Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Rabu, 15 April 2015

Widgets

PROBLEMATIKA MATERI ZAKAT DAN PEMBERDAYAANNYA





A.    PENDAHULUAN

Sepengetahuan penulis, persoalan zakat adalah sesuatu yang tidak pernah habis dibicarakan, wacana tersebut terus bergulir mengikuti peradaban Islam, baik dari berbagai karya ilmiah, di forum-forum ilmiah, maupun melalui kelembagaan pengelolaan zakat itu sendiri, bahkan sampai berulang kali dibuat peraturan perundangannya, terakhir adalah produk UU RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sebagai perubahan atas Undang-undang sebelumnya  Nomor 38 tahun 1999, ditindaklanjuti pula dengan ke Keputusan Menteri Agama tentang Pelaksanaan Undang-undang tersebut, ini menunjukkan bahwa pamerintah menaruh perhatian yang tinggi  terhadap zakat agar dikelola berhasil guna dan berdaya guna sehingga tercapai tujuan pengelolaannnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa zakat itu merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinanan. Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, negara melalui undang-undang tersebut diatas telah mengamanatkan agar zakat dikelola secara melembaga sesuai dengan syari’at Islam, yaitu amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas[1] sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan pengelolaan zakat.
Kemiskinan merupakan bahaya besar bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh peradabannya hanya karena kefakiran. Karena kefakiran itu mendekati pada kekufuran. Zakat merupakan nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya.[2] Tapi apakah pengelolaan zakat sudah sesuai dengan tujuannya? Jika tidak, apa permasalahannya? Lalu bagaimana pemanfaatan hasil pengumpulan dana zakat ditinjau dari aspek pemberdayaan ekonomi umat? Itulah beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini sesuai dengan judul “Problematika Materi Zakat dan Pemberdayaannya”. Untuk mendukung persoalan yang lebih mendalam terhadap isi makalah ini, penyusun berusaha melakukan kajian terhadap literatur yang relevan terhadap masalah yang menjadi obyek pembahasan.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Zakat

Ditinjau dari segi bahasa, dalam Kamus Besar Lisan al-‘Arab, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari kata ذكا   yang berarti tumbuh, berkah, berkembang, atau bertambah, dan bisa juga berartikan suci atau bersih.[3]  Sedangkan ditinjau dari segi istilah, dalam kitab al-Fiqh ‘alaa Mazahib al-‘Arba’ah zakat diartikan dengan:
اخراج مال مخصوص الشخص مخصوص بشروط مخصوصة [4]
Artinya:“Mengeluarkan/memberikan hak milik harta tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula”.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dijelaskan bahwa :
“Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha (Muzakki) untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (Mustahiq) sesuai dengan syariat Islam” .

Berdasarkan defenisi tersebut di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa zakat adalah memberikan sejumlah harta tertentu yang dimiliki oleh muzakki disertai dengan syarat-syarat tertentu kepada mustahiq sesuai dengan ketentuan syara’.
Jadi kaitan antara makna bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh dan berkembang. Dalam penggunaannya, selain untuk kekayaan, tumbuh dan suci disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan zakat. Maksudnya, zakat itu akan mensucikan orang yang mengeluarkannya dan menumbuhkan pahalanya.[5] Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS; at-Taubah, ayat 103. Ayat ini pula yang menjadi salah satu dasar hukum wajib zakat.
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ  
Artinya; Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[6] dan mensucikan[7] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[8]

2.        Tujuan Zakat
 Dalam buku Pedoman Zakat terbitan Departemen Agama RI yang disusun oleh Tim Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf disebutkan bahwa tujuan zakat antara lain:[9]
Ø  Mengangkat derajat fakir-miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan.
Ø  Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharimin, ibnussabil, dan mustahiq lainnya.
Ø  Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya.
Ø  Menghilangkan sifat kikir pemilik harta
Ø  Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang – orang miskin.
Ø  Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat.
Ø  Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta.
Ø  Mendidik manusia untuk berdisplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.

Sedangkan tujuan pengelolaannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan  meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Untuk mewujudkan itu diperlukan organisasi pengelola zakat sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-undang tersebut.
Menurut hemat penulis, tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan melalui pendayagunaan hasil zakat secara produktif.  Sehingga zakat yang diberikan secara produktif  kepada mustahiq sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi dapat menumbuhkembangkan tingkat ekonomi dan potensi produktifitas mustahiq.[10] Dengan demikian terwujud kesejahteraan sosial-ekonomi mustahiq dan tentu akan meningkat pula status sosial-ekonominya, suatu saat nanti diharapkan si-mustahiq dapat pula menjadi muzakki baru.

1.    Problematika Materi Zakat di Indonesia
a.     Ditinjau dari Potensi Dana Zakat[11]
Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dan berbagai macam bentuk jenis usaha yang ada, tentu potensi dana zakat Indonesia juga sangat besar, potensi zakat seperti yang disampaikan Pimpinan DSUQ Bandung bahwa potensi zakat secara finansial dalam setahun di Indonesia bisa terkumpul mencapai 2 trilliun rupiah.[12]  Jumlah itu baru yang bisa di hitung dari jumlah orang kaya (muzakki) yang terdeteksi. Zakat digadang-gadang menjadi salah salah satu instrumen pemerataan pendapatan dikarenakan potensinya yang besar di Indonesia.
Berdasarkan riset dari hasil kerjasama UIN Jakarta dan Ford Foundation pada tahun 2003, ditemukan bahwa potensi zakat di seluruh nusantara mencapai 19,3 triliun per tahun. Tentunya itu untuk tahun 2003 dan seterusnya akan lebih besar dari tahun ke tahun.
Selanjutnya berdasarkan hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) mengatakan potensi dana zakat di Indonesia yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada tahun 2007. Potensi ini meningkat 4,67 triliun dibandingkan tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun.
Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 20 Triliun per tahun. Jenis harta zakat sangat banyak sekali, tetapi semua itu telah dirumuskan di dalam undang-undang sebagaimana terdapat di dalam pasal 4 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan bahwa zakat mal meliputi:
a. emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b. uang dan surat berharga lainnya;
c. perniagaan;
d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e. peternakan dan perikanan;
f. pertambangan;
g. perindustrian;
h. pendapatan dan jasa; dan
i. rikaz.
Semua jenis harta wajib zakat tersebut di atas itu tentu telah melalui kajian yang sangat mendalam dan melibatkan banyak pakar terutama ulama/fuqaha. Hukum zakat adalah wajib ‘ain dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya dapat diwakilkan kepada orang lain. Tujuan disyariatkan zakat diantaranya adalah untuk jangan harta itu hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja. Rukun zakat yaitu orang yang berzakat, harta yang dizakatkan dan orang yang menerima zakat. Syarat harta yang dizakatkan adalah harta yang baik, milik yang sempurna dari yang berzakat, berjumlah satu nisab atau lebih dan telah tersimpan selama satu tahun qamariyah atau haul.
Yusuf al Qaradawi menyatakan bahwa diantara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukannya secara sendiri, maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan secara sendiri misalnya : dokter, bidan, guru, penjahit, mubaligh dan lain sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama misalnya pegawai pemerintah maupun swasta, pejabat Negara, hakim dan lain sebagainya. Wahbah al Zuhaili mengemukakan pendapatan yang diterima seseorang dalam waktu relatif tetap, seperti sebulan sekali dalam fikih dikenal dengan nama (al-maal al-mustafaad). Landasan hukum kewajiban zakat profesi adalah firman Allah SWT.
QS; at-Taubah ayat 103
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOŠÎ=tæ ÇÊÉÌÈ  
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[13] dan mensucikan[14] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[15]

QS; al Baqarah ayat 267.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”[16]

QS; adz-Dzaariyat ayat 19.
þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ  
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”[17]

Semua penghasilan melalui kegiatan professional tersebut apabila telah capai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Pada saat Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah capai nisab, meskipun pesertanya berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Dalam menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi misalnya, dalam hal ini ada 2 pendapat, jika zakat profesi dianologikan kepada zakat perdagangan, maka nisab, kadar dan waktu mengeluarkan sama dengan zakat emas dan perak. Nisabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkan setahun sekali, setelah dikeluarkan kebutuhan pokok.
Contoh : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp. 2.000.000 = Rp. 600.000 (enam ratus ribu ) per tahun atau Rp. 50.000 (lima puluh ribu) per bulan.2. Jika dianalogikan kepada zakat pertanian, maka nisabnya senilai 5 ausaq atau 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya sebulan sekali. Dalam contoh kasus : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) setiap bulan dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah), maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5 % x 12 x Rp. 2.000.000 = Rp. 1.200.000 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per tahun atau Rp. 100.000 (seratus ribu perbulan). Kalau dianalogikan kepada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak ada ketentuan haul, ketentuan waktu menyalurkan adalah pada saat menerima, misalnya tiap bulan. Karena itu profesi yang menghasilkan pendapatan setiap hari, seperti : dokter yang membuka praktek sendiri para da‟i yang setiap hari berceramah, zakatnya dikeluarkan sebulan sekali. Sama dengan zakat pertanian yang dikeluarkan saat pada panen, sesuai firman Allah Surat al Anaam ayat 141. Kedua pendapat di atas menggunakan qiyas yang illat hukumnya ditetapkan berdasarkan metode syabah.
Contoh (qiyas syabah) yang dikemukakan oleh Muhammad al Amidi adalah hamba sahaya yang dianalogikan pada 2 hal yaitu pada manusia (nafsiyyah) menyerupai orang yang merdeka (al hur) dan dianalogikan pada kuda karena dimiliki dan dapat diperjual belikan di pasar. Pada tahun 2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang zakat penghasilan sesuai dengan “Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang zakat penghasilan. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap pendapatanseperti gaji, honorium, upah, jasa dan lain-lain yang diperoleh dengan cara yang halal, baik rutin seperti pejabat Negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
Dalam hal ini terdapat perbedaan antaraYusuf Qardhawi dan Majelis Ulama Indonesia dalam mengartikan penghasilanatau pendapatan. Kalau menurut Yusuf Qardawi penghasilan adalah didasarkanberdasarkan keahlian yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama.Sedangkan dalam fatwa MUI tersebut penghasilan diartikan sebagai pendapatanrutin atau tidak rutin. Namun pemakalah lebih memilih mengikuti pendapat berdasarkan fatwa MUI. Dalam fatwa MUI juga dijelaskan bahwa semua bentuk penghasilan yang halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nisab satu tahun yaitu senilai emas 85 gram. Adapun kadar zakat penghasilan adalah 2,5 %. Waktu pengeluaran zakat yaitu :
1)      Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima, jika sudah cukup nisab.
2)      Jika tidak mencapai nisab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab.
Berdasarkan uraian diatas, penulis berpendapat bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, apabila telah mencapai nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini didasarkan pada:
1)      Ayat al a Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua harta untuk dikeluarkan zakatnya.
2)      Berbagai pendapat ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah berbeda. Sebagian menggunakan istilah bersifat umum yaitu (al-amwaal), sementara sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah (al-maal al-Mustafaad) seperti terdapat dalam kitab Fikih Zakat dan al Fiqh al Islamy wa ‘Adillatuhu.
3)      Dari sudut keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas, dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum kurang beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah mencapai nisab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat ini pun bersifat wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, para dosen dan guru sertifikasi, dan profesi lainnya.
4)      Sejalan dengan kehidupan ekonomi umat manusia, kegiatan melalui keahlian dan profesi akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Penetapan kewajiban zakat kepadanya, menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap pekembangan zaman.

b.        Ditinjau dari sisi muzakki-nya
 Peran zakat sebagai salah satu rukun Islam yang harus ditunaikan muzakki[18] hanya menjadi kesadaran personal. Membayar zakat merupakan kebajikan individual dan sangat sufistik sehingga lebih mementingkan dimensi keakhiratan. Muzakki, biasanya disingkat dengan 3T (Tidak tahu, tidak mau, dan tidak percaya). Pertama, tidak tahu. Mungkin masyarakat tahunya hanya zakat fithrah saja sehingga berujung pada terabaikannya zakat maal yang nominalnya jauh lebih tinggi daripada zakat fithrah. Kedua, tidak mau. Mungkin masyarakat tahu akan kewajiban berzakat (maal) namun enggan untuk menunaikannya. Ketiga, tidak percaya. Mungkin banyak  para muzakki tahu dan mau untuk membayar zakat, tapi lebih memilih untuk menyalurkan zakatnya secara langsung kepada individu-individu yang diinginkan dikarenakan kurangnya rasa percaya si-muzakki terhadap lembaga pengelola zakat.
Semestinya zakat adalah menjadi sebuah gerakan kesadaran kolektif, taruhlah kita bisa canangkan gerakan sadar zakat, seperti yang pernah dicanangkn oleh Presiden Megawati pada tanggal 2 Desember 2001 di Masjid Istiqlal pada acara peringatan Nuzulul Qur’an, sehingga zakat menjadi tulang punggung perekonomian umat. Karena, Zakat bukan hanya sekedar kewajiban yang mengandung nilai teologis, tetapi juga kewajiban finansial yang mengandung nilai sosial yang tinggi. Persoalan ini, tidak lepas juga dari pamahaman Muzakki terhadap makna substansi zakat. Zakat hanya sebagai suatu kewajiban agama (teologis) untuk membersihkan harta milik. Pemahaman masyarakat seperti itu tentang zakat, akhirnya zakat di berikan tanpa melihat sisi kemanfaatan ke depan bagi Mustahiq. Padahal zakat memilki peran signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumen[19].  Dengan zakat distribusi lancar dan kekayaan tidak melingkar di sekitar golongan elit konglomerat atau orang-orang kaya saja. Namun akhir-akhir ini kesadaran di kalangan umat Islam menengah atas lainnya makin membaik, selain membayar pajak mereka juga membayar zakat.
Menurut penulis yang mendorong masyarakat Islam melaksanakan pemungutan zakat di Indonesia ini antara lain adalah: (1) keinginan umat Islam Indonesia untuk meyempurnakan pelaksanaan ajaran agamanya. Umat Islam semakin menyadari perlunya penunaian zakat sebagai salah satu kewajiban agama, kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mampu melaksanakannya karena telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. (2) Kesadaran yang semakin meningkat di kalangan umat Islam tentang potensi zakat jika dimanfaatkan sebaik-baiknya, akan dapat memecahkan berbagai masalah sosial di Indonesia. (3) Usaha-usaha untuk mewujudkan pengembangan dan pengelolaan zakat di Indonesia makin lama makin tumbuh dan berkembang.[20]

c.         Dilihat dari Organisasi Pengelola Zakat
Meningkatnya kesadaran umat Islam dalam membayar zakat tidak disertai dengan pengumpulan dan penyaluran yang terencana secara komprehensif oleh pengelola zakat. Bagaimana zakat yang punya peran sangat penting dalam menentukan ekonomi umat bisa dapat terkelola dengan baik dan professional-produktif. Pengelolaan yang tidak baik dan profesional menjadikan zakat tidak produktif dalam ikut andil mengembangkan ekonomi umat. Kita dulu punya BAZIS (Badan Amil Zakat dan Shodaqah) yang semi-pemerintah, sekarang kita punya Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) sampai ke Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) yang dibina oleh pemerintah atas keinginan masyarakat. Hanya saja, system kelembagaan zakat tidak sama dengan lembaga pajak yang sudah dinilai kuat,[21]  Ditambah lagi dengan persoalan amanah yang kurang dimiliki oleh pengelola zakat. lembaga pengumpul zakat tersebut dianggap kurang transparan dalam mengelola dana, dianggap kurang kreatif dalam pengelolaan dana, dan lain-lain. Semua hal itu hendaknya menjadi pelajaran bagi BAZ/LAZ untuk terus melakukan improvisasi demi meningkatkan kepercayaan para muzakki yang bermuara pula pada optimalnya pengumpulan dan pemanfaatan dana zakat di Indonesia.
Sebenarnya, ada tiga kata kunci yang harus dipegang oleh organisasi pengelola zakat agar menjadi good organization governance, yaitu Amanah, Professional dan Transparan. Organisasi Pengelola Zakat merupakan sebuah institusi yang bergerak di bidang pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah.[22] Kegiatannya meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Organisasi pengelola zakat apapun bentuk dan posisinya secara umum mempunyai dua fungsi yakni:[23]
Pertama, Sebagai perantara keuangan, yaitu Amil berperan menghubungkan antara pihak Muzakki dengan Mustahiq. Sebagai perantara keuangan Amil dituntut menerapkan azas trust (kepercayaan). Sebagaimana layaknya lembaga keuangan yang lain, azaz kepercayaan menjadi syarat mutlak yang harus dibangun. Setiap amil dituntut mampu menunjukkan keunggulannya masing-masing sampai terlihat jelas positioning organisasi, sehingga masyarakat dapat memilihnya. Tanpa adanya positioning, maka kedudukan akan sulit untuk berkembang.
Kedua, Pemberdayaan, fungsi ini sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan Amil, yakni bagaimana masyarakat Muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman kehidupannya menjadi terjamin disatu sisi dan masyarakat Mustahiq tidak selamanya tergantung dengan pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan dapat berubah menjadi Muzakki baru.

d.        Ditinjau dari Sisi Pendukung Legal Formal.

Sisi pendukung Legal-formal kita kurang proaktif dalam melihat potensi zakat yang sekaligus sebagai aplikasi dari ketaatan kepada agama bagi umat Islam. Seperti potensi zakat yang penulis sampaikan di atas tapi kenyataannya, pengumpulan zakat, masih dibawah standar rasio rata-rata jumlah umat Islam yang kena kewajiban zakat (muzakki). Semestinya sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, negara proaktif dalam menyikapi kebutuhan umat, dimana ajaran Islam yang asasi seperti zakat menjadi tulang punggung perekonomian umat dengan melahirkan Undang-undang zakat dari sejak kemerdekaan.
Babak baru pengelolaan zakat di Indonesia telah dimulai menyusul disahkannya UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat oleh pemerintah. UU ini dinilai cukup kontroversial karena menyebabkan beberapa pertentangan pada keberadaan dan wewenang LAZ itu sendiri. UU Pengelolaan Zakat inipun sekarang tengah dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi, tuntutan disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz). Sejatinya Komaz terdiri dari beberapa pihak atau lembaga yang selama ini sudah mengelola ZIS secara Independen diluar Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ataupun Badan Amil Zakat Daerah (Bazda). Menyikapi hal ini Kementerian Agama (Kemenag) tetap besikeras bahwa pengelolaan zakat harus melibatkan pemerintah. Menteri Agama, Suryadharma Ali, menilai tuntutan yang diajukan oleh Komaz, menunjukkan pihak yang bersangkutan tidak mampu melihat secara utuh pentingnya penertiban administrasi perzakatan.”Pelaporan zakat perlu penertiban. Sebab, memang seharusnya tak ada lembaga liar yang meng-collect zakat tanpa terdaftar,tegas Menteri Agama di Jakarta.
Salah satu hal yang masih disorot adalah terkait tertib administrasi dari setiap lembaga zakat. Disinilah Profesionalitas lembaga zakat diuji, keberadaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakt sangat menguntungkan dari Sisi Administrasi, karena pertanggungjawaban keuangan LAZ yang rapi bisa menjadi modal utama kepercayaan publik. Sementara bagi pemerintah, pelaporan LAZ dapat digunakan sebagai parameter pengumpulan dana umat untuk ditindaklanjuti sebagai distribusi zakat nasional
 Aspek Profesionalitas dan Legal Formal memang menjadi dua hal yang disorot oleh publik untuk menghindari berbagai macam spekulasi dan persepi negatif tentang pola funding dana masyarakat. Mendudukkan LAZ sebagai lembaga yang akuntabel,mutlak harus dilakukan oleh segenap institusi zakat yang selama ini telah berkecimpung dalam mengelola zakat dimasyarakt. Disadari atau tidak, kekhawatiran sebagian kecil masyarakat akan penyelewengan dana ZIS ini masih tetap saja ada.
Sebelumnya pernah ada Undang-undang tentang pengelolaan Zakat No. 38 tahun 1999 yang disahkan pada tanggal 23 September 1999, walau tidak ada kata terlambat, tidak begitu banyak memberikan angin segar kepada umat Islam dalam mewujudkan suatu tatanan perekonomian yang kuat. Tetapi kita masih bisa bersyukur, dengan lahirnya Undang-undang tersebut, walau terjadi tarik menarik kepentingan (penguasa dan rakyat) dalam lahirnya Undang-undang tersebut. Ditambah lagi dengan adanya perubahan atas Undang-undang PPh No. 17 Tahun 2000 yang disahkan tanggal 2 Agustus 2000 dimana zakat menjadi pengurang pembayaran pajak penghasilan. Kedua undang-undang tersebut memberikan jaminan kepada umat Islam bahwa zakat akan terkelola dengan baik, walau tidak sedikit kekhawatiran bahwa undang-undang itu hanya sebuah gerakan yang setengah hati yang hanya membesarkan hati umat Islam dan akan berhenti di tengah jalan.
Kekhawatiran itu tenyata terbukti dengan adanya stagnanisasi dalam usaha sosialisasi dan realisasi kedua undang-undang tersebut. Terjadinya banyak kendala dalam sosialisasi, realisasi dan tekhnis menjadi faktor yang sangat dominan dalam terjadinya stagnan undang-undang tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi ? kita mungkin melihat dengan kaca mata sinis terhadap pemerintah dalam menerapkan konsep zakat, dengan mengatakan, bahwa Undang-undang zakat yang ada hanya sebagai gerakan setengah hati. Atau kita bisa melihat dengan beragam kelemahan yang ada pada Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 7/83 Jo.UU No.10/94 Jo.UU No. 17/2000 tentang Pajak Penghasilan sebagai pengurang pembayaran pajak apabila sudah membayar zakat bagi umat Islam, seperti yang disampaikan  Hadi Muhammad  dalam sebuah makalahnya atas kelemahan Undang-undang tersebut, mengatakan : “metode Prepaid Tax lebih baik ketimbang metode Deductible Expenses yang digunakan dalam UU No. 38/99, karena sebetulnya hanya merupakan usaha excuse dari aparat Ditjen Pajak untuk menunjukkan toleransi birokrasi terhadap ketentuan berzakat umat Islam”.[24]

2.        Ditinjau dari Segi Pemanfaatan Dana Zakat Kepada Mustahiq
Pemanfaatan zakat pun tak luput dari sorotan. Zakat  yang selamanya disalurkan langsung kepada masyarakat dalam bentuk barang-barang yang konsumtif tidak akan dapat mengentaskan kemiskinan. Kenapa, karena zakat yang diberikan dalam bentuk langsung hanya akan bermanfaat sementara waktu dan setelah itu menguap. Zakat konsumtif tetap perlu di fase-fase awal pemberian bantuan, tapi selanjutnya zakat produktif lah yang harus diberikan. Namun, lembaga sosial seperti lembaga pengelola zakat, juga terbentur pada realitas, bahwa mengemas program produktif guna pemberdayaan para mustahiq bukanlah suatu perkara yang mudah. Membuat usaha sendiri saja sulit, apalagi membuatkan usaha untuk orang lain.
Sementara itu ada hambatan juga di kalangan mustahik untuk menjadikan dana zakat sebagai modal usaha. Membuat usaha memang sulit, pelik, melelahkan dan penuh resiko. Ada berbagai penyebab sulitnya mengembangkan usaha. Jika ada modal, apakah produknya layak untuk dikonsumsi. Jika produknya layak dikonsumsi, apakah banyak yang membeli. Jika produk layak dan pasar tepat, apakah memang kebijakan mendukung keberlangsungan usaha mereka. Ini sekadar penyadar, bahwa dalam berusaha mereka terbentur-bentur pada berbagai kekurangan. Pengetahuan yang mereka miliki amat sederhana. Hingga kreativitas makanan yang disuguhkan bukan lagi sederhana, melainkan juga amankah dikonsumsi. Sementara itu ada faktor-faktor lain juga mendukung lestarinya kemiskinan. Ada kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, ada ambisi ekpansi bisnis perusahaan swasta yg perlahan akan membunuh bisnis-bisnis orang kecil, dan lain sebagainya. Pada akhirnya harus disadari dengan sesadar-sadarnya, kalau perjuangan mulia untuk menjadikan para mustahiq yang saat ini berhak mendapatkan zakat agar dikemudian hari berubah menjadi muzakki sangatlah menantang, artinya pendayagunaan zakat yang dikelolanya tidak hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan tertentu saja yang berdasarkan pada orientasi konvensional, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi umat, seperti dalam program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha.
Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak ada sistem kontrolnya. Nilai strategis zakat dapat dilihat melalui: Pertama, zakat merupakan panggilan agama. Ia merupakan cerminan dari keimanan seseorang. Kedua, sumber keuangan zakat tidak akan pernah berhenti. Artinya orang yang membayar zakat, tidak akan pernah habis dan yang telah membayar setiap tahun atau periode waktu yang lain akan terus membayar. Ketiga, zakat secara empirik dapat menghapus kesenjangan sosial dan sebaliknya dapat menciptakan redistribusi aset dan pemerataan pembangunan.[25]
Zakat yang diberikan kepada mustahiq akan berperan sebagai pendukung peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat produktif sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja, dengan adanya masalah tersebut maka perlu adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat produktif tersebut.
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk menabung. Dan BAZNAS sebagai wadah pengelola dana zakat tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka mendampingi, memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat tersebut benar-benar dijadikan modal kerja sehingga penerima zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri.
Seperti Lembaga Amil Zakat Yayasan Solo Peduli menyalurkan dana zakat produktif pada suatu program yang kemudian dikembangkan yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi, program ini adalah program pemberdayaan pembinaan umat atau mustahiq produktif dengan memberikan bantuan modal usaha yang disalurkan dengan fasilitas Qordhul Hasan untuk bantuan modal yang berupa uang dan Muḍarabah dengan sistem gaduh untuk bantuan modal ada yang berupa hewan ternak, mesin jahit, ada yang dikursuskan melalui pelatihan keterampilan tangan lainnya seperti pembuatan makanan, dan lain sebagainya. Dengan bantuan modal usaha yang diberikan Yayasan Solo Peduli, mustahiq dapat mengembangkan usaha mereka dan bisa meningkatkan pendapatan mereka
Dengan berkembangnya usaha kecil menengah dengan modal berasal dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya angka pengangguran akan berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi, pertumbuhan sektor produksi inilah yang akan menjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan ekonomi.
Penelitian yang pernah penyusun jumpai yang berkaitan dengan zakat produktif sebagai sarana pemberdayaan ekonomi yang membahas pendapat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mengenai pendayagunaan zakat untuk pemberdayaan ekonomi umat dapat dilakukan dengan memberikan sarana atau peralatan kepada mustahiq yang disesuaikan dengan kepandaian atau keterampilan yang dimiliki mustahiq. Sedangkan kepada mustahiq yang mampu mengembangkan usaha produktifnya agar diberikan modal. [26]
Studi lain yang berkenaan dengan zakat untuk pemberdayaan ekonomi yaitu, penelitian yang menjelaskan bahwa pendayagunaan zakat yang efektif untuk menurunkan tingkat kemiskinan tidak hanya digunakan sebagai pemenuhan konsumtif semata tetapi juga dapat dipergunakan untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan produktif, bantuan pendidikan dan usaha-usaha untuk menciptakan lapangan kerja serta mengurangi pengangguran.[27]
Ulin Ulfa dalam penelitiannya membahas tentang pendayagunaan zakat secara produktif dalam perspektif hukum Islam adalah dapat dibenarkan, sepanjang memperhatikan kebutuhan pokok bagi masing-masing mustahiq dalam bentuk konsumtif yang bersifat mendesak untuk segera diatasi. Selain itu pendayagunaan dan pengelolaan zakat untuk usaha produktif dibolehkan oleh hukum Islam selama harta zakat tersebut cukup banyak.[28]
A. Qodri Azizy dalam bukunya menyimpulkan bahwa zakat hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka idealnya zakat dijadikan sumber dana umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah untuk hal-hal yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq yang tidak mungkin untuk dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan mendesak, maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan.[29]
Dari berbagai penelitian di atas, penyusun belum menemukan penelitian yang secara khusus membahas tentang hubungan jumlah dana (zakat produktif) yang dikeluarkan oleh Lembaga Amil Zakat untuk kegiatan produktif dengan pendapatan yang diperoleh mustahiq, sehingga Ekonomi mustahiq dapat diberdayakan, pada umumnya penelitian yang ada hanya membahas tentang pengaruh zakat terhadap pemberdayaan umat.

3.        Zakat untuk Usaha Produktif.[30]
Pendayagunaan zakat harus berdampak positif bagi mustahiq, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntut benar-benar dapat mandiri dan hidup secara layak sedangkan dari sisi sosial, mustahiq dituntut dapat hidup sejajar dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya didistribusikan untuk hal-hal yang konsumtif saja dan hanya bersifat charity tetapi lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif.
Kelemahan utama orang miskin serta usaha kecil yang dikerjakannya sesungguhnya tidak semata-mata pada kurangnya permodalan, tetapi lebih pada sikap mental dan kesiapan manajemen usaha. untuk itu, zakat usaha produktif pada tahap awal harus mampu mendidik mustahiq sehingga benar-benar siap untuk berubah. Karena tidak mungkin kemiskinan itu dapat berubah kecuali dimulai dari perubahan mental si miskin itu sendiri. Inilah yang disebut peran pemberdayaan. zakat yang dapat dihimpun dalam jangka panjang harus dapat memberdayakan mustahiq sampai pada dataran pengembangan usaha. program-program yang bersifat konsumtif ini hanya berfungsi sebagai stimulan atau rangsangan dan berjangka pendek., sedangkan program pemberdayaan ini harus diutamakan. Makna pemberdayaan dalam arti yang luas ialah memandirikan mitra, sehingga mitra dalam hal ini mustahiq tidak selamanya tergantung kepada ‘amil zakat.


C.     KESIMPULAN
Zakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi, apalagi potensi dana zakat Indonesia yang sangat besar, selain dapat membantu perekonomian masyarakat (mustahiq) juga dapat pula membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, karena peningkatan ini membawa berpengaruh positif terhadap income perkapita penduduk muslim di Indonesia, dan dengan segala perangkat peraturan perundangan tentang pengelolaan zakat ini akan semakin meningkat pengumpulan dana zakat dan semakin produktif pula pendayagunaannya, sehingga akan memunculkan muzakki-muzakki baru dari para mustahiq itu. Melalui zakat, diharapkan kekayaan tidak hanya terpusat pada segelintir orang saja. Kekayaan haruslah terdistribusi secara merata pada segenap umat muslim.













DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, cet. 1. Jakarta: UI Press, 1988.
Al Jauziyyah, Ibn Qayyim, Zadul Ma’ad Bekal Menuju ke Akherat, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999.

al-Jaziri, Abdurrahman, al-Fiqh ‘alaa Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Anwar, Chairul, Islam dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan Penafsir Al-Qur’an, 1967.
Dahlan, Abdul Azis, (ed.), Ensiklopedi Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Dahlan, Abdul Azis, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
el-Wafa, Hosnu, Konsepsi Zakat Produktif dalam Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, studi terhadap kitab Sabil Al Muhtadin, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003.
Hasanah, Alfiya Nur, “Hubungan Zakat terhadap Tingkat Kemiskinan pada BAZ Propinsi DIY Tahun 1939-2003, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, Jilid 14, Cet. Ke-1, 1999.
Muhammad dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Muhammad, Rifqi, Akuntansi Lembaga Keuangan Publik Islam,  Yogyakarta: FIAI UII, 2006.
Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf , Pedoman Zakat (4), Jakarta: Departemen Agama, 1982.
Qadir, Abduracchman, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Cet. 2. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press, 1997.
-------------- , Yusuf, Hukum Zakat, (Terj.) Jakarta: Litera Antar Nusa, 1997.
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), cet 2. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Sartika, Mila, Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... JURNAL EKONOMI ISLAM Vol. II, No. 1, Juli 2008
Saefuddin, Ahmad M., Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1 cet.1. Jakarta: CV Rajawali, 1987.
Ulfa, Ulin, Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Undang-undang RI Nomor 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat beserta Penjelasannya. Perubahan atas UU No. 38 tahun 1999. dan Keputusan Menteri Agama RI tentang Pelaksanaan Undang-undang Pengelolaan Zakat
Zuhaili, Wahbah, Fiqh al-Islam wa ‘Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, 1997.














LAMPIRAN

ZAKAT HARTA YANG TELAH TERSIMPAN SATU TAHUN

a. Uang Tunai, Tabungan, Deposito atau sejenisnya
Rp
b. Saham atau surat-surat berharga lainnya
Rp
c. Real Estate (tidak termasuk rumah tinggal yang dipakai sekarang)
Rp
d. Emas, Perak, Permata atau sejenisnya
Rp
e. Mobil (lebih dari keperluan pekerjaan anggota keluarga)
Rp
f. Jumlah Harta Simpanan (A+B+C+D+E)
Rp
g. Hutang Pribadi yg jatuh tempo dalam tahun ini
Rp
h. Harta simpanan kena zakat(F-G, jika &gt nisab)
Rp
I. JUMLAH ZAKAT ATAS SIMPANAN YANG WAJIB DIBAYARKAN PER TAHUN (2,5% x H)
Rp

ZAKAT PROFESI

j. Pendapatan / Gaji per Bulan (setelah dipotong pajak)
Rp
k. Bonus/pendapatan lain-lain selama setahun
Rp
l. Jumlah Pendapatan per Tahun
Rp
m. Rata-rata pengeluaran rutin per bulan (kebutuhan fisik, air, listrik, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll)
Rp
n. Pengeluaran lainnya dalam satu tahun (pendidikan, kesehatan, dll)
Rp
o. Jumlah Pengeluaran per Tahun (12 x m + n)
Rp
p. Penghasilan kena zakat (L - O , jika &gt nisab)
Rp
Q. JUMLAH ZAKAT PROFESI YANG WAJIB DIBAYARKAN PER TAHUN (2,5% X P)
Rp

ZAKAT HARTA USAHA (PERDAGANGAN / BISNIS LAINNYA)

r. Nilai Kekayaan Perusahaan (termasuk uang tunai, simpanan di bank, real estate, alat produksi, inventori, barang jadi, dll)
Rp
s. Utang perusahaan jatuh tempo
Rp
t. Komposisi Kepemilikan (dalam persen)
%
u. Jumlah Bersih Harta Usaha (t% x [r-s])
Rp
v. Harta usaha kena zakat (u, jika &gt nisab)
Rp
W. JUMLAH ZAKAT ATAS HARTA USAHA YANG WAJIB DIBAYARKAN PER TAHUN (2,5% X v)
Rp
TOTAL ZAKAT YANG HARUS DIBAYARKAN (I+Q+V)
Rp

PERHITUNGAN NISAB

z. Harga Emas Murni Saat ini per Gram
Rp
Besarnya Nisab (z x 85 gram emas




[1] Yang dimaksud dengan asas amanah adalah pengelola zakat harus dapat dipercaya. Yang dimaksud dengan asas kemanfaatan adalah pengelolaan zakat dilakukan untuk memberikan manfa’at yang sebesar-besarnya bagi Mustahiq. Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan secara adil. Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah dalam pengelolaan zakat terdapat jaminan kepastian hukum bagi Mustahiq dan Muzakki. Yang dimaksud dengan asas terintegrasi adalah pengelolaan zakat dilakukan secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Dan yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah pengelolaan zakat dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diakses oleh masyarakat.
[2] Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1 cet.1. Jakarta: CV Rajawali,1987, hlm. 71.
[3] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, 1999, Jilid 14, Cet. Ke-1, hal. 358.
[4] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘alaa Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, hal. 590.
[5] Muhammad dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 34.
[6] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.
[7] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
[8] Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan Penafsir Al-Qur’an, 1967.
[9] Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Pedoman Zakat (4), (Jakarta: Departemen Agama), 1982, hlm. 27 – 28.81 Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... JURNAL EKONOMI ISLAM Vol. II, No. 1, Juli 2008
[10] Abduracchman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Cet. 2 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 165.
[11] Baca QS; at-Taubah ayat 103. QS; al-Baqarah ayat 267, QS; adz-Dzariyat ayat 19, Qs; al-An’am ayat
[12] Di sampaikan pada Seminar Zakat ( Pendekatan UU No.38/1999 Tentang Pengelolaan Zakatdan UU No. 17/2000 Tentang Amandemen UU PPh) di adakan oleh DSUQ Cabang Djogjakarta : Ahad Tanggal 29 April 2002 di Borobudur Room Hotel Natour Garuda Yogyakarta
[13] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[14] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
[15] Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya.,
[16] ibid.,
[17] Orang miskin yang tidak mendapat bagian Maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
[18] Menurut Pasal 1 UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan bahwa Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat. Dan zakat itu adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (Mustahiq) yakni ada delapan golongan (asnaf). Ketentuan ini diatur dalam Al Qur’an surat At-Taubah ayat 60.
[19] Muhammad, Training Manajemen Pengelolaan Zakat, Infak dan Shodaqoh, Yogyakarta: LPPAI UII, 2000
[20] Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, cet. 1. Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 52-53.JURNAL EKONOMI ISLAM 78 Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... Vol. II, No. 1, Juli 2008.
[21] Chairul Anwar, Islam dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI.. Pustaka Pelajar :, Yogyakarta, 2000, hlm.155.
[22] Rifqi Muhammad, ”Akuntansi Lembaga Keuangan Publik Islam”, Yogyakarta: FIAI UII, 2006, hlm 2.
[23] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil(BMT), cet 2. Yogyakarta: UII Press,2005, hlm. 207-208.
[24] “Penggunaan metode prepaid tax artinya wajib pajak tidak usah menambah setoran pajaknya lagi, Namun apabila lebih bayar. Pemisahan yang dianut oleh pasal 14 ayat (2) Undang-undang No. 38/1999 tentang zakat terhadap pajak adalah usaha kelompok sekuler tahun 1983 sewaktu dilakukannya reformasi system perpajakan yang memisahkan agama dengan negara. Pajak ya pajak, zakat ya zakat, tidak bolah dicampur adukkan. Apadahal apapun namanya, keduanya sama-sama dikeluarkan oleh kantong yang sama yaitu umat Islam. maka dengan logika seperti itu, seharusnya pasal tersebut yang menggunakan deductible expenses dirubah menjadi prepaid tax.”

[25] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil(BMT), cet 2. Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 189-190.77 Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... JURNAL EKONOMI ISLAM Vol. II, No. 1, Juli 2008.
[26] Hosnu El Wafa, Konsepsi Zakat Produktif dalam Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (studi terhadap kitab Sabil al-Muhtadin), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003, hlm 7
[27] Alfiya Nur Hasanah, Hubungan Zakat terhadap Tingkat Kemiskinan pada BAZ Propinsi DIY Tahun 1939-2003, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm. 73.
[28] Ulin Ulfa, Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif (Kajian Terhadap Pasal 16 ayat 2 UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm. 70-79. Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... JURNAL EKONOMI ISLAM Vol. II, No. 1, Juli 2008
[29] A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm 148-149.
[30] Muhammad Ridwan, op.cit., hlm. 216-217.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: