Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Sabtu, 11 April 2015

Widgets

AL ISTIHSAN



                                                                                                    

A.   Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu perangkat dasar yang harus dimiliki oleh ahli hukum Islam yang hendak melakukan istimbat hukum Islam, mencoba mengetahui maksud Allah yang terdapat dalam al-Qur’an.Dalam pembahasan tentang syarat-syarat mujtahid, penguasaan atas ilmu ushul fiqh menjadi syarat utama yang dikemukakan oleh para ulama. Hal ini tentunya bertujuan agar proses ijtihad dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Walaupun semua ulama sepakat atas hal tersebut, fakta yang terjadi adalah bahwa tetap saja terjadi perbedaan di antara para mujtahid dalam penetapan hukum Islam sehingga ditemukan beragam madzhab dalam hukum Islam.Keragaman ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah karena adanya perbedaan dalam konsep ushul fiqh di antara para mujtahid.. Dalam pembahasan tentang dalil-dalil penetapan hukum Islam misalnya, ushul fiqh selalu membagi dalil menjadi dua kelompok besar, yakni dalil-dalil yang disepakati (al-Adillah al-Muttafaq ‘Alaiha) dan dalil-dalil yang diperselisihkan (al-Adillah al-Mukhtlaf Fiha).Dalil yang disepakati adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.Sedangkan dalil yang diperselisihkan diantaranya adalah Qaul Sahabi, Maslahah Mursalah, Istishab, Istihsan, dsb. Salah satu dalil yang diperselisihkan oleh ulama yang akan menjadi tema dalam tulisan ini adalah Istihsan.


B.   Biografi Abu Sahl Al-Sarakhsiy
Nama lengkap  al-Sarakhsi adalah Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl al-Sarakhsi. Ia adalah ahli fikih, ushul fikih, teologi, dan hadis. Ia salah seorang ulama tersebut Mazhab Hanafi dan berada pada peringkat ketiga dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi. peringkat pertama: Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani: peringkat kedua: Imam Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi).  Walaupun al-Sarakhsi  termasuk kategori ulama besar, riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran Timur laut), tetapi tanggal dan tahun kelahirannya tidak tercatat di dalam buku- buku biografi ulama fikih dan ushul fikih.   Pada masa remaja al-Sarakhsi belajar ilmu fikih pada Abdul Azi z bin Ahmad al- Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi  yang bergelar Syams al-Aimmah (matahari para imam). Setelah belajar pada al-Hulawni , al-Sarakhsi mengalami perkembangan pesat dalam berbagai bidang ilmu, terutama ilmu fikih dan  menjadi populer.  Al-Sarakhsi terkenal dengan kepandaiannya. Daya ingatannya yang luar biasa terlihat ketika ia mendektikan isi bukunya, al- Mabsuth, sebuah buku fikih yang besar 15 jilid dan standar dalam Madhab Hanafi.  Ketika buku tersebut  diterbitkan pada tahun 1409 H/1989 M oleh penerbit Dar al-Ma‟rifah Beirut, Syekh Kholil al-Mais, seorang ulama Libanon menyusun satu jilid indeks untuk kelengkapan buku tesebut. Karya-karya Al-Sarakhsi mencakup bidang fiqh dan ushul fiqh.Karya dalam ilmu fikih di antaranya al-Mabsuth. Karya yang kedua adalah syarh Kitab al-Siyar al-Kabir, sebuah buku fikih yang berisi  penjelasan atau komentar terhadap kitab al-Siyar al-Kabir karya Muhammad ibn Hasan al-Syaibani. Karya yang lain  adalah syarh Mukhtashar al-Thahawi berisi penjelasan tehadap buku ringkasan yang dikarang oleh Imam Abu Ja‟far Ahmad bin Muhammad  al-Thahawi (w. 321 H/933 M; seorang tokoh ulama fikih Mazhab Hanafi). Termasuk karya al-Sarakhsi dalam bidang ilmu ushul fikih adalah Ushul al- Sarakhsi. Dalam buku ini al-Sarakhsi mengawali  pembahasan  dengan membicarakan masalah perintah  dan larangan (al- amar wa al-nahy), karena menurut al-Sarakhsi bahwa persoalan perintah dan larangan merupakan dua hal yang utama dalam kajian ushul fikih.  
C.   Pengertian Istihsan
Pengertian istihsan secara etimologi yaitu “menjadikan dan meyakini baiknya sesuatu”. Seorang laki-laki berkata: Aku telah beristihsan, artinya: meyakini baiknya sesuatu, lawan dari sesuatu yang buruk. Atau maknanya: mencari sesuatu yang lebih baik untuk diikuti  yang ada perintahnya. Sebagaimana firman Allah QS Az-Zumar ayat 17-18: فيشرعبادى الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه, “..Maka berikanlah kabar gembira kepada hambaku yang menuruti perkataanku, lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya..”.
Secara terminology, istihsan berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.  Berbeda dengan ulama Syafi’iyah yang tidak mempergunakan istihsan, namun bagi ulama Hanabilah  mempergunakanistihsan sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum. Menurut ulama Hanafiyah ini, yang dimaksud dengan istihsan adalah “Berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat al-Qur’an maupun dari sunnah Rasul. Ulama lain yang menerima Istihsan sebagai salah satu metode dalam mengistinbathkan hukum yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama Hanabilah. Dalam kaitannya dengan ini, Imam al-Khatkhiy mengatakan bahwa istihsan ada empat bentuk, yaitu:
a.    Meninggalkan qiyas jaliy dan mengambil qiyas khafiy, karena ada indikasi yang menguatkannya
b.    Meninggalkan qiyas karena mengikuti pendapat sahabat
c.    Meninggalkan qiyas karena ada hadits yang lebih tepat,
d.    Meninggalkan istihsan karena ‘urf menghendakinya.
D.   Macam-macam istihsan
Ulama Hanafiah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:
a.    Istihsan bi al-Nash, الإستحصان بالنص, (istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Maksudnya ada ayat atau hadits  tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas, wasiat itu tidak  boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah wafat. Tetapi kaidah umum dikecualikan melalui firman Allah surat an-Nisa (4): 11, من يعد وصية أو دين, “setelah mengeluarkan  wasiat yang ia buat atau hutang”.  Berdasarkan ayat ini maka kaidah umum tidak berlaku untuk masalah wasiat
b.    Istihsan bi al-Ijma’, (Istihsan yang didasarkan kepada ijma’).  Misalnya dalam kasus pemandian umum, Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus  jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi hal ini akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu para ulama sepakat menyatakan bahwa  boleh mempergunakan  jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
c.    Istihsan bi al-qiyas al-khafiy, (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Misalnya, menurut ketentuan  qiyasjaliy, (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemiliki lahan tersebut telah menggugurkan hak miliknya  dengan memindahtangankan  lahan tersebut. Oleh sebab itu hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan  air ke lahan  pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas al-khafiy, (qiyas yang tersembunyi), wakaf itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari wakaf adalah memanfaatkan lahan pertanian  yang diwakafkan, dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian tersebut seperti hak melewati lahan pertanian, termasuk ke dalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas al-khafiy), makaa ia disebut berdalil dengan istihsan.
d.    Istihsan al-Maslahah, (Istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya ketentuan umum menetapkan bahwa  buruh di suatu pabrik tidak bertanggungjawab  atas kerusakan hasil komoditi yang diproduksi oleh pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dana kesengajaan mereka, karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggungjawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagaian pekerja pabrik dalam mamsalah keamanan produk, maka ulama Hanafi menggunakan istihsan dengan menyatakan  bahwa buruh harus  bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk itu, baik sengaja atau tidak.
e.    Istihsan bi al-“urfi, (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Contohnya seperti kasus pemandian umum serta di atas yang tidak bisa ditentukan berapa lama dan jumlah air yang terpakai, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air yang terpakai.
f.     Istihsan bi al-Dharurah, (Istihsan berdasarkan keadaan dharurat), Misalnya, sumur yang kemasukan najis, akan sulit untuk membersihkan sumur itu dengan mengeluarkan semua airnya, karena sumur itulah sumber mata airnya. Maka menurut mazhab Hanafi, cara membersihkan sumur itu cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke dalamnya, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapat kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.
E.   Kehujjahan Istihsan.
Ulama Hanafiyah menerima istihsan sebagai dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya yaitu:
a.    Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah:185, يريدالله يكم اليسرى ولايرد بكم العسر, “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran ..”
b.    Rasulullah dalam riwayat ‘Abdullah Ibn Mas’ud, mengatakan: مارأه المسلمون حسنافهو عندالله حسن, “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di hadapan Allah juga baik..” (HR Ahmad bin Hanbal)
c.    Kadangkala memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam  ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, seorang mujtahid boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan memberinya hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.
                        Pengalaman praktis misalnya, Istihsan dengan sunnah Rasul adalah dalam kasus orang yang makan minum karena lupa ketika ia sedang puasa, menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena telah memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai berbuka, akan tetapi  hukum ini dikecualikan  oleh hadits Rasulullah SAW yang mengatakan, من أكل أو شرب ناسيا فلا يفطر فإنما هو رزق رزقه الله, “ Siapa yang makan atau minum dalam kedaan lupa maka tidak batal puasanya, karena ini merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya”.
                        Sekalipun konsep istihsan yang pertama kali dikemukakan oleh Imam Hanafi kurang rinci dan tidak jelas sehingga mendapat tanggapan keras dari Imam Syafi’i yang menganggap bahwa istihsan itu membuat syara’ sendiri, namun konsep istihsan oleh murid-murid dan pengikut Imam Abu Hanifah lebih disempurnakan, diperjelas dan dirinci secara sistematis sehingga konsep istihsan menjadi sempurna. Kemudian konsep ini diikuti oleh ulama-ulama Malikiyah dan sebagian ulama Hanabilah.
Menurut lisan ahli fikih terbagi dua macam:  Pertama: Beramal dengan ijtihad dan pendapat yang telah lazim  pada ketentuan atas apa yang dijadikan syara’ sebagai wakil pada pendapat kita seperti pembayaran mut’ah yang disebutkan, seperti firman Allah QS Al-Baqarah:236متاعا باالمعروف حقا على المحسنين, “…(bayarlah) mut’ah itu dengan ma’ruf, (sesuai kepatutan),  yang demikian itu ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan…” Pada ayat ini jumlah (pembayaran mut’ahnya) dipermudah dan dilapangkan, dengan syarat dibayarkan dengan ketentuan yang patut. Kedua: Dalil yang ada perpalingan bagi qiyas zahir yang  didahului keraguan sebelum dilakukan penelitian, namun setelah dilakukan penelitian pada hukum yang baru dan keserupaannya  dari ushul memunculkan istihsan untuk membedakan antara bentuk ini dari dalil.
Berkata Radhiallu’anhu, istihsan qiyas disisi kita ada dua macam, Pertama: diamalkan istihsan dan ditinggalkan qiyas. Inilah yang merupakan hujjah syar’iy nya, sebagaimana firman Allah QS Az-Zumar ayat 17-18: فيشرعبادى الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه, “..Maka berikanlah kabar gembira kepada hambaku yang menuruti perkataanku, lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya..”
Kedua berpendapat, diamalkan qiyas karena istihsan tidak bisa dijadikan hujjah, karena istihsan mengikuti hawa nafsu, menghendaki meninggalkan qiyas sedangkan qiyas merupakan hujjah, jika meninggalkan qiyas itu adalah batal.Maka yang shahih adalah meninggalkan qiyas pada suatu tempat dan beramal dengan istihsan.






F.    Penutup
1.    Kesimpulan
Istihsan dapat di jadikan sebagai dalil syara’ karena istihsan itu bukan menetapkan hukum dengan ra’yi semata, istihsan itu merupakan suatu cara istinbath hukum yang dapat di pertanggung jawabkan karena di dasarkan kepada sandaran (sanad) yang kuat.
Setelah diteliti istihsan dalam fiqih Maliki dan Hanafi maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya istihsan itu merupakan salah satu upaya mujtahid untuk mencari jalan keluar dari kekuatan kaidah umum atau qiyas terhadap suatu masalah juz’i dalam rangka mencari ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan jiwa dan ruh syari’at, karena memang nash tidak bisa di pahami hanya secara bahasa semata tetapi harus di pahami dengan menggunakan logika pembuatan syariat (Al-Mantiq Al-tasyri’i) yang luas yang memberikan kesempatan kepada mujtahid untuk merealisasikan kehendak Al syari’ semaksimal mungkin.
2.    Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis  menyadaribanyak terdapat kekurangan dan kealfaaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari Pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin




SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: