Selasa, 14 April 2015
IBN THUFAIL
A.
Pendahuluan.
Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan
Timur telah mencapai puncaknya. Baik dalam pemerintahan maupun ilmu
pengetahuan. Tapi Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika
mampu mentranfer khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan mengembangkannya.
Filosuf-filosuf yang
karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di kota ini. Diantaranya, Ibnu
Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Thufail dikatakan
orang berada di suatu tingkat yang ajaib dalam ilmunya, yakni berada dalam
tingkat mistik yang penuh kegembiraan. Beberapa
orang menganggapnya sebagai orang panteis orang yang menganggap tidak ada beda
lagi antara dirinya dengan Tuhan. Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya
hanya seperti juga Al Ghazali , merasa telah mencapai tingkat ma’rifat yang
tinggi seperti katanya: ”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu
khoiran wala tasal anil khobari.” (terjadilah sesuatu yang tidak
akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan
jangan tanya tentang beritanya)
Ibnu Thufail yang menjadi
kajian dalam makalah ini, juga mampu menyihir para cendekiawan dunia dengan
karya monumentalnya, Hayy Ibnu Yaqzhan. Salah
satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau novel alegori
yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hayy ibnu Yaqzhan
adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu Thufail. Dimana karya itu
tidak lepas dari pembacaan
ulang atau pengaruh dari pemikiran Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini
menghadirkan karya yang berbeda.
Melalui kisah “Hayy ibnu
Yaqzhan” ini, Ibnu Thufail menunjukkan bahwa dalam mencapai kebenaran, media
yang digunakan bukanlah tunggal, akan tetapi banyak dan beragam. Dalam
kisah itu, dia menampilkan sebuah novel aligoris yang mengkisahkan seorang bayi
yang tedampar di hutan dan di rawat oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa.
Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu dapat tumbuh dewasa dengan
intelegensi yang tinggi dan mampu mencapai tingkat spiritualitas yang paling
tinggi. Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai
titik Musyahadah, akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati.
B.
Biografi Ibn Thufail.
Nama lengkap ibnu Thufail
ialah Abu Bakar Muhammad ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Muhammad ibnu
Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol
pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin ibnu Thufail populer dengan sebutan
Abubacer.[1] Masa
kecil Ibn Thufail di Andalusia adalah masa-masa di mana terjadi pergolakan
politik yang luar biasa. Sebelas tahun setelah kelahirannya, dinasti
Murabitihun yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin yang sebelumnya menggulingkan
Muluk
ath-Thawa’if pengambil alih kekuasaan Daulah Umayyah, ditundukkan
oleh Ibnu Tumart pada tahun 1121 yang kemudian mendirikan Dinasti Muwahhidun. Setelah
Dinasti Muwahhidun berdiri, gejolak politik itu berangsur-angsur mereda.
Kondisi kembali seperti masa-masa Dinasti Umayyah sebelumnya. Sevilla, Cordova,
atau Andalusia secara umum kemudian kembali menjadi pusat peradaban Islam, yang
menjadi salah satu paru yang berperan memajukan pendidikan Islam. Ilmu-ilmu
warisan orang-orang seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Bajjah, bahkan
al-Razi juga al-Ghazali, kembali mengalir deras di wilayah-wilayah ini. Dan Ibn
Thufail muda dalam situasi pendidikan yang dinamis seperti itu dididik dan diajarkan bernagai ilmu
oleh orang tuanya, belajar filsafat, ilmu kedokteran, dan beragam ilmu yang
lainnya. Hingga kemudian dia dikenal sebagai seorang dokter yang disegani di
Andalusia.
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu
Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain,
khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat
filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan
pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti
dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2] pemerintahan Dinasti Muwahhidun pada masa itu
ia diangkat menjadi Sekretaris Gubernur Granada, diteruskan menjadi Sekretaris
Gubernur Ceuta dan Tangier. Mengabdi pada putra Muhammad ibn Tumart (1080-1130
M), Abd al-Mu’min ibn ‘Ali (w.1163). Setelah al-Mu’min wafat, Ibnu
Thufail menjadi dokter istana dan wazir Abu Ya’qub Yusuf (memerintah
1163-1183). Sebagai ahli falsafah, Ibnu Thufail adalah guru dari Ibnu Rusyd
(Averroes), ia mengusai ilmu lainnya seperti ilmu hukum, pendidikan, dan
kedokteran, sehingga Thufail pernah menjadi sebagai dokter pribadi. Ia menjadi
salah seorang terpenting di negerinya berada, serta memiliki pengaruh penting
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Andalusia, karena melalui dialah Abu
Ya’qub Yusuf yang cinta ilmu pengetahuan itu memberikan wewenang untuk mengundang
orang berilmu dan terpelajar ke istana, salah satunya Ibnu Rusyd yang terkenal
membela mati-matian filsafat dalam Islam. Ibnu Thufail seperti yang dikatakan
oleh Leen E. Goodman[3]
menjadi menteri kebudayaan Abu Ya’qub Yusuf, selain juga sebagai dokter pribadinya.
Satu jabatan yang lebih tepat disebut sebagai wazir jika melihat kedekatan
antara Abu Ya’qub dan Ibn Thufail seperti yang dikatakan Goodman. Sedikit orang
yang dapat memiliki hubungan khusus dengan sultan, meskipun dengan jabatan
sebagai menteri yang notabene di bawah wazir tetap dimungkinkan adanya hubungan
dekat itu. Namun sekali lagi, hubungan itu akan nampak relevan jika Ibn Thufail
adalah wazir dari khalifah.
Ibn thufail mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M,
dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas
permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu
Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko)
dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[4]
Hanya sedikit karya tulis
yang dapat dikenal sebagai buah pikir Ibn Thufail, di antaranya Rasa’il
fi an-Nafs, Fi Biqa’ al-Maskunah wa al-Ghair al-Maskunah, dan Hayy ibn
Yaqdzan. Namun dari sekian karyanya itu, hanya Hayy ibn
Yaqdzan yang lengkap sampai pada kita. Karya ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Giovanni vico dolla Mirandolla (Abad
15) sebagai karya besar ilmiyah (magnum opus) yang menjadi referensi utama pada
masa itu. Hayy ibn
Yaqdzan juga diterjemahkan oleh Edward Pockoke juga dalam bahasa
Latin. Edward Packoke memberikan catatan khusus pada
terjemahannya tersebut dengan Philosophus Autodidaktus (al filosuf al mu’allim
nafsaha/Sang filosuf Autodidak), satu bentuk apresiasi yang diberikan pada Ibn
Thufail. Setelah adanya penterjemahan dalam bahasa latin ini, Hayy ibn
Yaqdzan kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Simon Ockley, dengan judul “The Improvement of Human Reason”, pada tahun 1708.
Kemudian di susul oleh edisi barunya dengan judul “The History of Hayy ibn
Yaqzhan” pada tahun 1926. Terjemahan bahasa Perancis muncul setelah Leon
Gauthier mengalihbahasakan Hayy ibn Yaqdzan dalam bahasa
tersebut, karya dalam edisi bahasa Perancis ini bahkan di sertai dengan teks
arabnya “Hayy Ben Yaqdhan Roman Philosophique d’ibn Thofail”. Hayy Ibn
Yaqdzan juga diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia,
Belanda dan Indonesia
C. Karya Ibn Thufail
Sebenarnya Ibnu Thufail lebih menggemari
merenung dari pada menulis. Karena itu tidak heran kalau hasil karyanya
sedikit. Namun berdasarkan buku-buku biografi beliau menyebutkan bahwa banyak
karangan dari Ibnu Thufail menyangkut masalah filsafat, matematika,
fisika, kejiwaan disamping risalah-risalah yang ditulis beliau kepada Ibnu
Rusyd. Tapi yang sampai kepada kita hanya Hayy Ibnu Yaqyam (Roman Fhilosophy),
yang merupakan intisari dari pemikiran Ibnu Thufail. Judul lengkapnya adalah
Risalah Hayy Ibnu Yaqzam Fi Asrar Al-Hikmah Al-Masyriqiyyah.[5]
Satu manuskrip di perpustakaan Escurial yang berjudul Asrar AL-Hikmah
Al-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Ketimuran) hanyalah ringkasan dari buku Hayy
Ibnu Yaqzhan. [6]
Menurut Montgomeri Watt, buku inilah yang
mungkin merupakan karya filsafat dalam bahasa arab yang paling menarik.[7]
Selain diakui sebagai roman filsafat religius-ilmiyah,[8]
dia juga menggambarkan kisah bahwa manusia sanggup mengenal Allah, berhubungan
dengan-Nya dan berkhidmad kepada-Nya tanpa mendapatkan wahyu dan guru. Maka
wajar para peneliti barat banyak menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa
lain karena menarik untuk dikaji.[9]
Edward Bacon menerjemahkan
kedalam bahasa Latin yang disertai dengan teks arabnya di Oxford pada tahun
1671 M dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Eroppa lainnya. Paul
Bronnle berkata :“dalam waktu yang singkat, kisah ini telah menarik perasaan
masa dan merupakan taufan badai yang dahsyat yang dirasakan seluruh
manusia. Kisah ini dalam jangka waktu yang tidak pendek, memainkan peranan
dalam suatu kedudukan yang terpandang.”
Tidak
sekedar itu, pada tahun 1674 M, George Kieth ikut menerjemahkan buku tersebut
dalam bahasa Inggris. Tahun 1686 M, buku itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris
kembali oleh George Ashwell. Selanjutnya oleh Simon Ockey pada tahun 1708 M.
Dan setelah 11 tahun dari penerjenahan yang terakhir itu, Daniel Defoe
mengeluarkan kisah karangannya yang bernama Robinson Crusoe yang diambil dari
kisah Hayy Ibn Yaqzham. [10]
Adapun buku yang lainnya diperkirakan hilang pada saat terjadinya peperangan di
Maghribi, yaitu penyerangan dan kemenangan Dinasti Muriniyah-sebuah kualisi
Berber atas Daulah Muwahhidun antara tahun 1249 dan 1274. kemungkinan besar
juga pada waktu perebutan kota Ceuta tahun 1415 dan Pesisir Maroko tahun 1471
oleh Portugis.[11]
Akan tetapi menurut Ibnu Khatib, ada dua buku tentang kedokteran yang dapat
dikatakan merupakan karya Ibnu Thufail, setidaknya ditulis oleh dua orang
muridnya yang dipersembahkan kepada Ibnu Thufail, yaitu Al-Bithruji
berjudul Kitab Al-Hai’ah dan karya Ibnu Rusyd berjudul Fi Al-Buqa’ al-Maskunah
sa al-Ghair al-Maskunah.
D.
Filsafat Hayy Ibn Yaqzhan.
1.
Tentang Hayy ibn Yaqzhan.
Di kepualauan India, ada sebuah pulau
terpencil yang tidak berpenghuni manusia., beriklim sedang dan terletak di
garis khatulistiwa. Harun Nasution mengatakan itu adalah kepulauan Indonesia.
Yaitu pulau Waq-waq. [12]
Ada dua versi tentang kelahiran Hayy Ibn
Yaqzham. Versi pertama : dia dilahirkan oleh seorang saudari raja yang dikawini
Yaqzham secara rahasia. Karena ibu Hayy takut perkawinannya diketahui oleh
raja, maka setelah Hayy lahir lalu dimasukkan ke dalam peti dan dihanyutkan ke
laut (kepulauan India). Versi kedua : Hayy adalah anak alam, dalam arti tanpa
ayah dan ibu. [13]
Kisah lain menceritakan bahwa Hayy berasal dari tanah yang memerah dari perut
bumi, kemudian diproses menjadi seorang bayi. Dalam keadaan bayi, Hayy
dipelihara oleh seekor Rusa yang kematian anaknya.[14]
Sebagaimana lazimnya Rusa itu menyusui bayi itu dan sebaliknya bayi itu
memandang Rusa yang menyusui itu sebagai ibunya. Hayy tumbuh dan berkembang.
Dia mengenal alam lingkungan sekitarnya. Dia dikaruniai Allah kecerdasan yang
luar biasa. Dia menemukan api, membuat berbagai alat, perkakas dan senjata.
Bahkan sanggup mengenal hakikat tertinggi di alam wujud dan di alam metafisik.
Dia dapat mengenal alam ini melalui jalan filsafat. Hal inilah yang
mendorongnya berusaha melalui cahaya filosofis untuk mencapai kesatuan dengan
Tuhan (ittihat). Karena bersatu, berhubungan dengan Tuhan adalah pengetahuan
sempuna dan kebahagian tertinggi yang berkesinambungan dan abadi. Untuk
mencapai itu, Dia masuk ke dalam sebuah gua, berpuasa terus menerus selam 40
hari dan berusaha sekuat kuatnya untuk memisahkan akal pikirannya dari dunia
luar dan dari badannya sendiri dengan jalan merenung dan memikirkan Zat Tuhan
agar dapat berhubungan dengan-Nya. Akhirnya dia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Hasimsyah
Nasution secara rinci membagi kehidupan Hayy menjadi 7 fase :
1.
Fase
Pertama : Hayy dipelihara oleh seekor Rusa, hingga dia dapat belajar tindak
tanduk dan bahasa hewan. Dia menutupi tubuhnya, membuat tempat berteduh, dan
mempersenjatai dirinya serta memulai menyimpan bahan makanan.
2.
Fase
Kedua : Rusa yang memeliharanya mati. Hayy berusaha mengetahui penyebab
kematian rusa itu. Dia berkesimpulan ada roh yang menjadi sentral dan bersifat
immateri. Pada tahap ini pula dia mengetahui fungsi setiap anggota badan dan
daya yang menggerakkannya.
3.
Fase
Ketiga : Dia mengetahui api, kesimpulannya adanya tertib alam dan akal budi.
4.
Fase
Keempat : Dia mengetahui kesatuan dan keberagaman pada jasad dan jiwa yang
diamatinya. Pada tahap ini, akhirnya sampai kepada generalisasi dan
klasifikasi berdasarkan kesatuan dan keberagaman itu.
5.
Fase
Kelima : Dia memperhatikan benda-benda langit serta ketertiban dan
keteraturan benda itu, sehingga dia mengetahui astronomi dan menyimpulkan
adanya penggerak tertentu yang sama untuk semuanya.
6.
Fase
Keenam : Selain menemukan kepastian adanya penggerak yang disebut wajib wujud.
Menurutnya asal alam yang meteri itu haruslah immateri dan wajib al-wujud.
7.
Fase
Ketujuh : pada usia 50 tahun, Hayy berkesimpulan bahwa Tuhan itu pasti baik dan
bijaksana, sempurna dan penuh rahmat dan menjadi tujuan manusia. Karena itu
puncak kebahagiaan hanya dicapai dengan selalu berhubungan dengan-Nya tampa
henti dan melepas diri dari dunia meteri. Sehingga manusia sampai pada objek
pengetahuan tertinggi, yaitu wajib al-wujud. Disinilah Hayy sampai kepuncak
tafrid.[15]
Di pulau lain terdapat masyarakat yang telah
menerima seruan nabi. Pemukanya adalah Asal (Absal atau Isal) dan
Salman-seorang penguasa yang karismatik. Absal lebih tertarik pada aspek batin
syariat-memilih uzlah- dan cendrung menakwilkan secara filosofis. Sementara Salman-penguasa
yang ramah-memahami secara zahir.
Suatu saat Hayy bertemu dengan Absal.
Absal menceritakan kebenaran yang diperoleh dengan wahyu. Sementara Hayy juga
menceritakan pengalaman filsafatnya. Antara pengalaman keduanya tidak
bertentangan. Lalu keduanya sepakat pergi ke tempat yang dikuasai oleh Salman.
Pada mulanya masyarakat menyambut baik. Namun ketika mendakwahkan keyakinan
suci mereka, pendudukpun menolaknya. Hal demikian karena penduduk Salman
sebelumnya telah memahami agama secara zahir saja. Akhirnya keduanya
minta maaf dan kembali ke pulau asal Absal untuk melanjutkan kontemplasi sampai
akhir hayatnya. Namun keduanya paham bahwa tidak semua orang paham akan
filsafat. Paling tidak ada dua kesimpulan sederhana tentang cerita diatas. Pertama
: penjelasan mengenai penyesuaian filsafat dan agama. Hayy dilambangkan akal
manusia dan Yaqzham dilambangkan Tuhan. Kedua : mengenai jalan yang
ditempuh oleh filosof islam yang menganut Neo-Platonisme.[16]
Yang didalamnya terdapat unsur Platonism,Phithagoras, Aristoteles, Stoa
(ar-Riwaqiyyah), suatu nama dari Fase Hellenisme Romawi dan tasawwuf timur.
Disinilah Neo-Platonisme mengandung unsur kemanusiaan (hasil pemikiran
manusia), keragaman dan keberhalaan.[17]
2.
Filsafatnya yang terkandung dalam
cerita Hayy ibn Yaqzhan.
Setelah mempelajari
pemikiran para filosof Islam yang telah mendahuluinya -terutama masalah makrifah,
ternyata para filosof Islam tidak
terlepas dari kritikannya, baik itu terhadap Ibnu Bajjah, Al-Farabi, Ibn Sina
maupun Al-Ghazali.
“dia mengkritik Ibnu
Bajjah sebagai orang yang berpikiran singkat, tidak berpandangan jauh,
membangun pikiran filsafatnya hanya atas kaidah-kaidah akal dan logika,
seraya meremehkan dasar pengalaman lain yang bersifat kasyf ruhani.
Juga dia mengkritik al-Farabi sebagai filosof
yang ragu-ragu, tidak memberi kepastian dalam masalah-masalah falsafi. Demikian
pula dia mengkritik Ibn Sina sebagai seorang yang menulis kitab as-Sifa’,
dimana dia mengatakan kitab itu ditulis berdasakan mazhab Aristoteles,
sedangkan orang yang membaca kitab itu tidak menemukan dalam kitab
Aristoteles. Ibnu Thufail mengkritiknya karena gaya bahsa Ibnu Sina sangat
kabur dan mendalam sehingga seringkali tidak dipahami maksudnya.[18]
Adapun Al-Ghazali dipandangnya sebagai
orang yang banyak menulis untuk orang awam, sehingga menggambarkan sikap
munafik -muka dua- dan tidak konsisten. Dalam buku Tahafut al-Falasifah,
Al-Ghazali mengkafirkan para filosof Islam yang tidak percaya akan
dibangkaitkannya ruh dan jasad sekaligus pada hari akhirat. Namun dalam kitab
al-Mizan dan al-Munqis min al-Dhalal, Al-Ghazali membenarkan dan menerima
pendapat para filosof yang dikafirkannya itu. Dengan demikian, seakan-akan
Al-Ghazali mengkafirkan dirinya sendiri.[19]
Makanya Ibnu Thufail dalam penyajian filsafatnya menggunakan model tersendiri
yaitu yang termuat dalam Hayy Yaqzham yang penuh tamsil dan kadang sulit
untuk dipahami. Namun untuk memahaminya bisa melihat kerangka dasarnya.[20]
Dalam muqaddimahnya, Ibnu
Thuafail menjelaskan tujuan penulisan buku itu untuk menyaksikan kebenaran
menurut cara yang ditempuh para ahl Zauq dan musyahadah yang
telah mencapai tingkat kewalian. Ini tidak mungkin dijelaskan hakikatnya dengan
kata-akata. Akan tetapi hanya bisa dengan lambang. Makanya penyajian Hayy
Ibn Yaqzham ditujukan agar orang mau menuruti jalan itu.
Selain itu, para ahli
seperti Muhammad Ghalab mengatakan, ”tujuan risalah Hayy Ibn Yaqzham adalah
menunjukkan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran yang
tidak bertentangan dengan agama”. Sementara Harun Nasution mengatakan, “lewat
kisah Hayy Ibn Yaqzhan ini dijelaskan keharmonisan antara akal dan wahyu. Akal
dapat mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban berterima kasih
kepada-Nya, tetapi tidak tahu cara yang tepat untuk menyatakan terima kasih
tersebut.” [21]
1). Tahapan-tahapan Pemikiran dalam risalah Hay ibn
Yaqzan
a. Tahap pengetahuan empiris
Setelah
mencoba memaparkan secara ringkas kisah di atas, penulis dapat membaginya dalam
tiga tahapan dalam pencarian. Kisah hay ibn yaqzan yang diawali dengan
perkembangan Hayy dalam beradaptasi dengan alam, belajar cara bertahan hidup,
hingga dia menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam pencarian ilmu,
dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya.
Tahapan ini dapat disebut dengan tahap
pengetahuan empiris. Dimana pengetahuannya masih terbatas dengan hal-hal yang
terinderakan saja dengan pengamatan yang sederhana. Dari apa yang diperolehnya
itu, dia semakin berusaha meningkatkan pengetahuannya. Memori-memori dari
pengalaman pertamanya muncul seketika dia memahami fungsi dan kegunaan api. Dia
mampu mengingat kesan pengalamannya lalu mengkorelasikan dengan pengalaman baru
yang didapat.
Hayy meneruskan pengamatannya pada semua jenis
binatang, tumbuhan, bebatuhan, tanah, air dan segalanya yang ada di alam bawah
dengan segala sifat dan atributnya. Tidak hanya itu, dia juga mengamati
benda-benda angkasa denga segala siklus yang dimilikinya. Hal tersebut
menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang digunakan, yaitu metode eskperimentasi
dengan komparasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan deduktif.
b. Tahap pengaetahuan rasionalis.
Di sini
terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu Thufail yang sangat kental. Hal
itu tentunya tidak lepas dari pengaruh Ibnu Bajjah sebagai filsuf rasional
murni. Pengetahuannya tentang alam dengan segala keberagamannya, pengetahuan
tentang binatang dengan segala spesiesnya, tentang angkasa dan sebagainya.
Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan
ada Wujud lain dibalik semua fenomena itu.
Dari
wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau materi. Pada
tahapan ini dia mendalami pencariannya dengan kontemplasi. Pemikirannya pada
wilayah ini terlihat juga ketika dia telah memahami bahwa alam ini ada
permulaannya, alam ini adalah sesuatuyang baru. Maka dari itu ada suatu proses
dari ada menjadi tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama sekali diluar
sifat yang diadakan.
c. Tahap
mistis-tasawuf
Tahapan
terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam kisah Hay Ibn Yaqzan
adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan intuitif. Hal ini dapat dilihat
dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya dalam maqam tertinggi
dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hay ibn yaqzan sampai disini
mewakili pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup sampai pada
pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja. Sebagaimana ia tidak
puas terhadap hasil pemikiran Ibnu Bajjah yang hanya berhenti disitu.
Maka hal itu
sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan pernah bisa mencapai derajat
tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa memikirkan dzat-Nya, serta
membebaskan diri dari segala pikiran tentang segala sesuatu yang bersifat
indrawi”. Derajat inilah yang disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi.
Selain itu, ini sebagai hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran
yang sering dipertentangkan, yaitu pemikiran falsafah dan pemikiran sufi. Dua
aliran utama itu menggunakan metode berbeda dalam mencapai kebenaran, tetapi
ternyata keduanya dapat dipertemuka kembali. .
Mengenai pemikiran iluminasi
Ibnu Thufail direfleksikan ketika Hay mengetahui adanya kesamaan esensi antara
dirinya, benda-benda alam sekitar dan benda yang ada di langit. Esensi-esensi
dipancarkan oleh satu esensi sejati yang tak terbatas. Karena ketak
terbatasan-Nya itu, Dia memanivestasikannya pada semua yang beragam ini.
Tentunya dengan jalan emanasi cahaya, dimana cahaya tertinggi tidak dapat
dilihat kecuali dalam keadaan bersih dan suci.
2). Metafisika
atau Tuhan
Melalui pengalaman
hidup Hayy bin Yaqzham yang telah memperhatikan alam sekitar, sehingga dengan
akalnya dia mengetahui adanya Tuhan, Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen,
yaitu :
a. Argumen
gerak (al-Harakat)
Gerak alam ini menjadi bukti adanya Allah, baik bagi
mereka yang meyakini alam bharu maupun bagi mereka yang meyakini
alam itu kadim. Adanya gerak ini menunjukkan secara pasti bahwa
penggerak. Sesuatu yang bergerak tidak mungkin bergerak sendiri tanpa
penggerak yang berada diluar alam dan juga berbeda dengannya. Penggerak
itu adalah Allah swt.[22]
Dalil adanya penggerak alam ini sebagai bukti adanya Tuhan sebenarnya
telah dikenal oleh para fillosof Islam yang diambil dari pemikiran Aristoteles.[23]
Salah
satu kelebihan argumen gerak dalam membuktikan adanya Allah yaitu, bagi mereka
yang meyakini alam itu qadim, penggerak itu berfungsi mengubah materi itu di
alam dari potensial ke actual. Semetara bagi mereka yang yakin alam itu
baharu, penggerak itu berfungsi mengubah alam dari tidak ada menjadi ada.
Argumrn gerak ini-sebagai bukti alam qadim dan baharunya- belum pernah
dikemukakan oleh filosof Muslim manapun sebelumnya. Dengan argumen inilah Ibnu
Thufail memperkuat argumentasi bahwa tanpa wahyu, akalpun dapat mengetahui
adanya Allah.[24]
b.
Argumen materi (al-Madat) dan Bentuk (al-Shurat)
Hal ini
didasarkan pada ilmu fisika yaitu :
1.
Segala
yang ada tersusun dari materi dan bentuk
2.
Setiap
materi membutuhkan bentuk
3.
Bentuk
tidak mungkin bereksistensi penggerak
4.
Segala
yang ada membutuhkan pencipta.
Dengan
argumen ini, dapat dibuktikan adanya Allah sebagai Pencipta, tidak ber-awal dan
tidak ber-akhir.
c. Argumen
al-Ghayah dan al-Inayah al-Ilahiyyah
Argumen
ini pernah dikemukakan oleh Al-Kindi dan Ibn Sina sebelumnya, bahwa alam ini
mempunyai tujuan tertentu. Ini merupakan Inayah dari Allah. Sementara tentang
zat dan sifat Allah, Ibnu Thufail lebih cendrung mengambil paham mu’tazilah.
Tuhan bersifat Bijaksana dan Adil, Dia tidak mungkin berbuat jahat dan bersifat
zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki manusia berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan perintah-Nya. Namun manusialah yang mewujudkan
perbuataan baik dan buruk, taat dan maksiat, iman dan kufur. Karenanya
manusialah yang akan menanggung pembalasan atas perbuatannya kelak. Allah Maha
Kuasa, mengetahui akan Pebuatan-Nya dan Maha Bebas dalam segala kehendak-Nya.
Namun dia tidak mungkin dapat dikhayalkan dan dirasai. Alasan Ibnu
Thufail adalah khayalan hanyalah berkenaan dengan hal-hal yang indrawi
saja. [25]
Lebih
lanjut Ibnu Thufail membagi sifat Allah pada dua macam, yaitu :
1.
Sifat
yang menetapkan wujud Allah,seperti Ilmu, kudrah, dan hikmah. Menurutnya,
“sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
banyak yang qadim pada Allah sebagaimana keyakinan Asy-Ariyah yang dipahami
oleh Mu’tazilah.
2.
Sifat
yang menafikan hal kebendaandari Zat Allah, sehingga Allah Maha Suci dari
kebendaan.[26]
Dalam
memahami Allah, Ibnu Thufail memadukan pemikiran Plato, Aristoteles, Neo-Platonius
dan tasawwuf. “karena Allah itu wujud semata, wajib wujud dengan zat-Nya.
Maka yang ada hanyalah Dia. Dia yang Maha Sempurna, Maha Indah lagi Baik ilmu
dan kudrah, dan semua kesempurnaan dan keindahan berasal dan melimpah
dari-Nya.” [27]
3).
Epistomologi
Ibnu Thufail mengatakan bahwa ma’rifat itu
dimulai dengan panca indra, yakni dengan pengamatan dan perbandingan terhadap
hal-hal indrawi. Adapun tentang hal yang bersifat metafisis maka orang dapat
mengetahuinya dengan akal dan intuisi. Karena itu Ibn Thufail menunjukkan dua
jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan tentang Tuhan. Jalan pertama adalah
wahyu, seperti ditempuh oleh Asal, dan jalan kedua adalah filsafat semisal yang
dilakukan Hayy.[28]
Dua jenis ma’rifat yang
dilukiskan oleh Ibnu Thufail pada diri Hayy yang telah mampu mengetahui
Tuhannya dengan akal dan kasyaf. Dengan demikian dia berpendapat bahwa orang
tidak saja memperoleh hakikat dengan agama saja, tapi dengan akal orang dapat
memperoleh hal yang serupa.[29] Menurut
Ibn Thufail, “ kasyaf ar-Ruh bisa diperoleh dengan banyak latihan rohani secara
sungguh-sungguh, karena dia bisa berkembang, bertingkat dan beragam”.[30]
Dalam karya Ibnu Thufail “Hay Ibnu Yaqzan” juga
terdapat pemikirannya, dimana ia ingin menunjukkan adanya harmonisasi antara
agama dan filsafat intuitifnya. Dua disiplin yang sering kali dipertentangkan
oleh para sarjana hingga kini. Penjelasan diatas dapat dipahami ketika Hay ibn
Yaqzhan bertemu dengan Asal, orang yang beragama dan ingin memahami agama dalam
makna esoterisnya.
Dalam kehidupan Asal sebelumnya, dia melihat agama yang dijalankan
masyarakat hanya dalam taraf ritual formal belaka. Dan hanya ditujukan agar
kehidupan mereka didunia lebih baik. Dengan bertemu Hayy, Asal mempunyai
keyakinan kuat bahwa agama juga harus dipahami sebagaimana ta’wilnya. Agar
masyarakat tidak terjebak dalam kecintaan duniawi.
Begitu penting pemahaman antara keduanya.
Filsafat merupakan suatu pemahaman akal secara murni atas kebenaran dalam
kosep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, serta tak dapat dijangkau oleh
cara-cara pengungkapan konvensional. Agama melukiskan dunia atas dengan
lambang-labang eksoteris. Dia penuh dengan perbandingan, persamaan, dan
gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih mudah difahami oleh orang
lain, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka kepada kebajikan dan
moralitas.
Filsafat yang menggunakan
persepsi rasa, nalar, dan intuisi sebagai dasar-dasarnya, dapat menafsirkan
lambang-lambang agama tentang konsep-konsep imajinasi murni yang berpuncak pada
suatu keadaan yang didalamnya terdapat esensi ketuhanan dan pengetahuannya
menjadi satu.
Seperti pendapat Sohier el-Kalamawy dan
Mahmoud Ali Kahky (1986) bahwa Ibnu Thufail bertujuan perenungan yang murni
rasional dan iman yang sejati merupakan sisi dari sebuah mata uang yang sama,
dan keduanya dapat membawa manusia dekat dengan Tuhan dan bersatu secara
mistikal dengannya. Oleh karena itu keduanya harus dipelajari dan
dipahami secara bersamaan.
Roman filsafat Ibnu Thufail ingin menjelaskan
bahwa sumber-sumber pengetahuan yang hendak di capai seorang manusia setidaknya
ada tiga meliputi:
a. Indrawi, yaitu indrawi meliputi panca indra yang lima
yaitu penglihatan, pendengaran, perasam
pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu
obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa, bau-bauan dan obyek yang
tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia
terkadang tidak bekerja secara sempurna maka di sinilah dibutuhkan sumber
pengetahuan yang kedua yaitu akal atau rasio.
b. Akal atau rasio, yang dengan daya penalarannya mampu
mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil
dari suatu obyek (mungkin kisah tentang tiga orang buta yang termasyhur itu
dapat membantu anda memahami konsep ini) selain ia juga mampu menangkap esensi
dari obyek yang dipahaminya dan diamati oleh indrawi dengan demikian akal atau
rasio bersifat melengkapi indrawi, akan tetapi akalpun masih bersifat terbatas
misalnya akal tidak mampu mengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta akan
sangat berbeda dalam melihat realitas kenapa amr qois ketika memandang rumah
laila akan memiliki makna yang berbeda di banding orang lain di sinilah
dibutuhkan sumber pengetahuan yang lain yang ketiga adalah intuisi (hati).
c. Intuisi atau hati, yang menurut Ibnu Thufail mampu
menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika
dengan cara penyucian jiwa (tazkiah an-nafs/ riyadhah ruhiyah) yang sering
dicapai oleh para ‘urafa dan bentuk tertinggi dari pencapaian intusi ini adalah
wahyu yang di khususkan sebagai status kenabian.
Di roman filsafatnya Ibnu Thufail
juga ingin menyampaikan bahwa kebenaran ternyata memiliki dua wajah internal
dan eksternal yang sebenarnya sama saja, dan kedua wajah tersebut berkaitan
dengan dikotomi dua kalangan manusia yaitu kalangan khawash yang mampu mencapai
taraf kecerdasan tertinggi baik melalui diskursus filosofis maupun pencerahan
mistik--kasyaf dan kalangan awam yang tak mampu mencapainya dan hanya mampu
mengerti bahasa literal dari matan-matan kudus wahyu keagamaan.
Ibnu Thufaillah satu-satunya filosof Islam
yang menulis buku khusus tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, sungguhpun
dalam bentuk kisah yang berjudul Hayy Ibn Yaqzham.[31]
Pendapat lain mengatakan : “melalui epistomologi yang dikembangkan melalui
tokoh Hayy dapat mengantarkan Ibnu Thufail kepada seorang filosof muslim yang
naturalis mendahului Francus Bacon”.[32]
4). Jiwa
Menurut
Ibn Tufail manusia itu adalah makhluk yang sangat tinggi martabatnya, karena
manusia itu sendiri terdiri dari dua unsur yaitu jasad dan ruh (al-Madad wa
al-Ruh). Badan tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa
bukan jism dan juga bukan sesuatu daya yang ada didalam jiwa. Setelah badan
hancur (mengalami kematian) jiwa lepas dari badan, dan selanjutnya jiwa yang
pernah mengenal allah selama dalam jasad hidup dan kekal.
Ibn
Tufail berpendapat bahwa jiwa adalah sesuatu yang immateri atau daya yang ada
dalam tubuh yang mengilhami berbagai fungsi yang berbeda, seperti gerak, rasa
dan pikiran, sedangkan fisik hanyalah alat bagi jiwa, dan jika fisik itu
hancur, maka jiwa akan pergi meninggalkan atau melepaskan dari badan dan memasuki
alam immateri yang kekal.[33]
Kosep Ibnu Thufail tentang jiwa
sejalan dengan yang dikemukakan oleh al-Farabi, yakni ada tiga katagori
jiwa, yaitu :
1.
jiwa fadhilah,
yang kekal dalam kebahagiaan karena mengenal Tuhan dan terus mengarahkan
perhatian dan renungan kepada-Nya. Kelak jiwa ini akan dimasukkan ke surga.
2.
jiwa fasiqah,
yaitu jiwa yang kekal dalam kesengsaraan dan tempatnya di neraka. Jiwa ini pada
mulanya telah mengenal Allah, tetapi melupakannya dengan melakukan banyak
maksiat.
3.
jiwa jahiliyah,
yaitu jiwa yang musnah karena tidak pernah mengenal Allah sama sekali. Jiwa
jenis ini sama halnya dengan hewan melata.[34]
Ibn Thufail menawarkan tiga jenis amaliyah yang
harus diterapkan dalam hidup. Kadar penerapan amaliyah tersebut menjadi cermin
keberhasilan seseorang untuk menyaksikan Wajib al-Wujud.
1.
amaliyah yang menyerupai
hewan. Menurut Ibnu Thufail amaliyah ini (memelihara tubuh dan memenuhi
kebutuhan pokok) dibutuhkan tapi juga menjadi penghalang untuk meningkat kepada
amaliyah berikutnya yang lebih tinggi.
2.
amaliyah
yang menyerupai benda angkasa, yaitu melakukan hubungan baik dengan yang
dibawahnya, dengan dirinya, dan dengan Tuhannya.
3.
amaliyah
yang menyerupai Wajib al-Wujud. Yaitu dengan mencontoh amaliyah-amaliyah
Wajib al-Wujud. Jenis amaliyah inilah yang akan mengantarkan pada
kebahagiaan abadi.[35]
E. KESIMPULAN
1. Namanya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al
Malik ibn Muhammad ibn Thufail al Qaisi dinisbahkan kepada qobilah Qais,
Guadix, provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. Dalam bahasa latin
ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Selain terkenal sebagai filosof
muslim yang gemar menuangkan pemikirannya dalam kisah-kisah ajaib dan penuh
dengan kebenaran, ia juga seorang dokter, ahli matematika dan kesusastraan.
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar
dalam pemerintahan. Pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Thufail dituangkan dalam
risalah-risalah (surat-surat) yang dikirimkan kepada muridnya (Ibnu Rusyd),
sehingga tidak banyak dikenal orang banyak. Namun karyanya yang terpopuler dan
dapat ditemukan sampai sekarang ialah risalah Hayy ibn Yaqzan yang judul
lengkapnya Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah yang
ditulis pada abad ke 6 Hijriah (abad ke-12 M).
2. Dalam Risalah Hayy ibn Yaqzan fi
Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah karya ibnu Thufail beliau mengisahkan
perjalanan seorang anak “hayy bin yaqdzan” dari semenjak bayi sampai ia dewasa.
Dalam hidupnya hayy senantiasa mencari kebenaran, baik itu menggunakan
penalaran inderanya secara empiris, penalaran menggunakan akalnya secara
empiris yakni menganalisa hal-hal yang terjadi di bumi kemudian melakukan
konklusi-konklusi berdasarkan kekuatan inderawinya. dan secara intuitif yang
akhirnya mencapai pada tingkatan ma’rifat.
3. Ibnu Thufail dengan Karya
alegorisnya Hayy Ibn Yaqzhan, sebenarnya ingin membangun sebuah struktur
pengetahuan yang lebih dari yang telah dirintis oleh Ibnu Bajjah melalui teori
penyatuannya. Ibnu Thufail bahkan telah berhasil menempuh jalan itu. Melalui risalahnya,
dia menjelaskan tentang urut-urutan pencapaian sebuah pengetahuan dan
epistemology pengetahuan, tentang hakikat tuhan, etika dan dia juga berusaha
menampilkan harmonisasi antara agama dan filsafat. Setelah menelaah karyanya
itu, penulis dapatkan struktur filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua model
pengetahuan sekaligus, yaitu pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar
rasio (al-‘aql) dan pengetahuan intuitif mistis (kasyfiyyah-dzauqiyyah) yang
didasarkan pada ketajaman intuisi. Struktur inilah yang disebut oleh Ibnu
Thufail sebagai rahasia-rahasia filsafat Timur.
DAFTAR PUSTAKA
al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka
Firdaus, Juni 1999, cet. VIII,
Daudi,Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1986, cet. III,
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1999, cet. VI,
Harun
Nasution, Akal Dan wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. III,
Hasyimsyah
Nasution, Filasafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, April 1999, cet.
1
Ira. M dan Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, Juni 2000, cet.II,
M.M. Syarif, Dialektika Islam dalam Pemikiran Islam,
Bandung: CV. Diponegoro, Januari 1970
M.M. Syarif, MA. “The Philosophers”, dari buku History of Muslim
Philoshophy,Bandung: Mizan, cet. I,
1985
Mustofa,
Filsafat
Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Seyyed
Hossein Nasr, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
Bandung: Mizan, 2003
Sirajuddin.
Zar, Filsafat
Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
[1]
Sirajuddin.
Zar, Filsafat
Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. h. 205
[2] Ibid, h. 206
[4]
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1997, h. 272
[5] Syirajuddin
Zar, Op,Cit. Hal 206
Hal 103
[9] M.M. Syarif, Dialektika
Islam dalam Pemikiran Islam, Bandung: CV. Diponegoro, Januari 1970, hal.
114.
[10] Ibid.
[11] Ira. M dan Lapidus, Sejarah Sosial Umat
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Juni 2000, cet.II, hal.
616-618.
[12] Harun Nasution, Akal Dan wahyu Dalam Islam,
Jakarta: UI-Press, 1986, cet. III, hal. 85.
[14] Sirajuddin
Zar. Op,Cit. hal. 209.
[15] Hasyimsyah
nasution. Op, Cit. hal. 104
[16] Ibid, hal. 104-106
[17] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus, Juni 1999, cet. VIII, hal. 107.
[19] Ahmad Daudi, Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, cet. III, hal.145
[21] Hasyimsyah
Nasutio. Op,cit. hal. 103.
[22] Harun
Nasution, Op,Cit. Hal. 96
[25] Sirajuddin
Zar. Op,cit. hal. 213
[26] Ibid.
215
[27] Hasyimsyah
Nasution, Op,Cit. Hal 110.
[28] Ibid
[32] Hasyimsyah
Nasution. Op,Cit. Hal.111
[33] M.M. Syarif, MA. “The Philosophers”, dari buku History of Muslim
Philoshophy,
Bandung: Mizan, cet. I, 1985., hlm. 167
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: