Download this Blogger Template by Clicking Here!

PROFIL

https://web.facebook.com/irwan.a.lovers

Sabtu, 11 April 2015

Widgets

BID’AH DALAM KITAB AL’IHTISOM IMAM AL-SYATIBI




A.    Pendahuluan
Untuk memperjelas permasalahan bid'ah, maka perlu ditegaskan terlebih dahulu definisi bid'ah, kemudian dilanjutkan dengan pembagian dan permasalahan lain yang biasa diperbincangkan seputar bid'ah. Hal ini perlu dilakukan agar masing-masing kelompok yang berselisih memiliki konsep dan kriteria yang sama tentang permasalahan yang sedang diperselisihkan.
Harus diakui bahwa definisi bid'ah merupakan sesuatu yang tidak pernah ditegaskan oleh rasulullah SAW. Rasulullah di dalam haditsnya hanya menyebutkan lafadz bid'ah dan tidak pernah menjelaskan sama sekali apa yang dimaksud dengan lafadz tersebut dan apa pula kriterianya.
Hal ini penting untuk ditegaskan terlebih dahulu, karena dengan demikian tidak boleh ada kelompok yang merasa paling benar, apalagi sampai menyesatkan kelompok yang lain, hanya gara-gara masalah bid'ah.
B.     Pembahasan Bid’ah Imam al-Syatibi
1.      Biografi Syatibi
Al-Syathibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Gharnathi dan lebih dikenal dengan sebutan Syathibi. Nama Syathibi berasal dari nama negeri asal keluarganya, Syathibah[1] (. Sebetulnya tempat kelahiran Imam Syathibi tidak diketahui secara persis apakah di Granada atau di Sativa. Karena dalam teks buku al-Ifadaat sendiri hanya disebutkan bahwa Imam Syathibi itu nasya’a bi gharnathah, hanya tumbuh bukan dilahirkan. Demikian juga dengan tahun kelahirannya. Akan tetapi karena tidak ada keterangan lain, maka para penulis berikutnya menjadikan Granada sebagai tempat kelahirannya. Demikian juga dengan tahun kelahirannya, ada yang mengatakan ia lahir sebelum tahun 720H ada juga yang setelahnya.
Meski dinisbahkan kepada nama negri itu, namun diduga keras bahwa dia tidak lahir di sana karena kota Jativa telah berada di tangan kekuatan Kristen dan segenap umat Islam telah keluar dari sana sejak tahun 645H/1247M, atau diperkirakan hampir satu abad sebelum masa kehidupan Syathibi. Kemungkinan besar keluarga Syathibi meninggalkan negeri itu ketika terjadi eksodus yang dimaksud dan kemudian menetap di Granada. [2]
Sampai sekarang, tanggal kelahiran Syathibi belum diketahui secara pasti. Pada umumnya, orang yang berbicara mengenai hal ini hanya menyebut tahun wafatnya, yakni tahun 790H/1388M.[3] Meski demikian, dapat diduga bahwa Syathibi lahir dan menjalani hidupnya di Granada pada masa kekuasaan Yusuf Abu al-Hajj (1333-1354M) dan Sultan Muhammad V (1354-1391). Dugaan ini berdasarkan pada perbandingan antara tahun kewafatan Syathibi dengan periode kekuasaan  dua Sultan Granada tersebut. Mungkin karena ia menghabiskan hidupnya di negeri tersebut, Syathibi juga dikenal dengan gelar al-Gharmathi.
Al-Syathibi tumbuh dewasa di Granada dan sejarah intelektualitasnya terbentuk di kota yang menjadi ibu kota kerajaan Banu Nasr ini. Masa mudanya bertepatan dengan pemerintahan Sultan Muhammad V al-Gani Billah yang merupakan masa keemasan bagi Granada. Kota ini menjadi pusat perhatian para sarjana dari semua bagian Afrika Utara. Waktu itu, banyak ilmuwan yang mengunjungi Granada, atau berada di Istana Banu Nasr, di antaranya seperti Ibn Khaldun dan Ibn al-Khatib. Al-Syathibi hidup di masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum yang nantinya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum al-Syatibi.[4]
2.      Perjalanannya dalam Mencari Ilmu
Sebagaimana tanggal kelahirannya, masa pendidikan Syathibi juga tidak diketahui dengan jelas, kapan dan dimana ia belajar pada mulanya. Namun, satu hal yang patut diingat adalah bahwa pada masa Syathibi, Granada menjadi pusat pendidikan di Spanyol dengan berdirinya Universitas Granada pada masa pemerintahan Yusuf Abu al-Hajaj. Sehubungan dengan itu, dapat diduga bahwa proses belajar mengajar  yang dijalani Syathibi banyak terkait dengan Universitas tersebut. [5]
3.      Guru-Guru dan Murid-Muridnya
Syathibi belajar pada sejumla guru, antara lain adalah Ibn al-Fakhkhar al-Ilbiri, Abu Abdillah al-Balinsi, Abu Qasim al-Sabti, Abu Abdillah al-Syarif al-Tilimsani, Imam al-Maqqari, al-Khathib Ibn al-Marzuq, dan Abu Abdillah al-Hifar. Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermadzhab maliki ini mendalami berbagai bidang ilmu, namun ia lebih berminat untuk mempelajari bahasa arab dan khusunya ushul fiqh. Setelah mendapatkan ilmu, kemudian ia mengajarkan ilmunya kepada generasi berikutnya. [6]
Seperti umumnya Islam, al-Syathibi pertama-tama belajar bahasa Arab  sebelum mendalami kajian ilmu lainnya. Pelajaran bahasa Arab diperolehnya  dari Ibn al-Fakhkhar al-Ibri (w.754H/1353M) da Abu al-Qasim al-Syarif al-Sabri (w.760H/1358M). Adapun bidang ushul fiqh, Syathibi belajar dari Imam al-Maqqari yang datang ke kota Granada di tahun 757H/1356M.[7] Filsafat dan ilmu kalam diperolehnya dari Abu ‘Ali al-Manshur yang juga pernah berkunjung ke Granada di tahun 753H/1352M dan mendapat penghargaan dari Ibn al-Khathib, wazir Granada saat itu, meski akhirnya diusir dari negeri pada tahun 756H/1363M. Syathibi juga belajar dari Syarif al-Tilimsani (w.771H/1369M). [8]
Tidak hanya belajar dari para mentornya, Syatibi juga melakukan banyak diskusi dengan para ulama. Pada saat yang sama ketekunan dan kerajinan Syatibi didukung pula oleh lingkungan dan suasana ilmiah yang cukup kondusif dengan Universitas Granada sebagai pusat kajian intelektual yang waktu itu telah turut mengantarkan Syatibi menjadi seorang tokoh intelektual Islam yang disegani. Ketokohan Syatibi sebagai ilmuwan terus diperkukuh dengan berjibun karya monumental  yang lahir dari tangannya, posisinya yang mantap sebagai seorang ilmuan brilian terus menarik simpati, sehinnga banyak orang yang bersedia menjadi muridnya.
Syathibi mulai belajar fikih pada tahun 754 H/ 1353 M, dengn berguru kepada Abu Sa’adah Ibn Lubb, yang kepada beliaulah hampir seluruh pendidikan ke-fikih-annya diselesaikan. Ibn Lubb adalah fakih yang terkenal di Andalusia dengan tingkat ikhtiyar, atau keputusan melalui pilihan dalam fatwa.
Sejarah pendidikan al-Syathibi banyak diwarnai oleh sarjana-sarjana terkemuka di Granada dan para diplomat yang mengunjungi Granada. Di antara sarjana tersebut yang perlu disebutkan adalah Abu Abdullah al-Maqqari yang datang ke Granada pada tahun 757 H/ 1356 M karena diutus oleh Sultan Banu Marin sebagai diplomat. Ia adalah penulis sebuah buku tata bahasa Arab. Ia dikenal sebagai mahaqqiq atau pakar dalam bidang aplikasi prinsip-prinsip umum aliran Maliki untuk kasus-kasus khusus. Interaksi intelektualitasnya dengan Maqqari diawali dengan diskursus Razisme dalam ushul fikih Maliki. Maqqari juga orang yang mempengaruhinya dalam tasawuf.
Dua guru al-Syathibi yang memperkenalkannya kepada filsafat, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lain yang dikenal dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam yakni ilmu pengetahuan tradisional, al-‘Ulum al-Naqliyyah adalah Abu Ali Mansur al-Zawawi dan al-Sharif al-Tilimsani (W 771 H/ 1369M). Abu Ali Mansur al-Zawawi datang ke Granada pada tahun 753 H/ 1352 M. Namun, karena sering berdebat dengan ahli-ahli hukum di Granada, akhirnya pada tahun 765 H/1363 M, ia dideportasi dari Andalusia. Al-Sharif al-Tilimsani adalah ilmuwan yang kritis terhadap faham Razi. Ia belajar bersama Abili dan mengambil konsentrasi studi ilmu pengetahuan rasional.
Motifasi Al-Syathibi mempelajari ushul fikih berawal dari kegelisahannya yang menganggap kelemahan fikih dalam menjawab tantangan perubahan sosial terutama dikarenakan oleh metodologi dan filsafatnya yang kurang memadai. Salah satu masalah yang paling membuatnya gelisah adalah keragaman pendapat di kalangan ilmuwan tentang berbagai persoalan. Penggunaan prinsip mura‘ah al-khilaf atau inklusifitas perbedaan pemikiran yang digunakan sebagai wujud penghargaan atas perbedaan pendapat dengan cara perlakuan yang sama justru membuat masalah menjadi semakin kompleks.
Al-Syathibi menganggap dengan mura‘ah al-khilaf, badan hukum seperti tanpa jiwa, formalismenya akan tetap tanpa realitas jika sifat riil teori hukum tidak diselidiki. Hukum akhirnya menjadi realitas tersendiri yang terlepas dari realitas kebutuhan akan aturan main dalam rangka mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan hidup. Karya-karyanya merupakan hasil refleksi kegelisahannya ini.
Dengan ilmu yang diperoleh, tentu saja Syathibi memperoleh pengetahuan  tentang pemikiran teologis Mu’tazilah dan pemikiran rasional lainnya. Ia banyak  mengenal karya-karya tokoh  mu’tazilah melalui  Abu Ali al-Manshur seperti kitab  al-Dala-il dalam ilmu kalam dan al-Mu’tamad dalam ushul fikih. Kedua karya itu ditulis oleh Abu al-Husain al-Bashri, kitab  al-Tafsir oleh Qadhi Abdul Jabbar dan Tafsir al-Kasyyaf oleh Zamakhsyari. Sementara itu diduga keras  bahwa al-Syathibi belajar Filsafat dari Syarif al-Tilimsani, mengingat al-Tilimsani mengajarkan  juga buku-buku Ibn Sina dan Ibnu Rusyd. [9]
4.      Posisinya
Sebagai ulama besar, Syathibi tentu saja  pernah menduduki posisi penting di Granada. Namun tidak ada keterangan  yang lengkap mengenai jabatan  apa saja yang telah dipegangnya. Sejauh yang dapat diketahui, Syathibi mempunyai beberapa orang murid. Antara lain Abu Bakar Ibn ‘Ashim dan saudaranya Abu Yahya  Ibn ‘Ashim, serta Abu Abdullah al-Bayani. Abu Bakar ibn ‘Ashim pernah  menjabat sebagai qadhi di Granada dan terkenal dengan karyanya, Tuhfah al-Hukkam yang merupakan kompilasi hukum dan menjadi pegangan  para hakim di Granada. Berdasarkan keterangan ini, dapat dikatakan bahwa al-Syahibi pernah aktif mengajar dan besar kemungkinan ia mengajar di Universitas Granada. [10]
Indikasi lain bagi profesi al-Syathibi adalah  terdapat sejumlah fatwa yang pernah dikeluarkannya. Hal ini menunjukkan  adanya kemungkinan  bahwa ia pernah  bertugas sebagai mufti di Granada. Lebih dari itu, beberapa fatwa  yang dikeluarkannya terkesan mendukung pemerintah, seperti pemberlakuan pajak demi kemaslahatan umum. Tuduhan bahwa ia berbuat bid’ah yang datang dari kalangan tertentu, mungkin ada kaitan dengan fatwanya yang dianggap menyalahi kepentingan orang banyak. Sehubungan dengan ini, Syathibi pernah menceritakan  pengalamannya dalam menghadiri suatu acara keagamaan yang telah banyak diwarnai oleh  adat masyarakat setempat, sehingga ia merasa asing di dalamnya. Saat itu, Syathibi harus memilih  satu di antara dua hal, apakah menuruti adat dengan menyalahi Sunnah dan kaum Salaf atau tetap berpegang pada Sunnah dengan menyalahi adat kebiasaan orang banyak. Untuk hal ini ia tetap menyatakan bahwa dirinya berpegang kepada Sunnah. Namun banyak orang yang menuduh Syathibi telah melakukan peyimpangan  karena tidak sesuai dengan adat dan keingian mereka. Di samping beberapa jabatan tersebut, Khalid Mas’ud  menyebut juga  kemungkinan bahwa Syathibi pernah menjabat  sebagai imam besar dan khatib di suatu masjid tertentu. [11]
Pola pikir radikal dan fatwa-fatwa kontroversial al-Syathibi membuatnya diposisikan sebagai oposisi kekuasaan oleh para fuqaha yang mayoritas pro kekuasaan. Sejumlah persoalan yang menjadi kontroversial di antaranya tentang tasawuf dan fikih. Al-Syathibi menentang praktek tasawuf yang ekstrim sampai dicampuradukkan dengan fikih, misalnya kewajiban melakukan ritual tasawuf tertentu dalam shalat sedangkan kewajibannya punya pengertian wajib secara syar’i, kewajiban zuhud secara umum atau kepada semua muslim, kepercayaan akan superioritas seorang Syaikh atas semua pemimpin aliran lain. Al-Syatibi juga menentang praktek penyebutan nama sultan tertentu dalam do’a-do’a. Al-Syatibi menganggap bahwa praktek tersebut lebih bernuansa politis daripada ibadah.
Al-Syatibi merupakan ilmuwan yang mampu menguasai berbagai disiplin ilmu dan menguasainya secara komprehensif. Menurut Abu al-Ajfan, ini disebabkan al-Syatibi telah menguasai metode ‘ulum al-wasa’il wa ‘ulum al-maqasyid atau metode esensi dan hakikat.
Dari sedikit review latar belakang kehidupan dan profil al-Syatibi di atas dapat dipahami bahwa al-Syatibi memiliki bangunan keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan dan telah teruji melalui perjalanan sejarah yang melatarbelakanginya. Tidak mengherankan jika al-Muwafaqat menjadi referensi di sebagian besar kalangan ilmuwan modern. 

  1. Karya-Karyanya
Sebagai seorang ulama, guru, mufti dan qadhi, kegiatan tulis menulis tak lepas dari aktivitasnya. Selain melakukan transfer ilmu kepada murid-muridnya dengan menjadi guru, Syathibi juga menulis sejumlah karya yang masih kita pelajari hingga sekarang, yaitu:
a.      Syarh al-Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahwi.
b.      Al-Muwafaqat
c.       Al-I’tisham
d.      Al-Ifadhah wa al-Insyadah
e.       ‘Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Isytiqaq
f.        Ushul al-Nahwi
g.      Kitab al-Majlis. 
h.      Fatawa.

Dari beberapa karya yang disebutkan di atas, saat ini dua karyanya telah diterbitkan, yaitu al-Muwafaqat dan al-‘Itisham. Karya-karya lainnya hanya dapat diketahui  melalui beberapa catatan sejarah. Selain itu terdapat manuskrip yang tersimpan di Universitas Leiden tentang pengobatan yang juga dinisbahkan kepada Syathibi. Namun ada dugaan bahwa sebenarnya naskah ini sebenarnya ditulis oleh seorang murid  al-Syathibi yang  bernama Ibnu al-Khatib. Oleh karena itu, karya-karya Syathibi yang sampai ke tangan kita hanya dua, yakni al-‘Itisham da al-Muwafaqat, yang sedang kita bahas.
Al-Muwafaqat merupakan karya monumental Syathibi, yang di dalamnya tertuang konsep teologi dan ushul fiqhnya tentang maslahah. Kitab ini untuk pertama kalinya diterbitkan  di Tunis, yang diedit oleh Shalih al-Qa’iji, Ali al-Syanufi dan Ahmad al-Wartatani pada tahun 1302 H/1884M. Lalu pada tahun 1327H/1909M, bagian pertama dari cetakan sebelumnya dicetak ulang di Kazan disertai pengantar dalam bahasa Turki oleh Musa Jarullah. Cetakan ketiga diterbitkan oleh  Mathba’ Salafiyah di Kairo pada tahun 1341H/1923M dan diedit oleh Muhammad al-Khidhr Husain, rektor Universitas al-Azhar, bersama dengan Muhammad al-Hasainaini al-‘Adhawi, administrator departemen wakaf pemerintah Mesir. Cetakan ke-empat diterbitkan oleh Mathba’ Mushtafa Muhammad, diedit dan di-Syarh oleh Syaikh Abdullah Daraz. Kemudian cetakan kelima diterbitkan oleh Mathba’ Muhammad ‘Ali di Kairo pada tahun 1969, diedit oleh Muhammad Muhyi al-Din Abdul Hamid.
Adapun kitab al-‘Itisham, yang merupakan kitab Ushul Fikih Syathibi mengandung pembahasan tentang arti bid’ah dan bagian-bagiannya, baik secara hakiki maupun idhafi. Di dalamnya  juga diuraikan perbedaan bid’ah, maslahah mursalah dan istihsan dengan berbagai kaitannya. Untuk pertama kalinya, kitab ini diterbitkan  oleh Mathba’ Mushtafa  Muhammad di Mesir dalam tahun 1915 M dan diedit oleh Rasyid Ridha, pimpinan majalah  al-Manar. [12]
  1. Pandangan Ulama Tentangnya
Syathibi sendiri dikenal sebagai pembaharu di masanya. Rasyid Ridha mensejajarkan kedudukannya dengan Ibn Khaldun karena sumbangannya yang besar bagi pembaruan hukum.[13] Jika Ibnu Khaldun dianggap besar karena karyanya, Muqaddimah; maka Syathibi dianggap besar karena karyanya al-Muwafaqat dan keduanya adalah pembaru di bidangnya. Selain Ridha, Mushtafa  al-Maraghi juga mengakui Syathibi sebagai pembaru, terutama dalam sistematika penulisan. Dalam dua karyanya, al-Muwafaqat dan al-‘Itisham, Syathibi memperkenalkan  sistem analisis baru yang belum pernah dilakukan oleh para penulis sebelumnya.[14]
Sebagai karya yang bernuansa filosofis-teologis, al-Muwafaqat tidak mudah dicerna. Kesulitan memahaminya bukan karena gaya bahasa dan susunannya yang ternyata cukup gambling dan sistematis, namun karena buku tersebut mengandung aspek lain di luar ushul fikih. Menurut Khalid Mas’ud, kita tidak hanya perlu memiliki pengetahuan fikih dan ushul fikih untuk memahami kandungan Muwafaqat, tetapi juga perlu memiliki pengetahuan di bidang teologi, filsafat dan tasawuf.[15] Al-Muwafaqat tidak hanya murni mengurai tema-tema  ushul fikih, dalam artian kaidah dan dalilnya, tetapi juga sarat dengan analisa teologis, filsafat dan tasawuf. Tampaknya, penulis bermaksud mengisi kembali pemikiran hukum Islam  yang cenderung bersifat  teoritis semata, dengan pemahaman filosofis  tentang Maqashid al-Syari’ah.  [16]
7.      Bid’ah dalam kitab al-‘htisom
a.      Asal Kata Lafaz Bid’ah
Kata bada’a menunjukkan arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada permisalan sebelumnya, disebutkan dalam firman Allah Ta 'ah, "Allah pencipta langit dan bumi." Hal tersebut menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta keduanya tanpa ada permisalan sebelumnya. Juga disebutkan dalam firman-Nya, "Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul'." Hal ini juga mengandung arti, "Aku bukanlah rasul pertama yang diutus dengan membawa risalah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, akan tetapi aku telah didahului oleh para rasul sebelumnya.
" Jika dikatakan, "Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah)." Maka berarti ia membuat suatu tatanan (cara) yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya. Atau kalimat, "Ini adalah perkara yang mengagumkan." Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa dengannya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru dinamakan bid'ah, mengeluarkannya untuk dijadikan tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya dinamakan perbuatan bid'ah, dan bentuk dari perbuatan tersebut dinamakan bid'ah. Bahkan keilmuan yang dibentuk dari teori dan sisi tersebut dinamakan bid'ah.  Jadi, semua pekerjaan yang tidak mempunyai dalil syar'i dinamakan bid'ah (ungkapan yang lebih khusus dari arti yang sebenamya).
b). Batasan Arti Bid'ah
Dalam pembatasan arti bid'ah  juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama, yaitu: bid'ah sesuai dengan pengertian yang telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yang baru diciptakan (dibuat-buat) dan seterusnya. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid'ah tarkiyyah (meninggalkan perintah agama), demikian halnya dengan bid'ah yang bukan tarkiyyah. Hal-hal yang dianggap bid'ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid'ah maka ia ditinggalkan. Suatu perbuatan  misalnya menjadi ha-lal karena ketentuan syar'i,  namun ada juga manusia yang mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.
Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dengan meninggalkan perkara yang dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yang diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah.
Permasalahan ini kembali pada keharusan untuk melindungi diri dari segala sesuatu yang membahayakan. Adapun asal hukumnya adalah sabda Rasulullah SAW,
يا معشر الشباب من استطا ع منكم الباءة فليتزو ج ومن لم يستطع فعليه بالصوم
" Wahai sekalian pemuda! Barangsiapa diantara kalian mampu untuk menanggung beban pernikahan, maka menikahlah.... dan barangsiapa tidak mampu maka hendaknya berpuasa."[17]

Sebab hal tersebut (berpuasa) dapat menahan syahwat para pemuda, sehingga ia tidak dikalahkan oleh syahwatnya sendiri.
Begitu juga apabila seseorang meninggalkan sesuatu yang boleh untuk ditinggalkan karena di dalamnya terdapat suatu kerusakan, yang demikian itu termasuk sifat orang yang bertakwa. Diantaranya juga adalah meninggalkan sesuatu yang syubhat karena takut terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan, sekaligus sebagai perlindungan terhadap agama serta harga dirinya sendiri.
Namun jika seseorang meninggalkan sesuatu selain hal-hal yang telah disebutkan tadi, baik berkenaan dengan masalah agama maupun tidak, maka jika bukan masalah agama, orang yang meninggalkan berarti telah mencampuradukkan antara sesuatu yang haram dikerjakan dengan keinginan untuk meninggalkan hal tersebut. Sikap untuk meninggalkan hal tersebut tidak termasuk bid'ah. Jadi, hal ini tidak masuk dalam lafazh pembatas kecuali dengan menggunakan cara yang kedua, yaitu: sesungguhnya bid'ah masuk pada hal-hal yang berbau adat. Sedangkan pada pengertian yang pertama hal ini tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi orang yang meninggalkan dianggap telah bermaksiat karena sikap meninggalkannya atau keyakinannya yang telah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah.
Namun jika sikap meninggalkan hal tersebut sebagai bentuk keyakinan dalam melaksanakan agama, maka hal itu adalah bid'ah menurut kedua pengertian bid'ah yang ada. Karena jika kita umpamakan perbuatan bid'ah hukumnya boleh, maka maksud dari meninggalkannya tersebut adalah penentangan terhadap pembuat syariat dalam mensyariatkan sesuatu yang dihalalkan,[18] seperti di dalam firman Allah,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 Ÿwur (#ÿrßtG÷ès? 4 žcÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏtF÷èßJø9$# ÇÑÐÈ  
"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Qs. Maa'idah [5]: 87)

 Dalam ayat ini, hal pertama yang dilarang adalah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan. Barulah ayat tersebut menyatakan bahwa hal itu adalah pembangkangan yang tidak disukai Allah.
Dahulu, sebagian sahabat ada yang ingin mengharamkan dirinya tidur malam, ada yang tidak makan pada siang hari, ada yang enggan menggauli isteri, serta ada yang ingin mengebiri diri sebagai cara yang berlebihan dalam menjauhi wanita. Nabi SAW lalu bersabda,
من رغب عن سنتي فليس من
"Barangsiapa tidak menyukai Sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku."

Kesimpulannya, orang yang mencegah dirinya dari hal-hal yang dihalalkan Allah tanpa ada udzur syar'i, maka dirinya telah keluar dari Sunnah Nabi SAW. Sedangkan orang melakukan sesuatu (dalam urusan agama tanpa) tanpa berlandaskan Sunnah, maka dirinya jelas-jelas telah berbuat bid'ah.
Jika ditanyakan, "Apakah orang yang meninggalkan perintah-perintah syariat (baik yang sunah maupun yang wajib) dapat disebut sebagai pelaku bid'ah?"
Maka jawabannya, "Orang yang meninggalkan perintah agama terbagi menjadi dua kelompok;
1).   Meninggalkannya bukan sebagai pelaksanaan agama namun karena malas atau meremehkan atau yang semisalnya. Dilihat dari faktor kejiwaan, kelompok ini kembali pada perkara yang dilanggarnya. Apabila ia bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat wajib, maka perbuatan tersebut dikategorikan kemaksiatan, namun bila hal tersebut bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat Sunnah, maka perkara tersebut tidak dikategorikan sebagai kemaksiatan. Hal ini pun jika hanya sebagian yang ditinggalkannya, namun jika seluruhnya ditinggalkan maka ia dikategorikan kemaksiatan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam ilmu ushul fikih.
2). Meninggalkannya sebagai pelaksanaan dari perintah agama. Kelompok ini adalah bagian dari bid'ah, karena menjalankan agama dengan cara yang berseberangan dengan syariat Allah. Contohnya yaitu pengikut aliran bebas yang mengatakan bahwa taklif dapat dibebaskan bagi pengikut mereka yang telah membayar uang dalam jumlah yang telah ditentukan.
Oleh karena itu, redaksi pembatasan adalah: tata cara yang dibuat-buat, yang menyerupai syariat; ia mencakup bid'ah tarkiyyah dan yang lainnya, karena tata cara yang telah disyariatkan juga dibagi menjadi tarkiyyah dan yang selainnya.
Sama saja, apakah kita mengatakan bahwa meninggalkan itu adalah suatu perbuatan atau kita mengatakan bahwa meninggalkan itu adalah suatu peniadaan atas suatu perbuatan. Kedua cara tersebut telah disebutkan di dalam ushul fikih.
Pembatasan arti bid'ah mencakup perkara meninggalkan atau melakukan sesuatu yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Akidah, perkataan, dan perbuatan, yang semuanya terbagi menjadi empat bagian.
Intinya adalah, semua yang berkaitan dengan perintah syariat berkaitan pula dengan bid'ah.
8.      Hukum Bid'ah Hakikiyah Dan Idhafiyah Serta Perbedaan Keduanya
         
Sebelum membicarakan tentang hal tersebut, kita harus menginterpretasikan terlebih dahulu makna bid'ah hakikiyah dan bid'ah idhafiyah.
Bid'ah hakikiyah adalah bid'ah yang tidak memiliki dalil syariat; baik dari Al Qur’an, hadits, ijma' maupun dalil-dalil lain yang mu’tabar bagi ulama, baik secara global maupun secara terperinci. Oleh karena itu, ia dinamakan bid'ah karena ia adalah sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada permisalan sebelumnya, walaupun orang yang berbuat bid'ah menolak dianggap sebagai orang yang keluar dari syariat, sebab ia mengklaim bahwa hal itu masuk kc dalam siratan yang bernaung di bawah dalil-dalil syara'.
Klaim tersebut tidak benar, baik secara substansi maupun zhahir. Adapun secara substansial, tentu dengan pemaparan. Sedangkan secara zhahir, jika memang benar ia mendasari, maka dalil-dalil itu merupakan sesuatu yang samar tanpa dalil. Namun jika tidak maka perkaranya jelas.
Bid'ah idhafiyah adalah bid'ah yang mempunyai dua akar; salah satu memiliki dalil yang berkaitan, sehingga dari sisi tersebut ia bukan bid'ah, sedangkan akar yang lainnya tidak memiliki dalil yang berterkaitan, sehingga ia seperti bid'ah hakikiyah. Ketika mengerjakan perbuatan bid'ah yang mempunyai dua akar yang tidak terarah pada salah satu dari dua akar itu, ia diberi nama bid'ah idhafiyah. Artinya, jika dilihat dari salah satu akarya, maka ia merupakan perbuatan Sunnah, karena berdasarkan pada dalil.
Namun jika dilihat dari sisi lainnya, ia merupakan perbuatan bid'ah, karena ia bersandar pada sesuatu yang samar (bukan kepada dalil), bahkan tidak bersandar pada sesuatu.
Perbedaan antara keduanya dari segi makna adalah, dari segi dasarnya ada dalil yang menunjukkan hal itu, tapi dari segi tata pelaksanaan atau kondisi dan perinciannya, tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu, walaupun hal tersebut sangat membutuhkan dalil, karena kebanyakan hal tersebut terjadi dalam masalah-masalah ubudiyah bukan dalam perkara-perkara kebiasaan (adat) semata, sebagaimana akan diuraikan lebih detail nantinya. Insyaallah.
Dikarenakan bid'ah hakikiyah lebih banyak, lebih umum, lebih masyhur penyebutannya di kalangan umat, lebih banyak menimbulkan perselisihan pendapat, serta contoh-contohnya cukup banyak dan lebih cepat dalam pemahaman ulama, maka kami tinggalkan pembicaraan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Di samping itu, sedikit sekali bid'ah hakikiyah yang memiliki hukum khusus dan berbeda dengan bid'ah idhafiyah. Bahkan keduanya dalam kebanyakan hukum-hukumnya sama, dan itulah yang ingin diterangkan oleh kitab ini.
Berbeda dengan bid'ah idhafiyah yang memiliki hukum-hukum khusus dan penjelasan yang khusus, dan inilah yang ingin diterangkan dalam bab ini selain bahwa bid'ah idhafiyah pertama terbagi menjadi dua bentuk; yang pertama dekat dengan bid'ah hakikiyah sehingga bid'ah ini hampir dianggap sebagai bid'ah hakikiyah, dan bentuk yang satunya lagi jauh dari bid'ah hakiyyah, sehingga hampir dianggap sebagai perbuatan Sunnah semata.
Dikarenakan bid'ah ini terbagi-bagi dengan pembagian seperti ini, maka tentunya kita harus membicarakan setiap bagian secara detail. Oleh karena itu, setiap bagian kami buat terdiri dari beberapa poin, sesuai dengan kebutuhan waktu.
9.      Mengada-adakan Rahbaniyyah                 
Allah SWT berfirman tentang Isa AS dan orang-orang yang mengikutinya, "

$oYù=yèy_ur Îû É>qè=è% šúïÏ%©!$# çnqãèt7¨?$# Zpsùù&u ZpuH÷quur ºp§ÏR$t6÷duur $ydqããytGö/$# $tB $yg»uZö;tGx. óOÎgøŠn=tæ žwÎ) uä!$tóÏGö/$# ÈbºuqôÊÍ «!$# $yJsù $ydöqtãu ¨,ym $ygÏFtƒ$tãÍ ( $oY÷s?$t«sù tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä öNåk÷]ÏB óOèdtô_r& ( ׎ÏWx.ur öNåk÷]ÏiB tbqà)Å¡»sù ÇËÐÈ  
Artinya:  ...dan kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. "(Qs. Al Hadiid [57]: 27).

Yang dimaksud dengan Rahbaniyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara.
Abdullah bin Hamid dan Ismail bin Ishak Al Qadhi serta yang lain meriwayatkan hadits ini dan Abdullah bin Mas'ud RA, ia berkata: Rasulullah SAW bertanya kepadaku,
هل تدر ى أي الناس اعلم ؟ قلت : الله ورسوله أعلم. قال: اعلم الناس ابصر هم بالحق إذا احتلف الناس  وانكان مقصر ا في اللعمل ، وإنكان يز حف على أ ليتيه ، واختلف من كان قبلن على اثنتين وسبعين فرقه نجا منها ثلاثوهلك سا رها ، فرقة اذت الملوك وقا تلهم على دين الله ودين عيس ابن مريم عليهما السلام فسا حوا في الجبال وتر هبو ا فيها، هم الذين قال الله عز وجل فيهم: ورهبا نية اتد عو ها ما كتبنا ها عليهم إلابتغاء رضوان الله، فما رعوها حق رعايتها فاتينا الز ين امنو ا منهم أ جرهم وكشير منهم فا سقون

"Apakah kamu tahu golongan manusia yang paling pandai?" Aku menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Manusia yang paling pandai adalah manusia yang paling tajam pandangannya terhadap kebenaran ketika manusia berselisih pendapat, walaupun ia (termasuk manusia) yang kurang amalnya, dan berjalan dengan kedua pantatnya (ngesot). Orang-orang sebelum kita terbagi-bagi menjadi tujuh puluh dua kelompok, hanya tiga kelompok yang selamat, sedangkan sisanya binasa. (Tiga kelompok itu) yaitukelompok yang memusuhi para raja dan para raja memerangi mereka untuk mempertahankan agama Allah -agama Isa bin Maryarn-, mereka pergi ke pegunungan dan bersikap rahbaniyyah disana. Merekalah orang-orang yang disebutkan Allah SWT di dalam firman-Nya, 'Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik'. (Qs. Al Hadiid [57]: 27) Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang percaya dan tulus kepadaku, sedangkan orang-orang yang fasik adalah orang-orang yang mendustakan dan ingkar kepada-Ku."

Ini adalah salah satu hadits orang Kufah. Rahbaniyyah di dalam ayat ini bemnakna mengasingkan diri dari makhluk dan mengeyampingkan dunia serta kelezatannya, baik wanita maupun hal lainnya. Di antara makna itu juga adalah melazimkan tempat ibadah (gereja) dan diri sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani sebelum Islam disertai dengan melazimkan ibadah. Ini adalah penafsiran sekelompok ulama tafsir.
Istitsna 'di dalam firman Allah ini, "untuk mencari keridhaan Allah" memungkinkan sebagai istitsna'muttashil(bersambung), namun bisa juga berarti munfashil {terpisah). Jika kita anggap sebagai pengecualian yang bersambung, maka seakan-akan Allah berfirman, "Kami tidak memajibkannya kepada mereka kecuali dalam bentuk yang dikerjakannya itu untuk mencari keridhaan Allah." Artinya, rahbaniyyah menjadi bagian yang diwajibkan atas mereka atau disyariatkan kepada mereka selama tujuannya semata-mata hanya mencari keridhaan Allah, akan tetapi mereka tidak memeliharanya dengan semestinya. Dalil bahwa mereka tidak memeliharanya adalah ketika mereka tidak beriman kepada Rasulullah SAW. Ini adalah pendapat sekelompok mufassirin (orang-orang yang ahli dalam bidang tafsir), karena jika tujuan semua itu adalah mencari keridhaan dan merupakan syarat dalam beramal seperti yang disyariatkan kepada mereka, maka selayaknya mereka
mengikutinya; ke manapun tujuan itu membawa mereka, ke sanalah mereka berjalan. Hal itu disyariatkan kepada mereka, selama syariat itu dinasakh dengan syariat lainnya, sehingga mereka kembali kepada syariat yang baru dan meninggalkan syariat yang dinasakh. Itulah makna sebenarnya dari mencari keridhaan.
Dengan demikian, jika mereka tidak mengerjakan hal tersebut dan tetap bersikeras mengerjakan syariat yang pertama (yang telah dinasakh), maka sama saja mengikuti hawa nafsu, bukan mengikuti perkara-perkara yang disyariatkan, sebab mengikuti yang disyariatkan menjadi cara untuk mendapatkan keridhaan, sedangkan tujuan mencari keridhaan adalah dengan mengikuti perkara-perkara yang disyariatkan.
Allah SWT berfirman,
"Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik." (Qs. Al Hadiid [57]: 27)
Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang mengikuti rahbaniyyah semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Sedangkan orang-orang fasik adalah orang-orang yang keluar dari kategori melakukan rahbaniyyah (bila ia tidak beriman kepada Rasulullah SAW).
Ketetapan ini memberi hukum bahwa apa yang disyariatkan kepada mereka disebut sebagai perbuatan bid'ah, dan ini bertentangan dengan yang ditunjukkan oleh batasan bid'ah.
Jawabannya adalah: Ia dinamakan bid'ah karena mereka menghilangkan syarat hukum syariat; telah disyaratkan kepada mereka namun mereka tidak melaksanakan syarat tersebut. Jadi apabila ibadah disyaratkan dengan suatu syarat, kemudian dikerjakan tanpa syaratnya, maka ibadah itu dinamakan bid'ah, walaupun dilakukan dengan semestinya, seperti orang yang melakukan shalat tetapi sengaja meluputkan salah satu syarat dari syarat-syarat sahnya shalat, misalnya menghadap kiblat dan bersuci, padahal ia mengetahuinya.
Dengan demikian, perbuatan rahbaniyyah orang-orang Nasrani adalah perbuatan yang benar sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Ketika beliau diutus, ada kewajiban untuk meninggalkan semua itu dan kembali pada ajarannya (Muhammad SAW). Jadi, menetapkan ajaran rahbaniyyah setelah ajaran tersebut dinasakh, berarti telah menetapkan sesuatu yang batil menurut syariat, dan itulah makna bid'ah.
Namun jika kita anggap istitsna '(pengecualian) itu sebagai pengecualian yang terputus ini adalah pendapat sekelompok ulama tafsir maka maknanya adalah: pada dasarnya, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Mereka mengada-adakannya karena mencari keridhaan Allah, namun mereka tidak mengerjakan sesuai syaratnya, yaitu beriman kepada Rasulullah SAW, karena beliau diutus kepada seluruh manusia.
Hal tersebut dinamakan bid'ah karena dilihat dari dua sisi:
Pertama, kembali pada anggapan bahwa ia adalah bid'ah hakikiyyah, karena masuk dalam kategori batasan bid'ah.
Kedua, kembali pada anggapan bahwa ia adalah bid'ah idhafiyyah, karena zhahir Al Qur'an menunjukkan bahwa perbuatan itu tidak tercela sama sekali, tetapi mereka meluputkan syaratnya. Jadi, barangsiapa di antara mereka tidak meluputkan syaratnya dan mengerjakannya sebelum diutusnya Muhammad SAW sebagai nabi, maka mereka akan mendapat ganjaran dari Allah SWT, sesuai dengan yang ditunjukkan-Nya di dalam firman-Nya, "Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya." (Q. Al Hadiid [57]: 27) Artinya, orang yang mengerjakannya pada waktunya kemudian beriman kepada Nabi Muhammad SAW setelah diutus, maka Allah penuhi ganjarannya.
Kami katakan bahwa perbuatan tersebut dari sisi yang demikian ini dinamakan bid'ah idhafiyyah, karena jika hal itu digolongkan pada bid'ah hakikiyyah, maka mereka telah bertentangan dengan syariat yang dulu mereka kerjakan. Karena ini adalah hakikat bid'ah, maka mereka tidak mendapatkan ganjaran, justru mendapatkan hukuman karena menentang perintah dan larangan Allah. Hal itu menunjukkan bahwa mereka telah mengerjakan hal yang dibolehkan bagi mereka untuk dikerjakan, sehingga bid'ah itu tidak dinamakan sebagai bid'ah hakikiyyah. Akan tetapi nanti akan ditinjau dari
segi makna lafazh bid'ah.
Anggapan manapun yang kita ambil {hakikiyyah atau idhafiyyah), perkataan ini tidak terkait hukumnya dengan umat ini karena telah dinasakh di dalam syariat kita. Jadi, tidak ada rahbaniyyah dalam Islam.
Nabi SAW bersabda,
من رغب عن سنتى فليس مني
"Barangsiapa membenci Sunnahku, maka ia bukan golonganku."

Ibnu Arabi menukil empat pendapat tentang ayat ini:
Pertama, sebagaimana yang telah lalu.
Kedua, rahbaniyyah adalah menolak perempuan (tidak menikahinya) dan itu telah dinasakh di dalam syariat kita.
Ketiga, menjadikan gereja sebagai tempat mengisolasi diri.
Keempat, pergi meninggalkan tempat tinggal.
Ia berkata, "Ini adalah perbuatan yang dianjurkan di dalam agama kita ketika terjadi kerusakan zaman."
Zhahir perkataan ini memberi hukum bahwa hal tersebut bid'ah, karena orang-orang yang mengada-adakan rahbaniyyah sebelum Islam melakukan hal tersebut untuk lari mempertahankan agama mereka, dan itu dinamakan bid'ah. Anjuran kepada perbuatan itu memberi hukum bahwa tidak ada bid'ah di dalamnya. Bagaimana kedua statemen tersebut disatukan? Masalah ini butuh penjelasan, yang mungkin nanti akan diuraikan.
Ada yang berpendapat bahwa makna firman-Nya, "Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah" adalah mereka telah meninggalkan kebenaran, memakan daging babi, minum khamer, tidak mandi junub, dan meninggalkan khitan. "Lalu mereka tidak memeliharanya" artinya ketaatan dan ajaran agama. "Dengan pemeliharaan yang semestinya", dhamir ha kembali pada sesuatu yang tidak disebut, yaitu ajaran agama yang diambil dari pemahaman makna firman-Nya, "Dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang," karena dipahami darinya bahwa di sana ada ajaran agama yang diikuti, sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya, "(Ingatlah)ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore." (Qs. Shaad [38]: 31). Maksudnya, dipertunjukkan pada matahari sehingga dhamir-nya kembali kepadanya pada firman-Nya, "Sampai kuda itu hilang dari pandangan." (Qs. Shaad [38]: 32) menurut pendapat ini maknanya adalah, "Kami (Allah) tidak mewajibkannya kepada mereka seperti yang telah mereka kerjakan, akan tetapi Kami hanya memerintahkan mereka dengan kebenaran." Jadi, bid'ah dalam hal itu adalah bid'ah hakikiyyah.
Apa pun anggapannya, sisi inilah yang merupakan pendapat kebanyakan ulama, namun tidak ada pandangan tentang hal tersebut bagi umat ini.
Sa'id bin Manshur dan Ismail Al Qadhi meriwayatkan dari Abu Umamah Al Bahili RA, ia berkata, "Kamu mengadakan qiyamullail pada bulan Ramadhan sedangkan hal itu tidak diwajibkan atas kamu. Yang diwajibkan atas kamu hanyalah puasa, maka terus-meneruslah bangun malam jika kamu memang mengerjakannya dan jangan kamu tinggalkan, karena bani Israil mengadakan bid'ah yang tidak diwajibkan Allah kepada mereka dengan tujuan mencari keridhaan Allah, namun mereka tidak memeliharanya dengan semestinya. Oleh sebab itu, Allah menegur mereka karena meninggalkannya." Ia lalu membaca, "Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah."
Perkataan ini mendekati pendapat sebagian mufassir tentang firman-Nya, "Maka mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya," Yang dimaksud adalah mereka melalaikannya dan melakukannya secara terus-menerus.
Sebagian penukil tafsir berkata, "Di dalam penakwilan ini terdapat kelaziman untuk menyempurnakan bagi setiap orang yang memulai perbuatan tathawwu 'atau tambahan dan memeliharanya dengan semestinya."
Ibnu Arabi dan ia telah berpaling dari manhaj yang benar berkata, "Orang yang menyangka bahwa itu adalah rahbaniyyah yang diwajibkan atas mereka setelah mereka melazimkannya."
la berkata, "Perkataan ini tidak keluar dari substansi perkataan. Gaya bahasa dan maknanya juga tidak mengarah kepada hal itu, serta tidak diwajibkan sesuatu atas seseorang kecuali dengan syara' atau nadzar."
la berkata, "Dalam hal itu tidak terdapat perselisihan pendapat di antara pemeluk-pemeluk agama, wallahu a’lam."
Perkataan (Ibnu Arabi) ini perlu ditinjau dan diperhatikan, jika kita asumsikan pengamalan sesuatu dari pendapatnya, karena kebanyakan ulama cenderung pada pendapat yang pertama, lantaran di dalam agama ini tidak ada bid'ah dan tidak mengandung kemungkinan pendapat pembolehan bid'ah dalam segala keadaan, sebab segala keputusan hukum harus berdasarkan dalil. Pondasi dasarnya adalah mengikuti dalil dan tidak boleh melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan dalil.
Walaupun demikian, kita tidak boleh membiarkan perkataan Abu Umamah RA dari tinjauan yang benar, yang sesuai dengan dalil syariat, meskipun itu adalah tinjauan jauh bila dilihat dari perkara zhahimya; yaitu ia menganggap perbuatan Umar RA dalam mengumpulkan manusia di masjid (untuk shalat Tarawih berjamaah) dipandu oleh seorang imam pada bulan Ramadhan sebagai perbuatan bid'ah, karena ketika ia masuk masjid dan mereka (kaum muslim) sedang shalat, ia berkata, "Alangkah baik bid'ah ini, dan orang-orang yang tidur darinya lebih baik." (mengerjakannya sendiri setelah tidur)
Telah dibahas sebelumnya bahwa Umar menamakannya bid'ah karena (berdasarkan) suatu tinjauan. Adapun berdirinya imam untuk mengimami manusia di masjid pada bulan Ramadhan, merupakan perbuatan Sunnah, karena telah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut Tarawih dijadikan sebagai shalat wajib. Jadi, ketika zaman wahyu telah berlalu dan sudah hilang illat (pewajiban shalat Tarawih), kembalilah pengamalan shalat Tarawih seperti asalnya (dengan berjamaah). Hal itu tidak terjadi pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, karena bertentangan dengan yang lebih utama; begitu pula pada awal-awal kekhalifahan Umar RA, hingga terjadi peninjauan, dan ia memilihnya (dengan berjamaah). Akan tetapi perkara yang nampak seakan-akan perkara yang tidak selalu dikerjakan oleh para pendahulunya, sehingga ia menamakannya bid'ah, bukan lantaran hal itu merupakan perkara yang bertentangan dengan Sunnah.
Seakan-akan Abu Umamah RA dalam masalah ini menganggap adanya peninjauan kembali pengamalan (shalat Tarawih) itu, maka ia menamakannya sebagai perkara baru yang diada-adakan, selaras dengan penamaan Umar RA, kemudian ia mernerintahkan untuk melaksanakan secara terus-menerus berdasarkan pemahamannya pada ayat tersebut; yaitu bahwa tidak memeliharanya adalah dengan tidak melakukannya secara terus-menerus karena melazimkan amal perbuatan yang Sunnah, maka mereka tidak memenuhi target dari apa yang mereka lazimkan, karena menjadikan amal-amal Sunnah dalam hal ini adalah tidak lazim, demikian halnya dengan sunah rawatibah. Yang demikian ini terjadi pada dua sisi:
Pertama, diambil sesuai aslinya dan sesuai kemampuan manusia, maka kadang-kadang bersemangat dan kadang-kadang tidak bersemangat, terkadang sesuai adat kebiasaan dan terkadang tidak sesuai adat kebiasaan karena terbentur oleh kesibukan-kesibukan atau yang lainnya. Hal-hal lainnya dari hal-hal yang serupa dengan itu, yaitu seperti seseorang yang hari ini memiliki sesuatu untuk disedekahkan, tapi keesokannya ia tidak memiliki sesuatu untuk disedekahkan, atau ia memilikinya tetapi tidak membuatnya semangat untuk bersedekah, atau ia tidak berniat untuk bersedekah, atau ia menahannya, atau perkara-perkara alami lainnya yang ada pada kehidupan manusia.
Dilihat dari sisi ini, seseorang tidak berdosa bila meninggalkan seluruh perbuatan sunah dan tidak ada cela atasnya, karena jika ada celaan atau teguran, berarti itu bukan perbuatan sunah, dan perbuatan sunah berbeda dengan perbuatan wajib.
Kedua, diambil sebagai suatu amal yang harus dikerjakan, seperti seseorang yang mewajibkan dirinya melakukan amalan rutin dari amal shalih pada suatu waktu, misalnya bangun malam, puasa pada hari tertentu karena adanya keutamaan khusus yang telah ditetapkan dalam hadits shahih (puasa Asyura dan Arafah), serta berdzikir pada waktu pagi dan petang. Dari satu sisi pengambilan amalan sunah seperti ini membuatnya menjadi seperti amalan wajib, karena ketika ia berniat untuk selalu melakukannya sesuai kemampuan, maka ia menyerupai amalan wajib dan sunah-sunah ratibah. Sebagaimana pula jika pewajiban itu tidak lazim menurut syariat, maka ia tidak akan menjadi wajib, karena meninggalkannya pada asalnya tidak berdosa secara umum (artinya tidak konsisten) dan yang serupa dengannya adalah amalan shalat sunah rawatib setelah shalat fardhu (yang hukum asalnya adalah sunah), sebab ia telah menjadi kebiasaan. Jadi, amalan sunah itu menyerupai amalan wajib.
Makna ini mafhum dari sabda Rasulullah SAW tentang dua rakaat setelah shalat Ashar yang beliau lakukan. Ketika beliau ditanya tentang hal itu, beliau menjawab,
يا ابنة أ مية سا لت عن الر كعتين بعد العصر ؟ أتى نا س من عبد القيس بالا سلا م من قو مهم ، فشغلو نى عن الر كعتين اللتين بعد الظهر فهما هاتان

" Wahai putri Abu Umayah! Kamu bertanya tentang shalat dua rakaat setelah Ashar? Orang-orang dari pihak Abdul Qais datang mengislamkan kaum mereka, sehingga mereka menyibukkanku dari shalat sunah dua rakaat setelah shalat Zhuhur, maka inilah dua rakaat itu (qadhanya)."

Beliau ditanya tentang shalat dua rakaat itu sesudah beliau melarang melakukannya (setelah Ashar). Rasulullah SAW selalu melakukan dua rakaat itu setelah shalat Zhuhur, sebagai amalan sunah yang rutin {rawatib), maka ketika dua rakaat itu luput darinya, beliau melakukannya setelah melewati waktunya sebagai qadha keduanya sebagaimana mengqadha shalat fardhu.
Ketika itu, kondisi amalan semacam ini menjadi amalan sunah yang berada di antara dua kondisi. Akan tetapi hal itu kembali kepada pilihan mukallaf, sesuai dengan yang kami pahami dari syariat. Jika demikian, maka kami juga memahami maksud syariat, yaitu bersikap fleksibel dan memberi kemudahan, agar seorang mukallaf tidak mewajibkan sesuatu pada dirinya yang mungkin tidak mampu dikerjakannya atau merasa susah untuk mengerjakannya. Karena, meninggalkan sesuatu yang telah diwajibkan (oleh dirinya sendiri) pada sesuatu yang awalnya ia benci, memiliki makna yang dekat dengan penjanjian yang dibuat manusia dengan Tuhannya, dan menepati janji itu secara umum adalah tuntutan, sehingga meluputkannya merupakan perbuatan yang makruh (dibenci).
Dalil atas kebenaran sikap lemah lembut ada di dalam Al Quran. Bersikap lemah lembut memang lebih utama dan lebih layak, —walaupun bersikap terus-menerus terhadap suatu amalan juga merupakan tuntutan.
Allah SWT berfirman, "Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah, kalau ia menuruti kemauman kamu dalam beberapa urusan, benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan...." Berdasarkan pendapat sebagian mufassir bahwa banyak perkara yang masuk dalam takalif lslamiyyah. Makna "benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan" Maksudnya adalah "Kamu sungguh akan mendapatkan kesulitan, dan kesulitan akan datang kepadamu, sedangkan agama Allah tidak terdapat kesulitan di dalamnya." " Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan) dengan memberi kemudahan dan keluasan [dan menjadikan iman ituindah dalam hatimu." (Qs. Al Hujuraat [49]: 7)
Nabi SAW diutus hanya dengan agama yang toleran, serta mengangkat kesulitan dan belenggu yang dulu ada pada orang-orang lain (selain Islam).
Allah SWT berfirman dalam menyifati Nabi-Nya, "...berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat betas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (Qs.At-Taubah [9]:128)
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..." (Qs. Al Baqarah [2]:185)
Allah SWT menamakan pengambilan sikap keras terhadap diri sebagai sikap melampaui batas, seperti di dalam firman-Nya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas....." (Qs. Al MaaMdah[5]:87)

Banyak dalil dari hadits, misalnya:
1. Masalah puasa wishal, seperti yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata, "Nabi SAW melarang mereka puasa wishal sebagai sikap kasih sayang beliau terhadap mereka." Mereka berkata, "Tapi engkau melakukan puasa wishaP" Beliau menjawab,
اني لست كهيتكم اني ابيت عند ربي يطعمنى ويسقيني
" Sesungguhnya aku tidak seperti kamu, karena aku tinggal di sisi Tuhanku yang memberiku makan dan minum."

Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata: Rasulullah SAW melakukan puasa wishal pada akhir bulan Ramadhan, kemudian kaum muslim melakukan wishal pula. Ketika kabar itu sampai kepada beliau, beliau bersabda,
لو مد لنا شهر لو اصلن وصالا حتى يدع المتعمقو ن تعمقهم
"Seandainya bulan diperpanjang, maka kami akan menyambung puasa dari hari ke hari lainnya (wishal) sehingga orang-orang yang berlebih-lebihan meninggalkan kelebih-lebihannya."
Ini adalah pengingkaran.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW melarang puasa wishal, maka seorang laki-laki dari kaum muslim berkata, "Tapi engkau melakukan wishal ya Rasulullah?!" Rasulullah SAW pun bersabda,
وأيكم مثلي ؟ إنى أبيت عند ربي يطعمني ويسقني
"Siapakah diantara kalian yang seperti aku? Sesungguhnya aku tinggal di sisi Tuhanku yang memberiku makan dan minum."
Ketika mereka menolak berhenti dari puasa wishal hari demi hari, saat mereka melihat hilal (awal bulan), beliau pun bersabda,
لو تاُ خر الهر لز د تكم

"Seandainya bulan mundur, niscaya aku menambahkanmu (puasa wishal)."
Perkataan tersebut adalah perkataan orang yang jengkel (Rasulullah jengkel ketika mereka menolak berhenti dari puasa wishal).
2.      Masalah bangun malamnya Nabi SAW bersama mereka (kaum muslim) pada bulan Ramadhan. Beliau meninggalkannya karena khawatir bangun malam itu (shalat Tarawih) diwajibkan atas mereka, lalu mereka tidak mampu mengerjakannya, sehingga mereka akan jatuh pada perbuatan dosa dan kesulitan. Jadi, perbuatan beliau itu merupakan sikap kasih sayang beliau terhadap mereka.
Al Qadhi Abu Thayyib berkata, "Kemungkinan Allah mewahyukan kepada beliau, bahwa jika beliau terus-menerus melakukan shalat tersebut bersama mereka, maka shalat itu akan diwajibkan atas mereka."
Aisyah RA berkata, "Jika Rasulullah SAW meninggalkan suatu amalan sedangkan sebenarnya beliau menyukai amalan itu, maka itu semata-mata karena beliau khawatir jika manusia ikut mengerjakannya maka akan diwajibkan atas mereka."
Makna ini juga terdapat dalam sabdanya,
لا تخصو ا يوم الجمعة بصيام
" Janganlah kamu mengkhususkan puasa pada hari Jum’ at."
Mahlab berkata, "Alasannya adalah karena jika dilakukan terus-menerus, maka dikhawatirkan amalan itu akan menjadi amalan wajib." Karena makna ini, larangan tersebut sesuai dengan pendapat Malik dalam kitab Al Muwattha', dan tidak ada masalah dengan hal tersebut.
3.      Masalah hadits Haula' bin Tuwait. Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW datang kepadaku dan di sisiku ada seorang wanita, maka beliau bertanya, "Siapakah wanita ini?' Aku menjawab, "Ini adalah wanita yang tidak pernah tidur karena selalu melakukan shalat." Rasulullah SAW lalu bersabda,
لاتنام الليل خزوا من العمل ما تطيقون ، فوالله لا يسا مالله حتى تساموا
"Kamu tidak tidur malam!' Kerjakanlah amalan yang mampu kamu kerjakan. Demi Allah! Allah tidak akan bosan hingga kalian bosan."

Beliau mengulang kata-kata "tidak tidur" sebagai bentuk pengingkaran beliau terhadapnya wallahu a 'lam dan tidak ridha dengan perbuatannya, karena beliau khawatir wanita itu mendapatkan kebosanan dan kejemuan atau meninggalkan hak yang lebih kuat.
Diriwayatkan dari Anas RA, ia berkata: Rasulullah SAW masuk masjid dan mendapati tali terpancang di antara dua tiang maka beliau bersabda,
ما هذ ا؟ قالو: حبل لز ينب تصلي فاذا كسلت أ و فترت أ مسكت به فقال : حلوه ليصل احدكم نشا طه فاذا كسل أوفتر قعد
"Apa ini?" Mereka menjawab, "Tali Zainab untuk melakukan shalat. Apabila ia malas atau letih maka ia berpegangan padanya." Beliau pun bersabda, "Lepaskan tali ini. Hendaklah salah seorang dari kalian shalat ketika waktu semangat, dan bila malas atau letih, maka duduklah."
Dalam riwayat lain,
لا حلوه
" Tidak, lepaskanlah (tali )ini.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata: Telah sampai berita kepada Nabi SAW bahwa aku puasa terus-menerus dan shalat malam. Beliau lalu mengutus utusan kepadaku untuk membawaku kepadanya. Beliau lalu bersabda,
ألم أخبر أنكتصوم لا تفتر وتصلي الليل ؟ فلا تفعل فان لعينك حظا ولنفسك حظا ولاهلك حظا فصم وأ فطر وصل ونم 
"Aku telah dikabarkan bahwa kamu puasa dan tidak pernah berbuka serta selalu shalat malam? Janganlah kamu kerjakan, karena matamu punya hak dan keluargamu punya hak. Jadi, berpuasa dan berbukalah, shalat dan tidurlah."

Hadits-hadits yang maknanya senada dengan ini jumlahnya sangat banyak, dan keseluruhannya menunjuk perintah untuk mengambil kemudahan dan keluasan, dan hal itu dapat digambarkan menurut sisi pertama, karena tidak adanya pelaziman. Jika digambarkan benar-benar ada pelaziman, maka dalam bentuk yang tidak memberatkan jika dikerjakan secara terus-menerus.





C.    Penutup
1.      Semua perkara baru dinamakan bid'ah, mengeluarkannya untuk dijadikan tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya dinamakan perbuatan bid'ah, dan bentuk dari perbuatan tersebut dinamakan bid'ah. Bahkan keilmuan yang dibentuk dari teori dan sisi tersebut dinamakan bid'ah.  Jadi, semua pekerjaan yang tidak mempunyai dalil syar'i dinamakan bid'ah (ungkapan yang lebih khusus dari arti yang sebenamya).
2.      Bid’ah terbagi dua dintaranya:
b.      Bid'ah hakikiyah adalah bid'ah yang tidak memiliki dalil syariat; baik dari Al Qur’an, hadits, ijma' maupun dalil-dalil lain yang mu’tabar bagi ulama, baik secara global maupun secara terperinci.
c.       Bid'ah idhafiyah adalah bid'ah yang mempunyai dua akar; salah satu memiliki dalil yang berkaitan, sehingga dari sisi tersebut ia bukan bid'ah, sedangkan akar yang lainnya tidak memiliki dalil yang berterkaitan, sehingga ia seperti bid'ah hakikiyah.






[1] Orang Romawi menyebut kota tersebut dengan Saetabis, Kota ini terletak di bagian Timur Spanyol dan termasuk wilayah Valencia. Kota Syathibah sangat masyhur di abad pertengahan dengan industri kertasnya, yang tidak hanya diekspor ke Spanyol, tetapi juga sampai ke segenap penjuru dunia, termasuk Mesir. Pada kekuasaan Islam, kota Syathibah merupakan kota kedua terbesar di Valencia. Diperkirakan bahwa pada saat itu penduduknya jauh lebih ramai dibandingkan sekarang. Sejarah kota ini berawal saat ia disatukan dengan Valencia sebagai bagian dari satu kerajaan tersendiri yang dibangun pada akhir abad ke-11 oleh Abdul Aziz Hafid al-Hajib al-Manshur Ibn Abi Amir. Kota tersebut jatuh ke tangan kristen  setelah Raja James I dari Arragon menggempurnya tahun 1239-1240. Segera sesudah itu, terjadilah tindak kekerasan terhadap umat Islam dari kota tersebut di akhir tahun 1247. 
[2] Abdullah Bin Mustafa al-Maraghi, al-Fath al-Mubin, juz II, (Beirut: Muhammad Amin Dimaj, 1974), h.204
[3]  Ibid,
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Muhammad Khalid Mas’ud,  Islamic Legal Philosophy, (Islamabad: Islamic Research Institute, 1977), h.99-100
[7] Ibid
[8] Ibid, h.101
[9] Muhsin Mahdi,  Ibnu Khaldun’s Philosophy of  History , (Chicago: Phoenix, 1964), h 35
[10] Ibid, h. 103
[11] Ibid, h.110-112
[12] Al-Syathibi, al-‘Itisham, (Riyadh: Maktabah Riyadh al-Haditsah, tt),  juz  I,  h.11-12
[13] Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, juz I, (Mesir: Maktabah al-Manar, 1931), h.jim. Lihat juga pengantar Kitab al-‘Itisham, juz I, h.4
[14] Op.Cit, Al-Maraghi, h.205
[15] Op.Cit, Khalid Mas’ud, h.193
[16] Fazlur Rahman, Islam, (New York: Anchor Books, 1986), h.136  
[17] Ujung kalimat pada hadits itu adalah, "Puasa, karena ia adalah sebagai perisai baginya." Sedangkan perkataannya, "Yang dapat menahan syahwat para pemuda." -sampai ungkapan terakhir- adalah perkataan pengarang kitab yang menjelaskan tentang alasan anjuran berpuasa, yaitu sebagai perisai. Maksudnya adalah melemahkan syahwat, sebagaimana pendapat jumhur ulama, bahwa hal tersebut tidak akan nampak pada puasa yang banyak dengan membatasi dan cukup dengan makan sedikit ketika berbuka dan bukan sebaliknya, karena sesungguhnya puasa adalah sumber kesehatan dan penambah kekuatan, sehingga tebentuk kehidupan yang seimbang. Pada saat itu, sisi-sisi kesamaan antara menahan rekanan urat kekuatan kejantanan (yang dapat melemahkan atau menghilangkan syahwat) dengan puasa yaitu, puasa sebagai sarana untuk menuju takwa, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala ketika mewajibkannya, "AgarAgar kamu bertakwa." Orang yang banyak berpuasa dan meninggalkan keinginan terhadap makanan dan minuman yang disukainya karena Allah Ta’ala akan mendapatkan dua keuntungan, yaitu:
1. Terbiasa mengingat Allah Ta’ala.. Hal ini ia meninggalkan makanan dan minuman yang disukainya karena Allah.
2. Terbiasa meninggalkan syahwat yang dibutuhkannya setiap hari. Hal ini karena takwa adalah
[18] Sesungguhnya penduduk Al Astanah sama sekali tidak memakan daging burung merpati. Bahkan mereka mencela serta mengingkari perbuatan tersebut. Mereka memeliharanya dan menjaganya di masjid serta di rumah-rumah mereka. Pada hakikatnya, secara umum mereka meyakini bahwa memakan burung merpati hukumnya haram. Bukankah para ulama harus turun tangan (memerangi) bid'ah tarkiyyah seperti itu dengan tindakan dan perkataan?

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →

2 komentar:

  1. Bismillah. Bisa di email ke aalukmanfaisal@gmail.com Mas. Jazaakallohu

    BalasHapus