  Namun ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan yang buruk  karena Ia mengetahui  keburukan dari perbuatan buruk itu.  Dalam Al-Qur’an jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zhalim. Diantara ayat Al-Qur’an yang dijadikan Mu’tazilah  untuk mendukung pendapatnya adalah  surat al-Anbiya ayat 23 dan surat ar-Rum ayat 8.
 23. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.[13]
8. Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan,denganTuhannya. [14]

                Qodi  Abd   Jabar,  seorang  tokoh Mu’tazilah  mengatakan bahwa ayat  tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik   dan maha suci dari perbuatan yang buruk.  Dengan demikian  Tuhan tidak perlu ditanya tentang apa yang Ia lakukan.  Adapun ayat kedua menurut al-Jabar  mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk[15]
            karena itu Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban kepada  manusia  yaitu kewajiban berbuat baik kepada manusia. Konsekwensi hal demikian  memunculkan faham kewajiban Allah sebagai berikut :
a.       Kewajiban tidak memberi beban diluar kemampuan manusia
Memberikan beban  diluar kemampuan manusia  adalah bertentangan  dengan faham berbuat baik  dan terbaik,  Hal ini bertentangan  dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan.  Tuhan akan bersifat tidak adil  kalau Ia memberikan  beban yang terlalu berat kepada manusia.
b.      Kewajiban mengirimkan rasul
Argumentasi mereka adalah bahwa kondisi akal manusia yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan  dan alam ghaib, oleh karena itu Tuhan berkewajiban  berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirimkan rasul, tampa rasul   manusia tidak akan dapat memperoleh hidup baik dan terbaik dunia dan akhirat.
c.       Kewajiban menepati janji dan ancaman
     Argumentasi Mu’tazilah dalam hal ini adalah Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janjinya  untuk memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik  dan menjalankan hukuman bagi orang yang berbuat jahat.  Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman  bagi yang berbuat baik dan buruk tersebut bertentangan dengan maslahah  dan kepentingan manusia. Oleh karena itu  menepati janji  dan menjalankan  ancaman   adalah wajib bagi Tuhan.









II.                Kesimpulan
Dari uraian tentang Mu’tazilah pada pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa  :  Mu’tazilah adalah suatu aliran dalam theologi Islam yang lahir akibat adanya perselisihan dalam kajian terhadap masalah keimanan  (i’tikad).  Tokoh yang paling utama adalah Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid.  Dasar pengajian mereka adalah al-Ushul al-Khamsah. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan hanya mempunyai zat, Ia mendengar, Ia melihat, Ia berbicara hanya melalui zatnya. Tuhan maha adil, dan akan menepati janjinya. Orang yang mengerjakan dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kapir, tetapi ia adalah orang yang fasik, jika ia meninggal dalam keadaan berdosa, maka diakhirat ia menempati satu tempat yang bukan di sorga dan bukan di neraka, tetapi diantara keduanya. buruk dan baik ditentukan oleh akal manusia itu sendiri, Qur’an dan hadis di bawah akal,  pekerjaan manusia adalah dijadikan oleh manusia itu sendiri tampa campur tangan Tuhan.  Isro’ dan mi’raj dan azab kubur tidak ada karena bertentangan dengan akal. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ajaran Islam yang mesti dilakukan,  jika memang diperlukan maka kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.  











DAFTAR BACAAN

Luwis Ma’luf Al-munjid Al-lughah . Darul kitab Al-Arabi, cet.  X, Beirut
 
Sirajuddin Abbas, I’tikad Ahlus sunnah wal Jamaah, Bandung, cet . 5

Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, cet. 1,

Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, Kairo, 1965 
M. Yunan Yusuf , Alam pikiran Islam Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990 , hlm 90
Al-Asqalaniy, Ahmad bin Aliy Hajar  Fath al-Bary , Dar –al-Fikr wa Maktabat salafiyah
Said Agil Al-Munawwar, Al-Qur’an Membangun Tradisi   Kesalehan Hakiki, Ciputat  Jakarta 2004
Muhammad Thaha , Ushul at-takhrij wa Dirasah   al-asanid , Bairut Dar Al-qur’an Karim, 1978
Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Shahih Al-Bukhari, pustaka adil Surabaya,2010
Ibnu hamzah Al-Husaini Al -Hanafi Ad-Damsiqi, Asbabul Wurud , kalam mulia Jakarta , 2002. 








Urut terapi  strok
                                           
Penyebabnya adalah pembukuan darah pada otak kecil
Cara mengurut setelah dibaca ayat-ayat ruqyah
1.      Diurut  dari kepala  dimulai dari urutan antara dua alis mata diurut kebawah, ditekan dengan dua jari ibu dan telunjuk ditekan dengan kuat, lalu dikuakkan
2.      Diurut dari antara dua alis kekanan  dan kekiri,  diatas bulu alis mata kiri kanan beberapa kali,
3.      Diurut dari antara dua alis ditekan kekiri dan kanan, lalu  terus kewajah, lalu diurut diwajah dibawah pipi diatas gigi
4.      Diurut disebelah leher belakang kanan dan kiri. Pada hakikatnya jika jka stroknya sebelah kanan maka yang diurut itu otak belakang sebelah kiri, jika sebelah kiri  maka yang diurut sebalah kanan
5.      Lalu diurut leher, punggung kebawah . terutama daerah pergelangan tangan punggung belakang kiri dan kanan.
6.      Diurut ketangan kebawah terutama bagian bawah siku tangan
7.      Diurut kaki, kanan dan kiri terutama paha terutama biwaha betis pada kanan dan kiri
8.      Diurut dibawah telapah kaki dipijit ditengah-tengah kaki , lalu dibelakang mata kaki , kemudian diatas kelapak kaki
9.      Diurut anak-anak jari kaki, bisa disepit dengan anak jari telunjuk dan ibu jari.



        [1] Luwis Ma’luf Al-munjid Al-lughah . Darul kitab Al-Arabi, cet.  X, Beirut , t.t. hlm 207. 
        [2] Sirajuddin Abbas, I’tikad Ahlus sunnah wal Jamaah, cet . 5 hlm 174.
[3] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia, cet. 1, hlm, 81
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya, Jakarta, PT Sygma Examidia Arkanleema, 2009 , hal. 96
[5] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-Ushul Al-Khamsah, Maktab Wahbah, Kairo, 1965  hlm 132
[6] Op.Cit  hal. 96
[7]. Departemen Agama Al-Quran dan terjemahannya, hal 443
              [8] Abdul Razzaq, Ilmu Kalam,  hlm 87
[9] Al-quran Dan Terjemahannya, Op.Cit hal. 63
[10] Sirajudin abbas, I’tikad Ahlussunnah Wal Jamaah,  hlm177-178
[11] Abdul Razzak, Ilmu Kalam, hlm 169
[12]. Al-Qur”an dan terjemahannya, Op.Cit hal.71
[13]  Al-quran dan terjemahannya , Op.Cit hal.323
[14] Ibid, 405
[15] M. Yunan Yusuf , Alam pikiran islam : Pemikiran Kalam, Perkasa jakarta, 1990 , h. 90

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: