Sabtu, 11 April 2015
AL ISTIHSAN
A.
Pendahuluan
Ilmu Ushul Fiqh
adalah salah satu ilmu perangkat dasar yang harus dimiliki oleh ahli hukum
Islam yang hendak melakukan istimbat hukum Islam, mencoba mengetahui maksud
Allah yang terdapat dalam al-Qur’an.Dalam pembahasan tentang syarat-syarat
mujtahid, penguasaan atas ilmu ushul fiqh menjadi syarat utama yang dikemukakan
oleh para ulama. Hal ini tentunya bertujuan agar proses ijtihad dan hasilnya
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Walaupun semua
ulama sepakat atas hal tersebut, fakta yang terjadi adalah bahwa tetap saja
terjadi perbedaan di antara para mujtahid dalam penetapan hukum Islam sehingga
ditemukan beragam madzhab dalam hukum Islam.Keragaman ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah karena adanya perbedaan dalam konsep
ushul fiqh di antara para mujtahid.. Dalam pembahasan tentang dalil-dalil
penetapan hukum Islam misalnya, ushul fiqh selalu membagi dalil menjadi dua
kelompok besar, yakni dalil-dalil yang disepakati (al-Adillah al-Muttafaq
‘Alaiha) dan dalil-dalil yang diperselisihkan (al-Adillah al-Mukhtlaf
Fiha).Dalil yang disepakati adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan
Qiyas.Sedangkan dalil yang diperselisihkan diantaranya adalah Qaul Sahabi,
Maslahah Mursalah, Istishab, Istihsan, dsb. Salah satu dalil yang
diperselisihkan oleh ulama yang akan menjadi tema dalam tulisan ini adalah
Istihsan.
B. Biografi Abu Sahl Al-Sarakhsiy
Nama lengkap al-Sarakhsi adalah Abu Bakar Muhammad bin
Ahmad bin Abi Sahl al-Sarakhsi. Ia adalah ahli fikih, ushul fikih, teologi, dan
hadis. Ia salah seorang ulama tersebut Mazhab Hanafi dan berada pada peringkat
ketiga dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi. peringkat pertama: Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani: peringkat kedua: Imam Abu Hasan
Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi).
Walaupun al-Sarakhsi termasuk
kategori ulama besar, riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia
diketahui lahir di Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran Timur laut), tetapi
tanggal dan tahun kelahirannya tidak tercatat di dalam buku- buku biografi
ulama fikih dan ushul fikih. Pada masa
remaja al-Sarakhsi belajar ilmu fikih pada Abdul Azi z bin Ahmad al- Hulwani
(w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang bergelar Syams al-Aimmah (matahari para
imam). Setelah belajar pada al-Hulawni , al-Sarakhsi mengalami perkembangan
pesat dalam berbagai bidang ilmu, terutama ilmu fikih dan menjadi populer. Al-Sarakhsi terkenal dengan kepandaiannya.
Daya ingatannya yang luar biasa terlihat ketika ia mendektikan isi bukunya, al-
Mabsuth, sebuah buku fikih yang besar 15 jilid dan standar dalam Madhab
Hanafi. Ketika buku tersebut diterbitkan pada tahun 1409 H/1989 M oleh
penerbit Dar al-Ma‟rifah Beirut, Syekh Kholil al-Mais, seorang ulama Libanon
menyusun satu jilid indeks untuk kelengkapan buku tesebut. Karya-karya
Al-Sarakhsi mencakup bidang fiqh dan ushul fiqh.Karya dalam ilmu fikih di
antaranya al-Mabsuth. Karya yang kedua adalah syarh Kitab al-Siyar al-Kabir,
sebuah buku fikih yang berisi penjelasan
atau komentar terhadap kitab al-Siyar al-Kabir karya Muhammad ibn Hasan
al-Syaibani. Karya yang lain adalah
syarh Mukhtashar al-Thahawi berisi penjelasan tehadap buku ringkasan yang
dikarang oleh Imam Abu Ja‟far Ahmad bin Muhammad al-Thahawi (w. 321 H/933 M; seorang tokoh
ulama fikih Mazhab Hanafi). Termasuk karya al-Sarakhsi dalam bidang ilmu ushul
fikih adalah Ushul al- Sarakhsi. Dalam buku ini al-Sarakhsi mengawali pembahasan
dengan membicarakan masalah perintah
dan larangan (al- amar wa al-nahy), karena menurut al-Sarakhsi bahwa
persoalan perintah dan larangan merupakan dua hal yang utama dalam kajian ushul
fikih.
C.
Pengertian
Istihsan
Pengertian istihsan secara
etimologi yaitu “menjadikan dan meyakini baiknya sesuatu”. Seorang laki-laki
berkata: Aku telah beristihsan, artinya: meyakini baiknya sesuatu, lawan
dari sesuatu yang buruk. Atau maknanya: mencari sesuatu yang lebih baik untuk
diikuti yang ada perintahnya.
Sebagaimana firman Allah QS Az-Zumar ayat 17-18: فيشرعبادى
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه, “..Maka berikanlah kabar gembira kepada hambaku yang menuruti
perkataanku, lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya..”.
Secara terminology, istihsan
berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena
adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia. Berbeda dengan ulama Syafi’iyah
yang tidak mempergunakan istihsan, namun bagi ulama Hanabilah mempergunakanistihsan sebagai salah
satu cara dalam menetapkan hukum. Menurut ulama Hanafiyah ini, yang dimaksud
dengan istihsan adalah “Berpaling dari hukum dalam suatu masalah
disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat
al-Qur’an maupun dari sunnah Rasul. Ulama lain yang menerima Istihsan sebagai
salah satu metode dalam mengistinbathkan hukum yaitu Hanafiyah, Malikiyah dan
sebagian ulama Hanabilah. Dalam kaitannya dengan ini, Imam al-Khatkhiy
mengatakan bahwa istihsan ada empat bentuk, yaitu:
a.
Meninggalkan
qiyas jaliy dan mengambil qiyas khafiy, karena ada indikasi yang
menguatkannya
b.
Meninggalkan
qiyas karena mengikuti pendapat sahabat
c.
Meninggalkan
qiyas karena ada hadits yang lebih tepat,
d.
Meninggalkan
istihsan karena ‘urf menghendakinya.
D.
Macam-macam istihsan
Ulama Hanafiah membagi istihsan kepada 6
macam, yaitu:
a. Istihsan bi al-Nash, الإستحصان
بالنص,
(istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Maksudnya ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan
ketentuan kaidah umum. Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum
atau qiyas, wasiat itu tidak boleh,
karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika
orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah wafat. Tetapi kaidah umum
dikecualikan melalui firman Allah surat an-Nisa (4): 11, من
يعد وصية أو دين,
“setelah mengeluarkan wasiat yang ia
buat atau hutang”. Berdasarkan ayat ini
maka kaidah umum tidak berlaku untuk masalah wasiat
b.
Istihsan
bi al-Ijma’, (Istihsan yang didasarkan kepada
ijma’). Misalnya dalam kasus pemandian
umum, Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu berapa lama seseorang mandi dan
berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi hal ini akan menyulitkan bagi
orang banyak. Oleh sebab itu para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa
menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
c.
Istihsan
bi al-qiyas al-khafiy, (istihsan berdasarkan qiyas
yang tersembunyi). Misalnya, menurut ketentuan
qiyasjaliy, (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli,
karena pemiliki lahan tersebut telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu hak orang lain
untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan
pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf
itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas al-khafiy, (qiyas
yang tersembunyi), wakaf itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari wakaf
adalah memanfaatkan lahan pertanian yang
diwakafkan, dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di
lahan pertanian tersebut seperti hak melewati lahan pertanian, termasuk ke
dalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. Apabila seorang
mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas al-khafiy), makaa ia disebut
berdalil dengan istihsan.
d.
Istihsan
al-Maslahah, (Istihsan berdasarkan kemaslahatan).
Misalnya ketentuan umum menetapkan bahwa
buruh di suatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduksi
oleh pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dana kesengajaan mereka, karena
mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi demi kemaslahatan
dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggungjawab para buruh
dan sulitnya mempercayai sebagaian pekerja pabrik dalam mamsalah keamanan
produk, maka ulama Hanafi menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk
itu, baik sengaja atau tidak.
e.
Istihsan
bi al-“urfi, (istihsan berdasarkan adat kebiasaan
yang berlaku umum). Contohnya seperti kasus pemandian umum serta di atas yang
tidak bisa ditentukan berapa lama dan jumlah air yang terpakai, karena adat
kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah air
yang terpakai.
f.
Istihsan
bi al-Dharurah, (Istihsan berdasarkan keadaan dharurat),
Misalnya, sumur yang kemasukan najis, akan sulit untuk membersihkan sumur itu
dengan mengeluarkan semua airnya, karena sumur itulah sumber mata airnya. Maka
menurut mazhab Hanafi, cara membersihkan sumur itu cukup dengan memasukkan
beberapa galon air ke dalamnya, karena keadaan darurat menghendaki agar orang
tidak mendapat kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan
hidupnya.
E. Kehujjahan Istihsan.
Ulama Hanafiyah menerima istihsan
sebagai dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya yaitu:
a.
Ayat-ayat
yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia,
yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah:185, يريدالله
يكم اليسرى ولايرد بكم العسر, “Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki
kesukaran ..”
b.
Rasulullah
dalam riwayat ‘Abdullah Ibn Mas’ud, mengatakan: مارأه
المسلمون حسنافهو عندالله حسن, “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di hadapan
Allah juga baik..” (HR Ahmad bin Hanbal)
c.
Kadangkala
memberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa
kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai
kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, seorang mujtahid boleh berpaling kepada
kaidah lain yang akan memberinya hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan
manusia.
Pengalaman praktis misalnya,
Istihsan dengan sunnah Rasul adalah dalam kasus orang yang makan minum karena
lupa ketika ia sedang puasa, menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal
karena telah memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan tidak menahan
puasanya sampai berbuka, akan tetapi
hukum ini dikecualikan oleh
hadits Rasulullah SAW yang mengatakan, من
أكل أو شرب ناسيا فلا يفطر فإنما هو رزق رزقه الله, “ Siapa yang makan atau minum dalam kedaan lupa maka tidak
batal puasanya, karena ini merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya”.
Sekalipun konsep istihsan
yang pertama kali dikemukakan oleh Imam Hanafi kurang rinci dan tidak jelas
sehingga mendapat tanggapan keras dari Imam Syafi’i yang menganggap bahwa istihsan
itu membuat syara’ sendiri, namun konsep istihsan oleh murid-murid dan
pengikut Imam Abu Hanifah lebih disempurnakan, diperjelas dan dirinci secara
sistematis sehingga konsep istihsan menjadi sempurna. Kemudian konsep
ini diikuti oleh ulama-ulama Malikiyah dan sebagian ulama Hanabilah.
Menurut lisan ahli fikih terbagi dua macam: Pertama: Beramal dengan ijtihad dan pendapat
yang telah lazim pada ketentuan atas apa
yang dijadikan syara’ sebagai wakil pada pendapat kita seperti pembayaran
mut’ah yang disebutkan, seperti firman Allah QS Al-Baqarah:236متاعا
باالمعروف حقا على المحسنين, “…(bayarlah) mut’ah itu dengan ma’ruf, (sesuai
kepatutan), yang demikian itu ketentuan
bagi orang-orang yang berbuat kebajikan…” Pada ayat ini jumlah (pembayaran
mut’ahnya) dipermudah dan dilapangkan, dengan syarat dibayarkan dengan
ketentuan yang patut. Kedua: Dalil yang ada perpalingan bagi qiyas zahir
yang didahului keraguan sebelum dilakukan
penelitian, namun setelah dilakukan penelitian pada hukum yang baru dan
keserupaannya dari ushul memunculkan
istihsan untuk membedakan antara bentuk ini dari dalil.
Berkata Radhiallu’anhu, istihsan
qiyas disisi kita ada dua macam, Pertama: diamalkan istihsan dan
ditinggalkan qiyas. Inilah yang merupakan hujjah syar’iy nya, sebagaimana
firman Allah QS Az-Zumar ayat 17-18: فيشرعبادى
الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه, “..Maka berikanlah kabar gembira kepada hambaku yang menuruti
perkataanku, lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya..”
Kedua berpendapat, diamalkan qiyas
karena istihsan tidak bisa dijadikan hujjah, karena istihsan mengikuti hawa
nafsu, menghendaki meninggalkan qiyas sedangkan qiyas merupakan hujjah, jika
meninggalkan qiyas itu adalah batal.Maka yang shahih adalah meninggalkan qiyas
pada suatu tempat dan beramal dengan istihsan.
F.
Penutup
1.
Kesimpulan
Istihsan dapat di jadikan sebagai dalil
syara’ karena istihsan itu bukan menetapkan hukum dengan ra’yi semata, istihsan
itu merupakan suatu cara istinbath hukum yang dapat di pertanggung jawabkan
karena di dasarkan kepada sandaran (sanad) yang kuat.
Setelah diteliti istihsan dalam fiqih
Maliki dan Hanafi maka dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya istihsan itu
merupakan salah satu upaya mujtahid untuk mencari jalan keluar dari kekuatan
kaidah umum atau qiyas terhadap suatu masalah juz’i dalam rangka mencari
ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan jiwa dan ruh syari’at, karena memang
nash tidak bisa di pahami hanya secara bahasa semata tetapi harus di pahami
dengan menggunakan logika pembuatan syariat (Al-Mantiq Al-tasyri’i) yang luas
yang memberikan kesempatan kepada mujtahid untuk merealisasikan kehendak Al syari’
semaksimal mungkin.
2. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadaribanyak terdapat kekurangan dan
kealfaaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari Pembaca
sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: