Selasa, 07 April 2015
SISTEM WARALABA DALAM ISLAM
A .Pendahuluan
Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw merupakan sumber
tuntunan hidup bagi kaum muslimin untuk menapaki kehidupan fana di dunia ini
dalam rangka menuju kehidupan kekal diakhirat nanti. Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
sebagai penuntun memiliki daya jangkau dan daya atur yang universal. Artinya
meliputi segenap aspek kehidupan umat man usia dan selalu ideal untuk masa
lalu, kini, dan yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Al Qur’an dan Sunnah
tersebut mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal dapat dilihat dari
segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan aktual.
Misalnya, daya jangkau dan daya aturnya dalam bidang perekonomian umat.
Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntunan kehidupan. Di samping
itu juga merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah. Hal itu dapat
dibuktikan dalam ayat berikut :
ôs)s9ur öNà6»¨Z©3tB Îû ÇÚöF{$# $uZù=yèy_ur öNä3s9 $pkÏù |·Í»yètB 3 WxÎ=s% $¨B tbrãä3ô±s? ÇÊÉÈ
”Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di
muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. amat
sedikitlah kamu bersyukur”. (QS. Al-A’raf (7): 10
uqèd Ï%©!$# @yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# Zwqä9s (#qà±øB$$sù Îû $pkÈ:Ï.$uZtB (#qè=ä.ur `ÏB ¾ÏmÏ%øÍh (
Ïmøs9Î)ur âqà±Y9$# ÇÊÎÈ
”Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan
Hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS. Al-Mulk (67):
15).
$uZù=yèy_ur
u$pk¨]9$#
$V©$yètB
ÇÊÊÈ
"Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” (QS.
An-Naba’ (78): 11).
#sÎ*sù
ÏMuÅÒè%
äo4qn=¢Á9$#
(#rãϱtFR$$sù
Îû
ÇÚöF{$#
(#qäótGö/$#ur
`ÏB
È@ôÒsù
«!$#
(#rãä.ø$#ur
©!$#
#ZÏWx.
ö/ä3¯=yè©9
tbqßsÎ=øÿè?
”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak -banyak
supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jum’ah (62): 10)..
Dalam bidang mu’amalah hukum asal segala sesuatu adalah
boleh kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu terlarang.
Sedangkan dalam bidang ibadah hukum asalnya adalah terlarang kecuali ada dalil
yang mendasarinya. Berdasarkan prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi
yang terkait dengan segala macam bentuk mu’amalat diizinkan oleh syariat
Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Berbeda
dengan bidang muamalah, hukum Islam dalam bidang ibadah tidak terbuka
kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya harus berorientasi kepada nash
Al Qur’an dan Hadis yang telah mengatur secara jelas tentang tata cara
pelaksanaan ibadah tersebut. Namun modernisasi dalam bidang sarana dan
prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan. Berangkat dari latar belakang masalah (fenomena ) diatas, maka
yang menjadi masalah dalam penulisan iniadalah: Bagaimanakah pandangan hukum
Islam terhadap bisnis waralaba ditinjau dari hukum Muamalat (Fiqh Muamalah). [1]
B.
Pembahasan
1. Pengertian
Waralaba
Waralaba adalah suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan (franchisor)
memberi hak pada pihak independen (franchise) untuk menjual produk atau
jasa perusahaan tersebut dengan pengaturan yang ditetapkan oleh franchisor.
Franchise menggunakan nama, good will, produk dan jasa, prosedur,
pemesaran, keahlian, sistem prosedur operasional dan fasilitas penunjang dari
pihak franchisor. Sebagai imbalannya, franchisee membayar initial
fee dan royalty pada perusahaan franchisor seperti yang
diatur dalam wara laba.
Menurut Suhrawardi K
Lubis perjanjian franchise
adalah,
“Pemberian hak oleh franchisor
kepada franchise untuk menggunakan kekhasasan usaha atau ciri pengenal usaha
atau ciri pengenal usaha bisnis di bidang perdagangan/jasa berupa pada jenis
produk dan bentuk yang diusahakan termasuk identitas perusahaan (logo,merek,
dan desain perusahaan, pengguanaan rencana pemasaran serta pemberian bantuan
yang luas, waktu/saat/jam operasional, pakaiaan dan penampilan karyawan)
sehingga kekhasan usaha atau ciri pengenal bisnis dagang /jasa milik franchise sama
degan kekhasan usaha atau bisnis dagang/jasa milik franchisor”.
Dapat dijelaskan dengan bahwa yang dimaksud dengan franchisor
adalah pihak atau pihak yang memberikan izin kepada franchise untuk
menggunakan kekhsasan usaha atau sfesifikasi (ciri pengenal) bisnis miliknya.
Sedangkan yang dimaksud dengan franchise adalah pihak atau para pihak
yang yang mendapat izin atau lisensi franchise dari franchisor
untuk menggunakan kekhasaan usaha atau spesifikasi (ciri pengenal) usaha franchisor.
Adapun yang menjadi perbedaan pokok atau perjanjian franchise
dengan bisnis konvensional dapat
dikemukakan sebagai berikut ;
1. Bahwa dalam bisnis konvesional bahwa
apabila seseorang membeli perusahaan
atau mengambil alih suatu perusahaan, maka yang membeli atau yang mengambil alih perusahaan tersebut akan menjalankan perusahaan (yang dibelinya tersebut) sesuai
dengan kemauannya (pembeli).
2. Sedangkan dalam franchise, seorang franchise
tidak dibolehkan menjalankan bisnis menurut kemauannya sendiri, tetapi harus menjalankan bisnisnya sesuai dengan sistem franchisornya.
3. Posisi franchise di pasar
merupakan pertimbangan yang penting, tidak hanya melihat pada bisnis yang difranchisekannya dalam
hubungannya dengan aktivitas- aktivitas sendiri, tetapi juga membuat penilaian mengenai
prospek dari industri dan perdagangan secara keseluruhan. Franchise akan
bergerak pada barang atau produk, baik profesi maupun jasa.
Menyangkut ketentuan hukum
yang mengatur franchise di
indonesia di kemukakan belum ada ketentuan perundang-perundangan nasional yang
mengatur hal tersebut. Dengan demikian, secara umum untuk sementara (sebelum
dibuat peraturan perundang-perundangan yang mengaturnya) masih tunduk pada
ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHU.Perdata)
dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUH.Dagang)[2].
Investasi di bisnis waralaba, dengan cara membeli merek
dagang yang sudah sangat terkenal, menjadi trend dalam dunia investasi. Bahkan
tawaran waralaba semakin beragam dan inovatif. Baik dari segi produknya maupun
nilai investasinya. Di antara banyak pilihan investasi, dimana salah satunya
yaitu tabungan deposito, diluar dari tabungan deposito investasi di sektor
waralaba terus berkembang, baik skala kecil maupun besar. Pilihan waralaba yang
tepat bisa menjadi mesin uang. Untuk memulai bisnis waralaba mesti mengeluarkan
dana tunai minimal dua ratus juta rupiah. Bila dibandingkan dengan investasi
lain, waralaba setidaknya tidak akan membuat pelaku usahanya menjadi kerepotan.
Biasanya waralaba yang dijual sudah mempunyai sistem yang bagus. Begitu pun
soal promosi, pelaku usaha bisnis waralaba tidak perlu mengeluarkan biaya
promosi besar karena rata-rata waralaba yang diperjual-belikan itu sudah
mempunyai merek sangat kuat. Istilahnya, kalau kita membeli satu waralaba,
tinggal duduk, uang mengalir ke tangan pelaku usaha setiap hari. Tetapi kalau
masuk ke waralaba, tetap harus cermat menentukan pilihan. misalnya, yang
membeli tiga waralaba Primagama, mengaku ada juga yang gagal, karena salah
lokasi dan tidak laku.[3]
Di lain
sisi, walaupun harus menembus gejolak ekonomi yang naik dan turun, sistem ini
terus menyebar keseluruh dunia dengan pesat. Hal ini umumnya disebabkan karena
dalam Sistem Waralaba, semua pihak mendapatkan keuntungan (Pembeli, Terwaralaba
(franchisee), Pewaralaba (franchisor), tentunya bila melalui
sistem yang benar dan tepat. Namun, dengan konsep bisnis waralaba kemudian
muncul suatu masalah yang berkaitan dengan kemudahan, sistem dan keuntungan
serta riba’ tidaknya hasil yang didapat bila konsep bisnis waralaba
tersebut dipandang berdasarkan ketentuan hukum islam.
Bagaimanakah
perjanjian franchise menurut
Hukum Islam ? untuk menjawab persoalan ini dikemukakan bahwa perjanjian franchise adalah
suatu perjanjian yang tergolong baru dan masih berkembang. Dengan sendirinya
tidak akan ada aturan yang bersifat limitatif yang mengatur persoalan tersebut.[4]
Namun demikian, apabila
diperhatikan dari sudut perjanjian itu sebenarnya merupakan pengembangan dari
bentuk kerja sama (syarikah. Dalam Hukum Muamalat, wara laba dapat
dikategorikan sebagai bentuk kerja sama dagang atau usaha bisnis yang belum
dikenal atau berbeda dengan macam-macam syirkah yang telah dibahas oleh ulama
fiqh terdahulu.
2. Teori Syirkah (Kemitraan Bisnis)
a.
Pengertian Syirkah dan Dasar Hukumnya
Secara etimologi, asy-syirkah
berarti percampuran, yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga
sulit dibedakan. Asy-syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang
dengan rukun dan syarat tertentu, yang dalam hukum positif disebut dengan perserikatan
dagang [5].Menurut
istilah hukum Islam, ada beberapa definisi syirkah yang dikemukakan oleh
kalangan ahli hukum Islam (fukaha), diantaranya adalah Ulama Hanafiyah yang
mendefinisikan syirkah sebagai suatu persetujuan antara dua orang atau lebih
untuk bekerja sama dalam hal modal dan keuntungan. Ulama Malikiyah mengatakan
syirkah adalah suatu perizinan antara dua orang yang bekerja sama untuk
bertindak secara hukum bahwa syirkah
adalah keikutsertaan dua orang atau lebih di dalam suatui transaksi. Ahli hukum
Ali al- Khafit memberikan defnisi lebih luas yaitu kontrak dua orang atau lebih
untuk kerja sama dalam modal dan laba, atau untuk keikutsertaan di dalam modal
orang lain dan labanya, atau untuk keikutsertaan di dalam laba dan tanpa
keikutsertaan di dalam modal [6].
Syirkah atau musyarakah adalah akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan[7].
Berdasarkan beberapa definisi di atas, subtansi akad syirkah adalah ikatan (kontrak)
kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam usaha bisnis atau perdagangan.
Keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama. Akad asysyirkah dibolehkan,
menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam surat Shad (38)
ayat 24 yang berbunyi :
tA$s%
ôs)s9
y7yJn=sß
ÉA#xsÝ¡Î0
y7ÏGyf÷ètR
4n<Î)
¾ÏmÅ_$yèÏR
(
¨bÎ)ur
#ZÏVx.
z`ÏiB
Ïä!$sÜn=èø:$#
Éóö6us9
öNåkÝÕ÷èt/
4n?tã
CÙ÷èt/
wÎ)
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
×@Î=s%ur
$¨B
öNèd
3
£`sßur
ß¼ãr#y
$yJ¯Rr&
çm»¨YtGsù
txÿøótGó$$sù
¼çm/u
§yzur
$YèÏ.#u
z>$tRr&ur
)
ÇËÍÈ
Artinya.
Daud berkata:
"Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa
Kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud
dan bertaubat (Q.S Shad (38) ayat 24)
Kata “berserikat” (al-khulatha) dalam ayat tersebut bisa
diartikan saling bersekutu atau partnership yaitu kerjasama dua pihak atau
lebih untuk melakukan sebuah usaha perniagaan[8].
Dalam sebuah hadis Qudsi Rasulullah saw bersabda:
Aku
(Allah) merupakan orang ketiga dalam perserikatan antara dua orang, selama
salah seorang diantara keduanya tidak melakukanpengkhianatanterhadap yang lain.
Jika seseorang melakukan pengkhianatan etrhadap yang lain, aku keluar dari perserikatan
dari dua orang itu (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah )[9]
Hadits
ini secara jelas membenarkan adanya praktek akad syirkah dan menunjukkan
urgensi sifat amanah dan tidak membenarkan adanya khianat dalam kontrak syirkah[10]
b.
Macam-Macam Syirkah
Syirkah terbagi menjadi
dua yaitu syirkah amlak (milik) dan syirkah uqud(akad):
1. Syirkah Amlak
Syirkah al-Amlak, adalah dua orang atau lebih untuk memiliki suatu benda.
Syirkah ini terbagi menjadi:
(a) Syirkah milik
Jabriyah yaitu syirkah yang terjadi tanpa ada keinginan para pihak yang bersangkutan.
Misalnya Harta warisan itu menjadi milik bersama orangorang yang menerima
warisan itu.
(b) Syirkah milik Ikhtiyariyah, yaitu syirkah yang
terjadi atas keinginan para pihak yang bersangkutan. Seperti dua orang bersepakat
membeli suatu barang dan barang tersebut menjadi milik mereka secara berserikat[11]
2. Syirkah Uqud Syirkah
al-Uqud adalah persekutuan antara dua orang atau lebih yang timbul
dengan cara kesepakatan atau akad (perjanjian).di mana dua orang atau lebih
bersepakat atau setuju bahwa tiap orang dari mereka ikut memberikan modal dan
merekapun bersepakat berbagai keuntungan dan kerugian[12].
Syirkah al-Uqud ini secara garis besar terbagi menjadi syirkah amwal (keuangan),
syirkah a’mal (operasional) Syirkah wujuh (Good will), dan
syirkah Mudharabah[13].
Syirkah amwal
(keuangan) menjadi syirkah al-”inan dan almufawadhah. Wahbah
az-Zuhaili dalam kitab “ al-Fiqh al-Islami wa Adullatuhu “ membagi
syirkah akad menjadi syirkah al-‘inan, al-mufawwadhah, al-A’mal, dan
Syirkah al-Wujuh[14]. Dalam kitab “Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” dijelaskan syirkah menurut fukaha-fukaha
Amshar secara garis besar dibagi menjadi empat macam, yaitu syirkah ‘inan,
Syirkah ‘abdan, syirkah mufawadhah dan syirkah wujuh[15]. Jenis-jenis
syirkah yang termasuk ke dalam kategori syirkah al-‘uqud, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Syirkah
al-‘inan, yaitu kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih dalam suatu
usaha bisnis dan mereka berbagi keuntungan dan kerugian sebagaimana yang
disepakati bersama[16].
Dalam syirkah al-‘Inan disyaratkan porsi masing-masing pihak baik dalam
kontribusi modal, kerja, ataupun bagi hasil tidak harus sama,tetapi sesuai
dengan kesepakatan[17],
sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggung jawab bersama sesuai dengan
prosentase atau saham masing-masing[18].
Madzhab hanafi dan Hambali mengizinkan pembagian keuntungan dalam syirkah al-”Inan
dengan memilih salah satu alternatif berikut:
(a) keuntungan
yang diperoleh dibagi sesuai dengan kontribusi modal yang diberikan oleh
masing-masing pihak,
(b) keuntungan bisa dibagi secara sama, walaaupun
kontribusi modal masing-masing pihak mungkin berbeda,
(c) keuntungan bisa dibagi tidak sama tapi kontribusi
dana yang diberikan sama. Madzhab maliki dan Syafi’I menerima jenis akad
syirkah ini dengan syarat, keuntungan dan kerugian dibagi secara proporsional sesuai
dengan kontribusi dana yang ditanamkan[19].
Di Indonesia, penerapan syirkah al-‘inan dapat dilihat dalam penyertaan
modal di Perseroan Terbatas (PT)[20]
2. Syirkah al-mufawadhah, yaitu kontrak kerja
sama antara dua orang atau lebih pada suatu usaha bisnis, dan setiap pihak
berbagi keuntungan dan kerugian secara sama dengan syarat masing-masing pihak
memasukkanmodal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja)
yang sama, sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama
orang-orang yang berserikat itu. Unsur penting atau syarat utama dari jenis
syirkah mufawadhah ini adalah, baik dalam masalah modal, kerja, tanggungjawab,
keuntungan dan kerugian, masing-masing pihak
yang mengikatkan diri dalam syirkah ini mem Bisnis punyai
hak dan kewajiban yang sama[21].
3. Syirkah al-wujuh, yaitu kontrak kerja sama
antara dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, tetapi memiliki
reputasi dan prestise serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang dengan kredit
dan menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungan dibagi bersama[22]:
Dalam syirkah seperti ini, pihak yang berserikat membeli barang secara kredit,
hanya atas dasar suatu kepercayaan, kemudian barang yang mereka kredit itu mereka
jual dengan harga tunai, sehingga mereka meraih keuntungan[23]
4. Syirkah al-A’mal (al-Abdan), kontrak kerja
sama antara dua orang seprofesi untuk menerima suatu pekerjaan secara bersama
dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu [24]
Misalnya, kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau
kerjasama dua orang penjahit untuk menerima proyek pembuatan seragam sekolah. Hasil
atau imbalan yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama sesuai dengan
kesepakatan mereka berdua. Hukum kebolehan syirkah dari empat macam syirkah
diatas, yang telah disepakati oleh fukaha (ahli fiqh) adalah syirkah ‘inan.
Tiga macam syirkah lainnya masih diperselisihkan. Imam Maliki dan Hanafi
membolehkan syirkah mufawadhah, sedang Syafi’i tidak membolehkannya.
Imam Hanafi dan ahli fiqh Malikiyah membolehkan syirkah ’abdan, tetapi
Syafi’i melarangnya. Hanafi membolehkan syirkah wujuh, Maliki dan
Syafi’i tidak membolehkannya[25]
Alasan perselisihan ahli fiqh diatas, terletak pada segi penekanan. Bagi ahli fiqh
yang menekankan terjadinya syirkah terletak pada percampuran modal atau harta,
maka syirkah ‘abdan dan wujuh tidak dibolehkan (pola pikir ini
diikuti terutama oleh Syafi’i ). Bagi ahli fiqh yang menekankan terjadinya
syirkah terletak pada usaha (tenaga) baik dengan modalharta maupun tanpa modal
harta, maka keberadaan syirkah ‘abdan dan wujuh dibolehkan (pola
pikir ini dianut terutama oleh Hanafi)[26]
3. Teori Ijarah (Sewa Menyewa)
1.
Pengertian Ijarah dan Dasar Hukumnya
Lafal al-ijarah dalam
bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan
salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia,
seperti sewa-menyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain[27].
Secara terminologi, ada beberapa definisi al-iajarah yang dikemukakan para
ulama fiqh. Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan :Transaksi terhadap suatu
menafaat dengan imbalan[28]
Syafi’iyah menjelaskan ijarah adalah akad atas suatu manfaat tertentu, bersifat
mubah dan boleh dimanfaatkan dengan kompensasi atau imbalan tertentu. Malikiyah
mengatakan, ijarah adalah perpindahan kepemilikan manfaat sesuatu yang
dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu kompensasi tertentu[29]
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka
akad al-ijarah bisa diartikan sebagai akad pemindahan hak pakai atas
barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan (upah sewa), yang
tidak dikuti oleh pemindahan hak milik atas barng yang disewa. Subtansi akad
ijarah terletak pada pengambilan manfaat atas barang atau jasa yang diimbangi
dengan upah dalam waktu tertentu. Dasar hukum akad ijarah adalah firman Allah
surat al Baqarah (2) ayat 233:
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur
z`÷èÅÊöã
£`èdy»s9÷rr&
Èû÷,s!öqym
Èû÷ün=ÏB%x.
(
ô`yJÏ9
y#ur&
br&
¨LÉêã
sptã$|ʧ9$#
4
n?tãur
Ïqä9öqpRùQ$#
¼ã&s!
£`ßgè%øÍ
£`åkèEuqó¡Ï.ur
Å$rã÷èpRùQ$$Î/
4
w
ß#¯=s3è?
ë§øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr
4
w
§!$Òè?
8ot$Î!ºur
$ydÏ$s!uqÎ/
wur
×qä9öqtB
¼çm©9
¾ÍnÏ$s!uqÎ/
4
n?tãur
Ï^Í#uqø9$#
ã@÷VÏB
y7Ï9ºs
3
÷bÎ*sù
#y#ur&
»w$|ÁÏù
`tã
<Ú#ts?
$uKåk÷]ÏiB
9ãr$t±s?ur
xsù
yy$oYã_
$yJÍkön=tã
3
÷bÎ)ur
öN?ur&
br&
(#þqãèÅÊ÷tIó¡n@
ö/ä.y»s9÷rr&
xsù
yy$uZã_
ö/ä3øn=tæ
#sÎ)
NçFôJ¯=y
!$¨B
Läêøs?#uä
Å$rá÷èpRùQ$$Î/
3
(#qà)¨?$#ur
©!$#
(#þqßJn=ôã$#ur
¨br&
©!$#
$oÿÏ3
tbqè=uK÷ès?
×ÅÁt/
ÇËÌÌÈ
Artinya
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya
selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak
ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan. (Q.S al -Baqarah
ayat; 233)
Inti tafsir dari ayat tersebut menunjukkan kebolehan
seseorang menyewa jasa orang lain untuk menyusui anaknya, dengan syarat
membayar upah secara layak Ungkapan ini menunjukkan adanya jasa orang lain yang
diberikan, dan adanya kewajiban membayar yang patut atas jasa yang diterima[30].
Dalam surat al Qashash (28) ayat 26 Allah juga berfirman:
ôMs9$s%
$yJßg1y÷nÎ)
ÏMt/r'¯»t
çnöÉfø«tGó$#
(
cÎ)
uöyz
Ç`tB
|Nöyfø«tGó$#
Èqs)ø9$#
ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
Artinya.
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:
"Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (Q.S al Qashash ayat 26)
Ayat ini merujuk pada
keabsahan kontrak ijarah. Ayat ini berkisah tentang perjalanan Nabi Musa AS
bertemu dengan kedua putri Nabi Ishak AS, salah
seorang putrinya meminta Nabi Musa AS untuk di-isti’jar (disewa
tenaganya/ jasa) guna mengembalakan domba. Ayat berikutnya bercerita tentang
bagaimana Nabi Musa harus bekerja dan sistem pengupahan yang diterima. Cerita
ini menggambarkan proses penyewaan jasa seseorang dan bagaimana pembayaran upah
itu dilakukan [31] Cerita ini dapat dijadikan landasan hukum,
yang dalam ushul fiqh sebagai syar’u man qablana sepanjang tidak
di-mansukh (dihapus) [32].
Dasar hukum dari hadits Rasulullah saw, diantaranya adalah Berikanlah upah
buruh selagi belum kering keringatnya (Hadits Riwayat Ibnu Majah dari
Abdullah bin Umar. Hadits ini relevansinya dengan praktek kontrak ijarah pada
saat sekarang adalah adanya keharusan untuk mnelakukan pembayaran uang sewa
sesuai dengan kesepakatan atau batas
waktu yang telah ditentukan, seyogyanya tidak menunda nunda pemberian upah dari
jadwal atau tenggang waktu yang telah disepakati[33]
Ijmak shahabat telah sepakat atas kebolehan akad ijarah, hal ini didasari pada
kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa tertentu seperti halnya kebutuhan barang,
Ketika akad jualbeli diperbolehkan, maka terdapat suatu kewajiban untuk
membolehkan akad ijarah atas manfaat atau jasa. Hakekat ijarah sama dengan jual
beli, namun dengan obyek manfaat atau jasa [34]
2.
Macam-Macam Al-ijarah
Akad Ijarah dilihat segi objeknya, terbagi menjadi dua macam,
yaitu: yang bersifat manfaat atas suatu benda atau barang dan yang bersifat
manfaat atas pekerjaan (jasa). Al-ijarah yang bersifat manfaat atas
benda, umpamanya adalah sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan
perhiasan. Apabila manfaat yang dibolehkannya syara’ untuk dipergunakan, maka
para ulama fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa menyewa[35].
Al-ijarah yang bersifat manfaat atas pekerjaan (jasa) ialah dengan cara mempekerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, menurut para
ulama fiqh, hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas, seperti buruh
bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti
ini ada yang bersifat pribadi, seperti menggaji seorang pembantu rumah tangga,
dan yang bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual
jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik,
dan tukang jahit. Kedua bentuk al-ijarah terhadap pekerjaan ini (buruh,
tukang, dan pembantu), menurut para ulama fiqh, hukumnya boleh[36],
Terkait dengan hal ini, termasuk menyewa terhadap manfaat atas karya seseorang
yang berupa hak kekayaan intlektual (HAKI), seperti hak cipta, Merk dagang,
logo dan sebagainya. Akad ijarah, jika terpenuhi syarat-syarat tersebut,
maka ijarah dipandang sah dan berlaku akibat hukumnya, yaitu :
a).
Pemberi sewa berkewajiban untuk menyediakan asset (barang sewa) dan
memungkinkan bagi penyewa untuk menikmati manfaat asset tersebut. Penyewa
bertanggunga jawab untuk menjaga keutuhan asset yang disewa dan membayar upah sewa.
Aset yang disewa adalah amanah di tangan penyewa, jika aset rusak tanpa
pelanggaran dan kelalaian penyewa, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan
itu. Boleh disyaratkan dalam kontrak pemelihrtaan asset dilakukan oleh penyewa,
dengan syarat upoah sewa yang dibayar oleh penyewa harus adil, dalam arti
jumlah sewa harus mencerminkan nilai manfaat yang,didapatkan serta biaya yang
dikeluarkan untuk pemeliharaan asset[37]
.
b).
Akad ijarah adalah akad mengikat, akad ini tidak bisa dibatalkan kecuali ada
cacat atau hilangnya nilai manfaat bagi kedua pihak. Menurut ulama Hanafiyah,
wafatnya salah seorang yang berakad, maka akadnya batal, karena akad al-ijarah,
menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut Jumhur ulama, akad al-ijarah
tidak batal dengan wafatnya salah seroang yang berakad, karena manfaat,
menurut mereka, boleh diwariskan dan alijarahsama dengan jual beli,
yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad [38].
c) Akad ijarah berakhir, jika tenggang waktu
yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang
disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila
yang disewa itu adalah jasa seseorang, maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal
ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh [39].
Dewasa ini, dalam lembaga keuangan syari’ah memproduk akad ijarah yang disebut
dengan al-Ijarah al- Muntahia bit-Tamlik, yaitu perpaduan antara kontrak
jual beli dengan akad sewa, atau akad sewa yang diakhiri dengan perpindahan hak
milik barang ditangan penyewa. Biaya sewa biasanya lebih besar dari upah sewa
biasa. Biaya sewa tersebut mencerminkan harga pokok pembelian dan besaran
margin keuntungan yang diinginkan. Ketika biaya sewa telah lunas diakhir masa perjanjian,
kepemilikan barang akan bergeser kepada penyewa. ijarah model seperti itu, diperbolehkan
oleh syara’, dengan dasar hukum atau dalil sebagai berikut :
a.
Akad Ijarah bit Tamlik bukan gabungan dua akad, yakni sewa dan jual beli
dalam satu akad (yang ini dilarang oleh hadits). Namun, akad ini atas dua akad
yang terpisah dan independen, pertama adalah akad sewa, dan di akhir masa sewa dibentuk
akad baru yang independen, yakni akad jual beli atau bisa juga dengan hibah.
b.
Ulama Malikiyah menyatakan, akad sewa (ijarah) bisa digabungkan dengan akad
jual beli dalam sebuah transaksi, karena tidak ada hal yang menafikan subtansi
keduanya. Ulama Syafi’iyyah dan habailah mengakui kebasahan penggabungan dua
akad ini dalam stau transaksi, karena tidak ada pertentangan subtansi akad di antara
keduanya.
c.
Ketetapan ulama fiqh dunia di Kuwait ( 10-15 Desember 1988) yang menghadirkan
alternatif solusi, yakni akad ini diganti dengan jual beli kredit, atau akad
ijarah, ketika akhir perjanjian, penyewa diberi beberapa opsi, yaitu
perpanjangan masa kontrak, atau membeli obyek sewa dengan harga yang berlaku
dipasar [40].
4. Teori Ibtikar
a. Pengertian Ibtikar
Secara etimologi, ibtikar
berarti awal sesuatu atau permulaannya. Ibtikar dalam fiqih Islam
dimaksudkan adalah hak cipta/kreasi yang dihasilkan seseorang untuk pertama
kali. Di dalam dunia ilmu pengetahuan al-ibtikar disebut dengan hak
cipta[41].
Definisi al-ibtikar tidak ditemukan dalam literatur fiqh klasik, kajian
tentang al-ibtikar secara mendalam,dari para ahli hukum Islam juga
jarang ditemukan. Pembahasan hak al-ibtikar dapat dilacak dalam kitab
fiqh kontemporer. Fathi ad-Duraini, menyatakan bahwa ibtikar adalah :
gambaran pemikiran yang dihasilkan seorang ilmuan melalui kemampuan pemikiran
dan analisisnya dan hasilnya merupakan penemuan atau kreasi pertama, yang belum
dikemukakan ilmuan sebelumnya[42]
Ibtikar atau hak cipta terbilang hal yang baru dalam kajian
fiqh, seiring dengan kemajuan dunia keilmuan, dunia usaha (perdagangan), dan
kehidupan sosial budaya masyarakat. Hak cipta, secara maknawi sebagai
kepemilkian khusus, dan merupakan hasil karya intlektual manusia, yang sudah
selayaknya ada penghargaan khusus dari masyarakat umum baik dari segi moral maupun
finansial[43].
b.
Ibtikar dipandang sebagai harta
Ibtikar
dikaitkan dengan pengertian harta dalam hukum Islam. Menurut
Ulama Hanafiyah, yang dinamakan harta adalah segala sesuatu yang mungkin
disimpan dan bisa dimanfaatkan secara biasa. Pengertian ini membawa akibat
bahwa sesuatu itu dapat dipandang harta jika mengandung dua unsure, yaitu
(a) Dapat disimpan, maka sesuatu yang tidak bisa
disimpan tidak dipandang sebagai harta.
(b). Dapat dimanfaatkan secara biasa[44].
Konsekwensi logis dari pendapat Ulama Hanafiyah adalah yang dinamakan harta harus
bersifat benda atau sesuatu yang bisa diindra (kasat mata). Sedangkan manfaat
atau hak bukan dipandang sebagai harta , tetapi merupakan kepemilkian [45]
. Jumhur Ulama berpendapat bahwa harta adalah segala sesuatu yang mempunyai
nilai dan orang yang merusakkannya harus menggantinya atau menanggung beban atas
kerusakannya. Imam Syafi’i mengatakan, al-mal dikhususkan pada sesuatu yang
bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekwensi bagi yang
merusaknya. Berdasarkan pengertian ini al-mal haruslah sesuatu yang dapat
merefleksikan nilai finansial, dalam arti bisa diukur dengan satuan moneter.
Konsekwensi logis dari pemikiran Jumhur Ulama ini adalah bahwa yang dinamakan harta
tidak harus bersifat benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat
dipandang sebagai harta.
Alasan yang digunakan
oleh Jumhur bahwa maksud orang memiliki suatu benda bukan karena semata-mata
bendanya tetapi adalah manfaat dari benda itu sendiri[46].
Pendapat Jumhur Ulama bila dikaitkan dengan hak Ibtikar, maka hasil pemikiran,
ciptaan, dan kreasi seseorang termasuk harta, karena menurut mereka, harta
tidak hanya bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat. Atas dasar ini, maka
pemikian, hak cipta atau kreasiyang sumbernya adalah pemikiran manusia bernilai harta dan kedudukannya sama dengan
benda-benda lain, sepertii rumah, mobil dan sebagainya. Ijtihad jumhur ulama,
hak cipta dan kreasi ilmuan atau seniman termasuk ke dalam pengertian harta
dengan syarat setelah hasil pemikiran itu dituangkan ke dalam buku atau media
lainnya[47]
c.
Dasar Hukum Hak al-ibtikar
Hak cipta atau kreasi karya intlektual manusia, merupakan hal baru
dan belum ditemukan nash hukumnya (dalil khusus) baik dari ayat al-Qur’an maupun
al-Hadits, secara ijtihadi dapat didasarkan pada; Pertama,‘urf
(suatu kebiasaan atau adat yang berlaku umum dalam suatu masyarakat). Adat
yang telah berjalan dan berlaku umum dapat dijadikan dasar hukum, sebagaimana dalam
kaidah hukum Islam: “Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum”[48].
Kedua, maslahah mursalah (sesuatu yang dianggap maslahat, namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya
dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya,
tetapi maslahah itu secara subtansial sejalan atau tidak bertentangan dengan
petunjuk umum syari’ah atau ruh syari’ah
maupun maqasid syari’ah [49]
Konsekwensi hukum Islam memandang bahwa
hak cipta (ibtikar) termasuk kedalam kategori harta yang berakibat bagi
penemu atau pencipta terhadap hasil karya atau ciptaanya menjadi hak milik
mutlak yang bersifat materi. Penemu atau pencipta berhak atas nilai materi itu
atau hak tersebut, ketika digunakan atau dimanfaatkan oleh orang lain dengan
seizinnya. Hak ini layaknya harta dan berlaku pada hukum yang melingkupinya[50]
. Berpijak dari hal tersebut, Hak ibtikar mempunyai kedudukan yang sama
dengan harta-harta lain yang bisa ditransaksikan, diwariskan atau diwasiatkan maka
untuk menjaga eksistensi keberadaan hak ibtikar tersebut dari halhal yang
merusakkannya harus mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah lewat
peraturan maupun undang-undang dengan mempertimbangkan kemaslahatan kedua belah
pihak. Tindakan pemerintah mengatur hak cipta bagi warga negaranya tidak
bertentangan dengan kaidah hukum Islam:
“Tasharuf
(tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan”[51].
Perlindungan hukum atas
hak cipta seseorang lewat undang-undang atau hukum yang berlaku di negara,
dapat menghindari terjadinya penipuan dan kerugian dari pihak-pihak yang saling
bertransaksi dalam bisnis (perdagangan). Upaya pemerintah membuat aturan perlindungan
hukum atas hak cipta bagi warga negaranya, disamping mendasarkan pada ‘Urf (adat)
maupun maslahah mursalah, juga disemangati oleh hadits Nabi Saw :
“Rasulullah Saw pernah lewat seseorang yang sedang menjual bahan
makanan, lalu Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan itu, lalu
ternyata bahan makanan tersebut tipuan. Maka Rasulullah Saw bersabda ; tidak termasuk
golongan kami orang yang menipu”(Ibnu Majah, tt.,Juz II: 749).
Isyarat hadits tersebut,
bila dicermati lebih jauh, dapat dibangun teori atau asas hukum Islam tentang
akad (transaksi), yaitu keabsahan dan pembatalan akad (transaksi) muamalat bentuk
apapun, ditentukan oleh adanya konsep tujuan akad yang menjadi “causa”. Causa
adalah maksud atau motif para pihak ketika membuat akad, dengan causa ini
merupakan sumber atau dasar kekuatan mengikat bagi tindakan hukum bersangkutan,
yaitu dasar perlindungan hukum terhadap para pihak yang melakukan akad. Unsur
penipuan dalam transaksi menandakan ada indikator cacat kehendak dari
pelaku akad yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan (tertipu) untuk
membatalkan perjanjian.
5. Analisis Hukum Muamalat Terhadap Bisnis Waralaba
a. Analisis dari Aspek Syirkah (Kemitraan Bisnis)
Aspek hukum yang perlu
dianalisa dari bisnis waralaba adalah tentang kemitraan bisnis. Kemitraan
bisnis dalam hukum Islam disebut dengan syirkah atau musyarakah, dalam
hukum positip dikenal dengan perserikatan dagang. Definisi waralaba menurut
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2006 Pasal 1 angka (1) adalah :
“Perikatan
antara pemberi waralabadengan penerima waralaba di manapenerima waralaba
diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan dan/atau menggunakan hak kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba
dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi
waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang
berkesinambungan oleh pemberi Waralaba kepada penerima Waralaba’’.
Berdasarkan definisi tersebut,
maka ada dua segi yang perlu dianalisa dalam bisnis waralaba adalah :
Pertama, isi kontrak waralaba yang berupa suatu
prestasi, yaitu
(a). Pemberian lisensi atau izin dari pihak pemberi
waralaba kepada pihak penerima waralaba untuk menjalankan usaha bisnisnya
dengan menfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau
ciri khas usaha milik pemberi waralaba sebagai imbalannya, pihak penerima
waralaba membayar sejumlah uang barupa franchise fee (Agustaman, 2007:
38).
(b). Pemberian dukungan konsultasi operasional
berkesinambungan (Pasal 8 PP No.42/2007 dan Penjelasannya), dari pemberi waralaba
kepada penerima waralaba, sebagai imbalannya, penerima waralaba membayar royalty
kepada pemberi waralaba. Isi kontrak waralaba ini mengandung dua unsur,
yaitu unsur pembelian manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual dan unsur bagi
hasil yaitu adanya sistem royalty sebagai imbalan jasa atas dukungan
operasional dari pihak pemberi waralaba.
Kedua, Obyek kontrak yang berupa Hak
Kekayaan Intelektual yang menyangkut masalah hak cipta dalam sistem waralaba
meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu
yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba Isi kontrak waralaba yang berupa
suatu prestasi merupakan subtansi kontrak waralaba, bila dicermati terdapat dua
subtansi akad dalam hukum Islam :
(a) subtansi akad yang mengarah atau mendekati akad syirkah
yaitu terbentuknya kerja sama dalam usaha bisnis dengan berbagi keuntungan.
(b), subtansi akad yang mendekati dengan akad ijarah,
yaitu perpindahan kepemilikan manfaat Hak Kekayaan Intelektual dari pemberi waralaba
kepada penerima waralaba dengan suatu imbalan dalam batas waktu tertentu.
Obyek kontrak yang berupa Hak Kekayaan
Intelektual, kalau dilihat dari sudut hukum Islam menyangkut masalah hak cipta
dalam sistem waralaba yang meliputi merek dagang atau jasa, logo, sistem
operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi waralaba.
Hak cipta merupakan hal yang baru dalam kajian fiqh (hukum Islam). Persoalan
yang muncul terkait dengan hak cipta dalam hukum Islam menyangkut status
kepemilikan bagi pemiliknya dan hukum yang melingkupinya dalam pandangan fiqh
muamalat. Berdasarkan sumber data yang telah diuraikan, dapatlah dirumuskan
hal-hal sebagai berikut : Pertama, perjanjian dalam bisnis waralaba
harus dalam bentuk tertulis dan didaftarkan kepada Menteri Perdagangan.( Pasal
4, Pasal 11 ayat [1], Pasal 12 ayat [3] PP No. 42 Tahun 2007). Ketentuan ini
lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi kedua pelaku bisnis
waralaba. Kedua, dalam bisnis waralaba, masing-masing pihak baik pihak
pemberi waralaba maupun pihak penerima waralaba dipandang sebagai orang yang
cakap berbisnis. Ketiga, dalam bisnis waralaba pembagian keuntungan yang
disebut dengan royalty tidak dalam jumlah nominal melainkan prosentasi dari
laba usaha bisnis. Ketiga unsur tersebut, bila dihubungkan dengan teori
kemitraan bisnis dalam hukum Islam ada kesesuaian dengan syarat umum syirkah. Mencermati
sistem operasional (kerja) bisnis waralaba sebagaimana yang diatur oleh hukum
positip baik dalam PP No.42 tahun 2007 maupun Peraturan Menteri Perdagangan No.
12 Tahun 2006, maka dalam bisnis waralaba, masing-masing pihak baik pihak, pemberi
maupun penerima waralaba tidaklah sama dalam hal perolehan hak maupun dalam hal
beban kewajiban masing-masing. Artinya, baik modal, kerja, tanggung jawab,
berbagi laba dan resiko bagi masing-masing mitra bisnis tidak sama. Rumusan
tersebut,dilihat dari teori kemitraan bisnis dalam hukum Islam dapat
digolongkan sebagai jenis syirkah ‘inan, karena sesuai dengan syarat khusus
syirkah ‘inan, dengan catatan pemaknaan modal dalam syirkah mengacu pada
pendapat Maliki yang menyatakan bahwa modal tidak harus berwujud uang, tetapi
boleh juga berupa barang komoditas, asset perniagaan, jasa dan lain-lain
asalkan dapat ditentukan dengan kadar nilai (ekonomi). Akibat pemaknaan modal
dalam syirkah menurut imam Maliki dan pemaknaan harta menurut jumhur ulama fiqh
selain Hanafi yang telah dikemukakan pada bab dua, sistem operasional bisnis waralaba,
di samping sebagai aplikasi syirkah ‘inan, juga dilihat dari sisi lain terdapat
praktek syirkah a’mal ( syirkah ‘abdan). Syirkah yang modalnya
bukan harta tetapi tenaga atau pekerjaan
maupun keahlian atau profesi. Subtansi akad syirkah ‘abdan terletak
padakerjasama seprofesi dua orang atau lebih untuk menerima order bisnis
denganberbagi keuntungan sesuai kesepakatan. Subtansi syirkah ini, bila
dikaitkan atau dihubungkan dengan bisnis waralaba terdapat kesamaan dari satu
sisi dan ada perbedaan dari sisi lain. Persamaannya terletak pada modal yeng
berupa tenaga atau keahlian dalam bisnis waralaba baik dari pihak pemberi
maupun pihak penerima waralaba. Pihak pemberi waralaba, di samping modal yang
berupa manfaat dari Hak Kekayaan Intlektual yang dimilikinya, juga bermodal
tenaga ahli bidang bisnis yang berperan untuk melaksanakan pemberian pelatihan bimbingan,
penelitian dan pengembangan termasuk melakukan pengendalian mutu serta evaluasi
bisnis. Pihak penerima waralaba selain modal uang, juga tenaga, keahlian atau
profesi bisnis yang memegang peran penting menjalankan usaha dengan menggunakan
sistem dan methode bisnis dari pihak pemberi waralaba. Keuntungan dari usaha
waralaba ini dibagi menurut proporsi kualitas dan kuantitas kerja yang
dibebankan. Perpaduan (kerja sama) tenaga dan keahlian bisnis dari dua pihak
pelaku bisnis waralaba dapat dipandang sebagai syirkah ‘abdan (a’mal). Sementara
dari sisi lain, syirkah ‘abdan menurut teori syirkah hukum Islam, proyek
bisnis atau order bisnis yang menjadi obyek usaha syirkah adalah atas job atau
pesanan dari pihak ketiga. Misalnya, kerjasama orang yang berprofesi tukang
jahit untuk menerima pekerjaan dari Depdiknas untuk membuat seragam baju
sekolah. Order pekerjaan pembuatan baju seragam sekolah bukan atas inisiatif
atau diciptakan sendiri oleh pelaku syirkah melainkan datang dari pihak ketiga,
dalam hal ini pihak Depdiknas. Berbeda halnya, dengan bisnis waralaba, di mana proyek
bisnis yang menjadi usaha itu diciptakan sendiri oleh dua mitra bisnis waralaba
bukan atas pesanan dari pihak luar atau pihak ketiga. Dalam syirkah ‘abdan,
terjadi dan tidaknya syirkah tersebut sangat tergantung dari ada dan tidaknya
pesanan dari pihak ketiga. Berbeda dengan pola bisnis waralaba, terjadi dan
tidaknya bisnis waralaba tidak tergantung dari pihak ketiga melainkan
ditentukan atau diciptakan oleh sesama mitra bisnis waralaba (pemberi dan
penerima waralaba).
b.
Analisis dari Aspek Ijarah (Sewa Menyewa)
Salah satu subtansi
kontrak bisnis waralaba adalah pemberian lisensi (izin) oleh pemberi waralaba
kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan atau menggunakan Hak Kekayaan
Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha milik pemberi waralaba didalam
menjalankan usaha bisnisnya dengan imbalan sejumlah fee (franchise
fee) yang harus dibayar oleh penerima kepada pemberi waralaba dalam batasan
waktu tertentu. Subtansi kontrak bisnis waralaba tersebut tidak jauh berbeda
dengan subtansi akad ijarah dalam hukum Islam yaitu sama-sama memindahkan
kepemilikan manfaat atas benda ataupun jasa dengan imbalan sejumlah uang dalam
batas waktu tertentu. Dasar Analisa tersebut, apabila manfaat atas Hak Kekayaan
Intelektual dapat dipandang sebagai harta sehubungan pendapat jumhur ulama fiqh
selain Hanafi yang menyatakan bahwa bahwa yang dinamakan harta tidak harus bersifat
benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat dipandang sebagai
harta. Isi kontrak bisnis waralaba yang menyangkut pemberian lisensi atau izin dari
pemberi kepada penerima waralaba untuk memanfaatkan hak kekayaan intelektual di
dalam menjalankan usaha bisnisnya terdapat unsur-unsur sebagai berikut;
Pertama, Kontrak
waralaba berupa perjanjian tertulis. Kedua, Hak Kekayaan Intelektual
yang digunakan penerima waralaba dalam menjalankan usaha bisnisnya tidak lain
adalah untuk mengambil manfaatnya, yaitu meningkatkan daya beli atau volume
penjualan barang atau jasa.Ketiga, dalam bisnis waralaba, franchisee fee ditentukan
nominal rupiah untuk jangka waktu tertentu. Keempat, dalam bisnis waralaba, penggunaan
manfaat atas Hak Kekayaan Intelektual oleh penerima waralaba. Kelima, jika
jangka waktu kontrak waralaba berakhir, pihak penerima waralaba mengembalikan seluruh
data, informasi maupun keterangan yang berkenaan Hak Kekayaan Intlektual,
penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem manajemen, cara penjualan dan
sebagainya yang menjadi obyek waralaba kepada pemberi waralaba. Kelima unsur
ini sesuai dengan syarat-syarat sah akad ijarah.
c.
Analisis dari Aspek Ibtikar (Hak Cipta)
Aspek hukum yang tidak kalah
penting untuk dinalisa dari bisnis waralaba adalah obyek kontrak yang
berupa Hak Kekayaan Intelektual. Hak Kekayaan Intelektual, dilihat dari sudut hukum
Islam menyangkut masalah hak cipta yang meliputi merek dagang atau jasa, logo,
sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri khas usaha pemberi
waralaba. Hak cipta merupakan hal yang baru dalam kajian fiqh (hukum Islam).
Persoalan yang munculterkait dengan hak cipta dalam hukum Islam menyangkut
status kepemilikan bagi pemiliknya dan hukum yang melingkupinya dalam pandangan
fiqh muamalat. Hak Kekayaan Intelektual yang meliputi hak cipta, penemuan atau
ciri khas usaha dalam dunia ekonomi atau bisnis dalam hukum Islam dikenal
dengan istilah Ibtikar. Ibtikar bila dikaitkan dengan pengertian harta
dalam hukum Islam. terdapat dua pendapat dari kalangan ahli hukum Islam.
Menurut Ulama Hanafiyah, yang dinamakan harta adalah segala sesuatu yang
mungkin disimpan dan bisa dimanfaatkan secara biasa. Akibat logis dari pendapat
ini yang dinamakan harta harus berupa benda atau materi. Manfaat atau hak tidak
dipandang sebagai harta. Pendapat Jumhur Ulama bahwa yang dinamakan harta tidak
harus bersifat benda atau materi, tetapi bisa juga manfaat atau hak dapat
dipandang sebagai harta. Alasan yang digunakan oleh Jumhur bahwa maksud memiliki
suatu benda bukan karena semata-mata bendanya tetapi adalah manfaat dari benda
itu sendiri. Pendapat Jumhur Ulama bila dikaitkan dengan hak Ibtikar, maka
hasil pemikiran, ciptaan, dan kreasi seseorang termasuk harta, karena menurut
mereka, harta tidak hanya bersifat materi, tetapi juga bersifat manfaat. Atas
dasar ini, maka hak cipta atau kreasi yang sumbernya adalah pemikiran manusia
bernilai harta dan kedudukannya sama dengan benda-benda lain. Pemikiran Jumhur
Ulama dipandang lebih relevan dengan perkembangan zaman, terutama kemajuan dibidang ekonomi.
Karya-karya intlektual yang dilahirkan dengan pengorbanan menjadikan karya yang
dihadirkan menjadi bernilai, apalagi dilihat dari manfaat ekonomi yang dapat
dinikmati. Nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsep kekayaan terhadap
karya-karya intlektual itu bagi dunia usaha atau bisnis sehingga dapat
dikatakan sebagai asset perusahaan. Hak cipta atau kreasi karya intelektual
manusia, walaupun tidak ada ketentuan khusus baik dari ayat al-Qur’an maupun
al-Hadits, secara ijtihadi dapat didasarkan pada ‘urf[52] dan maslahah mursalah. Konsekwensi
hukum Islam memandang bahwa hak cipta (ibtikar) dipandang sebagai harta
yang berakibat bagi penemu atau pencipta terhadap karya atau ciptaanya menjadi
hak milik mutlak yang bersifat materi. Logika ekonomi bagi yang menemukan atau menciptakan
berhak atas nilai materi itu ketika digunakan atau dimanfaatkan oleh orang lain
atas izinnya. Kepemilikan hak cipta adalah harta yang tak ternilai karena mengandung
kepercayaan konsumen dan reputasi. Berpijak dari hal tersebut, Hak ibtikar mempunyai
kedudukan yang sama dengan harta-harta lain yang bisa ditransaksikan,
diwariskan atau diwasiatkan maka untuk menjaga eksistensi keberadaan hak
ibtikar tersebut dari hal-hal yang merusakkannya harus mendapatkan perlindungan
hukum dari pemerintah lewat peraturan maupun undang-undang dengan
mempertimbangkan kemaslahatan kedua belah pihak.Tindakan pemerintah mengatur
hak cipta bagi warga negaranya tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam: “ Tasharuf
(tindakan) imam terhadap rakyatharus dihubungkan dengan kemaslahatan”[53]
Perlindungan hukum atas
hak cipta seseorang lewat undang-undang atau hukum yang berlaku di negara,
dapat menghindari terjadinya penipuan dan kerugian dari pihak-pihak yang saling
bertransaksi dalam bisnis (perdagangan). Upaya pemerintah membuat aturan perlindungan
hukum atas hak cipta bagiwarga negaranya, disamping mendasarkan pada ‘Urf (adat)
maupun maslahah mursalah, juga disemangati oleh hadits Nabi Saw Riwayat
Ibnu Majah dari Abu Hurairah[54].
Isyarat hadits tersebut, dapat dibangun teori atau asas hukum Islam bahwa
setiap transaksi muamalat harus bebas dari cacat kehendak dari para pihak
ketika membuat akad. Dalam hukum Islam, cacat kehendak meliputi paksaan,
penipuan dan kekhilafan. Hukum Islam memandang bahwa Hak Kekayaan Intelektual
(HAKI) termasuk kedalam kategori harta dan status kepemilikan bagi penemu atau pemiliknya
sama dengan kepemilikan benda-benda lain, dalam arti bagi pemiliknya mempunyai
hak penuh untukmen-tasharuf-kannya. Kententuan hukum ini membawa akibat bahwa
untuk menjaga eksistensi hak cipta dari hal-hal yang merugikan bagi pemiliknya
dibutuhkan adanya perlindungan hukum dari pihak pemerintah. Adanya perlindungan
hukum dari pemerintah bagi pemegang hak cipta, disamping lebih memberikan
kepastian hukum, juga dapat menghindarkan dari hal-hal yang merugikan atau yang
menimbulkan terjadinya pemalsuan ataupun penipuan. Teori hukum Islam tentang
hak cipta diatas, sesuai dengan ijtihad ahli-ahli ekonomi di Indonesia lewat
Badan legislatif dengan memproduk Undang-Undang Hak Kekayaan Intlektual yang meliputi
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Dalam Undang-Undang
Hak Kekayaan Intelektual tersebut pada asasnya memberikan hak penuh bagi penemu
atau pemegangnya untuk mengalihkan haknya kepada siapa saja, baik untuk
memanfaatkan atau menggunakannya atas seizinnya. Hak untuk memanfaatkan atau
menggunakan Hak Kekayaan Intelektual dalam konteks bisnis waralaba dimiliki
oleh franchisee (penerima waralaba) atas izin (lisensi) dari franchisor
(pemberi waralaba). Pemberian lisensi (izin) pemanfaatan atau penggunaan
Hak Kekayaan Intelektual (yang sudah terdaftar) dari pemberi waralaba kepada
penerimawaralaba. Pihak pemberi waralaba berhak atas balas jasa yang berupa fee
yang merupakan hasil usahanya. Klausul
ini dituangkan dalam bentuk perjanjian dan didaftarkan kepada pemerintah
tidak bertentangan dengan teori hukum Islam sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas.
C. Kesimpulan
Bisnis Waralaba di Indonesia yang diatur oleh Peraturan
Waralaba di Indonesia, baik dalam PP Nomor 42 Tahun 2007, maupun Peraturan Nomor
12 Tahun 2006 tidak bertentangan dengan hukum Islam dilihat dari tiga sudut:
1. Waralaba sebagai bentuk kerja sama bisnis, secara
subtansial merupakan aplikasi perpaduan teori akad syirkah ‘inan dan
akad ijarah.Waralaba sebagai kemitraan bisnis, dimana pihak pemberi
waralaba bermodalkan Hak Kekayaan Intelektual dan tenaga ahli bisnis, sedang
penerima waralaba bermodalkan harta dan tenaga ahli bisnis. Masing-masing mitra
bisnis tersebut bersepakat untuk berbagi hasil dan resiko dari usaha bisnis
yang dijalankan sesuai dengan kuantitas dan kualitas beban kerja atau kewajiban
masing-masing. Gabungan jenis modal yang beragam dan berbagi hasil dan resiko
yang beragam pula merupakan aplikasi dari akad syirkah ‘Inan.
2. dalam kontrak waralaba, dimana pemberi waralaba
memberikanlisensi (izin) kepada penerima waralaba untuk menjalankan usaha
dengan memanfaatkan atau menggunakan hak kekayaan intlektual sebagai imbalannya
penerima waralaba membayar sejumlah fee (franchise fee) kepada
pemberi waralaba dalam batasan waktu tertentu merupakan aplikasi dari akad ijarah
3. Obyek kontrak bisniswaralaba yang berupa Hak
Kekayaan Intlektual, atau penemuan ataupun ciri khas usaha milik pemberi
waralaba yang dimanfaatkan atau digunakan oleh penerima waralaba dalam
menjalankan usaha binis atas izinya dengan dimbangi pembayaran sejumlah fee dipandang
sah menurut hukum Islam. Manfaat Hak Kakayaan Intlektual yang meliputi hakcipta,
merek dagang atau jasa, logo, sistem dan metode bisnis yang
merupakankarakteristik usaha bisnis dipandang oleh hukum Islam sebagai kategori
harta. Konsekwensi hukum Islam memandang bahwa Hak Kekayaan Intelektual dipandang
sebagai harta yang berakibat bagi penemu atau pencipta terhadap karya atau
ciptaanya menjadi hak milik mutlak yang bersifat materi. Akibat hukum bagi yang
menemukan atau menciptakan berhak atas nilai materi ituapabila digunakan atau
dimanfaatkanoleh orang lain atas izinnya, maka untukmenjaga eksistensi
keberadaannya harusmendapatkan perlindungan hukum dari Pemerintah (dalam
kontkes Indonesia adalah Undang-Undang HAKI) Tindakan pemerintah membuat
Undang-Undang HAKI tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam:
“ Tasharuf
(tindakan)imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemaslahatan Bisnis Waralaba di Indonesia Perspektif Islam
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asmuni,
1974, Metode Istinbath Hukum Islam, Jakarta ; Bulan Bintang
Abu Dawud, Sunan, 1996, Sunan
Abi Dawud, Beirut ; Dar al-Fikri, Juz II.
Antonio, Muhammad
Syafi’I, 2001, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta; Tazkia
Cendekia
az- Zuhaili, Wahbah,
1997, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus ; Dar al-Fikr, Juz. IV
& V.
Djuwaini, Dimyauddin,
2008, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar
Effendi, Satria, 2005, Ushul
Fiqh, Jakarta; Prenada Media
Hafidhuddin, Didin,
2002, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta; Gema Insani,
Haroen, Nasrun, 1996, Ushul
Fiqh I, Jakarta; Logos
Ibnu Katsir, 2000,Tafsir
al-Qur’an al-”Adzim, Beirut ; Maktabah al Asyriyyah,Juz I & II.
Ibnu Majah, Sunan, tt., Sunan
Ibnu Majah, Beirut. Dar al-Fikr, Juz. II.
Ibnu Rusyd, 1988, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Veirut ; Darul Qalam, Juz II
Karim, Adiwarman A., 2001,
Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta; Gema Insani Pres
Mancuso,Joseph dan
Donald Borolan,2006, Peluang Sukses Bisnis Waralaba, Yogyakarta ;
Dolphin Books
Maoghul, Umar F, 2007,No
Pain, No Gain : The State of The Industry in Lightof an American Islamic
Private Equity Transaction, Chicago : Journal International Law,
Vol. 7, Iss, 2 : 26 pgs.
Thalib, Sayuthi, 1986, Hukum
Kekeluargaan Indonesia, Jakarta ; UI Press.
[2] Suhrawardi k
lubis, Hukum Ekonomi Islam, (PT.Sinar Grafika,Jakarta,2000) h.168
[3]
Media Indonesia. Investasi Waralaba Tawarkan Prospek
Usaha. Kamis, 27 November 2008 Halaman 21. Kolom 1-2.
[4]
Suhrawardi k
lubis,.Op.Cit., 169
[6]
Maoghul, Umar F, 2007,No Pain, No Gain : The State of The
Industry in Light
of an American Islamic Private Equity Transaction, Chicago
: Journal h.475
[7] Djuwaini, Dimyauddin, 2008, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta
; Pustaka
Pelajar) h,.
Fikr, 1997 Juz. IV & V. h..3876
[9]
Abu
Dawud, Sunan, 1996, Sunan Abi Dawud, ( Pt. beirut ; Dar al-Fikri, 1996
Juz II) h. 462
[10]
Wahbah
az- Zuhaili, Op. Cit 100
[11]
Thalib,
Sayuthi, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, ( pt. Jakarta ; UI Press.) h.79-83
[12] Antonio, Muhammad Syafi’I, , Bank Syari’ah dari Teori ke
Praktek, (Pt JakartaTazkia Cendekia, 2001).h 91-92
[13]
Adiwarman
A. Karim, 2001: 81
[14]
Wahbah
az- Zuhaili, Op. Cit: 3878
[15] Ibnu Rusyd, , Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
(pt.Veirut ; Darul
Qalam, Juz II 1988) h. 407
[16]
Muhammad
Syafi’i Antonio Op. Cit h. 92
[17]
Wahbah
az-Zuhaili, Op. Cit 3881
[18]
Muhammad
Syafi’i Antonio, Op. Cit h 92
[19]
Dimyauddin
Djuwaini, Op. Cit h.212
[20]
Adi
Warman A. Karim, Op. Cit h. 81
[21]
Muhammad
Syafi’i Antonio, Op. Cit h.92
[23]
Nasrun
Haroen Op. Cit h 171
[24]
Muhammad
Syafi’i Antonio Op. Cit h 92
[25]
Ibnu
Rusyd, Op. Cit h 407- 412
[26]
Ibnu
Rusyd, Op. Cit h 407- 412
[27]
Dimyauddin
Djuwaini, Op. Cit h.233
[28]
Dimyauddin
Djuwaini, Ibid h.233
[29]
Wahbah
az-Zuhaili, Op. Cit: h.3804
[30]
Ibnu
Katsir, Op. Cit h. 249
[31]
Ibnu
Katsir Ibid h: 249
[32]
Ibnu
Katsir, Op. Cit h.360-361
[33]
Dimyauddin
Djuwaini, Op. Cit h. 156)
[34]
Dimyauddin
Djuwaini Ibid h 158
[35]
Wahbah
az-Zuhaili, Op. Cit h: 3837
[36]
Wahbah
az-Zuhaili Ibid
[37]
Wahbah
az-Zuhaili, Op. Cit h 3847-3848
[38]
Nasrun
Haroen, Op. Cit h 237
[39]
Nasrun
Haroen, Ibid h237
[40]
Wahbah
az-Zuhaili Op. Cit h 410-412
[41]
Nasrun
Haroen, Op. Cit h 32
[42]
Nasrun
Haroen, Op. Cit h: 32
[43]
Dimyauddin
Djuwaini, Op. Cit h: 296
[44]
Wahbah
al- Zuhaili, op.cit h. 2875-2876
[45]
Wahbah
al- Zuhaili, Ibid h.2877
[46]
Wahbah
al-Zuhaili, Op. Cit h 2877
[47]
Nasrun
Haoren, Op. Cit h 40
[48]
Asjmuni
Abd. Rahman, Op. Cit h 88
[49]
Satria
Efendi, Op. Cit h 148-149
[50]
Dimyauddin
Djuwaini, Op. Cit h 298
[51]
Asjmuni
A. Rahman, Op. Cit h 60
[52]
Asmuni
A.Rahman, Op. Cit h 88
[53]
Asymuni
A. Rahman, ibid h.60
[54]
Ibnu
Majah, tt. Op. Cit h 376
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut