Sabtu, 11 April 2015
HUKUM KELUARGA DI TUNISIA
A.
PENDAHULUAN
Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang
dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan
Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah
muslim Sunni,[1] negara yang terletak
di Afrika Utara, sebelah barat berbatasan dengan Mediterania dan selatan Libya.
Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk daerah timur, sementara di bagian
tenggara termasuk kepulauan Djerba.[2] Negara
yang memiliki luas wilayah 163.610 km2
memperoleh kemerdekaan pada tahun 1956, dengan presiden pertama
Habib Bourguiba, yang membawahi 23 Provinsi. Sebelumnya Tunisia merupakan
wilayah otonom dari pemerintahan Turki Usmani dan pada tahun 1883 menjadi
negara persemakmuran Perancis berdasarkan perjanjian La Marsa.[3]
Pada Tanggal 20 Maret 1956, pemerintah Perancis secara resmi mengakui
kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama Presiden Habib Bourgubia mengeluarkan
aturan-aturan kontroversial yang dinamakan personal status code untuk menggantikan
hukum al-Quran dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadanah. Aturan-aturan baru ini tidak hanya menentang beberapa
praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu
yang tidak pernah dilakukan bangsa Perancis.[4]
Berdasarkan konstitusi Tunisia, Islam adalah agama resmi negara. Sedangkan
mazhab Maliki mempunyai pengaruh yang sangat dominan di negara tersebut. Latar belakang
negara Tunisia memberi gambaran kepada kita setidaknya di Tunisia pernah pula
berlaku hukum Islam (fiqh) berdasarkan mazhab Hanafi, sebagai pengaruh yang
dibawa oleh pemerintah dinasti Usmani.[5]
Demikian paparan singkat tentang negara Tunisia berdasarkan sejarahnya,
makalah ini bermaksud memberikan gambaran singkat tentang hukum keluarga di Tunisia
baik dari segi sejarah lahirnya Undang-Undang, isi Undang-Undang serta beberapa
kali amandemen dari Undang-Undang tersebut.
B. PEMBAHASAN
1. Pembentukan Hukum Keluarga di
Tunisia
Pada tahun
1956 setelah Tunisia memperoleh kemerdekaannya, melalui Presiden Habib Bourgubia[6]
negara tersebut mengeluarkan aturan-aturan yang kontroversial yang dikenal
dengan “The Tunisian Code of Personal
Status” untuk menggantikan hukum al Qur’an dalam bidang perkawinan,
perceraian dan hadanah. Aturan-aturan
baru ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan
menyatakan konfrontasi dengannya.[7]
Sejarah
lahirnya kodifikasi dan reformasi hukum keluarga Tunisia tersebut berawal dari
adanya pemikiran dari sejumlah ahli hukum terkemuka Tunisia yang berfikir bahwa
dengan melakukan fusi terhadap mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, sebuah
ketentuan hukum baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan
situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan Tunisia. Sejumlah ahli hukum Tunisia
kemudian mengajukan catatan perbandingan antara dua system hukum Hanafi dan
Maliki yang kemudian dipublikasikan dengan judul Laihat Majjalat al-Ahkam alsyar’iyyah (Draft Undang-undang Hukum
Islam). Pada akhirnya pemerintah Tunisia membentuk sebuah komite di bawah
pengawasan Syeikh Islam Muhammad Ja’it untuk merancang undang-undang secara
resmi.[8]
Komite
tersebut kemudian merancang dan mengajukan rancangan Undang-undang Hukum
Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut bersumber dari Laihat Majjalat al-Ahkam alsyar’iyyah,
selain itu juga bersumber dari Hukum Keluarga Mesir, Jordania, Syria dan Turki
Utsmani. Setelah disetujui pemerintah rancangan tersebut akhirnya diundangkan
pada tanggal 1 Januari 1957 dengan nama Majjalah
al Ahwal al Syakhsiyyah (Code of Personal Status) 1956 yang berisikan 170
pasal. Undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan
dengan ketentuan-ketentuan baru.[9]
Setelah diamandemen tahun 1966 The Tunisian Code of
Personal Status berisi 213 pasal yang meliputi : perkawinan (pasal 10-28),
perceraian (29-33), idda (34-36), nafkah (37-53A), pemeliharaan anak (54-67),
perwalian (68-76), anak terlantar (77-80), orang hilang (81-84), kewarisan
(85-152), cakap hukum (153-170), wasiat (171-199), dan hibah (200-213).[10]
Pada tahun 1981 ditetapkan sebuah undang-undang
baru yang merupakan modifikasi dari undang-undang keluarga tahun 1956. Undang-undang
tahun 1981 ini berdasarkan rekomendasi dari komite yang terdiri dari ahli
hukum, yaitu pengacara, hakim, dan pengajar hukum yang diketuai oleh menteri
hukum. Proposal komite ini berdasarkan pada interpretasi bebas terhadap hukum
syari’ah yang berhubungan dengan hak-hak keluarga.[11]
2. Hukum Pernikahan dan Perceraian
a.
Usia pernikahan
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan pernikahan
jika telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal
5 Undang-Undang 1956,[12] sebelum
dirubah, ketentuan usia nikah adalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi
laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia
20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan, bagi wanita yang berusia 17
harus mendapat izin dari walinya. Jika wali tidak memberikan izin, perkara
tersebut dapat diputuskan di pengadilan.[13]
Pada tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah menjadi Usia minimum pernikahan adalah 20 untuk pria dan 17 untuk wanita[14]. Pernikahan di bawah usia ini membutuhkan izin khusus dari pengadilan[15], yang dapat
diberikan hanya untuk alasan mendesak dan atas dasar dari kepentingan yang
jelas atau manfaat yang akan direalisasikan oleh kedua pasangan dengan
pernikahan. Pernikahan di bawah umur memerlukan persetujuan dari wali, jika
wali menolak memberikan izin padahal kedua belah pihak berhasrat melakukan
pernikahan, perkara tersebut dapat dipurtuskan di pengadilan. Ketentuan ini
merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh
mazhab Maliki, sebab di dalam kitab fiqh Maliki tidak ada batasan mengenai usia
penikahan.[16]
b. Poligami
Dalam pasal 18 Undang-Undang hukum
keluarga di tunisia menyatakan:
1. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan
pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman
penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
2. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat
pada UU No. 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan
kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan
dikenakan hukuman yang sama.
3. Siapa
yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, menurut
ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.[17]
Undang-Undang
di atas secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon
mempunyai landasan hukum pada ayat Alquran,
yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri jika
dia yakin tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya yaitu dalam surat an-Nisa
ayat 3:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. an-Nisa
[4] : 3).
Ayat di atas telah dibatasi oleh ayat al-Qur’an
itu sendiri yaitu:
`s9ur (#þqãèÏÜtFó¡n@ br& (#qä9Ï÷ès? tû÷üt/ Ïä!$|¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( xsù (#qè=ÏJs? ¨@à2 È@øyJø9$# $ydrâxtGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊËÒÈ
Artinya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An-Nisa’:129).
Dengan demikian, idealnya al-Quran
adalah monogami, lebih dari itu syarat yang diajukan supaya suami berlaku adil
terhapad istri-istrinya, hal seperti ini adalah suatu kondisi yang sangat
sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealilasi sepenuhnya.[18]
Ada dua alasan
yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: Pertama,
bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa
transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat
berbudaya; dan Kedua, bahwa syarat
mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara
fakta sejarah membuktikan hanya Nabi SAW. yang mampu berlaku adil terhadap
istri-istrinya.[19]
c.
Perjanjian perkawinan.
Undang-Undang
tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart (perjanjian perkawinan).
Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang di rugikan atas pelanggaran
perjanjian tersebut dapat mengajukan tuntutan pembubaran perkawinan. Perjanjian
tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi jika hal tersebut terjadisebelum
perkawinan terlaksana secara sempurna.[20]
d.
Pernikahan yang tidak sah
Pernikahan yang dipandang tidak sah menurut Undang-Undang hukum keluarga di
tunisia adalah:
1.
Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar
perkawinan (pasal 21)
2.
Perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak
suami atau istri (pasal 3).
3.
Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau
terdapat halangan hukum yang lain (pasal 5).
4.
Perkawinan yang di dalamnya terdapat alangan untuk
melangsungkan perkawinan (pasal 15-17).
5.
Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah
(pasal 20).
Pernikahan
seperti di atas dapat segera dianulir. Akibat hukum yang lahir, jika perkawinan
memang telah berlangsung sempurna (ba’da
ad dukhul), adalah bahwa istri berhak atas mahar dan kewajiban menjalani
masa iddah. Sedangkan apabila perceraian terjadi sebelum dukhul, istri berhak terhadap mahar. Anak yang lahir dapat
disandarkan nasabnya kepada suami, akan tetapi tidak berhubungan dengan harta
warisan antara dua pihak tersebut.[21]
e.
Perceraian
Perceraian
adalah hal yang ketat dalam hukum di tunisia, perceraian yang di jatuhkan
secara sepihak tidak tidak berdampak jatuhnya talak, perceraian yang sah dan
efektif hanya diputuskan di pengadilan.
Pengadilan dapat memberikan perceraian berdasarkan 1) kesepakatan dari
pasangan 2) petisi dari salah satu pasangan dengan alasan cedera yang
disebabkan oleh yang lain. Pengadilan juga dapat memutuskan perceraian
apabila salah satu pihak bermaksud bercerai, dengan konsekuensi bahwa pihak
yang mengajukan gugatan perceraian wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang
lain. Keputusan perceraian hanya di berikan apabila upaya perdamaian pasangan
suami istri tersebut gagal.[22]
f.
Talak tiga.
Pasal 19 UU
1954 tunisia menyatakan bahwa seorang pria dilarang merujuk bekas istri yang
telah di talak tiga (talak bain kubro).
Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang bersifat
permanen untuk pernikahan.[23]
g.
Nafkah bagi isteri.
Undang-undang hukum keluarga tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab
maliki dalam hal hak istri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Hal ini
secara rinci di atur dalam pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa
isteri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya
hidup dengan untuk diminta ganti dari suami. Adapun besarnya jumlah nafkah
tergantung kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar pada
saat itu (pasal 52).
Fiqih mazhab
maliki yang banyak menjadi sumber rumusan unddang-udang tunisia menyatakan
bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah baliq. Pandangan ini berbeda dengan pendapat
Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i yang tidak mensyaratkan suami
harus baliq.[24]
h.
Pemeliharaan anak.
Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan kewajiban orang
tua dan para wali terhadap pemeliharaan anak. Ketentuan tentang pemeliharaan
anak secara umum bersumber dari prinsip-prinsip mazhab maliki, dalam fiqh
mazhab maliki dinyatakan bahwa jika seorang laki-laki mentalaq istrinya,
pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu lebih besar kasih
sayangnya dan memahami kemaslahatan dan kebutuhan anak dari pada ayah atau
keluarga yang lain.[25]
Formulasi fiqh juga menyatakan bahwa hak hadanah menjadi terputus apabila ibu
melangsungkan pernikahan, sebab ada prediksi bahwa ibu akan lalai dalam
mengasuh anak, yang mengakibatkan anaktidak dapat hidup dengan tenang dan
sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke nenek
dari garis ibu asalkan kakek merupakan kakek secara langsung dari abak
tersebut.[26]
Pada pasal 67
yang telah diamandemen pada tahun 1981, menyatakan bahwa jika orang tua yang
berhak mengasuh anak mkan kedua orangeninggal dunia sedangkan sebelumnya
perkawinan telah bubar, hak hadanah tersebut berpindah kepada orang tua yang
masih hidup. Sedangkan apabila pernikahan bubar sedangkan kedua belak pihak
masih hidup, hak pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu pihak atau
boleh tiga diserahkan kepada pihak ketiga. Selanjutnya, pengadilan dapat
memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan memperhatikan sepenuhnya kepada
kondisi anak yang bersangkutan (pasal 67). Sedangkn dalam fiqh dinyatakan bahwa
berakhirnya hadanah adalah jika anak laki-laki sudah mencapai usia baliq dan
anak perempuan sudah menikah. Hal ini berbeda dengan pendapat mazhab syafi’i
yang menyatakan bahwa anak perempuan putus atau berakhir masa hadanahnya ketika
ia sudah baliq.[27]
3. Hukum Waris.
Berkaitan
dengan masalah warisan, di Tunisia secara umum hanya melakukan kodifikasi
terhadap ketentuan-ketentuan hukum mazhab Maliki. Akan tetapi ada beberapa hal
terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Malik, yaitu dengan mendasarkan pada
pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab lain. Sebagai contoh adalah pasal 88
yang menyatakan bahwa seorang ahli waris yang dengan sengaja menyebabkan
kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama atau hanya pendukung saja, atau
mengungkapkan kesaksian palsu terhadap kematian pewaris, orang tersebut tidak
berhak mendapat warisan dari armarhum.
4. Hukum Wasiat
a. Perbedaan agama dan kewarganegaraan.
Diantara
ketentuan hukum wasiat yang menonjol adalah perihal sahnya wasiat antara dua
pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah wasiat yang dilakukan
para pihak yang berkewarganegaraan berbeda (pasal 174-175). Sedangkan bukti
terjadinya wasiat harus berupa bukti tertulis yang bertanggal dan
ditandatangani pihak yang berwasiat, sehingga bukti oral dipandang tidak cukup
sebagai alat bukti (pasal 176).
b. Wasiat wajibah.
Ketentuan
mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan oleh UU waris Mesir pada tahun 1946
dengan membuat ketentuan hukum perihal kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang
yatim dari pewaris. Hal ini kemudian diikutinoleh Syiria dan Tunisia. Dalam
Undang-Undang Tunisia, ketentuan tentang wasiat wajibah hanya diperuntukkan
bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun perempuan (pasal
192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar
dari bagian cucu perempuan.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Proses perumusan dan penataan kembali hukum keluarga
di tunisia yang disebut dengan nama Majjalah al Ahwal al Syakhsiyyah (Code of Personal Status) 1956
yang berisikan 170 pasal. Tidak hanya sekedar upaya membukukan fiqh mazhab
Maliki, tetapi juga melakukan langkah-langkah yang sangat progresif dalam upaya
melakukan pembuatan Undang-Undang dan pengaturannya dalam bidang hukum
keluarga. Undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan
dengan ketentuan-ketentuan baru. Setelah diamandemen tahun 1966 The Tunisian
Code of Personal Status berisi 213 pasal yang meliputi : perkawinan (pasal
10-28), perceraian (29-33), idda (34-36), nafkah (37-53A), pemeliharaan anak
(54-67), perwalian (68-76), anak terlantar (77-80), orang hilang (81-84),
kewarisan (85-152), cakap hukum (153-170), wasiat (171-199), dan hibah
(200-213).
Reformasi hukum yang dilakukan pemerintah Tunisia, dalam
persoalan-persoalan hukum keluarga tidaklah bermaksud melakukan penyimpangan
dan meninggalkan prinsip-prinsip hukum Islam, akan tetapi lebih disebabkan
keinginan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan kemashlahatan
bangsa dan rakyat Tunisia itu sendiri.
[1] Larry A.. Barry,
“Tunisia” dalam Reeva S. Simon, Philip Mattar, Richard W. Bulliet (Ed.s). 1796.
[2]
Larry A. Barry, “Tunisia” dalam reeve S. Simon Dkk. (ed), encycplopedy Of Modern Middle East, (New York: Simon And Schuster
Macmillan, 1996), Iv: 1794
[3] John
P. Entelis, “Tunisia” dalam John L. Esposito dkk. (ed) The Oxport Encyclopedia Of The Modern Word, (New York: Oxford
University Press, 1995), Iv Hlm 236
[4] Ibid.
[6] Habib Bourgubia (1903-2000) adalah Presiden pertama
Republik Tunisia yang berkuasa pada tahun 1957 sampai tahun 1987, lulusan dari
University of Paris. Lihat http :/ tps.dpi.state.uc.us / connect Africa/
Tunisia/ default.html. Lilik Andaryuni,
Radd dalam Hukum Kewarisan……
[7] John L. Esposito (ed), The
Oxford Encyclopedia of TheMuslim World, (New York : Oxford University Press,
1995), IV : 236
[8] Atho Muzdhor dan Khaoiruddin Nasution, Hukum Keluarga …,h. 86. Tahir
Mahmod, Personal Law…,h.152
[9] Perubahan tersebut adalah UU No. 70 tahun 1958 dengan perubahan pada pasal
18 tentang poligami, UU No. 77 tahun 1969, pasal yang dirubah adalah pasal 143
A tentang radd, buku IX tentang kewarisan, buku XI tentang wasiat, UU No. 41 tahun
1961, pasal yang dirubah adalah pasal 32 tentang perceraian, UU no. 17 tahun 1964
yang dirubah adalah buku XII tentang hibah, dan terakhir UU No. 49 tahun 1966,
adapun pasal yang dirubah adalah pasal 57, 64, dan pasal 67 tentang pemeliharaan
anak. Lihat Tahir Mahmod, Personal Law.., h.152-4
[11] Ibid
[12]
Perubahan ini terjadi pada tahun 1964 memalui UU No.1/1964.
[13]
Pasal 5 UU 1956.
[14]
Pasal 5 (2) UU1956 yang telah dirubah melalui UU no. 7 tahun1981
[15]
Pasal 5 (3).
[16] M.
Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum
Keluarga Di Dunia.... Hlm. 88
[18]
John l. Esposito, Women In Muslim Law,
(New York: Syracus University Press, 1982) Hlm.92.
[20]
Pasal 11
[21] Ibid, hlm 101
[22]
Pasal 30-32
[23]
Tahir Mahmud, Family Law Reform In The
Muslim Word, (Bombay, Np tripathi, 1972). Hlm. 102.
[24]
Al-Bagdadi, Alma’unah Ala Mazhab Alim
Al-Madinah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1995) II Hlm. 782
[25] Ibid
[26] Ibid hlm. 940
[27] Ibid. Hlm 941
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Assalamualaikum pak, apakah bapak mempunyai soft copy uu tunisia tsb? Kebetulan penelitian skripsi saya tentang poligami yg dilarang di tunisia tp saya terkendala dlm pencarian uu nya:(
BalasHapusbanyak di google tentang UU tsb di Tunisia, cari di google pakai bahasa Inggris
Hapus