Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Selasa, 07 April 2015

Widgets

PEMANFAATAN BENDA NAJIS



PEMANFAATAN BENDA NAJIS
A.    Pendahuluan
Fiqih adalah suatu bidang ilmu yang berkaitan erat dengan keseharian manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu fiqih juga sangat tergantung pada kondisi tempat dan masa dimana manusia itu berada. Seiring dengan berjalannya waktu, muncullah pertanyaan-pertanyaan baru dalam masalah fiqh yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan teknologi. Kemudian seperti yang kita semua ketahui bahwa agama Islam seharusnya mencakup segala bidang kehidupan manusia maka begitu pula dengan fiqih, maka untuk menjawab tantangan zaman itulah muncul ulama-ulama fiqih kontemporer yang berijtihad dengan menggunakan hukum-hukum fiqih yang sudah ada kepada masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia modern. Untuk lebih jelasnya saya paparkan dalam makalah berikut ini.
B.     Pembahasan
Penetapan sesuatu itu disebut najis atau bukan adalah karena dalil. Bukan melalui perasaan manusia karena jijik atau tidak suka terhadap sesuatu. Penetapan sesuatu yang najis adalah hak Allah SWT.
Dalam kitab-kitab sholat dan thaharah selalu terdapat penjelasan tentang najis ini, karena sangat terkait dengan sempurna dan sah tidaknya bersuci untuk sholat. Syaikh Ali Raghib dalam Kitab beliau Ahkam As Sholah (1991) memberikan pemahaman tentang benda apa saja yang  terkategori sebagai najis. Menurut beliau yang dikategorikan sebagai benda najis, adalah: Air kencing, tahi (kotoran manusia atau hewan), muntah, madzi, wadi, selain mani Bani Adam, darah, nanah, cairan luka, darah janin (alalaqah), bangkai, arak, minuman keras selain arak, anjing, babi, daging keledai kampung, dan setiap benda yang terkena oleh salah satu  benda najis tersebut.
Dalil yang menunjukkan bahwa air kencing najis yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a. :
“Sesungguhnya seorang Arab dari dusun telah kencing di salah satu sudut masjid (Nabawi). Maka Nabi saw. menyuruh agar mengambil seember air lalu disiramkannya”
Dalil yang menunjukkan bahwa tahi (kotoran) manusia najis yaitu ijma’ (konsensus) para shahabat Nabi saw.
Sedang dalil yang menunjukkan bahwa tahi binatang dan tahi burung najis adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. di mana ia berkata :
“Aku datang kepada Nabi saw. dengan membawa dua buah batu dan sebuah kotoran (keledai). Beliau mengambil kedua batu tersebut dan melemparkan kotoran (keledai), lalu bersabda: Sesungguhnya itu adalah najis”
Dalil  yang menunjukkan bahwa muntah najis, baik muntah manusia maupun binatang adalah ijma’ (konsensus) para ulama.Dalil yang menunjukkan bahwa madzi najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah yang mengatakan
“Aku adalah seorang yang mudah keluar madzi. Maka aku menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu bersabdalah beliau: Bilamana engkau melihat madzi, maka cucilah dzakarmu”.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wadi najis adalah dikarenakan wadi keluar dari air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Sedangkan dalil yang menjadi alasan, mengapa wadi selain bani Adam (selain manusia.pen) juga najis, karena wadi tersebut keluar dari tempat keluar air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Dikecualikan dari air kencing adalah air mani Bani Adam, yakni bahwa air mani Bani Adam adalah  suci. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan:
“Bahwasanya ia (Aisyah r.a. menggosak-gosok air mani agar terkelupas dari baju Rasulullah saw. sedang beliau dalam keadaan shalat”.
Seandainya air mani (bani Adam) najis, sudah barang tentu shalat tidak akan dikerjakan oleh beliau sementara baju yang dikenakannya ada air mani yang menempel.
Dalil yang menunjukkan bahwa darah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma’ r.a. bahwasanya ia berkata :
“Seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah saw, kemudian ia berkata: Salah seorang diantara kami bajunya terkena darah haid; bagaimanakah kami harus berbuat dengannya? Beliau bersabda: Gosoklah, kemudian bilaslah bersama air, kemudian cucilah dengannya (air), kemudian shalatlah dengannya”.
Begitu juga nanah hukumnya najis seperti darah, karena nanah ini tidak lain adalah darah membusuk, Sedangkan cairan luka, hendaklah terlebih dahulu diperhatikan: jika mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka tersebut najis seperti nanah. Sedangkan bila tidak mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka itu bersih, seperti peluh.
Selanjutnya mengenai hukum ‘alaqah (janin yang masih berupa segumpal darah) sama dengan hukum darah, karena ‘alaqah ini adalah merupakan darah yang keluar dari rahim sehingga sama dengan darah haid.
Dalil yang menjadi alasan bahwa bangkai najis adalah ijma’ (konsensus) para ulama. Akan tetapi dikecualikan dari semua jenis bangkai, bangkai ikan dan belalang serta manusia, ketiganya adalah suci berdasarkan hadits mauquf yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwasanya ia berkata :
“Dihalalkan bagi kita dua (jenis) bangkai dan dua (jenis) darah. Adapun dua (jenis) bangkai, yaitu ikan dan belalang. Sedang dua (jenis) darah, yaitu hati dan paru-paru”
Tentang bangkai manusia, Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya orang beriman tidak najis”
Dalil yang menunjukkan bahwa arak najis adalah ijma’ (konsensus) para ulama (karena mengandung khamer.pen).
Dalil yang menunjukkan bahwa anjing najis adalah hadits yang meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah diundang untuk hadir di sebuah rumah, maka beliau pun berkenan memenuhinya. Dan pernah (juga) diundang untuk hadir di sebuah rumah (yang lain), namun beliau tidak mau memenuhinya. Lalu beliau ditanya karenanya dan beliau menjawab: Sesungguhnya di rumah si fulan ada anjing. Kemudian dikemukakan kepada beliau: Bahwa di rumah si Fulan ada kucing. Bersabdalah beliau: Kucing itu tidak najis”
Dalam hadits yang diriwayatkan dari abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila anjing menjilat perkakas seseorang di antara kalian, maka tumpahkanlah, kemudian cucilah perkakas itu tujuh kali”.
Berdasarkan hadits di atas, maka anjing itu najis.
Adapun dalil yang menjadi alasan bahwa babi adalah ijma’ (konsensus) para sahabat Nabi saw.
Dalil yang menunjukkan bahwa daging keledai kampung adalah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a., bahwasanya dia berkata:
“Kami pada waktu menaklukkan Khaibar memasak daging keledai. Kemudian seseorang yang disuruh Rasulullah memanggil: Sesungguhanya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai karena itu adalah kotor dan najis”.
Alasan dinyatakan najis benda yang terkena benda najis, karena najis tersebut jadi menempel padanya disebabkan basah umpanya. Sedangkan bila ternyata najis itu tidak menempel, seperti tangan yang menyentuh anjing namun dalam keadaan kering sehingga tidak ada bekas yang ditinggalkan, maka hal itu tidak membuat tangan menjadi najis. Sedangkan bila salah satunya dalam keadaan basah, maka benda suci yang tersentuh oleh anjing tersebut menjadi najis.
C.     Memanfaatkan Benda Najis
Memanfaatkan (intifa’/isti’mal) benda-benda najis (an-najasat) adalah masalah khilafiyah. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Namun, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkan. Dalilnya antara lain firman Allah SWT :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi dengan anak panah itu adalah rijsun (najis) termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah najis itu agar kamu mendapatkan keberuntungan…” (QS Al-Maaidah [5] : 90)
Dalam frase firman Allah diatas: “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu) terkandung perintah untuk menjauhi rijsun yang berarti kotoran atau najis. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.
Maka, haram hukumnya memanfaatkan khamr, memanfaatkan kotoran binatang untuk pupuk, memanfaatkan alkohol, dan semua benda najis lainnya, sebab itu semua adalah najis yang wajib dijauhi, bukan didekati atau dimanfaatkan.
QS al-Maidah : 90 ini juga diperdebatkan oleh sebagian fuqaha yang mengatakan bahwa kata rijsun pada ayat tersebut hanyalah najis secara maknawi (atau najis hukmi, yakni najis secara hukum), bukan najis dzati (atau najis aini, yakni najis secara materi/zat). Karena kata rijsun tidak hanya khabar (keterangan) bagi khamr, tetapi juga keterangan bagi perbuatan berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib, yang semuanya jelas tidak bisa disifati dengan najis dzati. Dalil yang mereka kemukakan adalah firman Allah SWT (artinya):
“Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu” (QS Al Hajj [22] : 30).
Berhala yang disebut najis pada ayat tersebut adalah najis maknawi, bukan najis dzatii. Contoh lainnya dari najis maknawi juga terdapat pada surat At Taubah ayat 28 (artinya):
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS At Taubah [9] : 28).
Yang dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis dzati (tubuh) mereka, tetapi najis maknawi, yaitu aqidah yang mereka peluk adalah aqidah syirik yang harus dijauhi, sebagaimana yang dipahami oleh jumhurul fuqaha’.
Dengan argument ini, menurut mereka, kata rijsun dalam surat Al Maidah 90 tersebut, adalah najis secara maknawi, bukan najis dzati. Implikasinya, khamr itu suci, bukan najis. Alkohol pun lalu adalah suci dan bukan najis. Pandangan tersebut –menurut mereka– diperkuat oleh bunyi ayat selanjutnya min ‘amal asy-syaithan (dari perbuatan syetan).. Itu berarti, yang dimaksud dengan najis (rijsun) dalam QS Al-Maidah ayat 90 adalah najis secara maknawi, bukan najis dzati.[1]
Hanya saja, pendapat jumhur itu (yang memandang bahwa kata rijsun dalam ayat tersebut juga mencakup najis dzati) dikuatkan oleh dalil hadits Nabi SAW : “Sesungguhnya kami (para sahabat) berada di negeri para Ahli Kitab, mereka makan babi dan minum khamr, apakah yang harus kami lakukan terhadap bejana-bejana dan periuk-periuk mereka? Rasulullah SAW menjawab,”Apabila kamu tidak menemukan lainnya, maka cucilah dengan dengan air, lalu memasaklah di dalamnya, dan minumlah.” (HR Ahmad dan Abu Dawud). Perintah untuk mencuci bejana wadah khamr dan periuk wadah daging babi itu, menunjukkan bahwa kedua benda tersebut tidak suci (najis). Sebab, apabila suci dan tidak najis, tentu Nabi SAW tidak akan memerintahkan mencucinya dengan air.
Dalil lain, Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada seorang pria akan memberikan hadiah Rasulullah SAW sebuah minuman khamr, maka Rasulullah SAW berkata:
“Sesungguhnya khamr itu telah diharamkan. Laki-laki itu bertanya,”Apakah aku harus menjualnya?”, Rasulullah SAW menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan meminumnya, diharamkan pula menjualnya”. Laki-laki itu bertanya lagi,”Apakah aku harus memberikan kepada orang Yahudi?” Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan, diharamkan pula diberikan kepada orang Yahudi”. Laki-laki itu kembali bertanya,”Lalu apa yang harus saya lakukan dengannya?” Beliau menjawab,”Tumpahkanlah ke dalam selokan.” (HR Al Khumaidi dalam Musnad-nya). (Ahmad Labib al-Mustanier, Hukum Seputar Khamr.
Perintah untuk menumpahkan khamr ke selokan ini, menunjukkan bahwa khamr adalah najis dan tidak suci, yakni najis secara dzati.
Kesimpulannya, ketika Allah berfirman dalam QS Al-Maidah : 90 yang berbunyi “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu), maka itu adalah perintah untuk menjauhi rijsun (najis) yang mencakup najis dzati. Oleh karena itu, memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.[2] (Al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1986:228).
Dikecualikan dari hal ini adalah jika benda najis tersebut dijadikan sebagai obat, maka hukumnya makruh. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/109-110 telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan.” (HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban).
Rasulullah SAW bersabda pula,
“Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud).
Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan meminum air kencing unta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta dan meminum air susu dan air kencingnya.[3] Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).
Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal.[4] Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
Bagaimana menghadapi dua kelompok hadits yang seolah bertentangan tersebut? Di sinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan (men-jama’) keduanya. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram (“janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram”) tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim) —sehingga hukumnya haram– atau tidak tegas (ghairu jazim) -sehingga hukumnya makruh–, masih membutuhkan dalil lain (sebsgai qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Dua hadits di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).
Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan kata lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, hukumnya makruh. (Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu najis, seperti sutera. Sedang benda najis, pasti haram dimanfaatkan).
D.    Menjualbelikan Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram
Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih “Kullu maa hurrima ‘ala al-ibaad fabay’uhu haram.” (Segala sesuatu yang diharamkan Allah atas hamba-Nya, maka memperjualbelikannya adalah haram juga).[5] Karena itu, memperjualbelikan benda-benda najis atau haram adalah adalah haram (forbidden).
Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di antaranya sabda Nabi SAW, “Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka harga hasil penjualannya.” (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Imam Asy-Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,“Sesungguhnya setiap yang diharamkan Allah kepada hamba, maka menjuabelikannya pun haram, disebabkan karena haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah) kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali yang telah dikhususkan oleh dalil.” (Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221).
Dikecualikan dalam hal ini adalah,  memperjualbelikan benda yang najis dan haram untuk kepentingan pengobatan, tidaklah haram (boleh). Sebab berobat dengan benda najis dan haram hukumnya makruh, tidak haram.


E.     Kesimpulan
Penetapan sesuatu itu disebut najis atau bukan adalah karena dalil. Bukan melalui perasaan manusia karena jijik atau tidak suka terhadap sesuatu. Penetapan sesuatu yang najis adalah hak Allah SWT.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wadi najis adalah dikarenakan wadi keluar dari air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Sedangkan dalil yang menjadi alasan, mengapa wadi selain bani Adam (selain manusia.pen) juga najis, karena wadi tersebut keluar dari tempat keluar air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Dikecualikan dari air kencing adalah air mani Bani Adam, yakni bahwa air mani Bani Adam adalah  suci.
Dalam frase firman Allah diatas: “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu) terkandung perintah untuk menjauhi rijsun yang berarti kotoran atau najis. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.
 ketika Allah berfirman dalam QS Al-Maidah : 90 yang berbunyi “fajtanibuuhu” (jauhilah najis/rijsun itu), maka itu adalah perintah untuk menjauhi rijsun (najis) yang mencakup najis dzati. Oleh karena itu, memanfaatkan benda najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, 2003:205-206. Hal. 1/28
Al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1986: hal.228.
Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168
Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248




[1] Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, 2003:205-206. Hal. 1/28
[2] Al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1986: hal.228.

[3] Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168
[4] Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623
[5] Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

0 komentar: