Selasa, 14 April 2015
TASYRI’ PADA MASA IMPERIUM TURKI USMANI
A. PENDAHULUAN
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam
era kemunduran pertama.[1] Berawal
dari kerajaan kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat
diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.[2] Salah satu kerajaan Islam ini terletak di kawasan Eropa Tenggara dan Asia Kecil Adalah Turki. kerajaan ini berbatasan
langsung dengan Georgia, Armenia, Azerbijan dan Iran di Timur, Iraq, Suriah dan
Laut Tengah di Selatan, Laut Hitam di Utara, Laut Aegea di Barat dan Yunani
serta Belgia di Barat Laut. Luas wilayahnya sekitar 779.452 km2. Di
antaranya 755.688 km2 di Asia Kecil (semenanjung Anatolia) dan
22.364 km2 di Eropa Tenggara.[3] Masa pemerintahannya
berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang
lebih enam abad (600 tahun).[4]
Dalam rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki
Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang
baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari
kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana
diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas pada kekuasaan
dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama. Pada periode berikutnya[5], kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai bergeser
menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada era tanzimat[6]
(1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan budaya
Barat (Eropa). Era tanzimat merupakan gerakan pembaharuan yang terjadi
di Turki Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya pemerintah Turki Usmani
untuk melakukan perbaikan dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dan
salah satu hukum yang disusun Majallah al-Ahkam al-Adliyahi (1876 M) di
samping piagam Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang
perkembangan hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba
menguraikan, dengan pokok pembahasan; Turki Usmani, Sebelum Tanzimat,
Era Tanzimat, Majallah al-Ahkam al-Adliyah dan sesudah tanzimat.
B. PEMBAHASAN
1. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TURKI USMANI
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari
kabilah Oghuz[7]
yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu
lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.
Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di
Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa
Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk
mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol dan
pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II
berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk
mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan
sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa
Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.[8]
Pada tahun 1289
M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman.
Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau
memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa
pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng
Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan
Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam
beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh
atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan
berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam
perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak
berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M)
berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah
selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang
membawa kemajuan dalam Islam.[9]
2. SEBELUM TANZIMAT
Sebagai diketahui Kerajaan
Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal
atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai
penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam
ia memakai gelar Khalifah.[10]
Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan
memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu
oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh
al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banyak suara dalam
soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan
berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan
pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu
oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah
Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi
wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.[11]
Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab
Hanafi.[12]
Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi.
Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1. Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang
bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2. Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf),
yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3. Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au
al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti
melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
Lembaga
peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena
terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh
kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas pemisahan
antara urusan agama dan pemerintahan.
3. MASA TANZIMAT
Secara etimologi tanzimat
berasal dari kata nazhzhama – yunazhzhimu -
tanzhimat, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[14] Term
ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di
Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini
ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar
dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan,
keuangan, perdagangan dan sebagainya.[15] Tanzimat
merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah
dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni.
Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada masa
Sultan Mahmud II (1808-1839 M).[16]
Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam
organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan
yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan
urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan
urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).[17]
Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan
hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya,
hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing
lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang
Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-undang
Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang
terdiri dari Qadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i (Peradilan
Agama ).[18]
Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah
adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat
dilatarbelakangi oleh:
1. Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan
hukum Barat dan hukum Islam
Disamping itu
pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Tradisional, yang mempertahankan dan
membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena
fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini
harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2. Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu
diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
3.
Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon
berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan
kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh
baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual.[21]
Agaknya keadaan
masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan
modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya
Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M,
kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i
Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M.[22]
Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan
Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa
permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi,
sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka
perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik,
yaitu:
1.
Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2.
Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan
mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter.[23]
Selanjutnya
dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan
pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran
terhadap kehormatan seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap
harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang
dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut
haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman pidana tidak
boleh disita.[24]
Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk
melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan[25],
serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam,
bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan,
jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya
ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan semua
golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka terjadi
beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki Usmani.
Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya
kodifikasi hukum perdata oleh Majelis Ahkam al-Adliyah[26]
dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di
bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta
kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama.[27]
Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat
ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya pada tahun 1856M[28]
Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak
mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang
berada di bawah kekuasaan Turki Usmani,[29]
sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi
artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun
dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan
lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk
semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada
akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi
Eropa.
Dapat dipahami bahwa
perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak
dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam dengan
hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan
tinggi pada syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru.
Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam
Humayun yang secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini
telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan
dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M.
Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan
hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan
lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan
perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai
yang ditetapkan.[30]
Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku
sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan.
Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.
4. MAJALLAH AL-AHKAM AL-ADLIYAH
Munculnya Majallah
al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari ide taqnin (kodifikasi
hukum) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur ketika masa
Daulat Abbasiyah, atas inisiatif dari Ibn Muqaffa’. Namun ide ini
belum terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik dengan
alasan, bahwa perbedaan pendapat ulama dalam persoalan furu’ merupakan
suatu hal yang positif.[31]
Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an tidak membutuhkan intervensi
pemerintahan dalam menetapkannya. Di saat kemajuan kebudayaan Islam, ilmu
pengetahuan berkembang pesat yang melahirkan para ilmuan dan imam-imam mazhab
yang tersebar di seluruh pelosok daerah, sehingga dalam perkembangan
selanjutnya muncul rasa fanatisme mazhab, yang cendrung membawa turunnya
semangat ijtihad, kejumudan dan ketertutupan ijtihad. Kondisi ini berimplikasi
kepada perbedaan dalam menetapkan hukum karena beragamnya mazhab yang mereka
pakai. Berdasarkan kondisi tersebut muncul ide dari Daulah Usmaniyah untuk
mewujudkan kodifikasi hukum Islam agar tidak terjadi keberagaman hukum dalam
satu perkara pada lembaga peradilan. Pada akhir abad ke-13 H pemerintah Turki
Usmani mengeluarkan pemerintah untuk membentuk panitia yang bertugas
mengumpulkan ketentuan hukum syara’ terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
yang berkaitan dengan hukum muamalat (perdata). Panitia menetapkan hukum
berpegang pada mazhab Hanafi, dengan memperhatikan kemaslahatan umat dan
perkembangan zaman tanpa harus terikat dengan pendapat yang kuat dalam mazhab
ini.[32]
Maksudnya pendapat yang lain juga diperhatikan dalam menetapkan hukum. Panitia
yang terdiri dari fuqaha ini melaksanakan tugasnya selama 7 ( tujuh) tahun
mulai dari tahun 1280-1293 H / 1869-1876 M. Pada tahun 1293 H/1876 M panitia
berhasil merampungkan tugasnya dengan melahirkan peraturan yang bernama Majallah
al-Ahkam al-Adliyah yang diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H, dan
bersamaan dengan ketetapan pemerintah Turki Usmani untuk menerapkan majallah
ini di pengadilan-pengadilan di Turki dan negeri-negeri yang berada di
bawah kekuasaannya, seperti Libanon dan Siria.[33]
Peraturan Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
1. Muqaddimah,
tentang defenisi ilmu fiqh pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah
fiqhiyah.
2. Bab-bab
Muamalah yang dibedakan untuk setiap kitab dan terdiri dari 16 kitab.[34] Yaitu: 1) Jual
beli, 2) Sewa menyewa, 3) Tanggungan, 4) Pemindahan utang atau piutang, 5) Gadai, 6) Titipan, 7) Hibah,
8) Rampasan, 9) Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa, 10) Serikat
dagang, 11) Perwakilan, 12) Perdamaian dan pembebasan hak, 13) Pengakuan,
14) Gugatan 15) Pembuktian dan sumpah, 16) Peradilan.[35]
Majallah
al-Ahkam al-Adliyah merupakan kitab undang-undang perdata pertama
yang diambil dari ketentuan-ketentuan Islam, yang berasal dari mazhab Hanafi di
samping pendapat lain[36]
dengan melihat perkembangan dan kondisi umat. Artiya dalam majallah ini
tidak ditemukan perbedaan pendapat sehingga produk hukum yang dihasilkan
beragam. Di samping itu juga ada undang-undang lain yang ditetapkan yaitu
Undang-undang Keluarga (Qanun al-Ailat) tahun 1326 H. Undang-undang ini
khusus menyangkut persoalan pernikahan dan perceraian yang berasal dari mazhab
selain Hanafi.[37]
Dengan adanya undang-undang ini membawa umat keluar dari taqlid buta, dan tidak
hanya terikat dengan satu mazhab. Kodifikasi ini membantu para hakim (qadhi)
dalam memutuskan perkara yang dihadapi, sehingga adanya keseragaman hukum dalam
satu perkara. Namun kodifikasi ini juga mempunyai kelemahan yang mengakibatkan
lemahnya ruh dan semangat ijtihad ulama. Begitu juga kurangnya ketelitian dalam
memutuskan perkara, karena mereka sudah dipola dengan acuan yang sudah baku dan
adanya keharusan pengawasan terhadap produk hukum yang dihasilkan. Terbatasnya
hukum yang ada menyebabkan kurang fleksibel hukum yang dihasilkan, sementara
peristiwa kehidupan masyarakat senantiasa berubah.
5. TASYRI’ SETELAH
TANZIMAT
Pada akhir
periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang
dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari
sumber non syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan
yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:[38]
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha
al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari
agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan
untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari
Undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal
al-Madaniyah), mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah
al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili
perkara umat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh
Islam.
Begitu pula dengan
pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung.[39] Dengan
demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan
pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masa tanzimat. Pembaharuan
yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan
dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para cedikiawan
Islam Kerajaan Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis
Turki, Mustafa Kemal al-Taturk (Bapak Turki),[40] yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis
Turki dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme[41]
dan nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki
hanya dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia
memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942M Mustafa Kemal selanjutnya
menghilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik
al-Islam, Kementrian Syari’at dan Mahkamah Syari’at serta hukum
syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal
perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita
mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah
diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan
pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam
mengurus persoalan agama diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih
memberikan kebebasan beragama kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk
mencetak imam dan khatib di Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini
masih eksis. Ia beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun
dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa
Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini
mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M.
Secara bertahap namun pasti, Mustafa Kemal
melakukan pembaharuan/ reformasi. Kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal
diantaranya:
1. Undang-undang tentang Unifikasi dan
Sekulerisasi Pendidikan, tanggal 3 Maret 1924.
2. Undang-undang tentang Kopiyah, tanggal 25
November 1925.
3. Undang-undang
tentang Pemberhentian Petugas Jamaah dan Makam, penghapusan Lembaga Pemakaman, tanggal 30 November 1925.
4. Peraturan sipil tentang Perkawinan, tanggal
17 Februari 1926 (mengadopsi UU Perdata Swiss 1926)
5. Undang-undang
Penggunaan Huruf Latin untuk Abjad Turki dan Penghapusan tulisan Arab, tanggal
1 November 1928, dan
6. Undang-undang Larangan Penggunaan Pakaian
Asli, tanggal 13 Desember 1934.
Kebijakan-kebijakan
Mustafa Kemal yang lain adalah:
1. Penghapusan Jabatan Kesultanan, tanggal 1
November 1922.
2. Penghapusan Jabatan Khalifah 3 Maret 1924.
3. Lembaga Wakaf
dihapus dan dikuasakan kepada KUA.
4. Memperkenalkan bangku gereja dan jam kamar ke
dalam masjid, tahun 1928.
5. Mengharuskan
orang sholat menggunakan sepatu dan bahasa Turki.
6. Meletakkan alat musik barat di dalam masjid
serta digunakan sebagai iringan sholat.
7.
Seluruh warga Turki diharuskan menggunakan nama kecil sebagaimana berlaku pada
pola nama barat, tahun 1935.
Modernisme dan westernisme
Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan
adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan
tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan
nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.
C. PENUTUP.
KESIMPULAN
1. Bentuk-bentuk
peradilan sebelum Tanzimat pada masa ini :
a. Mahkamah
Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara
pidana dan perdata.
b. Mahkamah
Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji
perkara yang berlaku.
c. Mahkamah Tinggi
(Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para
qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
d. Mahkamah Agung
(Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan
Sultan.
2. Kemunculan tanzimat dilatarbelakangi oleh:
a. Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan
hukum Barat dan hukum Islam
b. Muncul para tokoh tanzimat yang
ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.
3. Majallah al-Ahkam al-Adliyah Peraturan
Undang-undang ini terdiri dari 1851 pasal yang berisikan:
a. Muqaddimah, tentang defenisi ilmu fiqh
pembahagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
b. Bab-bab Muamalah yang dibedakan untuk setiap
kitab dan terdiri dari 16 kitab. Yaitu: 1) Jual beli, 2) Sewa menyewa, 3) Tanggungan, 4) Pemindahan utang atau piutang, 5) Gadai, 6) Titipan, 7) Hibah,
8) Rampasan, 9) Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa, 10) Serikat
dagang, 11) Perwakilan, 12) Perdamaian dan pembebasan hak, 13) Pengakuan,
14) Gugatan 15) Pembuktian dan sumpah, 16) Peradilan.
a. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha
al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari
agama masing-masing.
b. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan
untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
c. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang
Eropa.
d. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal
al-Madaniyah), mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah
al-Ahkam al-Adliyah.
e. Majlis
al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga
(al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Amal Taufiq, (1993), Islam dan Tantangan Modernitas Studi
Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan: Bandung.
al-Qaththan Manna’, Tarikh
al-Tasyrik al-Islamy, Maktabah al-Ma’arif, t.t: Riyad
Bosworth, C.E, (1980), Dinasti-dinasti Islam, Mizan: Bandung
Ensiklopedi Nasional Indonesia. (1991),Cet. I; Jakarta: PT.
Cipta Adi Pustaka,
Goldscmidt,
Athur, A Concise
History of the Midle Sast, Edisi ke-4, (1991), USA: Westview Press,
Gunawan Adi, Kamus
Praktis Ilmiah Popular, Surabaya: Penerbit Kartika, t.t
Haidar Ali, Dar al-Hukkam Syarh Majallah al-Ahkam, jilid I, Beirut:
Dar Maktab ‘Ilmiyah, t.t
Hanafi Ahmad, Pengantar
dan Sejarah Hhukum Islam, (1989), Cet. V;
Jakarta: PT. BUlan Bintang,
Hourani Albert, dkk,
(ed), The Midle East, (1993), California: The University of California
Press,
Ibn Ali Duraib Su’ud, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah,
(1983), Riyadh: Maktab al-Wazir,
Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Abdurrahman, Al-qadha wa Nizamuhu fi
al-Kitab al-Sunnah, Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t.
Ibn Subhi Mahsani Muhammad, Falsafah Tasyri’ fi al-Islam, alih
bahasa Filsafat Hukum Dalam Islam, (1981), Bandung: PT al-Ma’arif,
K. Hitti, Philip, History of the Arabs, (1974), London: The Mac Millan Press,
Ma’luf Lois, Al-Munjid
fi Lughah wa al- A’lam, Beirut: Dar al-Masyriq.
Mughni, Syafiq A. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Cet. I ,(1997) Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, (1985), Jakarta: UI Press, Jilid I,
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (1996), Jakarta: Bulan Bintang,
Ridwan Kafrawi (ed), Ensiklopedi
Islam, jilid III, (1994)Jakarta:
Ihktiar Van Hoeve,
Salam Madkhur Muhammad, al-Qadha
fi al-Islam, Kairo: Dar al-Nadhah, t.t
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan
Islam Imperium Turki Usmani, (1988), Jakarta: Kalam Mulia,
Syatanawiy,
Ahmad, Dirasah al-Ma’aruf al- Islami, Kairo: Al-Syu’b
t.t
[5]Para ahli
sejarahwan mensistimatir periode perkembangan kerajaan Turki Usmani
menjadi periode. Pertama, (1299-1140),
masa pembentukan kerajaan dan penalikan pertama hingga kekalahannya atas Timur
Lenk. Kedua, (1403-1566), masa puncak kejayaan yang ditandai dengan
kembalinya kerajaan dari tangan Timur Lenk dan takluknya Konstantinopel. Ketiga,
(1566-1703) Sultan Salim sampai Mustafa II, yang ditandai dengan terjadinya
penaklukan-penaklukan dan jatuhnya Hongaria di tangan musuh. Keempat, (1703-1839),
Masa Ahmad III sampai Mahmud II, merupakan masa kemunduran yang ditandai dengan
banyaknya perjanjian dengan para penguasa di luar Islam. Kelima,(1839-1922),
masa Abdul Majid I sampai Muhammad VI, merupakan masa kebangkitan yang ditandai
dengan bangkitnya kebudayaan dan administrasi setelah terjadinya konflik dengan
Barat. Lihat Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam Turki, (Jakarta:
Logos, 1997), h. 54-66. Lihat juga Ahmad Syatanawiy, Dirasah al-Ma’aruf al-
Islami, (Kairo: Al-Syu’b t.t), h. 162-164.
[6] Tanzimat adalah gerakan pembaharuan di Turki yang
diperkenalkan ke dalam sistem birokrasi dan pemerintahan Turki Usmani
semenjak pemerintahan Sultan Abd al-Majid (1839-1861), putra Sultan Mahmud II,
dan Sultan Abd al-‘Aziz (1861-1876). Lihat Syafiq A. Mughni, Sejarah
Kebudayaan Islam di Turki (Cet. I; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997),
h. 125.
[15] Kafrawi Ridwan
(ed), Ensiklopedi Islam, jilid III, (Jakarta: Ihktiar Van Hoeve, 1994),
h. 113. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan, op.cit., h. 97. Arthur
Goldschmidh menuliskan bahwa tanzimat terpusat setidak-tidaknya pada
tiga persoalan pokok yaitu: tentang pemilikan tanah, kodifikasi hukum-hukum,
dan reorganisasi militer. Lihat Arthur Goldschmidh, A concise History of the
Midle East, (USA: Westview Press, 1991), h. 124.
[19] Tokoh yang
muncul pada masa tanzimat dominan
memiliki latar belakang pemikiran Barat, diantaranya, Musytafa Rasyid Pasya
(1800-1858 M). Ia mengemukakan kemajuan Turki Usmani harus diupayakan dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi seperti orang-orang Eropa. Mahmud Sadik Pasya
(1807-1856M) ia mengemukakan kesewenangan pemerintah akan menimbulkan
permusuhan di kalangan rakyat. Untuk itu harus dihapuskan. Mustafa Sawi
melontarkan ide yang sama dengan Mustaf Rasyid Pasya namun ia menambahkan
disamping ilmu-ilmu teknologi harus ada toleransi beragama, adanya
kesinambungan budaya lama dan budaya baru serta ada pendidikan pria dan wanita,
Ali Pasya dan Fuad Pasya, kedua tokoh ini memunculkan ide dalam hukum yaitu
Piagam Humayun, Lihat Syafiq A. Mughni, op.cit., h. 127-128. Lihat juga Ensiklopedi
Islam, loc.cit.
[22] Albert Hourani,
dkk, (ed), The Midle East, (California: The University of California
Press, 1993), h. 62-68. Lihat juga Abdurrahman, loc.cit.
[41] Westernisme
yaitu proses penyerapan kebudayaan atau adat istiadat (gaya hidup) Barat oleh
Timur karena dibawa orang barat yang datang ke timur atau orang-orang Timur
yang pernah menetap ke
negeri Barat. Sekularisme adalah proses melepaskan diri dari ikatan agama
tertentu, namun tidak mutlak berasal dari Barat dan bukan dari syari’at Islam.
Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Popular, (Surabaya: Penerbit Kartika,
t.t), h. 523 dan 467.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: