Rabu, 28 Oktober 2015
AL-MATURIDIYAH
A.
Sejarah dan Latar
Belakang
Abu Mansur ibn Muhammad
ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke
sembilan Masehi dan menminggal di tahun 944 M.[1]
Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu
Hanifah dan faham-faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang
dimajukan Abu Hanifah. Sistim Pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur
termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah.
Literatur mengenai
ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiah tidak sebanyak literatur
mengenai ajaran –ajaran Asy’ariah.
Buku-buku yang banyak membahas soal sekte-sekte seperti buku-buku
al-Syarastani, Ibn Hazm, al-Baghdadi dan lain-lain tidak memuat
keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya.
Karangan-karangan al-Maturidi sendiri masih belum dicetak dan tetap dalam
bentuk MSS (Makhtutat).
Di antara MSS itu ialah
Kitab al-Tawhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Seterusnya adapula
karangan-karangan yang dikatakan disusun oleh al-Maturidi yaitu risalah Fi
al-‘Aqa’id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Keterangan-keterangan mengenai
pendapat-pendapat al- Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang
dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al-Maram oleh al-Bayadi dan
Usul al-Din oleh al-Bazdawi.[2]
Sebagai pengikut Abu
Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi
banyak pula memakai akal dalam sistim teologinya.
Aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sikte Ahl al-Sunnah
Wal Al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang
untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamat diri dari
ekstrimitas kaum rasionalis dimana yang berada dibarisan paling depan adalah
Mu’tazilah, maupunn ekstrimitas kaum tekstualis dimana yang berada dibarisan
paling depan adalah kaum hanabillah. Pada awalnya antara kedua aliran
Maturidiyah dan Asy’ariyah dipisahkan oleh jarak, aliran Asy’ariyah di Irak dan
(Suriyah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand .
Almaturidi lahir dan hidup ditengah-tengah iklim keagamaan yang
penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah dengan Asy’ariyah,
sehingga aliran Maturidiyah berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Disini penulis berpendapat antara aliran
Maturidiyah dengan Asy’ariyah disamping banyak persamaan juga terdapat
banyak perbedaan. Dan banyak pula
perbedaan antara Maturidiyah (termasukAhlussunnah wal Jamaah) dengan selain
Maturidiyah (Ahlussunah wal jamaah)
Salah seorang pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr
Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek L-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi
, dan al-bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-maturidi dari orang tuanya.
Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid –murid dan salah seorang dari mereka ialah
Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran
al-Maturidi, tapi terdapat pemikiran –pemikiran al-Bazdawi yang tidak sepaham
dengan al-Maturidi , antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat
perbedaan paham, sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah
terdapat dua golongan : golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi
sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut – pengikut al-bazdawi. Memang pada
mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yaitu pemikiran –pemikiran
dari pendirinya (al-maturidi). Namun jauh setelah al-maturidi meninggal, yakni
cucu dari salah seorang murid al-Maturidi , Al-Bazdawi memberikan pemahaman
yang bertentangan dengan pemikiran – pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak
hal-hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan
pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan – perbedaan
tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut
setia al-Maturidi yang disebut dengan Maturidiyah Samarkand, dan pengikut
al-bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara
B.
Akal dan wahyu
Kata akal yang sudah menjadi kata
Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql ((العقل yang dalam bentuk kata benda berlainan dengan kata al-wahy( الوحي ) , tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun
24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22
ayat.[3]
Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.sebagai contoh dapat disebut
ayat-ayat berikut :
* tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sã öNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,Ìsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=2
«!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur cqßJn=ôèt ÇÐÎÈ
Apakah
kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui?[Al-Baqaroh :75].
Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan
kita jumpai kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan.[4]
Maka tali pengikat serban, terkadang
berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dan
lain-lain. Disebut ‘iqal, dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala
dan tempat tahanan mu’taqul.
Arti asli dari kata ‘aqala
keliohatannya adalah mengikata dan menahan dan orang yang aqil di Zaman
jahiliyah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya, adalah orang yang
dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan
yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masaalah yang dihadapinya.[5]
Akal adalah sebagai daya berfikir yang
ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan. Dalam
kitab Bahr al-Haqa’iq, dikatakan bahwa ’Aql adalah cahaya ruhani yang berasal
dari alam uluwwi (alam tinggi). Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi
Muhammad Saw, bahwa Akal adalah suatu cahaya yang tersusun atas air kasih
sayang. Ruhnya adalah ilmu, badannya adalah menahan amarah, Kepalanya adalah
tawadu’, makanannya adalah takut, keningnya adalah merendahkan diri, matanya
adalah tawakkal, hidungnya adalah ridha dan sidq, giginya adaalah sukur,
bibirnya adalah zikir, lehernya fakir, dadanya adalah sabar, dan perutnya
adalah qanaah.
Kalau kita selidiki buku klasik tentang
ilmu kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan akal dihubungkan dengan
dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal
mengetahui Tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat, masalah pertama
bercabang dua menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan. Kedua
cabang dari masalah ke dua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban
mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi
perbuatan jahat.
Menurut al-Maturidi
mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang
terdapat dalam yang buruk, dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat buruk
adalah buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang
memestikanadanya perintah dan larangan. Akal kata al-Maturidi selanjutnya,
mengetahui bahwa bersikap adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak
adil dan tak lurus adalah buruk. Oleh karena itu akal memandang mulia terhadap
orang yang adil serta lurrus dan memandang rendah terhadap orang yang bersikap
tak adil dan tak lurus. Akal selanjutnya memerintah manusia mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia
mengerjakan perbuatan perbuatan yang membawa pada kerendahan. Perintah dan larangan
dengan demikian, menjadi wajib dengan kemestian akal.[6]
Jelaslah bahwa dalam
pendapat al-Maturidi, akal dapat mengetahui baik dan buruk. Tetapi tetap
menjadi pertanyaan apakah akal bagi al-maturidi dapat mengetahui kewajiban
berbuat baik dan menjahui kejahatan. Uraian di atas tidak memberi pengertian
bahwa akal dapat mengetahui hal itu. Yang diwajibkan akal, menurut uraian itu,
ialah adanya perintah dan larangan, dan bukan mengerjakan yang baik dan
menjauhi yang buruk. Akal tak dapat mengetahui kewajiban itu. Sekiranya dapat
maka keterangan al-Maturidi di atas seharusnya berbunyi yang dapat diketahui
akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan Tuhan.
Pendapat al-Maturidi di atas diterima oleh
pengikut-pengikutnya di-samarkand. Adapun pengikut-pengikutnya di Bukhara
mereka mempunyai paham yang berlainan sedikit. Perbedaan paham antara golongan
samarkand dan Bukhara berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenai Tuhan.
Dalam hubungan ini al-Bayadi
mengatakan bahwa menurut pendapat Abu Hanifah mengetahui Tuhan adalah wajib
menurut akal walaupun pemberitaan dari Rasul tak ada.[7]
Abu Mansur dan sebahagian terbesar dari alim ulama Irak, kata al-Bayadi
selanjutnya berpendapan bahwa itu berarti wajib menurut akal naluri. Jika
kewajiban mengetahui dan percaya kepada Tuhan berarti kewajiban menganut
kepercayaan itu maka umumnya alim ulama tidak sepaham dengan al-Imam Abu Mansur
tetapi jika yang dimaksud, ialah asal kewajiban, maka umumnya alim ulama
berpendapat demikian. Seperti dilihat sebelumnya, adanya perbedaan paham antara
samarkand dan Bukhara, telah disinggung pula oleh Abu ‘Uzbah. Al-Maturidi
sepaham dengan Mu’tazilah berpendapat bahwa matangnya akallah yang menentukan
kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak, dan bukan tercapainya umur dewasa oleh
anak itu. Golongan Bukhara tidak mempunyai paham yang demikian dalam paham
mereka akal tidak mampu untuk menuntukan kewajiban, akal hanya mampu untuk
mengetahui sebabnya kewajiban.
Sebagai kata Abu ‘uzbah,
akal bagi mereka adalah alat untuk mengetahui kewajiban dan yang menentukan
kewajiban ialah Tuhan. Bahwa akal adalah alat, kata al-Bayadi dapat
diketahui dari kata-kata Abu Hanifah bi ‘uqulihim dan kata ba’ disini
mengandung arti alat.[8]
Dengan demikian akal menurut paham
golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya dapan
mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban.
Akibat dari pendapat demikian ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima
kasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini
merupakan pendapat dari golongan Bukhara. Alim ulama Bukhara, kata Abu ‘uzbah
berpendapat bahwa sebelum adanya Rasul-rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah
diwajibkan dan tidak percaya kepada Tuhan tidaklah merupakan dosa.
Al-maturidi
mengakui bahwa akal merupakan salah satu sumber ma’rifah yang
dikhawatirkan dapat membawa kesesatan. Namun, kekhawatirannya itu tidak
membuatnya melarang penalaran sebagaimana dilakukan oleh muhadditsin dan
fuqaha. Bahkan, hal itu mendorongnya untuk bersikap hati-hati dan berusaha
menjaga diri dari kesesatan dengan bersandarkan kepada dalil naqli,
disamping dalil ‘aqli. Ia mengatakan: “barang siapa mengingkari hal itu
dan bermaksud untuk mencapai apa saja yang tertutup bagi akal pikiran serta
meliput seluruh hikmah ketuhanan dengan akalnya yang tidak sempurna dan amat
terbatas, tampa berdasarkan petunjuk dari Rasul, maka sebenarnya ia menzalimi
akal dan membebaninya dengan suatu beban yang diluar kesanggupannya”.
Kesimpulannya, al-Maturidi berpegang pada
keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidfak bertentangan dengan syara’.
Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk
kepada keputusan syara’.[9]
Prinsip al-Maturidi ini, yaitu
kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash, merupakan
pembimbingnya dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam menafsirkan Al-Qur’an
al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih pada makna yang muhkam.
Ia menta’wilkan yang mutasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan
oleh yang muhkam. Jika seorang mukmin tidak mempunyai kemampuan untuk
menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat. Ia menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sepanjang ia mampu untuk melakukannya, sebab
ayat-ayat Al-Qur’an tidak saling bertentangan. Allah berfirman: ”sekiranya
Al-Qur’an bukan berasal dari Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak
pertentangan didalamnya”.(Qs.al-Nisa, 4: 82). Dengan prinsipnya ini,
al-Maturidi mempunyai kesesuaian dengan Mu’tazilah dalam sebagian metode
rasional, walaupun ia juga banyak berbeda pendapat dengan mereka. Al-Maturidi
sependapat dengan Mu’tazilah tentang keweajiban memikirkan dan mengenal Allah
dengan penalaran akal dan menentukan baik dan buruk berdasarkan akal,
sebagaimana telah kami isyaratkan sebelumnya.
Sedangkan kata Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata
itu berarti suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga mengandung arti
bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan
secara tersembunyi dan dengan cepat[10].
Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti
“apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan
demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar
diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu
mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam
perjalanan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu
atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya
dalam Al-Qur’an.
C.
Sifat Tuhan
Mengngenai sifat Allah,
aliran Asy’ariyah mengatakan sifat-sifat Allah Swt itu merupakan sesuatu yang
berada di luar zat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah, ‘ilm, hayah, sama’, bashar, dan
kalam pada Dzat Allah. Kata mereka, semua itu merupakan sesuatu di luar Dzat-Nya,
. Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-Nya. Adapun yang
disebutkan dalam Al-Qur’an seperti : ‘Alim ( Maha Mengetahui ), Khabir ( Maha
Mengenal ), Hakim ( Maha Bijaksana ), dan Bashir ( Maha Melihat ), merupakan
nama-nama bagi Dzat Allah.[11]
Al-Maturidi kemudian muncul dan menetapkan sifat-sifat itu bagi
Allah, tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di luar Dzat-Nya
bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari
dzat-Nya. Sifat-sifat tersebut tidak mempunyai eksistensi yang mandiri dari Dzat-Nya,
sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa
kepada banyaknya yang qadim ( kekal ).
Dengan pandangan ini, Al-Maturidi dekat dengan Mu’tazilah atau
lebih tegas lagi, ia hampir sependapat dengan mereka. Sebenarnya tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha
Melihat, Maha Berkehendak, Maha Kuasa, dan Maha Mendengar. Perbedaan pendapat
diantara mereka hanya berkisar pada apakah semua itu merupakan sesuatu yang
bereksistensi di luar Dzat-Nya ataukah tidak.
Al-Maturidi menegaskan bahwa kalam Allah merupakan makna yang
berdiri pada Dzat-Nya. Dengan demikian, kalam merupakan salah satu sifat
yang menyatu dengan Dzat-Nya, ia kekal bersama kekalnya Dzat yang agung, dan
tidak tersusun dari huruf dan kalimat. Alasannya, huruf dan kalimat adalah
baru, diciptakan, dan tidak dapat mengambil tempat pada yang kekal, yang wajib
adanya. Sesuatu yang baru adalah ‘ardh, sedangkan ‘ardh tidak
dapat berdiri pada Dzat Allah. Berdasarkan penjelasan itu, maka huruf dan
susunan Al-Qur’an yang menunjukan makna ini adalah baru. Kesimpulannya,
Al-Qur’an yang terdiri atas huruf, lafaz dan susunan kalimat yang menunjukan
makna yang kekal itu adalah baru. Dengan demikian, al-Maturidi sependapat
dengan Mu’tazilah, karena ia mensifati Al-Qur’an sebagai sesuatu yang baru,
kendatipun tidak mensifatinya sebagai makhluq. Dengan pandangannya ini,
maka dihadapan kita terdapat tiga pernyataan yang mensifati Al-Qur’an.
Mu’tazilah mensifati Al-Qur’an sebagai makhluq, tetapi tidak mensifati
dengan qadim, dan Maturidiyyah mensifatinya sebagai yang baru, tetapi
tidak mensifatinya sebagai makhluq. Inilah letak perbedaan pendapat itu,
dan perbedaan itu tidak prinsipal dan tampak hanya bersifat redaksional.[12]
.E. Iman dan Kafir Keadilan Tuhan
Berbeda dengan faham-faham teologi lainnya, konsep iman dengan
dipengaruhi oleh teori mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu. Dalam
aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif. Iman tidak bisa
mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau
disampaikan orangsebagai benar. Bagi aliran-aliran ini iman mesti mempunyai
arti aktif, karena manusia akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan.
Oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah iman bukanlah tasdiq. Dan
iman dalam arti mengetahuipun belemlah cukup. Menurut ‘Abd al-Jabbar, orang
yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadaNya, bukanlah orang yang mukmin. Dengan
demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma’rifah,
tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan. Tegasnya
iman bagi mereka adalah pelaksana perintah-perintah Tuhan. Menurut Abu
al-Huzail yang dimaksud dengan perintah-perintah Tuhan bukanlah hanya yang
wajib saja, tetapi juga yang sunat. Sedang menurut al-Jubba’i, yang dimaksud
dengan itu hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib. Al-Nazzam mempunyai
pendapat lain. Iman baginya menjauhi dosa-dosa besar. Sungguhpun ada perbedaan
faham dalam hal ini, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa iman bukanlah tasdiq, tetapi
suatu hal yang lebih tinggi dari itu.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dalam
hal ini dengan kaum Asy’ariah. Sejlan dengan pendapat mereka bahwa akal tidak
dapat sampai kepada kewajiban mengetahui adanya Tuhan, iman tidak bisa
mengambil bentuk ma’rifah atau
amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam
hati dengan lidah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang
serupa dengan Dia. Bagi golongan
Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, karena bagi mereka akal dapat sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan. Al-Maturidi
menulis bahwa Islam adalah mengetahui Tuhan dengan tidak betanya
bagaimana bentuk-Nya, iman adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifat-Nya dan
tauhid adalah mengenal Tuhan dalam Ke-Esa-an-Nya. Da juga diberi dalam hati.
Tetapi definisi ini kelihatannya bukanlah definisi al-Maturidi, karena dalam Syarh al-fiqh al-akbar.
Bagaimanapun batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran
Asy’ariyah dan aliran Maturidiah golongan Bukhara. Adapun bagi aliran
Mu’tazilah dan aliran Maturidiah golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah atau ‘amal.
F. Perbuatan Manusia
Kaum
Mu’tazilah, dalam sitem toelogi manusia mempunyai daya yang besar lagi bebas,
sudah barang tuntu menganut paham qadariah atau free will. Dan memang mereka
disebut kaum qadariah. Keterangan dan tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak
mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatannya.[13] Al-Jubba’i, umpamanya, menerangkan bahwa
manusialahyang menciptakan perbuatan-perbuatannya, manusia berbuat baik dan
buruk, patuh dan tidak kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.
Bagi
golongan Maturidiyah perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan. Dalam
hubungan ini ,[14]
al-Maturidi , sebagai pengikut Abu Habnifah , menyebut dua perbuatan, perbuatan
Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya
dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia.
Daya diciptakan bersama-dengan sama perbuatan ,[15]
jadi tidak sebelum perbuatan sebagaimana yang dikatakan oleh kaun Mu’tazilah.
Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan
dalam arti kiasan . pemberian upah dan hukum didasarkan atas pemakaian daya
yang diciptakan [16].
dengan demikian manusia diberikan hukum atas kesalahan pemakaian daya dan
diberi upah atas pemakaian yang benar
atas daya.
Al-Maturidi
menyebut daya yang diciptakan , tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu
merupakan daya manusia, sebagai mana yang disebut Mu’tazilah, ataukah daya
Tuhan sebagaimana yang disebut Asy’ariyah. Berpegang kepada pendapatnya bahwa
daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia
adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebanarnya, daya untuk berbuat itu tak
boleh tidak mestilah daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu
perbuatan sebagai perbuatannya sendiri, kalau bukanlah ia sendiri yang
mewujudkan perbuatan itu. Sebagaimana dilihat kaum Asy’ariyah, karena memandang
perbuatan adalah perbuatan Tuhan, tidak berani memandang perbuatan manusia
sebagai perbuatan manusia yang sebenarnya.
Mengenai
soal kehendak , keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukum mengandung arti
bahwa kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan
maupun untuk kejahatan. Karena untuk menilai salah atau benarnya pilihan dalam
memakai dayalah maka manusia diberikan hukuman atau upah. Manusia tentu tidak
dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada dibawah paksaan
daya yang lebih kuat dari dirinya.
Sungguhpun demikian , didalam pendapat aliran
Maturidiyah, baik golongan Samarkan maupun golongan Bukhara, kemauan manusia
adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai
wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. Dan ini selanjutnya
mengandung arti paksaan atau fatalisme dan bertentangan dengan faham
al-Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai
pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini faham masyi’ah atau kemauan dan rida atau
kerelaan [17].
Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk, atas kehendak Tuhan. Tuhan
tidak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya manusiaberbuat baik atas kehendak
Tuhan dan dengan kerelaan Tuhan, sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas
kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan Tuhan.
Jadi kehendak dalam faham al-Maturidi
bukanlah kehendak bebas yang terdapat dalam faham Mu’tazilah.
Kekebebasan kehendak disini bukanlah kekebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak
dikehendak Tuhan, tetapi kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai
Tuhan. Dengan kata lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan
dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tak disukai Tuhan.jelaslah
bahwa kebeasan serupa ini lebih kecil dari kebeasan dalam menentukan kehendak
yangterdapat dalam aliran Mu’tazilah.
Dengan
demikian kehendak dan daya berbuat bagi al-Maturidi adalah kehendak dan daya
manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan.
G. Kesimpulan
Al-Maturidi
menetapkan sifat Qudrah, iradah, ‘ilm,Bayah, sama’ bashar dan kalam itu bagi
Allah, tetapi mereka mengatakan bahwa sifat sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di
luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula
terpisah dari Dzat-Nya..
Semua
aliran dalam Islam, baik ,Asy’ariah,Mu’tazilah maupun Maturidiyah sama-sama
mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul
di kalangan umat islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah
perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal, seperti
menggunakan kata “wajib”, sedangkan inti persoalannya sama.
Untuk mengetahui sistim
pemikiran al-Maturidyah, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-Asy’ari
dan Aliran Muktazilah, sebab ia tidak bisa terlepas dari suasana masanya.
Bagi golongan al-Maturidi
perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan, dalam hubungan ini ,al-Maturidi
,sebagai pengikut abu Hanifah, menyebut dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia.
Al-maturidiyah terpecah kepada dua golongan, yakni Maturidiyah
samarkand dan Maturidiyah Bukhara
Daftar Buku Bacaan
Harun Nasution, Teologi Islam
aliran –aliran sejarah Analisa Perbandingan, Cet 5, Jakarta: Penerbit Unipersitas
Indonesia,1986
Prof.DR.Harun Nasution, Akal dan
Wahyu Dalam Islam, Penerbit Inipersitas Indonesia Pres, Cet.I,1982
A.Hanafi,MA, Theologi Islam,Penerbit
PT Al-Husna Zikra,Cet ke 6, 1995,
Prof.DR.Harun Nasution, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah,Penerbit UI-Press,1987
Prof.Dr.Harun Nasution,Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah, Cet.I, 1987
DR.Abuddin Mata,MA.Ilmu
Kalam,Filsafat dan Tasawuf,Penerbit PT Raja Grafindo Persada,1995
Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid,
Cet Pustaka,Cet II,1995
Prof.DR.Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran
Pilitik dan Aqidah Dalam Islam,Penerbit: Logios Publisling House,Cet 1 ,1996
[1]
Harun Naution, Teologi Islam aliran –aliran sejarah Analisa Perbandingan,
Harun Nasution, Cet 5, Jakarta: Penerbit Unipersitas Indonesia,1986, hal 76
[2] Ibid, hal 76
[3]
Prof.DR.Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Penerbit Inipersitas
Indonesia Pres, Cet.I,1982, hal . 5
[4]
Ibid, hal .6
[5]
Ibid
[6]
Prof.DR.Imam Muhammad Abu Zahroh,Aliran Politik dn Aqidh dalam Islam,
Penerbit: Logos Publishing House, Cet I, 1996, Hal 4
[7]
A.Hanafi,MA, Theologi Islam,Penerbit PT Al-Husna Zikra,Cet ke 6, 1995,
hal 134
[8]
Ibid, hal 135
[9][9]
Op Cit, Hal 10
[10]
.Prof.DR.Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah,Penerbit
UI-Press,1987 Cet I Hal.47
[11]
Prof.DR.Harun Nasution,Filsafat Agama,Penerbit:Bulan Bintang,Cet
7,1989,hal 105
[12]
Prof.Dr.Harun Nasution,Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah,
Cet.I, 1987,hal71
[13]
DR.Abuddin Mata,MA.Ilmu Kalam,Filsafat dan Tasawuf,Penerbit PT Raja
Grafindo Persada,1995,cet 3 ,hal 73
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: