Rabu, 08 April 2015
POLIGAMI
A.
PENDAHULUAN
Belakangan
ini istilah poligami menjadi suatu hal yang sudah tidak asing lagi untuk
diperdengarkan, banyak dikalangan masyarakat dan para tokoh terkenal di
Indonesia yang juga melakukan poligami. Poligami dilakukan oleh orang yang
sudah terikat dalam suatu pernikahan. Pernikahan merupakan ikatan antara dua
insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga,
pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan, diakui sah oleh Negara dan
agama. Sedangkan Poligami ialah suatu system pernikahan dimana salah satu pihak
(suami) mengawini lebih dari satu istri pada waktu bersamaan, artinya
istri-istri tersebut masih dalam tanggungan suami tidak diceraikan tetapi masih
sah menjadi istrinya. Hal ini tentu menjadi pro kontra dikalangan masyarakat bangsa
Indonesia.
Dalam
kondisi tertentu poligami diperbolehkan bagi seseorang, namun dengan ketentuan
syarat yang berlaku. Dalam kesempatan ini kami akan mencoba memaparkan tentang
poligami, baik dari pendapat para ulama, dari
segi hukum Indonesia dan dari segi agama. Setiap apapun perbuatan pasti
memiliki dampak bagi pelakunya, begitupun dengan poligami. Poligami membawa
dampak tersendiri bagi orang yang berpoligami baik positif maupun negatif.
B. PEMBAHASAN.
1. Pengertian Poligami.
Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu dari kata polus yang
berarti banyak dan gamos yang berarti
perkawinan. Jika pengertian tersebut digabung maka poligami mempunyai arti : Suatu
perkawinan yang banyak atau lebih dari satu orang. Sistem perkawinan yang
banyak atau seorang lelaki mempunyai istri lebih dari satu orang dan
sebaliknya, seorang perempuan mempunyai beberapa orang suami dalam waktu yang
bersamaan pada dasarnya disebut poligami.[1] Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah ikatan
perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya
dalam waktu yang bersamaan atau poligami adalah adat seorang laki-laki beristri
lebih dari seorang perempuan.[2]
Para ahli untuk membedakan mana yang mempunyai
pasangan banyak, dari pihak lelaki atau dari pihak wanita, maka dibuatlah
istilah yang berbeda. Untuk lelaki yang berpasangan wanita lebih dari satu
dengan istilah poligami. Sebaliknya jika yang banyak punya pasangan pihak
wanita maka disebut poliandri.[3]
Menurut syariat Islam, poligami atau ta’addud al-zaujaj diartikan sebagai
satu tindakan membolehkan untuk mengawini perempuan yang disenangi, dua, tiga,
atau empat dengan syarat dapat berlaku adil terhadap mereka.[4]
2. Poligami Sebelum Islam
Tidak bisa dipungkiri, bahwa jauh sebelum kedatangan
Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam, umat terdahulu telah memperaktikkan
sistem poligami[5]. Sebagaimana saya sebutkan
dimuka, untuk mempertegas kembali bahwa cukup banyak fakta sejarah membuktikan.
Hal ini diakui oleh Musthafa al-Sibai seperti dikatakannya : “Poligami itu
sudah ada dikalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba,….pada bangsa
Yunani, Cina, India, Babylonia, Mesir dan lain-lain”. Dan ditambahkanya : “Poligami
dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami;
bahkan seorang raja Cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga puluh
ribu) orang”.[6]
Poligami dilakukan orang-orang perkasa atau memiliki kekuasaan, seperti
para raja atau para panglima perang. Tradisi poligami kala itu dijadikan bentuk
keperkasaanya seseorang.[7]
Dikalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, bentuk
perkawinan poligami lazim dilaksanakan, bahkan menurut mereka, Injil sendiri
tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang
laki-laki begitu juga jumlah gundiknya. Dan dikalangan bangsa Persia, Agama
memberikan penghargaan kepada orang yang mempunyai istri banyak.[8]Agama
Kristen tidak melarang adanya praktik poligami, sebab tidak ada satu keterangan
yang jelas dalam injil tentang landasan perkawinan monogami atau landasan
melarang poligami.[9]
Namun dalam Injil Matius pasal 10
ayat 10-12 dan juga Injil Lukas pasal 16 ayat 18, diterangkan bahwa Isa
Al-Masih pernah berkata: “barang siapa menceraikan istrinya dan lalu menikah
dengan wanita lain, maka hukumnya dia berzina dengan wanita itu. Demikian juga
kalau seorang wanita menceraikan suaminya dan menikah dengan lelaki lain, maka
hukumnya dia berzina dengan lelaki itu. (Matius: 10 : 10-12). Namun dalam
pelaksanaannya hanya golongan Kristen katholik saja yang tidak membolehkan
pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Untuk aliran orthodoks dan
protestan atau Gereja Masehi injil membolehkan seorang kristen untuk
menceraikan istrinya dengan syarat-syarat yang ditentukan pula.
Tidak ada Dewan Gereja pada awal
Kristen yang menentang Poligami. St. Agustine secara jelas justru menyatakan
bahwa dia tidak mengutuk poligami. Martin Luther mempunyai sifat yang toleran
dan menyetujui status poligami Philip dan Hasse. Tahun 1531 kaum Anababtis[10]
mendakwahkan poligami. Hingga saat ini beberapa uskup di Afrika masih mendukung
praktik itu dengan berpijak pada dasar modal dan beberapa pertimbangan lain.[11]
Dari pemaparan diatas. Tampak jelas
bahwa praktek poligami sudah terjadi jauh sebelum Islam datang, dan masih
dipraktekkan hingga saat ini. Yang kedua poligami sebelum Islam dipraktekkan
tanpa ada batasan yang jelas, atau tanpa batas. Ketiga baik orang Yahudi
ataupun Kristen melakukan praktek poligami, karena tidak ada larangan atau
anjuran yang jelas dari Kitab Injil. Adapun larangan Al-Masih terhadap
penceraian baik yang dilakukan pihak lelaki ataupun perempuan kemudian menikah
dengan yang lain temasuk melakukan perzinaan, lalu bagaimana dengan yang
tidak bercerai kemudian melakukan poligami.
Jadi pelaksanaan poligami sesuai
fakta sejarah telah terjadi jauh sebelum Islam hadir ditengah-tengah genarasi
awal Islam hingga generasi sekarang. Maka terasa aneh, apa yang telah ditulis
oleh Will Durant dalam bukunya :” The Story of Civilization” di abad
pertengahan, para teolog berpendapat melalui propaganda yang dilancarkan
terhadap Islam, ialah Muhammad-lah yang pertama kali memperkenalkan poligami di
dunia, dan fondasi Islam terletak pada poligami. Ditegaskan bahwa penyebab
pesatnya penyebaran agama Islam dikalangan berbagai bangsa dan rakyat dunia
ialah dihalalkanya poligami; sementara penyebab utama kemunduran dunia timur
adalah juga poligami.[12]
Dari lontaran pendapat para teolog
diatas sungguh tidak mendasar, Bahwa sebelum Rosulullah Muhammad saw melakukan
poligami, penduduk disekitar Makkah ataupun Madinah sudah banyak melakukan
poligami. Yang kedua Islam menyebar dengan pesat karena dakwah yang disampaikan
penuh hikmah (yang berlandaskan pada wahyu) dan mauidhoh hasanah (dengan
ungkapan dan penyampaian yang santun).[13]
3. Penafsiran Ayat-Ayat Poligami
Setelah kita
membahas poligami, dari tinjauan Historis, baik yang terjadi sebelum Islam
datang ataupun setelah Islam datang, maka perlu kita membahas ayat-ayat
poligami dan pandangan para mufassir dan feminis dalam menafsirkan ayat
poligami yaitu surat an-Nisa’ ayat : 3 sebagai berikut :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès?
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (an-Nisa’: 3)
Sebelum menginjak pada tafsir ayat
diatas perlu kita melihat asbabun nuzul
ayat ini lebih dahulu. Dalam pangkal ayat ini terdapat lanjutan tentang
memelihara anak yatim dan juga Allah mengizinkan untuk beristri lebih dari
satu, yaitu sampai dengan empat. Untuk mengetahui duduk
persoalan, lebih baik diterangkan riwayat Aisyah istri Rosulullah, tentang
sebab turunya ayat ini, karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair, anak Asma
kakak Aisyah, yang sering bertanya kepadanya tentang masalah agama yang
musykil. Urwah bertanya bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri lebih
dari satu sampai empat, dengan alasan memelihara hak anak yatim. Aisyah
menjawab : ” Wahai kemenakanku! Ayat ini
mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, dan telah tercampur
harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik pada harta dan kecantikan
anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secara
adil, sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain. Oleh karena
niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu,
kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lain.
Daripada melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dianjurkan lebih baik menikah
dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat”[14]
a. Ulama Tafsir
Ulama Tafsir
memahami dan menafsirkan ayat di atas sebagaimana berikut ini. Imam Ath-Thabari
memahami ayat di atas dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada
dalam asuhan walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri
mereka. Dia menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap
anak yatim dan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini.
Lebih lanjut menurut Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat
adil terhadap anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini
perempuan-perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun “jika
khawatir” tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang
istri saja. Jika masih juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap
satu istri, maka janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah
budak-budak yang kamu miliki, karena mereka itu adalah milikmu dan merupakan
hartamu (para budak tidak menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan
merdeka). Yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan
penyelewengan terhadap perempuan.[15]
Dari penafsiran
Imam ath-Thabari diatas, sangat jelas beliau menekankan untuk berlaku adil bagi
kaum lelaki baik terhadap hak-hak anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan
yang dia kawini. Jadi, bukan berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami
sampai empat orang istri dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat
tersebut tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh
setiap laki-laki.[16]
Adapun syarat-syaratnya, sebagaimana disebuatkan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah
dalam kitabnya “Pembebasan Wanita” sebagai berikut :
1. Tidak
lebih dari 4 (empat) istri, sebagaimana al-Qur’an 4:3.
2. Mampu
memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi
tanggunganya.
3. Mampu
memeliara istri-istri dan nanak-anaknya dengan baik.
4. Dapat
berbuat adil.[17]
Berbeda dengan Ath-Thabari, ar-Razi menambahkan bahwa firman Allah : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا (jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil) sebagai syarat,
dan فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ (maka
nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi) sebagai suatu kebolehan.
Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang bagaimana sebenarnya
hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan yang disukai (beristri
sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut di atas.[18]
Menurut ar-Razi, untuk menjawab pertanyaan tersebut, dikalangan para mufassir
ada empat alasan :
1. Karena
adanya wali yang tertarik kepada kecantikan dan harta anak yatim perempuan dan
bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar mahar. Sebagaimana disebutkan
dalam riwayat berikut ini.
”Bahwa Urwah bin Zubair telah
bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah), apa maksud firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى Aisyah
menjawab: ” wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan yang ada
dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan pada kecantikan anak itu.
Maka bermaksudlah dia untuk menikahinya dengan memberi mahar yang paling
rendah, kemudian ia menggaulinya dengan cara yang tidak baik. “Oleh karena itu,
Allah berfirman, jika kamu khawatir akan menganiaya terhadap anak-anak yatim
ketika kamu menikahi mereka, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu
suka. Aisyah meneruskan pembicaraanya: “Kemudian ada orang meminta fatwa kepada
Rosulullah tentang perempuan-perempuan itu sesudah ayat ini turun.
Selanjutnya turunlah ayat (surat an-Nisa’ juga ayat 127). Mereka meminta
fatwa kepadamu tentang perempuan-perempuan. Katakanlah : Allah akan
memberi keterangan kepadamu di dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim
perempuan yang kamu tidak mau memberikan apa yang diwajibkan untuk mereka,
padahal kamu menikahinya. Kata Aisyah selanjutnya: “Yang dimaksud dengan
yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini ialah ayat yang pertama itu,
yaitu jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil (bila menikahi)
anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu
senangi,”[19]
2. Karena
adanya lelaki yang berpoligami tetapi tidak memberi hak-hak istri-istrinya dan
tidak berlaku adil terhadap mereka.[20]
3. Karena
adanya lelaki yang engan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak yatim
perempuan, disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya akan tetapi dia
takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, sementara dia takut
juga dari dosa zina, maka hendaknya menikahi saja perempuan-perempuan yang
dihalalkan baginya.[21]
4. Karena
adanya seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi anak-anak yatim tetapi
tidak mampu memberikan nafkah kepada istri-istri mereka, maka mereka mengambil
harta anak anak yatim yang ada padanya untuk diberikan kepada istri-istri
mereka. Ketika seorang lelaki tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak
yatim karena banyak istri maka dilarang untuk berpoligami. Sebagaimana
disebutkana dalam riwayat Ikrimah dibawah ini.
”Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa ia berkata: ” Ada
seorang laki-laki yang memiliki banyak istri, dan ia juga mengayomi anak-anak
yatim. Ketika ia menafkahkan harta pribadinya untuk istri-istrinya dan
tidaklah cukup harta tersebut, karena ia banyak kebutuhan, maka diambillah
harta anak yatim untuk menafkahi mereka. Allah berfirman: Jika kamu takut tidak
mampu berlaku adil terhadap harta anak-anak yatim, karena kamu banyak istri,
maka dilarang bagi kamu menikahi lebih dari empat istri, supaya kamu bebas dari
ketakutan itu. Jika kamu masih takut dengan beristri empat , maka nikahlah
dengan seorang istri saja. Ingatlah, batas maksimal (paling banyak) adalah
emapt orang, dan batas minimal adalah satu orang, dan diperingatkan antara
keduanya. Maka Allah juga mengatakan: Jika kamu khawatir dengan empat orang,
maka nikahilah tiga orang, jika kamu khawatir dengan tiga orang maka nikahilah
dua orang, jika kamu khawatir dengan dua orang, maka nikahilah satu orang orang
saja. Penafsiran ini lebih dekat, seolah-olah Allah mengkhawatirkan orang yang
memiliki banyak istri, boleh jadi ia akan terjerumus seperti wali yang
mengambil harta anak yatim yang ada dalam asuhannya, untuk menutupi kebutuhan
nafkah yang banyak disebabkan ia memiliki istri yang banyak.[22]
Berdasarkan
penjelasan diatas, baik Ath-Thabari maupun ar-Razi, memahami ayat tersebut
masih dalam kaitanya dengan perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan
juga keharusan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi.
At-Thabari mengatakan : “Jika kamu khawatir tidk mampu berlaku adil terhadap
anak yatim, demikian juga terhadap perempuan-perempuan lain yang kamu senangi,
maka janganlah kamu nikahi mereka walaupun hanya satu orang. Tetapi cukuplah
kamu menikahi budak-budak yang kamu miliki. Sebab mengawini budaknya sendiri
lebih memungkinkah untuk tidak berbuat penyelewengan (semena-mena terhadap
perempuan).
Sementara itu,
ar-Razi berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki khawatir tidak mampu
berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia
mengawini perempuan-perempuan lain sebanyak yang ia sukai, dua, tiga, maupun
empat. Dan jangan menikahi lebih dari empat orang istri, agar hilang
kekhawatiran tersebut. Namun jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap
empat orang istri maka seorang istri lebih baik bagi mereka. Kemudian ar-Razi
memperingatkan bahwa batas maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu
orang istri. Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri)
itu boleh-boleh saja, asal kamu mampu berlaku adil.[23]
b. Pandangan Ulama Tentang Poligami
Sebelumnya
telah kita bahas poligami dalam pandangan kaum liberal dan feminis, pada
pembahasan ini kita akan melihat, bagaimana pandangan ulama terhadap poligami. Pada
umumnya yang dijadikan dasar kebolehan dan tidak bolehnya melakukan poligami
adalah al-Qur’an surah An-Nisa: 3 dan 129, maka perlu kita melihat pendapat
para ulama tentang kedua ayat tersebut.
1. Pendapat ulama
klasik
Selama sekitar 1300 tahun para ulama tidak pernah
berbeda pendapat dalam hukum poligami (ta’addud al-zawjat). Hingga abad
ke–18 M (ke-13 H) tidak ada pro kontra mengenai bolehnya poligami, dan semuanya
sepakat bahwa poligami itu mubah (boleh). Sebab kebolehannya telah didasarkan
pada dalil yang qath’i (pasti).[24]
Para imam yang empat, yakni Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, sepakat bahwa poligami itu
mubah. Hal ini dapat kita lihat pendapat mereka dalam kitab “al-Fiqh ‘Ala
Al-Madzahib Al-Arba’ah“, pada pembahasan pembagian nafkah dan bermalam
kepada para istri.[25]
Demikian juga bisa kita lihat, dalam
pembahasan sebelumnya pendapat ulama terutama para (mufassir), baik Thabari
ataupun Ar-Razi, bahwa poligami adalah dibolehkan selama bisa berlaku adil.
Sedangkan ulama yang lain yaitu Al-Jashshash yang juga intensif mengupas
poligami, menurut Jashshash bahwa poligami bersifat boleh (mubah). Kebolehan
ini juga disertai dengan syarat kemampuan berbuat adil diantara para istri,
termasuk material, seperti tempat tinggal, pemberian nafkah, pakaian dan
sejenisnya. Kedua kebutuhan non material, seperti rasa kasih sayang,
kecendrungan hati dan semacamnya. Namun dia memberikan catatan, bahwa kemampuan
berbuat adil di bidang non material ini amat berat.[26] Demikian
juga Zamahsyari berpandangan bahwa poligami adalah dibolehkan, bahkan pandangan
jumlah wanita yang boleh dinikahi bagi laki-laki yang bisa berbuat adil, bukan
empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan. Dengan
menjumlahkan dua tambah tiga tambah empat sama dengan sembilan.[27]
Para ilmuan klasik (fuqaha)
berpendapat, bahwa Allah mengizinkan menikahi empat wanita. Menurut mereka,
walaupun kebolehan di sini ditambah dengan kondisi yang tidak mungkin
ditunaikan, keadilan dalam kasih sayang, perasaan, cinta dan semacamnya, namun,
selama kemampuan berbuat adil di bidang nafkah dan akomodasi bisa ditunaikan,
izin untuk berpoligami menjadi sesuatu yang bisa diperoleh. Alasan yang mereka
kemukakan untuk mendudung ide ini adalah, bahwa nabi sendiri pernah berkata hubungannya
dengan ketidakmampuannya berbuat adil dalam hal kebutuhan batin.[28]
2. Pendapat Ulama
Kontenporer.
Sebagaimana telah kita paparkan diatas pendapat ulama
klasik dalam poligami, dan perlu juga kita membaca bagaimana pandangan pemikir
kontemporer dalam menyikapi poligami.
Sayyid Qutub mengatakan bahwa
poligami merupakan suatu perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa
dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini
pun masih disyaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang
dituntut disini termasuk dalam bidang nafkah, mu’amalat, pergaulan, serta
pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka
diharuskan cukup satu saja.[29]
Berbeda dengan Sayyid Qutub bahwa
Muhamammad Abduh dengan sengit menentang poligami karena dianggap menjadi
sumber kerusakan di Mesir, dan dengan tegas menyatakan bahwa, adalah tidak
mungkin mendidik bangsa Mesir dengan pendidikan yang baik sepanjang poligami
yang bobrok ini masih dipraktekkan secara luas.[30] Dan
bahkan beliau pernah mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar
pemerintah mesir melarang poligami diluar kondisi darurat yang membenarkannya
dan tidak membuat kerusakan.[31]
Muhammad Abduh juga berpendapat. Intinya, asas pernikahan dalam Islam adalah
monogami, bukan poligami. Poligami diharamkan karena menimbulkan dharar
(bahaya) seperti konflik antar isteri dan anggota keluarga, dan hanya
dibolehkan dalam kondisi darurat saja.[32]
Sedangkan M. Syahrul berpendapat, bahwa menikah
(poligami) adalah boleh dengan keyakinan bisa berbuat adil pada anak-anak
yatim. Ini artinya istri kedua, ketiga, dan keempat yang boleh dinikahi harus
janda yang memiliki anak-anak yatim yang kemudian menjadi tanggung jawabnya.[33]
4. Hukum
Poligami Dalam Perundang-Undangan di Indonesia
Ada beberapa aturan atau
undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami antara
lain:
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam UU
No.1 Tahun 1974,
yang berkaitan dengan
poligami adalah pasal 3, 4 dan 5[34].
Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
-Pasal
3 (1) Pada
azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang
isteri. seorang isteri hanya boleh mempunyai
seorang suami.
(2) Pengadilan,
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak
yang berkepentingan.
-Pasal
4 (1) Dalam
hal seorang suami
akan beristeri lebih
dari seorang, sebagaimana tersebuta
dalam pasal 3 (2) UU
ini, maka ia
wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di
daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan
dimaksud dalam dalam
ayat (1) pasal
ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b. issteri
mendapat cacat badan
atau penyakit yang
tak dapat disembuhkan
c. isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.
-Pasal 5 (1) Untuk mengajukan permohonan kepada
pengadilan, sebagaimana dimaksud dalan pasal 4 (1) UU ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b. adanya
kepastian bahwa suami
menjamin keperluankeperluan
hidup, isteri-isteri danak-anak mereka.
c. adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteriisteri dan anak-anak
mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1)
huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila
isteri/isteri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari isterinya selam sekurang-kurangnya 2 (dua tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b.
Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU
No.1 tahun 1974. Dalam PP
No.9 Tahun 1975,
yang berkaitan dengan
poligami adalah pasal 40, 41, 42,
43 dan 44[35].
c.
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983
tentang izin perkawian dan Perceraian
Pegawai Negeri
Sipil. Dalam PP No.10 Tahun 1983, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 4,5,6,7,8,9,10 dan 11[36].
d.
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990
tentang Perubahan atas PP No 10
/1983 tentang izin perkawian dan Percraian Pegawai Negeri Sipil.
Dalam pasal
1 disebutkan bahwa
mengubah beberapa ketentuan dalam PP No 10 /1983, sehingga
berbunyi sebagai berikut:
-Pasal
3 (1)
Pegawai Negeri Sipil
yang akan melakukan
perceraian wajib memperoleh izin
atau surat keterangan terlebih dahulu dari pejabat.
(2)
Bagi PNS yang
berkedudukan sebagai penggugat
atau PNS yang berkedudukan sebagai
tergugat untuk memperoleh
izin atau surat keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(1) harus mengajukan permintaan
secara tertulis.
(3)
Dalam surat permintaan
izin atau pemberitahuan
adanya gugatan perceraian untuk
mendapatkan surat keterangan,
harus dicantumkan alasan lengkap yang mendasarinya:
-Pasal
4 (1)
PNS pria yang
akan beristeri lebih
dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
pejabat.
(2) PNS
wanita tidak diizinkan
untuk menjadi isteri
kedua /ketiga/keempat.
(3) Perrmintaan
izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
diajukan secara tertulis
(4) Dalam
surat permintaan dimaksud
dalam ayat (3)
harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin
untuk beristeri lebih dari seorang.
-Pasal 5 (2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin
dari PNS dalam lingkungannya, baik untuk
melakukan perceraian dan
atau untuk beristeri lebih
dari seorang, wajib
memberikan pertmbangan dan meneruskannya kepada
Pejabat melalui saluran
hierarki dalam jangka waktu
selambat-lambatnya tiga bulan
terhitung mulai tanggal ia
menerima permintaan izin dimaksud.
-Pasal 9 (1) Pejabat
yang menerima permintaan
izin untuk beristeri
lebih dari seorang sebagaimana
yang dimaksud dalam
pasal 4 ayat
(1) wajib memperhatikan dengan
saksama alasan-alasan yang
dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasa PNS
yang bersangkutan.
e. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Adapun pasal-pasal KHI yang memuat
tentang poligami adalah pasal 55, 56, 57, dan 58.[37]
Dari beberapa dasar dan aturan yang telah dikemukakan dapat di pahami
bahwa azas perkawinan
adalah monogami yang
tidak bersifat mutlak[38], tetapi monogami terbuka,
sebab menurut pasal
3 (1) UU
No.1/1974 dikatakan bahwa seorang
suami hanya boleh
mempunyai seorang isteri
begitu pula sebaliknya. Tetapi pada
pasal 3 (2)
UU No.1/1974 yang
menyatakan bahwa “
Pengadilan dapat memberi izin
kepada seseorang suami
untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Dengan adanya
ayat (2) ini berarti undang-Undang ini menganut azas monogami terbuka,
oleh karena itu tidak tertutup
kemungkinan dalam keadaan
tertentu seorang suami melakukan poligami yang tentunya dengan
pengawasan pengadilan. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan
di daerah tempat
tinggalnya. Pengadilan dimaksud
hanya memberi izin kepada suami yang beristeri lebih dari seorang apabila
cukup alasan-alasannya (lihat
pasal 4 ayat
(1 dan 2) UU
No.1/1974, pasal 41 PP No. 9/ 1975) sebagai berikut:
a). isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b). isteri
mendapat cacat badan atau
penyakit tidak dapat
disembuhkan dan
c). isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Jadi seorang
suami yang yang
mempunyai isteri masih
hidup, tetapi ternyata tidak
dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri, misalnya
tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga dengan
baik, mengurus dan
mendidik anak-anaknya dengan
baik, termasuk tidak menjaga
kehormatan dirinya dari
makziat, begitu pula
jika istercacat badannya,
misalnya lumpuh, gila, lepra yang susah disembuhkan, apalagi jika isteri tak
mendapatkan keturunan[39].
Dengan alasan-alasan demikian suami dapat beristeri lebih dari seorang dengan
mengajukan permohonan kepada pengadilan.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, bertolak
pada pemahamn surat an-Nisa’ ayat 3 dan 129, tentang poligami terjadi
perbedaan pandangan dalam memahami dan menafsirinya. Kalangan ulama tafsir, ulama
klasik serta ulama kontemporer-pun terjadi perbedaan dalam memahaminya. Para
Ulama klasik yaitu imam madzhab al-arba’ah sepakat bahwa poligami adalah
diperbolehkan demikian juga para mufassir klasik seperti Imam al-Thabari,
al-Razi, dan Zamahsyari, bahwa poligami adalah diperbolehkan karena mereka
memandang bahwa faktor keadilan bukan suatu yang muthlak tetapi sekedar
ditekankan dan dianjurkan akan tetapi dari mufassir kontemporer, Muhammad Abduh
dan juga para feminis Amina Wadud, Asghar Ali Enggineer bahwa keadilan adalah suatu
yang muthlak maka tanpa keadilan pada dasarnya poligami dilarang.
Dalam Islam,
poligami telah jelas termaktub dalam Al-Qur’an. Ulama, para mufassir, serta
pemikir kontemporer, mereka berbeda dalam memandang poligami ada yang
membolehkan dan ada yang tidak membolehkan, karena adanya perbedaan dalam
memahami dan menafsirkan makna keadilan yang ada. Pada dasarnya ketika melihat
orang yang melakukan poligami dimasyarakat karena mereka memandang dan
berpedoman dengan pandangan ulama yang membolehkan, ketika terjadi
penyimpangan dalam praktek di masyarakat, maka bukan sistem ajaran
Islamnya yang salah tetapi faktor individu. Demikian juga orang yang
tidak berpoligami tetapi melakukan bentuk pernikahan monogami ketika terjadi
penyimpangan dalam peraktik dimasyarakat, maka bukanlah sistem ajaran Islam
yang salah tetapi karena faktor individu itu sendiri. Semoga Allah selalu
menunjukkan dan membimbing kita kepada jalan yang benar, amin.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka), hlm.693.
[6] Musthafa al-Sibai, Wanita
diantara Hukum dan Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), hlm. 100.
[7] Abdurrahman Husen, Hitam Putih
poligami, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonnomi UI, 2007), hlm.2
[10] Anabaptis adalah orang Kristen yang dimasukkan ke dalam kategori Reformasi Radikal. Mereka tidak memiliki suatu organisasi yang resmi dan memiliki
berbagai-bagai variasi. Sepanjang sejarah ada banyak kelompok Kristen yang
disebut sebagai Anabaptis, namun istilah Anabaptis khususnya menunjuk kepada
kelompok Anabaptis pada abad ke-16 di Eropa.Saat ini dari kelompok abad ke-16 tersebut yang masih tertinggal adalah
kaum Amish, Hutterit, Mennonit, Gereja Persaudaraan, Persaudaraan Kristen, dan beberapa variasi Gereja Baptis Jerman lainnya.
Baptisan orang percaya merupakan salah satu ciri utama kepercayaan kaum
Anabaptis, dan mereka menolak baptisan untuk anak bayi oleh orang tua mereka. Kepercayaan
ini ditentang keras oleh kelompok Kristen
Protestan lainnya pada periode itu, oleh sebab itu anggota kelompok ini dianiaya dan banyak
yang dihukum mati selama abad ke-16 hingga abad ke-17.
[14] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili Al-Qur’an, (Muassasah
Al-Risalah, , Cetakan pertama, 2000), V, hlm. 532.
[16] Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam
Pasungan Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, (Yogyakarta: Penerbit LKiS, 2003),
hlm. 214.
[24] Abdurrahim Faris Abu Lu’bah, Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’
‘Asyara al-Hijri, (Disertasi Doktor), (Beirut : Jamiah Beirut al-Islamiyah
Kulliyah Asy-Syariah li Dar al-Fatwa Lubnan Idarat al-Dirasat al-Ulya, 2005),
hlm. 360
[25] Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut
: Darul Fikr, 1996), Juz IV hlm. 206-217.
[28] Khoiruddin Nasution, Riba dan
Poligami sebuah studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 99.
[29] Sayyid Qutub, Tafsir fi dhilali
al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 1961), IV. Hlm. 236.
[33] M. Nashirudin,-Sidik Hasan, Poros-poros Ilahiyah Perempuan Dalam Lipatan
Pemikiran Muslim, (Surabaya: Jaring Pena, 2009), hlm. 249.
[34] Sudarsono, Hukum
Perkawinan Nasinal (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1991), h. 289
[35] Ibid., h. 329
[37]Abd. Rahman,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 126
[38]Soemiyati, op.
cit., h.77
[39] Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan di Indonesia:
“Menurut Perundangan, Hukum Adat, Agama” (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.35. Lihat
Juga Ahmad Rafiq., Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h.73
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: