Selasa, 07 April 2015
PUASA BAGI PEKERJA BERAT
A.PENDAHULUAN
Segala pujian hanya milik Alloh Ta’ala
yang telah mensyariatkan bagi hamba-hambanya suatu ibadah yang berguna untuk
mendekatkan diri kepada Alloh. Ibadah puasa yang merupakan ibadah pokok yang
ditetapkan sebagai salah satu rukun Islam. Karena itu kita benar-benar
mengharap ibadah puasa kita diterima oleh Allah SWT, maka kita harus
menjalankan ibadah ini sesuai dengan pedoman dan tuntunan yang ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[1]
Sebagai seorang muslim tentunya kita ingin segala aktivitas yang dilakukan
tidaklah mengganggu puasa yang sedang kita jalani. Allah subhanahu wata’ala
telah memberikan keringanan untuk berbuka dari shoumnya bagi siapa saja yang
memiliki udzur syar’i. Yang menjadi permasalahan bagi kita sekarang ini adalah
apakah para pekerja berat yang menghabiskan banyak tenaganya, masih diwajibkan
berpuasa di bulan suci Ramadan! Tidakkah
puasa itu memberatkan atau mengurangi
produktivitas mereka? inilah yang menjadi pembasan dalam makalah
ini.
B.PEMBAHASAN
Puasa adalah
amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits
berikut,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ
أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ
الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ
أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ
لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan
dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali
lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan
puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan
dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa
akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan
kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi”
1.Pengertian
Ibadah Puasa
a.
Pengertian Ibadah
Ibadah merupakan perbuatan
untuk menyatakan bakti kepada Allah Swt yang didasari mengerjakan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya.[2] Ibadah
secara bahasa (etimologi) berarti “ta’at” menurut,mengikuti, tunduk yaitu
tunduk yang setinggi-tingginya dengan do’a.[3] Sedangkan
secara terminologi, para ulama fiqh memberikan definisi ibadah sebagai berikut:
Yusuf Qardhawi memberikan definisi ibadah adalah puncakperendahan diri
seseorang yang berkaitan erat dengan puncak kecintaan kepada Allah Swt.[4] Abdullah
Siddik berpendapat bahwa ibadah adalah usaha manusia yang dipersembahkan kepada
Allah SWT yang Maha Esa demi keselamatan diri manusia masing-masing di dunia
dan di akhirat dan berpokok lima. Kelima ibadah itu disebut dalam syari’at
dengan hokum Islam.[5]
Beberapa definisi
tersebut, meskipun berbeda kalimatnya, akantetapi tidak berjauhan maksudnya.
Ibadah merupakan mengabdi, tunduk,taat kepada Allah Swt. Ibadah adalah
ketundukan kepada Allah Swtdengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.Dengan demikian dapat disimpulkan pengertian ibadah adalah usaha
dan perbuatan manusia yang dilakukan untuk memperolehkeselamatan bagi dirinya
di dunia dan akhirat.
b. Pengertian Puasa
a. Pengertian puasa secara etimologi
Kata puasa yang dipergunakan
untuk menyebutkan arti dari al-Shaum dalam rukun Islam keempat ini dalam Bahasa
Arab disebut , صوم yang berarti
puasa.[6]
Dalam Bahasa Arab dan al-Qur’an puasa disebut shaum atau shiyam yang berarti
menahan diri dari sesuatu dan meninggalkan sesuatu atau mengendalikan diri.[7]
b. Pengertian
puasa secara terminology.
Pengertian puasa secara terminology (makna istilah), ialah menahan diri
dari segala yang membatalkan, sejak terbit fajar sampai terbenam matahari
dengan niat karena Allah SWT.[8]
Ulama fiqih sepakat mendefinisikan puasa dengan menahan diri dari segala
perbuatan yang membatalkan, yang dilakukan oleh orang mukallaf pada siang hari
mulai terbit fajar sampai terbenamnya
mata hari. Firman Allah Swt.:
4… (#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym
tû¨üt7oKt
ãNä3s9
äÝøsø:$#
âÙuö/F{$#
z`ÏB
ÅÝøsø:$#
ÏuqóF{$#
z`ÏB
….ôfxÿø9$#
(ßÇÊÑÐÈ
Artinya“…Dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” (Al-Baqarah:187)[9]
2. Dasar Hukum Puasa
Allah Swt. memerintahkan hambanya untuk beribadah kepada-Nya.Pada bulan
Ramadhan Allah Swt. mewajibkan pada umat-Nya yang beriman untuk menjalankan
ibadah puasa. Sebagaimana dalam firman Allah SWT. surat al-Baqarah ayat 183:
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
|=ÏGä.
ãNà6øn=tæ
ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä.
n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s%
öNä3ª=yès9
tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(Al-Baqarah:183)[10]
Pada awal ayat dipergunakan
kata-kata panggilan kepada orang orang yang beriman ( امنوا ) tentu hal ini
mempunyai maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Karena puasa itu bukan
suatu ibadah yang ringan,yakni harus menahan makan, minum, bersenggama dan
keinginan-keinginan lainnya. Sudah tentu yang dapat melaksanakan ibadah
tersebut hanyalah orang-orang yang beriman saja. Dalam hal ini Prof. Hamka
menjelaskan:“Abdillah bin Mas’ud pernah mengatakan, bahwa apabila sesuatu ayat
telah dimulai dengan panggilan kepada orang-orang yang percaya sebelum sampai
ke akhirnya kita sudah tahu bahwa ayat ini mengandung perihal yang penting ataupun suatu larangan
yang berat. [11]
Berdasarkan ayat di atas
tegas bahwa, Allah Swt. mewajibkan puasa
kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, sebagaimana Dia telah mewajibkan
kepada para pemeluk agama sebelum
mereka. Dia telah menerangkan sebab diperintahkannya
puasa dengan menerangkan sebab diperintahkannya puasa dengan menjelaskan
faedah-faedahnya yang besar dan hikmah-hikmahnya yang tinggi, yaitu
mempersiapkan jiwa orang yang berpuasa untuk mempercayai derajat yang takwa
kepada Allah Swt dengan meninggalkan keinginan-keinginan yang dibolehkan demi
mematuhi perintah-Nya dan demi mengharapkan pahala dari sisi-Nya, supaya orang
mukmin termasuk golongan orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yang menjauhi
laranganlarangan-Nya.Perintah puasa bagi umat Islam diwajibkan oleh Allah SWT.
pada bulan yang mulia yaitu bulan Ramadhan karena di bulan Ramadhan itulah diturunkan
al-Qur’an kepada umat manusia melalui Nabi besar Muhammad Saw.
3. Syarat dan Rukun puasa.
Pada ulama ahli fiqh membedakan
syarat-syarat puasa atas:
a). Syarat wajib puasa yang
meliputi:[12]
1. Berakal (‘aqli) Orang yang gila
tidak diwajibkan puasa
2. Baligh (sampai umur) Oleh karena
itu anak-anak belum wajib berpuasa
3. Kuat berpuasa , Orang yang tidak
kuat untuk berpuasa baik karena tua atau sakit yang tidak dapat diharapkan
sembuhnya, tidak diwajibkan atasnya puasa, tapi wajib bayar fidyah.
b). Syarat syah puasa yang
mencakup:[13]
1. Islam, Orang yang bukan Islam (kafir) tidak sah
puasa
2. Mumayiz (mengerti dan mampu
membedakan yang baik denganyang baik)
3.Suci
dari pada darah haid, nifas dan wiladah Wanita yang diwajibkan puasa selama mereka tidak haid.Nifas dan wiladah disamakan
dengan haid. Bedanya bila sang ibu itu menyusui anaknya ia boleh membayar
fidyah.Pada shalat, bagi orang haid lepas sama sekali kewajiban shalat,
sedangkan pada puasa tidak lepas, tetapi didenda untuk dibayar (diqadha) pada
waktu yang lain.
4.Dikerjakan dalam waktu atau hari
yang dibolehkan puasa.
c).
Rukun Puasa.
Rukun Puasa antara lain:
1.Niat. Niat adalah azam (berketatapan) di
dalam hati untuk mengerjakan puasa sebagai bentuk pelaksanaan perintah Allah
dan taqarrub (pendekatan diri) kepada-Nya.
Sabda Rasulullah :
) إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَ ى (…
“Sesungguhnya
setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan
balasan sesuai dengan niatnya”(HR Al-Bukhari) [14]
Kedudukan niat ini menjadi sangat penting
untuk puasa wajib. Karena harus sudah
diniatkan sebelum terbit fajar. Dan puasa wajib itu tidak syah bila tidak
berniat sebelum waktu fajar itu.
Sabda Rasulullah :
) مَنْ لَمْ
يُبَيِتْ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ( [رواه الخمسة]
“Barang siapa yang tidak berniat ash-shaum
di malam hari sebelum terbitnya fajar maka tidak ada shaum baginya.” [H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad][15]
2.Imsak (menahan). Imsak artinya menahan dari makan, minum, hubungan
seksual suami istri dan semua hal yang membatalkan puasa, dari sejak fajar
hingga terbenamnya matahari.
4… (#qè=ä.ur
(#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym
tû¨üt7oKt
ãNä3s9
äÝøsø:$#
âÙuö/F{$#
z`ÏB
ÅÝøsø:$#
ÏuqóF{$#
z`ÏB
….ôfxÿø9$#
(ßÇÊÑÐÈ
Artinya“…Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar…” (Al-Baqarah:187)[16]
4. Puasa Bagi Pekerja
Berat
a. Keringanan Bagi Orang yang Puasa Ramadhan.
Puasa Ramadhan diwajibkan bagi
tiap mukmin yang aqil (yang sudah dapat membedakan sendiri antara yang baik dan
buruk). Baligh (sudah dewasa dan qaddir dan sehat jasmani).Wajib dijalankan
selama hayat dikandung badan, dimanapun juga. Apabila seseorang atau sekelompok
orang-orang benar-benar tidak mampu atau sukar sekali untuk menjalankannya,
baru terbuka kelonggaran adalah mereka yang puasa itu menyiksa baginya. Kalau diperinci
orang-orang yang diberi kelonggaran adalah sebagai berikut:[17]
1). Orang sakit dan orang yang
dalam perjalanan. Golongan ini dibebaskan dan wajib puasa selama sakit atau
selama musafir. Akan tetapi mereka diwajibkan mengganti puasa sebanyak hari
yang ditinggalkannya pada hari-hari lain.
2). Perempuan dalam haid
(menstruasi), perempuan hamil dan perempuan yang menyusui anak. Tapi mereka harus mengqodho
lain-lain yang mereka tiada berpuasa atau mereka membayar fidyah, bagi kedua golongan
yang terakhir ini.
3).
Orang tua yang sudah lanjut umur tiada kuasa lagi berpuasa.
4). Orang sakit yang tidak ada harapan
lagi sembuh dari sakitnya
5).Mereka
yang bekerja berat, dan karena berat kerjanya itu tidak kuasa puasa, seperti pekerja-pekerja tombang, penarik becak,
buruh-buruh kasar di pabrik-pabrik dan di pelabuhan-pelabuhan dan sebagainya. Jadi
bukan keinginan yang Allah SWT. tetapi keadaan yang benar benar tidak
memungkinkan Dia berpuasa. Apabila terhalang mengerjakan puasa boleh tidak
berpuasa di bulan itu, untuk mengerjakannya sesudah halangan itu lenyap. Atau
mengganti puasa tersebut dengan hari-hari lain. Tetapi kalau halangan itu terus
menerus sehingga betul-betul tidak mampu mengganti hari-hari tidak berpuasa itu
dengan hari-hari lain, bolehlah ia mengganti tiap hari wajib puasa dengan
memberi sedekah makanan kepada orang miskin tiap-tiap hari sebanyak ¾ liter
beras satu dengan uang yang seharga dengan beras itu (fidyah) Puasa itu wajib
tetapi Islam tidaklah memberatkan dan menyaksikanpenganutnya, tapi untuk
mewujud jalan baginya, di dunia dan di akhirat.
Apabila suatu kewajiban yang dibebankan Islam benar-benar tidak terpikat
(sehingga benar-benar bersifat menyiksa) dengan sendirinya datang kelonggaran.
Disebutlah firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 286:
w
ß#Ïk=s3ã
ª!$#
$²¡øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr
…….3 ÇËÑÏÈ
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya (Q.S.
al-Baqarah: 286).32[18]
Pada ayat
terakhir S. Al Baqarah ialah lanjutan dan gambaran orang yang beriman bersama
Rasul itu. Dan mengandung pula sambutan Tuhan atas permohonan ampun mereka jika
terdapat kekurangan pada amal mereka. Allah berfirman: memang tidaklah ada
suatu perintah dan didatangkan oleh Tuhan yang tidak akan terpikul oleh
tiap-tiap diri. Tidak ada perintah yang berat, apalagi kalau iman telah ada.
Seumpama perintah sembahyang tidak sanggup
berdiri boleh duduk atau tidak sanggup duduk, boleh tidur. Tidak ada air
bolehlah tayamun. Puasa di dalam musafir dan sakit, boleh diganti di hari yang
lain.[19] Dengan demikian puasa itu ialah untuk
melindungi mu’min dan kejahatan bukan untuk menyiksa atau memasukkannya. Karena
itu anak juga belum diwajibkannya puasa, namun demikian ia sudah dibiasakan
sebagai persiapan dan latihan untuk ketika aqil baligh, yang nantinya puasa
sudah menjadi kebiasaannya.
b. Beberapa argumen tentang puasa bagi
pekerja berat.
1).Menurut Sayyid Rasyid Ridha dalam Al-Manar menyatakan bahwa orang tua usia dan lemah, orang yang sakit
berbulan bulan atau bertahun tahun yang
tidak dapat diharap sembuh lagi,perempuan yang sedang hamil dan perempuan yang
sedang menyusui anak,orang yang mencari penghidupan dengan bekerja
berat,apabila mereka tidak sanggup berpuasa,dan membayar fidyah. Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Abdul Fatah
menambahkan kelompok yuthiiqun ini
dengan para pekerja berat, yaitu orang yang mencari penghidupan dengan jalan
bekerja berat (buruh kasar).Contohnya, pekerja tambang, buruh pemecah batu,
penggali tanah, dan narapidana yang dihukum kerja paksa secara terus menerus.
Artinya, orang-orang yang mencari kehidupan dengan menguras tenaga sehingga
tidak kuat bekerja boleh untuk tidak berpuasa dengan membayar fidyah.[20]
Hal yang senada juga
diutarakan oleh M,Quresy Shihab,[21]
Jika anda sangat membutuhkan pekerjaan itu, dan Anda sangat merasa letih bila
berpuasa sambil bekerja, Anda tidak wajib berpuasa. Tetapi Anda wajib membayar fidyah sekitar setengah liter
beras setiap hari selama Anda tidak berpuasa.
2).Ulama Arab
Saudi dan Iran mewajibkan puasa bagi para pekerja berat. Ada pun tidak ada yang tidak
puasa karena pekerjaan. Jika pekerjaan itu berat, sebaiknya cari pekerjaan lain
yang tidak berat. Atau gunakan alat yang meringankan misalnya seorang penarik
becak, bisa menggunakan becak listrik/motor, atau pekerja bangunan bisa memakai
bor listrik, gergaji listrik, crane, dsb. Tapi Allah juga tidak mau mempersulit
ummatnya. Jadi berusahalah untuk mencari pekerjaan yg ringan, atau alat untuk
meringankan pekerjaan. Coba puasa sekuat mungkin. Jika tidak kuat, ganti puasa
di lain hari atau membayar fidyah. Sebagaimana yang terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 185:
يُرِيْدُاللهُ بِكُمُ
الْيُسْرَوَلَايُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“…Allah Menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidakmenghendaki kesukaran bagimu…”
Pekerjaan tidaklah menyebabkan bolehnya berbuka di bulan Ramadhan,
karena berbuka hanya boleh bagi orang yang sakit dan musafir, haid, hamil dan
menyusui jika keduanya (hamil dan menyusui, -pent) takut kepada dirinya
(mudharat) atau terhadap anaknya.
Adapun pekerjaan maka hal tersebut tidak menyebabkan bolehnya berbuka.
Orang yang bekerja tetap bekerja dan berpuasa. Jika dia tidak kuat untuk
bekerja dalam keadaan berpuasa maka dia tinggalkan pekerjaan tersebut dan
mencari pekerjaan yang lain yang bisa dia kerjakan sambil berpuasa. Dan
pekerjaan itu banyak. Orang yang bekerja tidak boleh berbuka karena dia mukim,
tidak safar, dan juga dia sehat tidak sakit, dan dia tidak mempunyai udzur dari
udzur-udzur yang disyariatkan yang diberi keringanan bagi orang yang berpuasa
untuk berbuka. Maka wajib bagi dia untuk bekerja dan berpuasa dan wajib bagi
dia untuk mencari pekerjaan yang tidak bertentangan dengan puasanya .
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberikan jalan keluar
dan memberi rizki padanya dari arah yang dia tidak sangka-sangka. Dan kaum
muslimin tetap berpuasa semenjak Allah wajibkan puasa, mereka bekerja dan
berpuasa, mereka tidak meninggalkan puasa karena pekerjaan walaupun diketahui
mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat dan sangat melelahkan, walaupun
demikian tidak dikenal dalam sejarah Islam atau dari Salafus Shalih bahwasanya
mereka berbuka karena pekerjaan sementara mereka sedang mukim dan sehat. [22]
Fatwa
Fadhilatus Syaikh Muhammad ibnu Shalih ‘Utsaimin nomor 395[23] Ia berpendapat dalam permasalahan ini
adalah tidak berpuasanya dia dengan alasan pekerjaan adalah sesuatu yang
diharamkan dan tidak diperbolehkan. Jika tidak memungkinkan baginya untuk menggabungkan
antara pekerjaan dan puasa (berpuasa sambil bekerja). Maka hendaknya dia
meminta cuti selama bulan Ramadhan, sebab puasa Ramadhan salah satu rukun dari
rukun-rukun Islam yang tidak boleh dilalaikan.
3).Imam Abu Bakar Al-Ajiri
mengatakan bahwa jika ia mengkhawatirkan kondisinya karena pekerjaan berat yang
ia lakukan maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadha’nya. Namun,
mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib berpuasa dan jika ternyata
ditengah hari dia tidak mampu lagi melanjutkan puasanya, barulah ia
membatalkannya dan wajib mengqadha’ nya. Sebagaimana firman Allah:
. “ dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” .” [Surat Annisa 29]
Jika memang dalam kondisi
yang membahayakan jiwanya, maka kepada mereka diberi keringanan untuk berbuka
puasa dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Tetapi mereka harus berniat
dahulu untuk puasa serta makan sahur seperti biasanya. Pada siang hari bila
ternyata masih kuat untuk meneruskan puasa, wajib untuk meneruskan puasa.
Sedangkan bila tidak kuat dalam arti yang sesungguhnya, maka boleh berbuka.
Namun wajib menngganti di hari lain serta tetap menjaga kehormatan bulan puasa
dengan tidak makan di tempat umum.
Ibnu Hajar al-Haitami Mengatakan,”Dibolehkan
meninggalkan puasa bagi pekerja berat seperti,tukang tuai padi atau kuli
bangunan,baik untuk dirinya atau untuk orang lain,baik untuk ia kerjakan itu dengan member
bantuan,ataupuan dengan jalan menerima upah,jika tidak diselesaikandalam bulan
puasa,ia memperoleh kerugian.mereka harus mengqadhanya. [25]
C: . KESIMPULAN
Dari
pemakaran pemakalah diatas dapat kami ambil kesmpulan:
Para Fuqoha’ (ahli fikih)
memperbolehkan meninggalkan puasa bagi para pekerja keras yang terpaksa harus
bekerja di siang hari Ramadhan demi mencukupi kebutuhannya serta keluarganya. Dengan
ketentuan dimalam hari ia harus berniat dahulu untuk puasa serta makan sahur seperti biasanya, Namun ia harus (wajib) mengqadha’
puasa yang ditinggalkannya di lain hari, setelah terlepas dari kesibukan yang
melelahkan demikian itu. Apabila ia tidak menemukan hari luang hingga ia
meninggal dunia, maka ia tidak terkena hukum wajib qodha’ dan juga tidak
terkena hukum wajib memberi wasiat bayar fidyah. Apabila ia yakin atau mempunyai prediksi yang
sangat kuat, bahwa ia tidak akan punya kesempatan untuk mengqadha’ puasa di
lain hari, maka ia dihukumi sebagaimana orang tua renta (boleh meninggalkan
puasa dan harus mengganti setiap harinya 1/2 sha’ bahan makan atau nilai
tukarnya [membayar fidyah).
Catatan:
satu sha’ = 4 (empat) mud. 1 (satu) mud = 675 gram atau 688 liter (pen). Lihat
Glosari Zakat
DAFTAR PUSTAKA
1. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Jakarta: CV Haji Masangung,1994.
2. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai
Pustaka, 1997
3.
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah
Ibadah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
4. Yusuf
Qardhawi, Konsep Kaidah dalam Islam, Surabaya: Central Media, 1993.
5. H.
Abdillah Siddik, SH., Azas-azas Hukum Islam, Jakarta: Wijaya, 1982
6. K.H.Adib Bisri
dan K.H. Munawar Al-Fatah, Kamus Indonesia Arab, Arab
Indonesia, Surabaya: Pusaka Progesifme, 1999
7. Muhammad
Daud Ali, S.H., Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998
8. Sulaiman Rasid Fiqih Islam ,Bandung.PT Sinar Baru Algensindo,1994
9. Departemen Agama RI, Al-Qur’an
terjemah perkata,Yayasan Penyeleng gara
Penerjemah /Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran , Bandung:PT. Syaa mil cipta
madya, 2007
10 .Hamka,
Tafsir al-Azhar, Jilid II, Jakarta: PT. Pustaka, Panji Mas, 1994
Team penyusun
texk book ilmu fiqih I, Ilmu Fiqih, Jilid I Jakarta: Proyekpembinaan prasaran
dan sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1983
11. TM.
Hasby Ash-Shuddiqie, Pedoman Puasa,
Semarang: PT. Pustaka RizkiPutra, 1997
12.Muhammad Zuhri,Terjemah Hadits Shahih Bukhari I Semarang,PT,Karya
Toha Putra Semarang,2007
13. Abu
Daud Kitabush Shiyaam, bab 71, hadits no. 2454, Shohih Sunan Abi Daud hadits
no. 2454
14. Nazaruddin
Razak, Dienul Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid. IV,Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve
16. (Fatwa
Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hal 137/no, 210)
17. Majalah An-Nashihah vol. 07 / 1425
H, hlm 11 & 12
Balai
Pustaka, 1997), hlm. 364.
[15]
. Abu Daud
Kitabush Shiyaam, bab 71, hadits no. 2454, Shohih Sunan Abi Daud hadits no.
2454 .Hadits ini masih diperbincangkan di kalangan ‘ulama dalam hal marfu’ atau
mauqufnya. Al-Imam Al Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, Abu Hatim,
dan Al-Baihaqi menguatkan bahwa hadits ini adalah mauquf serta Asy-Syaikh
Muqbil bin hadi Al Wadi’I dalam kitabnya Ijabatus Sa’il hal.175 soal no. 102
menyatakan :”…hadist ini adalah Muthorib sehingga tidak bisa dijadikan sebagi
hujah. Sedangkan Al-Hakim, Ibnu Hazm, Abdul Haq, Ibnul Jauzi, dan As-syaukani
menguatkan bahwa hadits ini adalah marfu’serta di shohihkan oleh Asy-Syaikh Al
Albani dalam kiabnya .Al Irwa’ jilid 4 hal. 25-30 hadist no. 914 - 915.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: