Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 07 April 2015

Widgets

SISTEM WARALABA DALAM ISLAM


A  .Pendahuluan

Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw merupakan sumber tuntunan hidup bagi kaum muslimin untuk menapaki kehidupan fana di dunia ini dalam rangka menuju kehidupan kekal diakhirat nanti. Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai penuntun memiliki daya jangkau dan daya atur yang universal. Artinya meliputi segenap aspek kehidupan umat man usia dan selalu ideal untuk masa lalu, kini, dan yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Al Qur’an dan Sunnah tersebut mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal dapat dilihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan aktual. Misalnya, daya jangkau dan daya aturnya dalam bidang perekonomian umat. Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntunan kehidupan. Di samping itu juga merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah. Hal itu dapat dibuktikan dalam ayat berikut :

ôs)s9ur öNà6»¨Z©3tB Îû ÇÚöF{$# $uZù=yèy_ur öNä3s9 $pkŽÏù |·ÍŠ»yètB 3 WxÎ=s% $¨B tbrãä3ô±s? ÇÊÉÈ     
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. amat sedikitlah kamu bersyukur”. (QS. Al-A’raf (7): 10
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# Zwqä9sŒ (#qà±øB$$sù Îû $pkÈ:Ï.$uZtB (#qè=ä.ur `ÏB ¾ÏmÏ%øÍh ( Ïmøs9Î)ur âqà±Y9$# ÇÊÎÈ  
”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS. Al-Mulk (67): 15).
$uZù=yèy_ur u$pk¨]9$# $V©$yètB ÇÊÊÈ
"Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” (QS. An-Naba’ (78): 11).
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè?  
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak -banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jum’ah (62): 10)..
Dalam bidang mu’amalah hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu terlarang. Sedangkan dalam bidang ibadah hukum asalnya adalah terlarang kecuali ada dalil yang mendasarinya. Berdasarkan prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi yang terkait dengan segala macam bentuk mu’amalat diizinkan oleh syariat Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Berbeda dengan bidang muamalah, hukum Islam dalam bidang ibadah tidak terbuka kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya harus berorientasi kepada nash Al Qur’an dan Hadis yang telah mengatur secara jelas tentang tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun modernisasi dalam bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan. Berangkat dari latar belakang masalah (fenomena ) diatas, maka yang menjadi masalah dalam penulisan iniadalah: Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap bisnis waralaba ditinjau dari hukum Muamalat (Fiqh Muamalah).  [1]


B. Pembahasan

1.    Pengertian Waralaba

Waralaba adalah suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor) memberi hak pada pihak independen (franchise) untuk menjual produk atau jasa perusahaan tersebut dengan pengaturan yang ditetapkan oleh franchisor. Franchise menggunakan nama, good will, produk dan jasa, prosedur, pemesaran, keahlian, sistem prosedur operasional dan fasilitas penunjang dari pihak franchisor. Sebagai imbalannya, franchisee membayar initial fee dan royalty pada perusahaan franchisor seperti yang diatur dalam wara laba.
Menurut  Suhrawardi K Lubis  perjanjian franchise adalah,
“Pemberian hak oleh franchisor kepada franchise untuk menggunakan kekhasasan usaha atau ciri pengenal usaha atau ciri pengenal usaha bisnis di bidang perdagangan/jasa berupa pada jenis produk dan bentuk yang diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo,merek, dan desain perusahaan, pengguanaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan yang luas, waktu/saat/jam operasional, pakaiaan dan penampilan karyawan) sehingga kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis dagang /jasa milik franchise sama degan kekhasan usaha atau bisnis dagang/jasa milik franchisor”.

Dapat dijelaskan dengan bahwa yang dimaksud dengan franchisor adalah pihak atau pihak yang memberikan izin kepada franchise untuk menggunakan kekhsasan usaha atau sfesifikasi (ciri pengenal) bisnis miliknya. Sedangkan yang dimaksud dengan franchise adalah pihak atau para pihak yang  yang mendapat izin  atau lisensi franchise dari franchisor untuk menggunakan kekhasaan usaha atau spesifikasi (ciri pengenal) usaha franchisor.
Adapun yang menjadi perbedaan pokok atau perjanjian franchise dengan bisnis konvensional  dapat dikemukakan sebagai berikut ;
1.    Bahwa dalam bisnis konvesional bahwa apabila seseorang membeli perusahaan  atau mengambil alih suatu perusahaan, maka yang membeli  atau yang mengambil alih perusahaan  tersebut akan menjalankan  perusahaan (yang dibelinya tersebut) sesuai dengan kemauannya (pembeli).
2.    Sedangkan dalam  franchise, seorang franchise tidak dibolehkan menjalankan bisnis menurut kemauannya sendiri, tetapi  harus menjalankan bisnisnya  sesuai dengan sistem franchisornya.
3.    Posisi franchise di pasar merupakan pertimbangan yang penting, tidak hanya melihat pada bisnis  yang difranchisekannya dalam hubungannya dengan aktivitas- aktivitas sendiri, tetapi juga membuat penilaian mengenai prospek dari industri dan perdagangan secara keseluruhan. Franchise akan bergerak pada barang atau produk, baik profesi maupun jasa.
Menyangkut ketentuan hukum  yang mengatur  franchise di indonesia di kemukakan belum ada ketentuan perundang-perundangan nasional yang mengatur hal tersebut. Dengan demikian, secara umum untuk sementara (sebelum dibuat peraturan perundang-perundangan yang mengaturnya) masih tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHU.Perdata) dan  Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH.Dagang)[2].
Investasi di bisnis waralaba, dengan cara membeli merek dagang yang sudah sangat terkenal, menjadi trend dalam dunia investasi. Bahkan tawaran waralaba semakin beragam dan inovatif. Baik dari segi produknya maupun nilai investasinya. Di antara banyak pilihan investasi, dimana salah satunya yaitu tabungan deposito, diluar dari tabungan deposito investasi di sektor waralaba terus berkembang, baik skala kecil maupun besar. Pilihan waralaba yang tepat bisa menjadi mesin uang. Untuk memulai bisnis waralaba mesti mengeluarkan dana tunai minimal dua ratus juta rupiah. Bila dibandingkan dengan investasi lain, waralaba setidaknya tidak akan membuat pelaku usahanya menjadi kerepotan. Biasanya waralaba yang dijual sudah mempunyai sistem yang bagus. Begitu pun soal promosi, pelaku usaha bisnis waralaba tidak perlu mengeluarkan biaya promosi besar karena rata-rata waralaba yang diperjual-belikan itu sudah mempunyai merek sangat kuat. Istilahnya, kalau kita membeli satu waralaba, tinggal duduk, uang mengalir ke tangan pelaku usaha setiap hari. Tetapi kalau masuk ke waralaba, tetap harus cermat menentukan pilihan. misalnya, yang membeli tiga waralaba Primagama, mengaku ada juga yang gagal, karena salah lokasi dan tidak laku.[3]
Di lain sisi, walaupun harus menembus gejolak ekonomi yang naik dan turun, sistem ini terus menyebar keseluruh dunia dengan pesat. Hal ini umumnya disebabkan karena dalam Sistem Waralaba, semua pihak mendapatkan keuntungan (Pembeli, Terwaralaba (franchisee), Pewaralaba (franchisor), tentunya bila melalui sistem yang benar dan tepat. Namun, dengan konsep bisnis waralaba kemudian muncul suatu masalah yang berkaitan dengan kemudahan, sistem dan keuntungan serta riba’ tidaknya hasil yang didapat bila konsep bisnis waralaba tersebut dipandang berdasarkan ketentuan hukum islam.
Bagaimanakah perjanjian  franchise menurut Hukum Islam ? untuk menjawab persoalan ini dikemukakan  bahwa perjanjian franchise adalah suatu perjanjian yang tergolong baru dan masih berkembang. Dengan sendirinya tidak akan ada aturan yang bersifat limitatif yang mengatur persoalan tersebut.[4]
Namun demikian, apabila diperhatikan dari sudut perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari bentuk kerja sama (syarikah. Dalam Hukum Muamalat, wara laba dapat dikategorikan sebagai bentuk kerja sama dagang atau usaha bisnis yang belum dikenal atau berbeda dengan macam-macam syirkah yang telah dibahas oleh ulama fiqh terdahulu.

2. Teori Syirkah (Kemitraan Bisnis)
a.    Pengertian Syirkah dan Dasar Hukumnya
Secara etimologi, asy-syirkah berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan. Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan dagang [5].Menurut istilah hukum Islam, ada beberapa definisi syirkah yang dikemukakan oleh kalangan ahli hukum Islam (fukaha), diantaranya adalah Ulama Hanafiyah yang mendefinisikan syirkah sebagai suatu persetujuan antara dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam hal modal dan keuntungan. Ulama Malikiyah mengatakan syirkah adalah suatu perizinan antara dua orang yang bekerja sama untuk bertindak secara hukum  bahwa syirkah adalah keikutsertaan dua orang atau lebih di dalam suatui transaksi. Ahli hukum Ali al- Khafit memberikan defnisi lebih luas yaitu kontrak dua orang atau lebih untuk kerja sama dalam modal dan laba, atau untuk keikutsertaan di dalam modal orang lain dan labanya, atau untuk keikutsertaan di dalam laba dan tanpa keikutsertaan di dalam modal [6].
 Syirkah atau musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan[7]. Berdasarkan beberapa definisi di atas, subtansi akad syirkah adalah ikatan (kontrak) kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam usaha bisnis atau perdagangan. Keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Akad asysyirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam surat Shad (38) ayat 24 yang berbunyi :
tA$s% ôs)s9 y7yJn=sß ÉA#xsÝ¡Î0 y7ÏGyf÷ètR 4n<Î) ¾ÏmÅ_$yèÏR ( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 £`sßur ߊ¼ãr#yŠ $yJ¯Rr& çm»¨YtGsù txÿøótGó$$sù ¼çm­/u §yzur $YèÏ.#u z>$tRr&ur ) ÇËÍÈ  

Artinya.
Daud berkata: "Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat (Q.S Shad (38) ayat 24)

 Kata “berserikat” (al-khulatha) dalam ayat tersebut bisa diartikan saling bersekutu atau partnership yaitu kerjasama dua pihak atau lebih untuk melakukan sebuah usaha perniagaan[8]. Dalam sebuah hadis Qudsi Rasulullah saw bersabda:


Aku (Allah) merupakan orang ketiga dalam perserikatan antara dua orang, selama salah seorang diantara keduanya tidak melakukanpengkhianatanterhadap yang lain. Jika seseorang melakukan pengkhianatan etrhadap yang lain, aku keluar dari perserikatan dari dua orang itu (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah )[9]

          Hadits ini secara jelas membenarkan adanya praktek akad syirkah dan menunjukkan urgensi sifat amanah dan tidak membenarkan adanya khianat dalam kontrak syirkah[10]
b.        Macam-Macam Syirkah
Syirkah terbagi menjadi dua yaitu syirkah amlak (milik) dan syirkah uqud(akad):
1.  Syirkah Amlak Syirkah al-Amlak, adalah dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda. Syirkah ini terbagi menjadi:
 (a) Syirkah milik Jabriyah yaitu syirkah yang terjadi tanpa ada keinginan para pihak yang bersangkutan. Misalnya Harta warisan itu menjadi milik bersama orangorang yang menerima warisan itu.
(b) Syirkah milik Ikhtiyariyah, yaitu syirkah yang terjadi atas keinginan para pihak yang bersangkutan. Seperti dua orang bersepakat membeli suatu barang dan barang tersebut menjadi milik mereka secara berserikat[11]
 2. Syirkah Uqud Syirkah al-Uqud adalah persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul dengan cara kesepakatan atau akad (perjanjian).di mana dua orang atau lebih bersepakat atau setuju bahwa tiap orang dari mereka ikut memberikan modal dan merekapun bersepakat berbagai keuntungan dan kerugian[12]. Syirkah al-Uqud ini secara garis besar terbagi menjadi syirkah amwal (keuangan), syirkah a’mal (operasional) Syirkah wujuh (Good will), dan syirkah Mudharabah[13].
Syirkah amwal (keuangan) menjadi syirkah al-”inan dan almufawadhah. Wahbah az-Zuhaili dalam kitab “ al-Fiqh al-Islami wa Adullatuhu “ membagi syirkah akad menjadi syirkah al-‘inan, al-mufawwadhah, al-A’mal, dan Syirkah al-Wujuh[14]. Dalam kitab “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” dijelaskan syirkah menurut fukaha-fukaha Amshar secara garis besar dibagi menjadi empat macam, yaitu syirkah ‘inan, Syirkah ‘abdan, syirkah mufawadhah dan syirkah wujuh[15]. Jenis-jenis syirkah yang termasuk ke dalam kategori syirkah al-‘uqud, dapat dijelaskan sebagai berikut:
 1. Syirkah al-‘inan, yaitu kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih dalam suatu usaha bisnis dan mereka berbagi keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati bersama[16]. Dalam syirkah al-‘Inan disyaratkan porsi masing-masing pihak baik dalam kontribusi modal, kerja, ataupun bagi hasil tidak harus sama,tetapi sesuai dengan kesepakatan[17], sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggung jawab bersama sesuai dengan prosentase atau saham masing-masing[18]. Madzhab hanafi dan Hambali mengizinkan pembagian keuntungan dalam syirkah al-”Inan dengan memilih salah satu alternatif berikut:
 (a) keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kontribusi modal yang diberikan oleh masing-masing pihak,
(b) keuntungan bisa dibagi secara sama, walaaupun kontribusi modal masing-masing pihak mungkin berbeda,
(c) keuntungan bisa dibagi tidak sama tapi kontribusi dana yang diberikan sama. Madzhab maliki dan Syafi’I menerima jenis akad syirkah ini dengan syarat, keuntungan dan kerugian dibagi secara proporsional sesuai dengan kontribusi dana yang ditanamkan[19]. Di Indonesia, penerapan syirkah al-‘inan dapat dilihat dalam penyertaan modal di Perseroan Terbatas (PT)[20]
 2.  Syirkah al-mufawadhah, yaitu kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih pada suatu usaha bisnis, dan setiap pihak berbagi keuntungan dan kerugian secara sama dengan syarat masing-masing pihak memasukkanmodal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama, sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama orang-orang yang berserikat itu. Unsur penting atau syarat utama dari jenis syirkah mufawadhah ini adalah, baik dalam masalah modal, kerja, tanggungjawab, keuntungan dan kerugian, masing-masing  pihak yang mengikatkan diri dalam syirkah ini mem Bisnis punyai hak dan kewajiban yang sama[21].
3. Syirkah al-wujuh, yaitu kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, tetapi memiliki reputasi dan prestise serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang dengan kredit dan menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungan dibagi bersama[22]: Dalam syirkah seperti ini, pihak yang berserikat membeli barang secara kredit, hanya atas dasar suatu kepercayaan, kemudian barang yang mereka kredit itu mereka jual dengan harga tunai, sehingga mereka meraih keuntungan[23] 
4. Syirkah al-A’mal (al-Abdan), kontrak kerja sama antara dua orang seprofesi untuk menerima suatu pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu [24] Misalnya, kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima proyek pembuatan seragam sekolah. Hasil atau imbalan yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka berdua. Hukum kebolehan syirkah dari empat macam syirkah diatas, yang telah disepakati oleh fukaha (ahli fiqh) adalah syirkah ‘inan. Tiga macam syirkah lainnya masih diperselisihkan. Imam Maliki dan Hanafi membolehkan syirkah mufawadhah, sedang Syafi’i tidak membolehkannya. Imam Hanafi dan ahli fiqh Malikiyah membolehkan syirkah ’abdan, tetapi Syafi’i melarangnya. Hanafi membolehkan syirkah wujuh, Maliki dan Syafi’i tidak membolehkannya[25] Alasan perselisihan ahli fiqh diatas, terletak pada segi penekanan. Bagi ahli fiqh yang menekankan terjadinya syirkah terletak pada percampuran modal atau harta, maka syirkah ‘abdan dan wujuh tidak dibolehkan (pola pikir ini diikuti terutama oleh Syafi’i ). Bagi ahli fiqh yang menekankan terjadinya syirkah terletak pada usaha (tenaga) baik dengan modalharta maupun tanpa modal harta, maka keberadaan syirkah ‘abdan dan wujuh dibolehkan (pola pikir ini dianut terutama oleh Hanafi)[26]

3. Teori Ijarah (Sewa Menyewa)
1.        Pengertian Ijarah dan Dasar Hukumnya
Lafal al-ijarah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain[27]. Secara terminologi, ada beberapa definisi al-iajarah yang dikemukakan para ulama fiqh. Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan :Transaksi terhadap suatu menafaat dengan imbalan[28] Syafi’iyah menjelaskan ijarah adalah akad atas suatu manfaat tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan kompensasi atau imbalan tertentu. Malikiyah mengatakan, ijarah adalah perpindahan kepemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu kompensasi tertentu[29]
 Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka akad al-ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak pakai atas barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan (upah sewa), yang tidak dikuti oleh pemindahan hak milik atas barng yang disewa. Subtansi akad ijarah terletak pada pengambilan manfaat atas barang atau jasa yang diimbangi dengan upah dalam waktu tertentu. Dasar hukum akad ijarah adalah firman Allah surat al Baqarah (2) ayat 233:
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöãƒ £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 yŠ#ur& br& ¨LÉêムsptã$|ʧ9$# 4 n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 Ÿw §!$ŸÒè? 8ot$Î!ºur $ydÏ$s!uqÎ/ Ÿwur ׊qä9öqtB ¼çm©9 ¾ÍnÏ$s!uqÎ/ 4 n?tãur Ï^Í#uqø9$# ã@÷VÏB y7Ï9ºsŒ 3 ÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ  
Artinya
 Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S al -Baqarah ayat; 233)

      Inti tafsir dari ayat tersebut menunjukkan kebolehan seseorang menyewa jasa orang lain untuk menyusui anaknya, dengan syarat membayar upah secara layak Ungkapan ini menunjukkan adanya jasa orang lain yang diberikan, dan adanya kewajiban membayar yang patut atas jasa yang diterima[30]. Dalam surat al Qashash (28) ayat 26 Allah juga berfirman:
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ  
Artinya.
 Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (Q.S al Qashash ayat 26)

Ayat ini merujuk pada keabsahan kontrak ijarah. Ayat ini berkisah tentang perjalanan Nabi Musa AS bertemu dengan kedua putri Nabi Ishak AS, salah  seorang putrinya meminta Nabi Musa AS untuk di-isti’jar (disewa tenaganya/ jasa) guna mengembalakan domba. Ayat berikutnya bercerita tentang bagaimana Nabi Musa harus bekerja dan sistem pengupahan yang diterima. Cerita ini menggambarkan proses penyewaan jasa seseorang dan bagaimana pembayaran upah itu dilakukan [31]  Cerita ini dapat dijadikan landasan hukum, yang dalam ushul fiqh sebagai syar’u man qablana sepanjang tidak di-mansukh (dihapus) [32]. Dasar hukum dari hadits Rasulullah saw, diantaranya adalah Berikanlah upah buruh selagi belum kering keringatnya (Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar. Hadits ini relevansinya dengan praktek kontrak ijarah pada saat sekarang adalah adanya keharusan untuk mnelakukan pembayaran uang sewa sesuai dengan  kesepakatan atau batas waktu yang telah ditentukan, seyogyanya tidak menunda nunda pemberian upah dari jadwal atau tenggang waktu yang telah disepakati[33] Ijmak shahabat telah sepakat atas kebolehan akad ijarah, hal ini didasari pada kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa tertentu seperti halnya kebutuhan barang, Ketika akad jualbeli diperbolehkan, maka terdapat suatu kewajiban untuk membolehkan akad ijarah atas manfaat atau jasa. Hakekat ijarah sama dengan jual beli, namun dengan obyek manfaat atau jasa [34]

2.      Macam-Macam Al-ijarah
Akad Ijarah dilihat segi objeknya, terbagi menjadi dua macam, yaitu: yang bersifat manfaat atas suatu benda atau barang dan yang bersifat manfaat atas pekerjaan (jasa). Al-ijarah yang bersifat manfaat atas benda, umpamanya adalah sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat yang dibolehkannya syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa menyewa[35]. Al-ijarah yang bersifat manfaat atas pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan.  Al-ijarah seperti ini, menurut para ulama fiqh, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang jahit. Kedua bentuk al-ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh, tukang, dan pembantu), menurut para ulama fiqh, hukumnya boleh[36], Terkait dengan hal ini, termasuk menyewa terhadap manfaat atas karya seseorang yang berupa hak kekayaan intlektual (HAKI), seperti hak cipta, Merk dagang, logo dan sebagainya. Akad ijarah, jika terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka ijarah dipandang sah dan berlaku akibat hukumnya, yaitu :
a). Pemberi sewa berkewajiban untuk menyediakan asset (barang sewa) dan memungkinkan bagi penyewa untuk menikmati manfaat asset tersebut. Penyewa bertanggunga jawab untuk menjaga keutuhan asset yang disewa dan membayar upah sewa. Aset yang disewa adalah amanah di tangan penyewa, jika aset rusak tanpa pelanggaran dan kelalaian penyewa, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan itu. Boleh disyaratkan dalam kontrak pemelihrtaan asset dilakukan oleh penyewa, dengan syarat upoah sewa yang dibayar oleh penyewa harus adil, dalam arti jumlah sewa harus mencerminkan nilai manfaat yang,didapatkan serta biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan asset[37] .
b). Akad ijarah adalah akad mengikat, akad ini tidak bisa dibatalkan kecuali ada cacat atau hilangnya nilai manfaat bagi kedua pihak. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad, maka akadnya batal, karena akad al-ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut Jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seroang yang berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan alijarahsama dengan jual beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad [38].
c)    Akad ijarah berakhir, jika tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh [39]. Dewasa ini, dalam lembaga keuangan syari’ah memproduk akad ijarah yang disebut dengan al-Ijarah al- Muntahia bit-Tamlik, yaitu perpaduan antara kontrak jual beli dengan akad sewa, atau akad sewa yang diakhiri dengan perpindahan hak milik barang ditangan penyewa. Biaya sewa biasanya lebih besar dari upah sewa biasa. Biaya sewa tersebut mencerminkan harga pokok pembelian dan besaran margin keuntungan yang diinginkan. Ketika biaya sewa telah lunas diakhir masa perjanjian, kepemilikan barang akan bergeser kepada penyewa. ijarah model seperti itu, diperbolehkan oleh syara’, dengan dasar hukum atau dalil sebagai berikut :
a. Akad Ijarah bit Tamlik bukan gabungan dua akad, yakni sewa dan jual beli dalam satu akad (yang ini dilarang oleh hadits). Namun, akad ini atas dua akad yang terpisah dan independen, pertama adalah akad sewa, dan di akhir masa sewa dibentuk akad baru yang independen, yakni akad jual beli atau bisa juga dengan hibah.
b. Ulama Malikiyah menyatakan, akad sewa (ijarah) bisa digabungkan dengan akad jual beli dalam sebuah transaksi, karena tidak ada hal yang menafikan subtansi keduanya. Ulama Syafi’iyyah dan habailah mengakui kebasahan penggabungan dua akad ini dalam stau transaksi, karena tidak ada pertentangan subtansi akad di antara keduanya.
c. Ketetapan ulama fiqh dunia di Kuwait ( 10-15 Desember 1988) yang menghadirkan alternatif solusi, yakni akad ini diganti dengan jual beli kredit, atau akad ijarah, ketika akhir perjanjian, penyewa diberi beberapa opsi, yaitu perpanjangan masa kontrak, atau membeli obyek sewa dengan harga yang berlaku dipasar [40].

4. Teori Ibtikar
a.    Pengertian Ibtikar
Secara etimologi, ibtikar berarti awal sesuatu atau permulaannya. Ibtikar dalam fiqih Islam dimaksudkan adalah hak cipta/kreasi yang dihasilkan seseorang untuk pertama kali. Di dalam dunia ilmu pengetahuan al-ibtikar disebut dengan hak cipta[41]. Definisi al-ibtikar tidak ditemukan dalam literatur fiqh klasik, kajian tentang al-ibtikar secara mendalam,dari para ahli hukum Islam juga jarang ditemukan. Pembahasan hak al-ibtikar dapat dilacak dalam kitab fiqh kontemporer. Fathi ad-Duraini, menyatakan bahwa ibtikar adalah : gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan melalui kemampuan pemikiran dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama, yang belum dikemukakan ilmuan sebelumnya[42]  
Ibtikar atau hak cipta terbilang hal yang baru dalam kajian fiqh, seiring dengan kemajuan dunia keilmuan, dunia usaha (perdagangan), dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Hak cipta, secara maknawi sebagai kepemilkian khusus, dan merupakan hasil karya intlektual manusia, yang sudah selayaknya ada penghargaan khusus dari masyarakat umum baik dari segi moral maupun finansial[43].

b.             Ibtikar dipandang sebagai harta
Ibtikar dikaitkan dengan pengertian harta dalam hukum Islam. Menurut Ulama Hanafiyah, yang dinamakan harta adalah segala sesuatu yang mungkin disimpan dan bisa dimanfaatkan secara biasa. Pengertian ini membawa akibat bahwa sesuatu itu dapat dipandang harta jika mengandung dua unsure, yaitu
(a) Dapat disimpan, maka sesuatu yang tidak bisa disimpan tidak dipandang sebagai harta.
(b). Dapat dimanfaatkan secara biasa[44]. Konsekwensi logis dari pendapat Ulama Hanafiyah adalah yang dinamakan harta harus bersifat benda atau sesuatu yang bisa diindra (kasat mata). Sedangkan manfaat atau hak bukan dipandang sebagai harta , tetapi merupakan kepemilkian [45] . Jumhur Ulama berpendapat bahwa harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan orang yang merusakkannya harus menggantinya atau menanggung beban atas kerusakannya. Imam Syafi’i mengatakan, al-mal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekwensi bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini al-mal haruslah sesuatu yang dapat merefleksikan nilai finansial, dalam arti bisa diukur dengan satuan moneter. Konsekwensi logis dari pemikiran Jumhur Ulama ini adalah bahwa yang dinamakan harta tidak harus bersifat benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat dipandang sebagai harta.
Alasan yang digunakan oleh Jumhur bahwa maksud orang memiliki suatu benda bukan karena semata-mata bendanya tetapi adalah manfaat dari benda itu sendiri[46]. Pendapat Jumhur Ulama bila dikaitkan dengan hak Ibtikar, maka hasil pemikiran, ciptaan, dan kreasi seseorang termasuk harta, karena menurut mereka, harta tidak hanya bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat. Atas dasar ini, maka pemikian, hak cipta atau kreasiyang sumbernya adalah pemikiran manusia  bernilai harta dan kedudukannya sama dengan benda-benda lain, sepertii rumah, mobil dan sebagainya. Ijtihad jumhur ulama, hak cipta dan kreasi ilmuan atau seniman termasuk ke dalam pengertian harta dengan syarat setelah hasil pemikiran itu dituangkan ke dalam buku atau media lainnya[47]

c.         Dasar Hukum Hak al-ibtikar
 Hak cipta atau kreasi karya intlektual manusia, merupakan hal baru dan belum ditemukan nash hukumnya (dalil khusus) baik dari ayat al-Qur’an maupun al-Hadits, secara ijtihadi dapat didasarkan pada; Pertama,‘urf (suatu kebiasaan atau adat yang berlaku umum dalam suatu masyarakat). Adat yang telah berjalan dan berlaku umum dapat dijadikan dasar hukum, sebagaimana dalam kaidah hukum Islam: “Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum[48]. Kedua, maslahah mursalah (sesuatu yang dianggap maslahat, namun  tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya, tetapi maslahah itu secara subtansial sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk umum syari’ah atau  ruh syari’ah maupun maqasid syari’ah [49]  Konsekwensi hukum Islam memandang bahwa hak cipta (ibtikar) termasuk kedalam kategori harta yang berakibat bagi penemu atau pencipta terhadap hasil karya atau ciptaanya menjadi hak milik mutlak yang bersifat materi. Penemu atau pencipta berhak atas nilai materi itu atau hak tersebut, ketika digunakan atau dimanfaatkan oleh orang lain dengan seizinnya. Hak ini layaknya harta dan berlaku pada hukum yang melingkupinya[50] . Berpijak dari hal tersebut, Hak ibtikar mempunyai kedudukan yang sama dengan harta-harta lain yang bisa ditransaksikan, diwariskan atau diwasiatkan maka untuk menjaga eksistensi keberadaan hak ibtikar tersebut dari halhal yang merusakkannya harus mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah lewat peraturan maupun undang-undang dengan mempertimbangkan kemaslahatan kedua belah pihak. Tindakan pemerintah mengatur hak cipta bagi warga negaranya tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam:
Tasharuf (tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”[51].

Perlindungan hukum atas hak cipta seseorang lewat undang-undang atau hukum yang berlaku di negara, dapat menghindari terjadinya penipuan dan kerugian dari pihak-pihak yang saling bertransaksi dalam bisnis (perdagangan). Upaya pemerintah membuat aturan perlindungan hukum atas hak cipta bagi warga negaranya, disamping mendasarkan pada ‘Urf (adat) maupun maslahah mursalah, juga disemangati oleh hadits Nabi Saw :



“Rasulullah Saw pernah lewat seseorang yang sedang menjual bahan makanan, lalu Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan itu, lalu ternyata bahan makanan tersebut tipuan. Maka Rasulullah Saw bersabda ; tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”(Ibnu Majah, tt.,Juz II: 749).

Isyarat hadits tersebut, bila dicermati lebih jauh, dapat dibangun teori atau asas hukum Islam tentang akad (transaksi), yaitu keabsahan dan pembatalan akad (transaksi) muamalat bentuk apapun, ditentukan oleh adanya konsep tujuan akad yang menjadi “causa”. Causa adalah maksud atau motif para pihak ketika membuat akad, dengan causa ini merupakan sumber atau dasar kekuatan mengikat bagi tindakan hukum bersangkutan, yaitu dasar perlindungan hukum terhadap para pihak yang melakukan akad. Unsur penipuan dalam transaksi menandakan ada indikator cacat kehendak dari pelaku akad yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan (tertipu) untuk membatalkan perjanjian.

5. Analisis Hukum Muamalat Terhadap Bisnis Waralaba
a. Analisis dari Aspek Syirkah (Kemitraan Bisnis)
Aspek hukum yang perlu dianalisa dari bisnis waralaba adalah tentang kemitraan bisnis. Kemitraan bisnis dalam hukum Islam disebut dengan syirkah atau musyarakah, dalam hukum positip dikenal dengan perserikatan dagang. Definisi waralaba menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 1 angka (1) adalah :
“Perikatan antara pemberi waralabadengan penerima waralaba di manapenerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi Waralaba kepada penerima Waralaba’’.

Berdasarkan definisi tersebut, maka ada dua segi yang perlu dianalisa dalam bisnis waralaba adalah :
Pertama, isi kontrak waralaba yang berupa suatu prestasi, yaitu
(a). Pemberian lisensi atau izin dari pihak pemberi waralaba kepada pihak penerima waralaba untuk menjalankan usaha bisnisnya dengan menfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba sebagai imbalannya, pihak penerima waralaba membayar sejumlah uang barupa franchise fee (Agustaman, 2007: 38).
(b). Pemberian dukungan konsultasi operasional berkesinambungan (Pasal 8 PP No.42/2007 dan Penjelasannya), dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba, sebagai imbalannya, penerima waralaba membayar royalty kepada pemberi waralaba. Isi kontrak waralaba ini mengandung dua unsur, yaitu unsur pembelian manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual dan unsur bagi hasil yaitu adanya sistem royalty sebagai imbalan jasa atas dukungan operasional dari pihak pemberi waralaba.
 Kedua, Obyek kontrak yang berupa Hak Kekayaan Intelektual yang menyangkut masalah hak cipta dalam sistem waralaba meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba Isi kontrak waralaba yang berupa suatu prestasi merupakan subtansi kontrak waralaba, bila dicermati terdapat dua subtansi akad dalam hukum Islam :
(a) subtansi akad yang mengarah atau mendekati akad syirkah yaitu terbentuknya kerja sama dalam usaha bisnis dengan berbagi keuntungan.
(b), subtansi akad yang mendekati dengan akad ijarah, yaitu perpindahan kepemilikan manfaat Hak Kekayaan Intelektual dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba dengan suatu imbalan dalam batas waktu tertentu.
 Obyek kontrak yang berupa Hak Kekayaan Intelektual, kalau dilihat dari sudut hukum Islam menyangkut masalah hak cipta dalam sistem waralaba yang meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba. Hak cipta merupakan hal yang baru dalam kajian fiqh (hukum Islam). Persoalan yang muncul terkait dengan hak cipta dalam hukum Islam menyangkut status kepemilikan bagi pemiliknya dan hukum yang melingkupinya dalam pandangan fiqh muamalat. Berdasarkan sumber data yang telah diuraikan, dapatlah dirumuskan hal-hal sebagai berikut : Pertama, perjanjian dalam bisnis waralaba harus dalam bentuk tertulis dan didaftarkan kepada Menteri Perdagangan.( Pasal 4, Pasal 11 ayat [1], Pasal 12 ayat [3] PP No. 42 Tahun 2007). Ketentuan ini lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kedua pelaku bisnis waralaba. Kedua, dalam bisnis waralaba, masing-masing pihak baik pihak pemberi waralaba maupun pihak penerima waralaba dipandang sebagai orang yang cakap berbisnis. Ketiga, dalam bisnis waralaba pembagian keuntungan yang disebut dengan royalty tidak dalam jumlah nominal melainkan prosentasi dari laba usaha bisnis. Ketiga unsur tersebut, bila dihubungkan dengan teori kemitraan bisnis dalam hukum Islam ada kesesuaian dengan syarat umum syirkah. Mencermati sistem operasional (kerja) bisnis waralaba sebagaimana yang diatur oleh hukum positip baik dalam PP No.42 tahun 2007 maupun Peraturan Menteri Perdagangan No. 12 Tahun 2006, maka dalam bisnis waralaba, masing-masing pihak baik pihak, pemberi maupun penerima waralaba tidaklah sama dalam hal perolehan hak maupun dalam hal beban kewajiban masing-masing. Artinya, baik modal, kerja, tanggung jawab, berbagi laba dan resiko bagi masing-masing mitra bisnis tidak sama. Rumusan tersebut,dilihat dari teori kemitraan bisnis dalam hukum Islam dapat digolongkan sebagai jenis syirkah ‘inan, karena sesuai dengan syarat khusus syirkah ‘inan, dengan catatan pemaknaan modal dalam syirkah mengacu pada pendapat Maliki yang menyatakan bahwa modal tidak harus berwujud uang, tetapi boleh juga berupa barang komoditas, asset perniagaan, jasa dan lain-lain asalkan dapat ditentukan dengan kadar nilai (ekonomi). Akibat pemaknaan modal dalam syirkah menurut imam Maliki dan pemaknaan harta menurut jumhur ulama fiqh selain Hanafi yang telah dikemukakan pada bab dua, sistem operasional bisnis waralaba, di samping sebagai aplikasi syirkah ‘inan, juga dilihat dari sisi lain terdapat praktek syirkah a’mal ( syirkah ‘abdan). Syirkah yang modalnya bukan harta tetapi tenaga atau pekerjaan  maupun keahlian atau profesi. Subtansi akad syirkah ‘abdan terletak padakerjasama seprofesi dua orang atau lebih untuk menerima order bisnis denganberbagi keuntungan sesuai kesepakatan. Subtansi syirkah ini, bila dikaitkan atau dihubungkan dengan bisnis waralaba terdapat kesamaan dari satu sisi dan ada perbedaan dari sisi lain. Persamaannya terletak pada modal yeng berupa tenaga atau keahlian dalam bisnis waralaba baik dari pihak pemberi maupun pihak penerima waralaba. Pihak pemberi waralaba, di samping modal yang berupa manfaat dari Hak Kekayaan Intlektual yang dimilikinya, juga bermodal tenaga ahli bidang bisnis yang berperan untuk melaksanakan pemberian pelatihan bimbingan, penelitian dan pengembangan termasuk melakukan pengendalian mutu serta evaluasi bisnis. Pihak penerima waralaba selain modal uang, juga tenaga, keahlian atau profesi bisnis yang memegang peran penting menjalankan usaha dengan menggunakan sistem dan methode bisnis dari pihak pemberi waralaba. Keuntungan dari usaha waralaba ini dibagi menurut proporsi kualitas dan kuantitas kerja yang dibebankan. Perpaduan (kerja sama) tenaga dan keahlian bisnis dari dua pihak pelaku bisnis waralaba dapat dipandang sebagai syirkah ‘abdan (a’mal). Sementara dari sisi lain, syirkah ‘abdan menurut teori syirkah hukum Islam, proyek bisnis atau order bisnis yang menjadi obyek usaha syirkah adalah atas job atau pesanan dari pihak ketiga. Misalnya, kerjasama orang yang berprofesi tukang jahit untuk menerima pekerjaan dari Depdiknas untuk membuat seragam baju sekolah. Order pekerjaan pembuatan baju seragam sekolah bukan atas inisiatif atau diciptakan sendiri oleh pelaku syirkah melainkan datang dari pihak ketiga, dalam hal ini pihak Depdiknas. Berbeda halnya, dengan bisnis waralaba, di mana proyek bisnis yang menjadi usaha itu diciptakan sendiri oleh dua mitra bisnis waralaba bukan atas pesanan dari pihak luar atau pihak ketiga. Dalam syirkah ‘abdan, terjadi dan tidaknya syirkah tersebut sangat tergantung dari ada dan tidaknya pesanan dari pihak ketiga. Berbeda dengan pola bisnis waralaba, terjadi dan tidaknya bisnis waralaba tidak tergantung dari pihak ketiga melainkan ditentukan atau diciptakan oleh sesama mitra bisnis waralaba (pemberi dan penerima waralaba).

b.        Analisis dari Aspek Ijarah (Sewa Menyewa)
Salah satu subtansi kontrak bisnis waralaba adalah pemberian lisensi (izin) oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba didalam menjalankan usaha bisnisnya dengan imbalan sejumlah fee (franchise fee) yang harus dibayar oleh penerima kepada pemberi waralaba dalam batasan waktu tertentu. Subtansi kontrak bisnis waralaba tersebut tidak jauh berbeda dengan subtansi akad ijarah dalam hukum Islam yaitu sama-sama memindahkan kepemilikan manfaat atas benda ataupun jasa dengan imbalan sejumlah uang dalam batas waktu tertentu. Dasar Analisa tersebut, apabila manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual dapat dipandang sebagai harta sehubungan pendapat jumhur ulama fiqh selain Hanafi yang menyatakan bahwa bahwa yang dinamakan harta tidak harus bersifat benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat dipandang sebagai harta. Isi kontrak bisnis waralaba yang menyangkut pemberian lisensi atau izin dari pemberi kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan hak kekayaan intelektual di dalam menjalankan usaha bisnisnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut;
Pertama, Kontrak waralaba berupa perjanjian tertulis. Kedua, Hak Kekayaan Intelektual yang digunakan penerima waralaba dalam menjalankan usaha bisnisnya tidak lain adalah untuk mengambil manfaatnya, yaitu meningkatkan daya beli atau volume penjualan barang atau jasa.Ketiga, dalam bisnis waralaba, franchisee fee ditentukan nominal rupiah untuk jangka waktu tertentu. Keempat, dalam bisnis waralaba, penggunaan manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual oleh penerima waralaba. Kelima, jika jangka waktu kontrak waralaba berakhir, pihak penerima waralaba mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang berkenaan Hak Kekayaan Intlektual, penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem manajemen, cara penjualan dan sebagainya yang menjadi obyek waralaba kepada pemberi waralaba. Kelima unsur ini sesuai dengan syarat-syarat sah akad ijarah.

c.         Analisis dari Aspek Ibtikar (Hak Cipta)
Aspek hukum yang tidak kalah penting untuk dinalisa dari bisnis waralaba adalah obyek kontrak yang berupa Hak Kekayaan Intelektual. Hak Kekayaan Intelektual, dilihat dari sudut hukum Islam menyangkut masalah hak cipta yang meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba. Hak cipta merupakan hal yang baru dalam kajian fiqh (hukum Islam). Persoalan yang munculterkait dengan hak cipta dalam hukum Islam menyangkut status kepemilikan bagi pemiliknya dan hukum yang melingkupinya dalam pandangan fiqh muamalat. Hak Kekayaan Intelektual yang meliputi hak cipta, penemuan atau ciri khas usaha dalam dunia ekonomi atau bisnis dalam hukum Islam dikenal dengan istilah Ibtikar. Ibtikar bila dikaitkan dengan pengertian harta dalam hukum Islam. terdapat dua pendapat dari kalangan ahli hukum Islam. Menurut Ulama Hanafiyah, yang dinamakan harta adalah segala sesuatu yang mungkin disimpan dan bisa dimanfaatkan secara biasa. Akibat logis dari pendapat ini yang dinamakan harta harus berupa benda atau materi. Manfaat atau hak tidak dipandang sebagai harta. Pendapat Jumhur Ulama bahwa yang dinamakan harta tidak harus bersifat benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat dipandang sebagai harta. Alasan yang digunakan oleh Jumhur bahwa maksud memiliki suatu benda bukan karena semata-mata bendanya tetapi adalah manfaat dari benda itu sendiri. Pendapat Jumhur Ulama bila dikaitkan dengan hak Ibtikar, maka hasil pemikiran, ciptaan, dan kreasi seseorang termasuk harta, karena menurut mereka, harta tidak hanya bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat. Atas dasar ini, maka hak cipta atau kreasi yang sumbernya adalah pemikiran manusia bernilai harta dan kedudukannya sama dengan benda-benda lain. Pemikiran Jumhur Ulama dipandang lebih relevan dengan perkembangan  zaman, terutama kemajuan dibidang ekonomi. Karya-karya intlektual yang dilahirkan dengan pengorbanan menjadikan karya yang dihadirkan menjadi bernilai, apalagi dilihat dari manfaat ekonomi yang dapat dinikmati. Nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsep kekayaan terhadap karya-karya intlektual itu bagi dunia usaha atau bisnis sehingga dapat dikatakan sebagai asset perusahaan. Hak cipta atau kreasi karya intelektual manusia, walaupun tidak ada ketentuan khusus baik dari ayat al-Qur’an maupun al-Hadits, secara ijtihadi dapat didasarkan pada ‘urf[52]  dan maslahah mursalah. Konsekwensi hukum Islam memandang bahwa hak cipta (ibtikar) dipandang sebagai harta yang berakibat bagi penemu atau pencipta terhadap karya atau ciptaanya menjadi hak milik mutlak yang bersifat materi. Logika ekonomi bagi yang menemukan atau menciptakan berhak atas nilai materi itu ketika digunakan atau dimanfaatkan oleh orang lain atas izinnya. Kepemilikan hak cipta adalah harta yang tak ternilai karena mengandung kepercayaan konsumen dan reputasi. Berpijak dari hal tersebut, Hak ibtikar mempunyai kedudukan yang sama dengan harta-harta lain yang bisa ditransaksikan, diwariskan atau diwasiatkan maka untuk menjaga eksistensi keberadaan hak ibtikar tersebut dari hal-hal yang merusakkannya harus mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah lewat peraturan maupun undang-undang dengan mempertimbangkan kemaslahatan kedua belah pihak.Tindakan pemerintah mengatur hak cipta bagi warga negaranya tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam: “ Tasharuf (tindakan) imam terhadap rakyatharus dihubungkan dengan kemaslahatan”[53]
Perlindungan hukum atas hak cipta seseorang lewat undang-undang atau hukum yang berlaku di negara, dapat menghindari terjadinya penipuan dan kerugian dari pihak-pihak yang saling bertransaksi dalam bisnis (perdagangan). Upaya pemerintah membuat aturan perlindungan hukum atas hak cipta bagiwarga negaranya, disamping mendasarkan pada ‘Urf (adat) maupun maslahah mursalah, juga disemangati oleh hadits Nabi Saw Riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah[54]. Isyarat hadits tersebut, dapat dibangun teori atau asas hukum Islam bahwa setiap transaksi muamalat harus bebas dari cacat kehendak dari para pihak ketika membuat akad. Dalam hukum Islam, cacat kehendak meliputi paksaan, penipuan dan kekhilafan. Hukum Islam memandang bahwa Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk kedalam kategori harta dan status kepemilikan bagi penemu atau pemiliknya sama dengan kepemilikan benda-benda lain, dalam arti bagi pemiliknya mempunyai hak penuh untukmen-tasharuf-kannya.  Kententuan hukum ini membawa akibat bahwa untuk menjaga eksistensi hak cipta dari hal-hal yang merugikan bagi pemiliknya dibutuhkan adanya perlindungan hukum dari pihak pemerintah. Adanya perlindungan hukum dari pemerintah bagi pemegang hak cipta, disamping lebih memberikan kepastian hukum, juga dapat menghindarkan dari hal-hal yang merugikan atau yang menimbulkan terjadinya pemalsuan ataupun penipuan. Teori hukum Islam tentang hak cipta diatas, sesuai dengan ijtihad ahli-ahli ekonomi di Indonesia lewat Badan legislatif dengan memproduk Undang-Undang Hak Kekayaan Intlektual yang meliputi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Dalam Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual tersebut pada asasnya memberikan hak penuh bagi penemu atau pemegangnya untuk mengalihkan haknya kepada siapa saja, baik untuk memanfaatkan atau menggunakannya atas seizinnya. Hak untuk memanfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual dalam konteks bisnis waralaba dimiliki oleh franchisee (penerima waralaba) atas izin (lisensi) dari franchisor (pemberi waralaba). Pemberian lisensi (izin) pemanfaatan atau penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (yang sudah terdaftar) dari pemberi waralaba kepada penerimawaralaba. Pihak pemberi waralaba berhak atas balas jasa yang berupa fee yang merupakan hasil usahanya.  Klausul ini dituangkan dalam bentuk perjanjian dan didaftarkan kepada pemerintah tidak bertentangan dengan teori hukum Islam sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

C. Kesimpulan
Bisnis Waralaba di Indonesia yang diatur oleh Peraturan Waralaba di Indonesia, baik dalam PP Nomor 42 Tahun 2007, maupun Peraturan   Nomor 12 Tahun 2006 tidak bertentangan dengan hukum Islam dilihat dari tiga sudut:
1. Waralaba sebagai bentuk kerja sama bisnis, secara subtansial merupakan aplikasi perpaduan teori akad syirkah ‘inan dan akad ijarah.Waralaba sebagai kemitraan bisnis, dimana pihak pemberi waralaba bermodalkan Hak Kekayaan Intelektual dan tenaga ahli bisnis, sedang penerima waralaba bermodalkan harta dan tenaga ahli bisnis. Masing-masing mitra bisnis tersebut bersepakat untuk berbagi hasil dan resiko dari usaha bisnis yang dijalankan sesuai dengan kuantitas dan kualitas beban kerja atau kewajiban masing-masing. Gabungan jenis modal yang beragam dan berbagi hasil dan resiko yang beragam pula merupakan aplikasi dari akad syirkah ‘Inan.
2. dalam kontrak waralaba, dimana pemberi waralaba memberikanlisensi (izin) kepada penerima waralaba untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan atau menggunakan hak kekayaan intlektual sebagai imbalannya penerima waralaba membayar sejumlah fee (franchise fee) kepada pemberi waralaba dalam batasan waktu tertentu merupakan aplikasi dari akad ijarah
3. Obyek kontrak bisniswaralaba yang berupa Hak Kekayaan Intlektual, atau penemuan ataupun ciri khas usaha milik pemberi waralaba yang dimanfaatkan atau digunakan oleh penerima waralaba dalam menjalankan usaha binis atas izinya dengan dimbangi pembayaran sejumlah fee dipandang sah menurut hukum Islam. Manfaat Hak Kakayaan Intlektual yang meliputi hakcipta, merek dagang atau jasa, logo, sistem dan metode bisnis yang merupakankarakteristik usaha bisnis dipandang oleh hukum Islam sebagai kategori harta. Konsekwensi hukum Islam memandang bahwa Hak Kekayaan Intelektual dipandang sebagai harta yang berakibat bagi penemu atau pencipta terhadap karya atau ciptaanya menjadi hak milik mutlak yang bersifat materi. Akibat hukum bagi yang menemukan atau menciptakan berhak atas nilai materi ituapabila digunakan atau dimanfaatkanoleh orang lain atas izinnya, maka untukmenjaga eksistensi keberadaannya harusmendapatkan perlindungan hukum dari Pemerintah (dalam kontkes Indonesia adalah Undang-Undang HAKI) Tindakan pemerintah membuat Undang-Undang HAKI tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam:


 Tasharuf (tindakan)imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan Bisnis Waralaba di Indonesia Perspektif Islam















DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, Asmuni, 1974, Metode Istinbath Hukum Islam, Jakarta ; Bulan Bintang
Abu Dawud, Sunan, 1996, Sunan Abi Dawud, Beirut ; Dar al-Fikri, Juz II.
Antonio, Muhammad Syafi’I, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta; Tazkia Cendekia
az- Zuhaili, Wahbah, 1997, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus ; Dar al-Fikr, Juz. IV & V.
Djuwaini, Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar
Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta; Prenada Media
Hafidhuddin, Didin, 2002, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta; Gema Insani,
Haroen, Nasrun, 1996, Ushul Fiqh I, Jakarta; Logos
Ibnu Katsir, 2000,Tafsir al-Qur’an al-”Adzim, Beirut ; Maktabah al Asyriyyah,Juz I & II.
Ibnu Majah, Sunan, tt., Sunan Ibnu Majah, Beirut. Dar al-Fikr, Juz. II.
Ibnu Rusyd, 1988, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Veirut ; Darul Qalam, Juz II
Karim, Adiwarman A., 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta; Gema Insani Pres
Mancuso,Joseph dan Donald Borolan,2006, Peluang Sukses Bisnis Waralaba, Yogyakarta ; Dolphin Books
Maoghul, Umar F, 2007,No Pain, No Gain : The State of The Industry in Lightof an American Islamic Private Equity Transaction, Chicago : Journal International Law, Vol. 7, Iss, 2 : 26 pgs.
Thalib, Sayuthi, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta ; UI Press.


[1](http://pa-wonosari.net/asset/pengrhmodernitas.pdf (18 Maret 2009 pukul 13.15 WIB)).
[2] Suhrawardi k lubis, Hukum Ekonomi Islam, (PT.Sinar Grafika,Jakarta,2000) h.168
[3] Media Indonesia. Investasi Waralaba Tawarkan Prospek Usaha. Kamis, 27 November 2008 Halaman 21. Kolom 1-2.
[4] Suhrawardi k lubis,.Op.Cit., 169
[5] Nasrun Haroen, ,  Ushul Fiqh I, (Pt. Jakarta; Logos 2000) h.165
[6] Maoghul, Umar F, 2007,No Pain, No Gain : The State of The Industry in Light
of an American Islamic Private Equity Transaction, Chicago : Journal h.475
[7] Djuwaini, Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta ; Pustaka
Pelajar) h,.
[8] az- Zuhaili, Wahbah, 1997, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus ; Dar al-
Fikr, 1997 Juz. IV & V. h..3876
[9] Abu Dawud, Sunan, 1996, Sunan Abi Dawud, ( Pt. beirut ; Dar al-Fikri, 1996 Juz II) h. 462
[10] Wahbah az- Zuhaili, Op. Cit 100
[11] Thalib, Sayuthi, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, ( pt. Jakarta ; UI Press.) h.79-83
[12] Antonio, Muhammad Syafi’I, , Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Pt JakartaTazkia Cendekia, 2001).h 91-92
[13] Adiwarman A. Karim, 2001: 81
[14] Wahbah az- Zuhaili, Op. Cit: 3878
[15] Ibnu Rusyd, , Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (pt.Veirut ; Darul
Qalam, Juz II 1988) h. 407
[16] Muhammad Syafi’i Antonio Op. Cit  h. 92
[17] Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit 3881
[18] Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit h 92
[19] Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit  h.212
[20] Adi Warman A. Karim, Op. Cit h. 81
[21] Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit  h.92
[22] Ibid h. 93
[23] Nasrun Haroen Op. Cit  h 171
[24] Muhammad Syafi’i Antonio Op. Cit  h 92
[25] Ibnu Rusyd, Op. Cit  h 407- 412
[26] Ibnu Rusyd, Op. Cit  h 407- 412
[27] Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit  h.233
[28] Dimyauddin Djuwaini, Ibid h.233
[29] Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit: h.3804
[30] Ibnu Katsir, Op. Cit h. 249
[31] Ibnu Katsir Ibid h: 249
[32] Ibnu Katsir, Op. Cit h.360-361
[33] Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit h. 156)
[34] Dimyauddin Djuwaini Ibid  h 158
[35] Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit h: 3837
[36] Wahbah az-Zuhaili Ibid
[37] Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit h  3847-3848
[38] Nasrun Haroen, Op. Cit h 237
[39] Nasrun Haroen,  Ibid h237
[40] Wahbah az-Zuhaili Op. Cit h 410-412
[41] Nasrun Haroen, Op. Cit h 32
[42] Nasrun Haroen, Op. Cit h: 32
[43] Dimyauddin Djuwaini,  Op. Cit h: 296
[44] Wahbah al- Zuhaili, op.cit  h. 2875-2876
[45] Wahbah al- Zuhaili, Ibid  h.2877
[46] Wahbah al-Zuhaili, Op. Cit h 2877
[47] Nasrun Haoren, Op. Cit h 40
[48] Asjmuni Abd. Rahman, Op. Cit h 88
[49] Satria Efendi, Op. Cit h 148-149
[50] Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit h 298
[51] Asjmuni A. Rahman, Op. Cit h 60
[52] Asmuni A.Rahman, Op. Cit h 88
[53] Asymuni A. Rahman, ibid h.60
[54] Ibnu Majah, tt. Op. Cit h 376

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

1 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus