Sabtu, 25 April 2015
TAFSIR
A.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama bagi umat Nabi
Muhammad SAW. Kebahagiaan mereka bergantung pada kemampuan memahami maknanya,
pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung didalamnya.
Kemampuan seseorang dalam memahami al-Qur’an itu tentu berbeda, padahal
penjelasan-penjelasan ayat-ayatnya sedemikian jelas dan rinci. Perbedaan daya
nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi.
Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global.
Sedang kalangan cendikiawan dan terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap
makna-maknanya secara menarik. Didalam kedua kelompok ini pun terdapat aneka
ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika al-Qur’an mendapat
perhatian yang besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam
rangka menafsirkan kata-kata yang gharib atau dalam mena’wilkan suatu redaksi
kalimat.
B. PEMBAHASAN
1. TAFSIR.
a.
Pengertian Tafsir
Tafsir, secara bahasa mengikuti wazan taf’il, berasal dari akar kata الفســر yang berarti
menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata at-tafsir dan al-fasr
mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.[1]
Al-Jarjuni berpendapat bahwa kata tafsir
menurut pengertian bahasa adalah al-kasyf
wa al-izhar yang artinya menyingkap
(membuka) dan melahirkan.[2] Pada dasarnya,
pengertian tafsir berdasarkan bahasa
tidak akan lepas Dari kandungan makna al-idhah
(menjelaskan), al-bayan
(menerangkan), al-kasyf
(mengungkapkan), al-izhar
(menampakkan) dan al-ibanah
(menjelaskan).[3]
Adapun pengertian tafsir
berdasarkan istilah, para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang
berbeda-beda, diantaranya
1. Menurut
Abu Hayyan: Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz
Al-Qur’an tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[4]
2. Menurut az-Zarkasyi: Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang
diturunkan kepada Muhammad SAW. , menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan
hukum dan hikmahnya.[5]
3. Menurut
al-Kilabi: Tafsir adalah menjelaskan
Al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash,
isyarat atau tujuannya.[6]
4. Menurut
Ali al-Hasan: Tafsir adalah ilmu yang
membahas Al-Qur’an dari aspek penunjukannya pada maksud Allah SWT. Berdasarkan kemampuan manusia.[7]
Berdasarkan beberapa defenisi
yang dikemukakan oleh para ulama tafsir di atas, maka dapat penulis
definisikan bahwa pada dasarnya tafsir
adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad dalam mengkaji
Al-Qur’an untuk menyingkap nilai-nilai yang terdapat didalamnya.
b. Sejarah Perkembangan
Tafsir
1.
Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat
Penafsiran
terhadap Al-Qur’an dan penjelasan tentang makna-makna serta
ungkapan-ungkapannya telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW. Beliau adalah
guru pertama yang mengajarkan Al-Qur’an, menjelaskan maksudnya, dan menguraikan
ungkapan-ungkapan yang sulit.[8]
Rasulullah
SAW beserta para sahabatnya
mentradisikan, menguraikan dan menafsirkan Al-Qur’an sesaat setelah turunnya.
Tradisi itu berlangsung sampai beliau wafat.[9]
Para sahabat
dalam menafsirkan Al-Qur’an pada masa ini perpegang pada :
1.
Al-Qur’an sebab apa yang dikemukakan secara global disuatu tempat dijelaskan
secara terperinci ditempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam
bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat lain yang
membatasi atau menghususkannya.
2. Hadis
Nabi SAW. mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan Al-Qur’an. Karena itu wajarlah kalau
para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami
sesuatu ayat.
3. Pemahaman
dan Ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Al-Qur’an
dan tidak pula mendapatkan sesuatu yang berhubungan dengan hal itu dari
Rasulullah SAW., mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan
nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai
bahasa Arab, memahamainya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek kebalagahan yang ada didalamnya.[10]
Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan
Al-Qur’an adalah para Khulafaurrasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubaiy bin Ka’ab,
Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin
Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin Ash dan Aisyah.[11]
2.
Tafsir Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana
tokoh-tokoh sahabat banyak yang dikenal dalam lapangan tafsir ,maka sebagaian
tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada merekapun terkenal di
bidang tafsir. Dalam hal sumber tafsir, para tabi’in berpegang pada
sumber-sumber yang ada pada masa para pendahulunya disamping ijtihad dan
pertimbangan nalar sendiri.
Metode
penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat,
karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul
beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di antaranya:
1. Madrasah
Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti
Mujahid bin Jabr, Said bin Jabir, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Thawus Al-Yamany
dan ‘Atha’ bin Abi Rabah.
2. Madrasah
Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti
Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradli.
3. Madrasah
Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah
Al-Qamah bin Qais, Hasan Al-Basry dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.[12]
Tafsir yang disepakati oleh para Tabi’in bisa menjadi
hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan di antara mereka maka pendapat
tersebut tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
3. Tafsir Pada Masa Tabi' Tabi'in
Ahli sejarah
berpendapat zaman ini sekitar abad ke 3 Hijriah atau zaman sesudah zaman
Tabi'in. di zaman inilah munculnya para imam-imam mazhab dalam fiqh. Metode
penafsiran yang digunakan pada masa ini mulai mencantumkan nama guru tempat
mereka mengambil Hadits yang sanadnya sampai ke Rasulullah SAW. Penulis tafsir
yang terkenal di zaman ini antaranya Al-Waqidi (wafat 207), sesudah itu ibnu
Jarir Ath-thabarri (wafat 310 )
4.
Tafsir Pada Masa Abad 4 H.- 12 H.
Ahli sejarah
berpendapat zaman ini sekitar abad ke 4 Hijriah atau zaman sesudah zaman salaf.
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak hanya mengutip riwayat
dari Sahabat, Tabi'in dan Tabi' tabi'in saja tetapi telah mulai bekerja
menyelidiki dan membuat perbandingan penafsiran sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan saat itu, di mana logika dan ilmu filsafat telah dipelajari. Buku
tafsir di periode awal seperti nikwal
'uyun oleh Al-mawardi, bahrul ulum oleh Samrqandi, Tafsir Al-Bughawi dan lain-lain. Pada zaman ini banyak sekali melahirkan
buku tafsir dengan berbagai gaya penafsiran seperti gaya sastra bahasa, gaya
kisah-kisah, gaya filsafat, gaya teologi, gaya penafsiran ilmiah, gaya fiqih
atau hukum, gaya tasawuf dan lain-lain.[13]
5.
Tafsir Pada Zaman Modern (abad 12 H. – 14H.)
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini
sastra budaya kemasyarakatan yang mencakup berbagai hal kemasyarakatan seperti
unsur kesehatan dan kejiwaan. Kebanyakan tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan
masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka
berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut
dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Di antara tokoh di
zaman ini Syaikh Muhammad 'Abduh, Abu A'la Al-Maududi, Sayid Qutb dan
lain-lain.
c. Macam-macam Tafsir
berdasarkan Sumbernya dan Metodenya.
1.
Macam-macam Tafsir berdasarkan sumbernya.
Pembagian Tafsir dalam hal ini
terbagi kepada :
1.
Tafsir bil Matsur.
Istilah tafsir bil ma’tsur merupakan gabungan dari tiga buah kata tafsir,
bi, dan al-ma’tsur. Tafsir secara leksikal mengungkapkan atau menyingkap. “bi”
secara leksikal berarti dengan. “Al-ma’tsur” berarti ungkapan yang
dinukil oleh khalaf dari salaf. Dengan demikian tafsir bil ma’tsur menyingkap
isi kandungan al-Qur’an dengan penjelasan yang dinukil dari khalaf dari salaf. Secara terminologis adalah penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an, atau al-Hadist, atau pendapat Sahabat atau Tabi’in.[14]
Tafsir bil ma’tsur ialah
rangkaian yang terdapat dalam al-Qur’an, Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai
keterangan atau penjelasan maksud dari
firman Allah, yaitu penafsiran dari as-Sunnah nabawiyah. Dengan demikian
maka tafsir ma’tsur adalah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, penafsiran
al-Qur’an dengan as-Sunnah atau penafsiran Al-qur’an menurut atsar yang
timbul dikalangan sahabat. Contoh
tafsir matsur sebagai berikut:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya. (Qs. Al-Maidah:1).
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ èps)ÏZy÷ZßJø9$#ur äosqè%öqyJø9$#ur èptÏjutIßJø9$#ur èpysÏܨZ9$#ur !$tBur @x.r& ßìç7¡¡9$# wÎ) $tB ÷Läêø©.s $tBur yxÎ/è n?tã É=ÝÁZ9$#
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala. (Qs. Al-Maidah:3).
pada surat al-Maidah ayat 1 diatas
menerangkan tentang diharamkannya memakan daging hewan yang disebelih kecuali
“yang akan dibacakan kepadamu”. “yang akan dibacakan kepada mu” ini belum memiliki
makna yang jelas. “bacaan apa yang dibaca ?”
Kemudian setelah itu ditafsirkan menggunakan surat al-Maidah ayat 3
bahwa yang dimaksud dengan الا ما يتلى عليكم yaitu وما أ هل
لغير الله به. Binatang ternak
yang halal menjadi haram ketika menyembelih tidak dengan menyebutkan nama
Allah.
Kitab-kitab
tafsir yang memuat Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu, Jami’al Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an: Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310
H), al-Kasyfu wa al-Bayan fi Tafsir
al-Qur’an: Ahmad Ibn Ibrahim (427 H), Ma’alimu
al-Tanzil : Imam al-Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi (516 H), al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an :
Al-Qurthubi (671 H), Tafsir al-Qur’an
al-Adhim: Imam Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir (774 H), Ad-Durru al-Mantsur fi tafsir bi al-Ma’tsur: Jalaluddin as-Suyuti
(911 H).[15]
2.
Tafsir bil Ra’yu.
Secara bahasa al-ra'yu berarti al-I'tiqadu
(keyakinan) ,al-'aqlu (akal) dan al-tadbiru ( perenungan). Ahli
fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra'yu.
Karena itu tafsir bi al-ra'yu disebut sebagai ashab al-ra'yu.
karena itu tafsir bi al-ra'yi disebut tafsir bi al-'aqly dan bi
al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.
Menurut istilah, tafsir bi al-Ra'yi
adalah upaya untuk memahami nash al-Qur'an atas dasar ijtihad seorang
ahli tafsir (mufassir ) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya,
mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti syair syair
Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul ashabun nuzul, mengerti nasikh
dan mansukh di dalam al-Qur'an,
dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.[16] Jadi
jelas, bahwa tafsir bir-ra'yi
bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar
gagasan yang terlintas dalam pikiran seseorang, apalagai hanya semaunya saja,[17] oleh
karana itu jika menafsirkan al-Qur'an dengan ra'yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah
haram, tidak boleh dilakukan, firman Allah:
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB
Artinya:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.(Qs. Al-Israa: 36).
Rasulullah bersabda;
مَنْ
قَالَ فِي الْقُرْانِ بِرَأْيِهِ أَوْ بِمَا لاَ يَعْلَم فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya: Barangsiapa
berkata tentang al-Qur'an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang
tidak diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam neraka.[18]
Tentang penggunaan akal dan
pemikiran filsafat secara sehat dan benar, maka hal itu dibenarkan dalam
al-Qur'an, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, bahwa bila kita berdebat dan
konfrontasi hendaknya dilakukan secara bijaksana, dan juga dinyatakan bahwa
dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat mutasyabih
atau juga sama-sama di ketahui bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur'an dhilalahnya
bersifat zhanni dan untuk mengambil hukum dari padanya diperlukan suatu
pemikiran, demikian pula dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang bersifat
filosofis, belum lagi al-Qur'an ditinjau dari segi seni dan sastra Arab.[19]
Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, dan dalam rangka
menjaga mufassir agar tidak melakukan kesalahan dan menafsirkan al-Qur'an, maka
perlu rambu-rambu atau syarat-syarat bagi seseorang untuk menafsirkan
al-Qur'an. berikut ini syarat-syarat bagi mufassir dalam menafsirkan al-Qur'an:
a.
Mengetahui Hadits Nabi baik dari sisi riwayah
maupun dirayah
b.
mengetahui bahasa Arab
c.
menguasai ilmu nahwu
d.
menguasai ilmu sharaf
e.
mengetahui sumber pengambilan kata
f.
mengetahahui ilmu balaghah
g.
mengetahui ilmu qira'at
h.
mengetahui ilmu ushuluddin (Islamic Theology), seperti ilmu tauhid
i.
mengetahui ilmu ushul Fikih
j.
mengetahui sebab-sebab turun ayat
k.
mengetahui kisah-kisah di dalam al-Qur'an
l.
mengetahui nasikh dan mansukh
Adapun sumber-sumber penafsiran bil ra'yi sebagai berikut:
a).
al-Qur'an
b). mengutip dari Rasulullah
SAW dan menjaga serta menghindari Hadis dha'if dan maudhu'
c).
mengambil penafsiran sahabat yang shahih
d). mendasarkan
kepada bahasa Arab, karena al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab
e).
Tafsir yang dihasilkan harus sesuai dengan makna dzahir kalam dan sesuai
dengan kekuatan hukumnya[21]
Langkah-langkah
yang dijadikan rujukan tafsir bir
ra'yi:
a. Tafsir
dilakukan sesuai dengan apa yang ditafsirkannya, tanpa pengurangan dan tambahan
yang tidak perlu
b. Teliti
dan jeli melihat makna hakiki dan makna majazi
c. teliti dalam
melihat apa yang tertulis dengan tema atau maksud yang diangkat, yang sesuai
dengan konteks ayat yang sedang ditafsirkan
d.
melihat persesuaian (munasabah)
e. menyebutkan asbab al-nuzul ayat
f. menganalisis
dan menjelaskan mufradat
(lafadz-lafadz), dan dirivasinya serta asal katanya
g. menghindari penjelasan panjang bagi pengulangan-pengulangan
h. melakukan
tarjih (pengunggulan satu atas yang lain)[22]
Wilayah
ijtihad Tafsir bir Ra'yi sebagai
berikut:
a).
lafadz ( kata dalam bahasa Arab) kadang maknanya jelas dan kadang juga
tidak jelas. Mufasir harus mengetahui bahwa suatu lafadz senantiasa mengandung
makna relative (beberapa makna), sehingga yang dilakukan muufasir adalah
ijtihad dalam rangka menemukan makna yang dikehendaki
b). kata-kata yang
tidak jelas (mubham) memiliki beberapa tingkatan.Ada lafadz mubham (tidak jelas) tetapi bisa
dijelaskan oleh seorang mufasir. Ini termasuk dalam wilayah ijtihad tafsir bil ra'yi
c).
ada yang disebut dengan al-khafi
yaitu lafadz yang tingkat ketidak jelasannya paling sedikit, sehingga
tidak membebani mufassir untuk menjelaskannya
d). Ada yang
disebut dengan musykil, yaitu lafadz
yang tingkat mubhamnya lebih banyak dari sebelumnya, lebih banyak dari al-khafi. untuk lafadz yang musykil ini, dibutuhkan ijtihad mufassir
e).
ini seperti bentuk musytarak satu lafadz mengandung beberapa makna- adalah
salah satu bentuk lafadz al-musykil,
yang membutuhkan penjelasan dan penetapan satu makna saja dari dua atau lebih
makna yang terkandung di dalamnya. ini memerlukan ijtihad seorang mufassir
untuk menentukan makna dimaksud
f).
wilayah ijtihad dalam upaya meletakkan atau memposisikan lafadz pada makna
Dintara kitab-kitab tafsir bi
al-Ra’yi adalah: Mafatihu al-Ghaib:
Fahruddin ar-Razi (w. 606 H ), Anwaru
al-Tanzil wa israrut Ta’wil: Imam al-Baidhawi (692 H), Madariku al-Tanzil wa Haqaiqut ta’wil: Abul Barakat an Nasafi (w.
710 H), Lubabu al-Ta’wil fi ma’ani
al-Tanzil: Imam al-Khazin (w. 741 H).[24]
2.
Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Metodenya
Metodologi penafsiran
ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk
mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan
manusia.
Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu
perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an.
Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek
teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek
konteks di dalam teks yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang
beragam di mana teks itu muncul.[25]
Jika ditelusuri
perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan
bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara
(metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy (global),
tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy (tematik)[26]. Untuk lebih jelasnya di bawah ini
diuraikan keempat metode tafsir tersebut secara rinci, yaitu :[27]
a). Metode Ijmali (Global)
Metode al-Tafsir
al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[28] Pengertian
tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan
bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya
menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak
terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya
seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu
tafsirnya.[29]
Kitab tafsir
yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain
: Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid
Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts
al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj
al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Dalam
metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an
dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini
tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis
lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat
mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak
ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya
kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak
memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan
kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya;
namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi
tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
b). Metode Tahliliy (Analisis)
Metode Tahliliy (Analisis) ialah
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang
tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan
informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah
sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada
tujuh bentuk tafsir, yaitu :[30] Al-Tafsir
bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi,
At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang
menggunakan bentuk Al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Penafsiran ayat
dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin (orang-orang
bertakwa) dalam ayat 2 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya
(ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sã !$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qã ÇÍÈ y7Í´¯»s9'ré& 4n?tã Wèd `ÏiB öNÎgÎn/§ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ
Artinya:
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka
yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan
mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Qs. al-Baqarah :
3-5).
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang
menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka
berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara
komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana.
Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi
surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab
al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil
bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran).
Diantara kitab tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur (riwayat)
adalah : Jami’ al-Bayan
‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w.
310 H) dan terkenal dengan Tafsir al-Thabari. Ma’alim al-Tanzil, karangan
al-Baghawi (w. 516 H) Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karangan Ibn
Katsir. Adapun
tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y banyak
sekali, antara lain : Tafsir al-Khazin, karangan
al-Khazin (w. 741 H) Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-.Baydhawi
(w. 691 H). Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H), Arais al-Bayan
fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606 H)
c). Metode Muqarin (Komparatif)
Pengertian metode muqarin (komparatif)
dapat dirangkum sebagai berikut :
1. Membandingkan
teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan
redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi
satu kasus yang sama;
2. Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
3. Membandingkan
berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat
dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu[31] :
§ Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain,
yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah
atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam
masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam
variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,[32] sebagai
berikut :
(a)
Perbedaan tata letak kata dalam
kalimat, seperti :
3 ö@è% cÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$#
Artinya: Katakanlah:
"Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". (QS : al-Baqarah : 120)
ö@è% cÎ) yèd «!$# uqèd 3yßgø9$#
Artinya: Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah
Itulah (yang sebenarnya) petunjuk. (QS : al-An’am : 71)
(b)
Perbedaan dan penambahan huruf,
seperti :
íä!#uqy óOÎgøn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? w
tbqãZÏB÷sã ÇÏÈ
Artinya:
Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan,
mereka tidak juga akan beriman. (QS : al-Baqarah : 6)
íä!#uqyur öNÍkön=tã öNßgs?öxRr&uä ôQr& óOs9 öNèdöÉZè? w
tbqãZÏB÷sã
Artinya:
Sama saja bagi mereka Apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu
tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman. (QS : Yasin: 10)
(c)
Pengawalan dan pengakhiran, seperti
:
(#qè=÷Gt
öNÍkön=tæ
y7ÏG»t#uä
ÞOßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur
öNÍkÏj.tãur
Artinya: yang akan membacakan
kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al
Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. (QS. Al-Baqarah :129).
uö (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur
Artinya: yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As
Sunnah). (QS. Al-Jumu’ah : 2)
(d)
Perbedaan nakirah dan ma’rifah,
seperti :
õÏètGó$$sù «!$$Î/ ( ¼çm¯RÎ) uqèd ßìÏJ¡¡9$# ÞOÎ=yèø9$#
Artinya:
Maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha
mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Fushshilat : 36)
$¨BÎ)ur ¨Zxîu\t z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# Øø÷tR õÏètGó$$sù «!$$Î/ 4 ¼çm¯RÎ) ììÏJy íOÎ=tæ
Artinya: mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
(e)
Perbedaan bentuk jamak dan tunggal,
seperti :
( `s9 $uZ¡¡yJs? â$¨Y9$# HwÎ) $YB$r& Zoyrß÷è¨B 4
Artinya:
Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa
hari saja. (QS. Al-Baqarah : 80)
`s9 $oY¡¡yJs? â$¨Y9$# HwÎ) $YB$r& ;Nºyrß÷è¨B
Artinya:
Kami tidak akan disentuh oleh api neraka kecuali beberapa hari yang dapat
dihitung. (QS. Ali-Imran : 24)
(f)
Perbedaan penggunaan huruf kata
depan, seperti :
øÎ)ur $oYù=è% (#qè=äz÷$# ÍnÉ»yd sptós)ø9$# (#qè=à6sù
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini
(Baitul Maqdis), dan makanlah. (QS. Al-Baqarah : 58)
øÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qãZä3ó$# ÍnÉ»yd sptös)ø9$# (#qè=à2ur
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika dikatakan kepada mereka (Bani Israil): "Diamlah di negeri
ini saja (Baitul Maqdis) dan makanlah. (QS. Al-A’raf : 161)
(g)
Perbedaan penggunaan kosa kata,
seperti :
(#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,"
mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.(QS. Al-Baqarah : 170)
ª (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ7®KtR $tB $tRôy`ur Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan
Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya) mengikuti apa
yang Kami dapati bapak-bapak Kami. (QS. Luqman : 21)
(h)
Perbedaan penggunaan idgham
(memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
y7Ï9ºs öNåk¨Xr'Î/
(#q%!$x© ©!$#
¼ã&s!qßuur
( `tBur Ée-!$t±ç ©!$#
¨bÎ*sù
©!$#
ßÏx© É>$s)Ïèø9$#
Artinya:
Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka menentang Allah dan
Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang
berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1)
menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam
kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan
ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti
setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang
dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.
§ Membandingkan
ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk
menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an
surat al-Nahl : 32 dengan Hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
(#qè=äz÷$# sp¨Yyfø9$# $yJÎ/ óOçFYä. tbqè=yJ÷ès?
Artinya: Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu
kerjakan. (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
Artinya: Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga
disebabkan perbuatannya. (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas
terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi
mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah Hadits,
yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi
karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan,
karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan
dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal
perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan Hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
Artinya: Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka
mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada
ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada
ayat berarti imbalan, sedangkan pada Hadits berarti sebab.
§ Membandingkan
pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik
ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik
yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun
yang bersifat ra’yu(al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini
adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada
ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak
menggugurkan suatu Hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang
satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan
mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan
mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi
masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif.
Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan
metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam
memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan Hadits, adalah pendapat para
ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu
penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode
muqarrin”.
d). Metode Mawdhu’iy (Tematik)
Metode mawdhu’iy ialah
membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab
al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan
tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun
pemikiran rasional.
Ciri-ciri Metode Mawdhu’iy ini ialah
menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di
katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari
tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari
Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah
dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai
dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman
ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari
pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy
seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam
bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah
tersebut adalah :
(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas
(topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan
masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut
dalam surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka
yang sempurna (out-line);
(f) Melengkapi
pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut
secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai
pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum)
dan yang khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat),
atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu
muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.[33]
[1] MannaKhalil al-Qattan, Mabahis fi
ulumil Qur’an., terj. Mudzakir AS, Studi
Ilmu-ilmu Al-AQur’an (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 1996), Cet.III h.455
[6] . Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an., dikutip dalam Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia, 2005), Cet.III, h. 141.
[8] Muhammad Husain Thabathaba’I, Al-Qur’an
fi Al-Islam.,terj. A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an ,
edisi Two in one(Bandung: Mizan , 2009), Cet.I, h. 103.
[14]Mawardi
Abdullah, Ulumul qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) h. 154
[15] Ridlwan Nasir. Memahami Al-Qur’an persefektif Baru Metodologi Tafsir
Muqarin. (Surabaya: CV. Indra Media. 2003).
[16] Anshori LAL, Tafsir bir Ra'yi, (Jakarta: GP Pres,
2010), h. 1
[17] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni,
Ikhtisar
Ulumul Qur’an Praktis (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 249
[18] Terj Aunur Rafiq, pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006) h 441
[19] Imam Muchlas ,Al-Qur'an Berbicara (Surabaya: Pustaka Progressif,
1996), h. 55
[20] Anshori LAL Op.Cit, h. 12-14
[21] Ibid, h. 40
[22] Ibid, hlm 41
[23] Anshori LAL Op.Cit, hlm 42
[25]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari
Hermeneutika hingga Ideologi), (Jakarta:
Teraju 2003), Cet. I, h. 196.
[26] Abdul Hay Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, Al-Hadharah
Al-Arabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977). H. 23
[28]Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, (Beirut:
Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, 1977). h. 43 – 44.
[31] Quraish Shihab. dkk., Sejarah
dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999). h. 186–192.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: