Selasa, 07 April 2015
AT-TAS’IR AL-JABARI (PENETAPAN HARGA OLEH PEMERINTAH)
A. PENDAHULUAN
Perekonomian merupakan salah
satu saka guru kehidupan negara. Perekonomian negara yang kokoh akan mampu menjamin
kesejahteraan dan kemampuan rakyat. Salah satu penunjang perekonomian negara
adalah kesehatan pasar, baik pasar barang jasa, pasar uang maupun pasar tenaga
kerja. Kesehatan pasar, sangat tergantung pada makanisme pasar yang mampu
menciptakan tingkat harga yang seimbang, yakni tingkat harga yang dihasilkan
oleh interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran yang sehat. Apabila
kondisi ini dalam keadaan wajar dan normal
tanpa ada pelanggaran, monopoli misalnya maka harga akan stabil, namun
apabila terjadi persaingan yang tidak fair, maka keseimbangan harga akan
terganggu dan yang pada akhirnya mengganggu hak rakyat secara umum.
Pemerintah Islam, sejak
Rasulullah SAW di Madinah concern pada masalah keseimbangan harga ini,
terutama pada bagaimana peran negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan
bagaimana mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pEndapat
mengenai boleh tidaknya negara menetapkan harga. Masing-masing golongan ulama
ini memiliki dasar hukum dan interpretasi. Berdasarkan perbedaan pendapat para ulama tersebut, makalah ini mengkaji
penetapan harga oleh negara dalam koridor fikih dengan mempertimbangkan
realitas ekonomi.
B. PEMBAHASAN
AT-TAS’IR
AL-JABARI
- Pengertian
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran
yang artinya menyalakan. Secara etimologi kata at-tas’ir ( ﺍﻠﺗﺳﻌﻴﺭ)
seakar dengan kata as-si’r (ﺍﻠﺳﻌﺭ = harga) yang berarti penetapan harga.
Kata as-si'r ini digunakan di pasar untuk menyebut harga (di pasar)
sebagai penyerupaan terhadap aktivitas penyalaan api, seakan menyalakan nilai
(harga) bagi sesuatu.
Dikatakan, Sa arat asy-syay a tas îran, artinya menetapkan
harga sesuatu yang merupakan titik berhenti tawar-menawar.[1]
Jika dikatakan, As arû wa sa arû, artinya mereka telah bersepakat
atas suatu harga tertentu.[2] Oleh
karena itu, tas‘îr secara bahasa berarti taqdîr as-si‘ri
(penetapan/penentuan harga).[3]
Adapun menurut
pengertian syariah, terdapat beberapa pengertian. Menurut Imam Ibnu Irfah
(ulama Malikiyah) :
هو تحديد حاكم السوق لبائع المأكول فيه قدراً للمبيع بدرهم معلوم
Artinya: Tas’ir adalah penetapan harga tertentu untuk barang
dagangan yang dilakukan penguasa kepada penjual makanan di pasar dengan
sejumlah dirham tertentu.[4]
Menurut Syaikh
Zakariya Al-Anshari (ulama Syafi’iyah) :
أن يأمر الوالى السوقة أن لايبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا
Artinya: Tas’ir adalah perintah wali (penguasa) kepada pelaku
pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga
tertentu.[5]
Menurut Imam
Al-Bahuti (ulama Hanabilah) :
التسعير أن يسعر الإمام أو نائبه على الناس سعراً ويجبرهم على التبايع به
Artinya: Tas’ir adalah penetapan suatu harga oleh Imam
(Khalifah) atau wakilnya atas masyarakat dan Imam memaksa mereka untuk berjual
beli pada harga itu.[6]
Menurut Imam
Syaukani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق
ألا يبيعوا أمتعتهم إلا بسعر كذا فينمع من الزيادة عليه أو النقصان لمصلحة
Artinya: Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau
siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka
tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu dan dilarang
ada tambahan atau pengurangan dari harga itu karena alasan maslahat.[7]
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani :
هو أن يأمر السلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمين أمراً أهل السوق
ألا يبيعوا السلع إلا بسعر كذا فينمعوا من الزيادة عليه حتى لا يغلوا الأسعار أو
النقصان عنه حتى لا يضاربوا غيرهم، أي ينمعون من الزيادة أوالنقص عن السعر لمصلحة
الناس
Artinya: Tas’ir adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau
siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka
tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka
dilarang menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau
mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. Artinya, mereka
dilarang menambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat.[8]
Dari berbagai definisi tersebut, sebenarnya maknanya hampir sama.
Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut selalu menyebut tiga unsur yang
sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan. Kedua,
pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran kebijakan. Ketiga, penetapan
harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
- Dasar Hukum at-Tas’ir
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ketentuan penetapan harga ini
tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Adapun dalam Hadits Rasulullah SAW dijumpai
beberapa Hadits, yang dari logika Hadits itu dapat diinduksi bahwa penetapan
harga itu dibolehkan. Faktor dominan yang menjadi landasan hukum at-tas’ir, menurut kesepakatan ulama
fiqh adalah al-maslahah al-mursalah.
Hadits
Rasulullah saw yang berkaitan dengan penetapan harga adalah sebuah riwayat dari
Anas Ibn Malik. Dalam riwayat itu dikatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
بَشَّارٍ حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ
سَلَمَةَ عَنْ قَتَادَةَ وَثَابِتٌ وَحُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ
لَنَا فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ
وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ
فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
Artinya: Muhammad
bin Basysyar menceritakan kepada kami, Hajjaj bin Minhal menceritakan kepada
kami, Hammad bin Salamah menceritakan kepada kami dari Qatadah, Tsabit dan
Humaid dari Anas RA, ia berkata, "Pada masa Rasulullah SAW, harga
bahan-bahan pokok naik, maka para sahabat berkata kepada Rasulullah SAW,
"Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga barang untuk kami". Rasulullah
SAW menjawab, "Sesungguhnya hanya
Allah yang berhak menetapkan harga, Maha Menyempitkan, Maha Melapangkan dan
Maha Pemberi rezeki, dan aku berharap, ketika aku berjumpa dengan Tuhanku.
tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena suatu tindakan zhalim
baik yang menyangkut darah maupun harta ".(HR al-Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, at-Tirmizi, Ibn Majah, Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Hibban).[9]
Dalil lainnya, Hadits Nabi saw :
لا يبيع حاضر لباد ، دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض
Artinya: Janganlah orang kota menjual kepada orang dusun, biarkanlah
manusia, Allah akan memberi rizki kepada mereka sebagian dari sebagian lainnya.
Dari Hadits ini Rasulullah saw melarang orang kota yang tahu harga menjual
barang dagangan kepada orang dusun yang tidak tahu harga. Karena hal ini akan
dapat melonjakkan harga. Maka tas’ir dibolehkan agar tidak terjadi pelonjakan
harga.[10]
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, tas’ir yang dibolehkan itu contohnya : penguasa melarang para
pedagang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar,
sementara saat itu masyarakat sangat membutuhkan barang itu. Maka dalam kondisi
seperti ini penguasa mewajibkan pedagang menjual dengan harga pasar, karena ini
berarti mengharuskan keadilan. Padahal keadilan adalah hal yang diperintahkan
Allah.[11]
Para ulama fiqh menyatakan bahwa kenaikan harga yang terjadi di zaman
Rasulullah SAW, itu bukanlah oleh tindakan sewenang-wenang dari para pedagang,
tetapi karena memang komoditi yang ada terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi
apabila stok terbatas, maka lumrah harga barang itu naik. Oleh sebab itu
dalam keadaan demikian Rasulullah SAW, tidak mau campur tangan membatasi harga
komoditi di pasar itu, karena tindakan seperti ini bersifat zalim terhadap para
pedagang. Padahal, Rasulullah SAW tidak akan mau dan tak akan pernah berbuat
zalim kepada sesama manusia, tidak terkecuali kepada pedagang dan pembeli.
Dengan demikian, menurut para pakar fiqh, apabila kenaikan harga itu bukan
karena ulah para pedagang, maka pihak pemerintah tidak boleh ikut campur dalam
masalah harga, karena perbuatan itu menzalimi para pedagang.
- Macam-Macam Tas’ir :
Para ulama fiqh membagi tas’ir
kepada dua macam, yaitu :
Pertama, harga yang
berlaku secara alami, tanpa campur tangan dan ulah para pedagang. Dalam harga
seperti ini, para pedagang bebas menjual barangnya sesuai dengan harga yang
wajar, dengan mempertimbangkan keuntungannya. Pemerintah, dalam harga yang
berlaku secara alami ini, tidak boleh campur tangan, karena campur tangan
pemerintah dalam kasus seperti ini boleh membatasi hak para pedagang.
Kedua, harga suatu
komoditi yang ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan modal dan
keuntungan bagi para pedagang dan keadaan ekonomi masyarakat. Penetapan harga
dari pemerintah ini disebut dengan at-tas’ir
al-jabari.
Menurut Abd. Karim Ustman, pakar fiqh dari Mesir, dalam perilaku ekonomi,
harga suatu komoditi akan stabil apabila stok barang tersedia banyak di pasar,
karena antara penyediaan barang dan dengan permintaan konsumen terdapat
keseimbangan. Akan tetapi, apabila barang yang tersedia sedikit, sedangkan
permintaan konsumen banyak, maka dalam hal ini akan terjadi fluktuasi harga.
Dalam keadaan yang disebutkan terakhir ini, menurutnya, pihak pemerintah tidak
boleh ikut campur dalam masalah harga itu. Cara yang boleh menstabilkan harga
itu adalah pemerintah berupaya menyediakan komoditi dimaksud dan
menyesuaikannya dengan permintaan pasar. Sebaliknya, apabila stok barang cukup
banyak di pasar, tetapi harga melonjak naik, maka pihak pemerintah perlu
melakukan pengawasan yang ketat. Apabila kenaikan harga ini disebabkan ulah
para pedagang, misalnya dengan melakukan penimbunan dengan tujuan menjualnya
setelah melonjaknya harga (ihtikar), maka kasus seperti ini pemerintah
berhak untuk menetapkan harga. Penetapan harga dalam fiqh disebut dengan at-tas’ir
al-jabari.
Ada beberapa rumusan at-tas’ir al-jabari yang dikemukakan para
ulama. Ulama Hambali mendefenisikan at-tas’ir al’jabari dengan:
ﺃﻥ ﻴﺳﻌﺭ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺳﻌﺭﺃ ﻮﻴﺟﺒﺭﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺗﺒﺎﻴﻊ ﺒﻪ
Artinya: upaya pemerintah dalam menetapkan harga suatu komoditi, serta
memberlakukannya dalam transaksi jual beli warganya
Imam as-Syaukani (1172-1250 H/ 1759-1834 M), tokoh usul fiqh,
mendefenisikannya dengan:
ﺃﻥ ﻴﺄﻣﺮ ﺍﻠﺴﻠﻄﺎﻥ ﺃﻫﻞ ﺍﻠﺴﻭﻖ ﺃﻥ ﻻ ﻴﺑﻴﻌﻭﺍ
ﺃﻣﺘﻌﺘﻬﻢ ﺇﻻ ﺑﺴﻌﺭ ﻣﻌﻠﻭﻢ ﻠﻣﺻﻠﺤﺔ
Artinya: Intruksi pihak penguasa kepada para pedagang agar mereka tidak
menjual barang dagangannya, kecuali sesuai dengan ketentuan harga yang telah
ditetapkan pemerintah dengan tujuan kemaslahatan bersama.
Kedua defenisi ini tidak membatasi komoditi apa saja yang harganya telah
ditentukan oleh pemerintah. Ada juga defenisi lain yang senada dengan
defenisi-defenisi di atas, hanya saja mereka membatasi komoditinya pada
barang-barang dagangan yang bersifat konsumtif. Misalnya, Ibn ‘Urfah al-Difki,
pakar fiqh Maliki, mendefenisikan at-tas’ir al-jabari dengan:
ﺘﺤﺪ ﻴﺪ ﺍﻠﺤﺎﻛﻢ ﺍﻠﺴﻭﻖ ﻠﺑﺎﻴﻊ ﺍﻠﻤﺄﻛﻭﻞ
Artinya: Penetapan harga oleh pihak penguasa terhadap komoditi yang
bersifat konsumtif
Akan tetapi, Fathi ad-Duraini, guru besar fiqh di Universitas Damaskus,
sependapat dengan ulama Hanabilah dan as-Syaukani di atas, karena kedua
defenisi itu tidak membatasi jenis produk yang boleh ditetapkan harganya oleh
pemerintah. Bahkan ad-Duraini lebih memperluas cakupan tas’ir al-jabari. Sesuai dengan perkembangan keperluan masyarakat.
Menurutnya, ketetapan pemerintah itu tidak hanya terhadap komoditi yang
digunakan dan diperlukan masyarakat, tetapi juga terhadap manfaat dan jasa
pekerja yang diperkukan masyarakat. Misalnya, apabila sewa rumah naik dengan
tiba-tiba dari harga biasanya atau harga naik secara tidak wajar.
Sesuai dengan kandungan defenisi-defenisi diatas, para ulama fiqh sepakat menyatakan
bahwa yang berhak untuk menentukan dan menetapkan harga itu adalah pihak
pemerintah, setelah mendiskusikannya dengan pakar-pakar ekonomi. Dalam
menetapkan harga itu pemerintah harus mempertimbangkan kemaslahatan para
pedagang dan para konsumen. Dengan demikian, menurut ad-Duaraini, apa pun
bentuk komoditi dan keperluan warga suatu Negara, untuk kemaslahatan mereka
pihak pemerintah berhak atau bahkan harus menentukan harga yang logis, sehingga
pihak produsen dan konsumen tidak dirugikan.
- Pendapat para Ulama tentang at-Tas’ir
- Pendapat Yang Tidak Setuju Dengan Tas'ir
Apabila kenaikan harga barang di pasar disebabkan ulah para speculator
dengan cara menimbun barang (ihtikar),
sehingga barang di pasar menipis dan harga di pasar melonjak dengan tajam, maka
keadaan seperti ini para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukum campur
tangan pemerintah dalam menetapkan harga komoditi itu.
Ulama Zahiriyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah,
sebagian ulama Hanabaliah dan Imam as-Syaukani berpendapat bahwa dalam situasi
dan kondisi apapun penetapan harga itu tidak dapat dibenarkan, dan jika
dilakukan juga hukumnya haram. Menurut mereka, baik harga itu melonjak naik
disebabkan ulah para pedagang maupun disebabkan hukum alam, tanpa campur tangan
para pedagang, maka segala bentuk campur tangan dalam penetapan harga tidak
dibolehkan. Alasan mereka adalah firman Allah swt dalam surat an-Nisa,4:29 yang
menyatakan bahwa:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w
(#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu (an-Nisa :29)
Dan juga sabda Rasulullah saw yang berbunyi :
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Artinya: Sesungguhnya
jual-beli itu harus dengan saling ridha (antara penjual dan pembeli). (HR Ibn
Majah)
Menurut mereka, apabila pemerintah ikut campur dalam menetapkan harga
komoditi, berarti unsur terpenting dari jual beli (bahkan oleh para ulama
dikatakn sebagai rukun), yaitu kerelaan hati kedua belah pihak, telah hilang.
Ini berarti pihak pemerintah telah berbuat sesuatu yang bertentangan degan
kehendak ayat di atas, sekaligus pihak penguasa telah berbuata zalim kepada
pihak penjual/pengeluar.
Selanjutnya,
para ulama fiqh yang mengharamkan penetapan harga itu menyatakan bahwa dalam
suatu transaksi terdapat dua pertentangan kepentingan, yaitu kepentingan konsumen
dan kepentingan produsen. Pihak pemerintah tidak boleh memenangkan atau
berpihak kepada kepada kepentingan satu pihak dengan mengorbankan kepentingan
pihak lain. Itulah sebabnya, menurut mereka, ketika para sahabat meminta
Rasulullah saw untuk mengedalikan harga yang terjadi dipasar, beliau menjawab
bahwa kenaikan harga itu urusan Allah, dan tidak dibenarkan seseorang ikut
campur dalam masalah itu dan jika ada yang campur tangan maka ia telah berbuat
zalim. Di sisi lain, jika penetapan harga diberlakukan, maka tidak mustahil
para pedagang akan enggan menjual barang dagangan dan tidak tertutup
kemungkinan akan terjadinya menimbun barang oleh para pedagang, karena harga
yang ditetapkan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Jika ini terjadi, pasar
akan lebih kacau dan berbagai kepentingan akan terabaikan.
- Pendapat Setuju Dengan Tas'ir
Pendapat ini dikemukakakan oleh ulama Hanafiyah,
sebagian besar ulama Hanabaliah, seperti Ibn Qudamah (541-620 H/ 1147-1223 M),
Ibn Taimiyah (661-728 H/ 1262-1327 M), dan Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/
1292-1350 M) dan mayoritas pendapat ulama Malikiyah. Ulama Hanafiyah yang
membolehkan pihak pemerintah bertindak menetapkan harga yang adil
(mempertimbangkan kepentingan pedagang dan pembeli), ketika terjadinya
fluktuasi harga disebabkan ulah para pedagang. Alasan mereka adalah pemerintah
dalam syari’at Islam berperan dan berwenang untuk mengatur kehidupan masyarakat
demi tercapainya kemaslahatan mereka. Hal ini Imam Abu Yusuf (113-182 H/
731-789 M) mengatakan bahwa: “Segala kebijakan penguasa harus mengacu kepada
kemaslahatan warganya”. Oleh sebab itu, jika pemerintah melihat bahwa pihak
pedagang telah melakukan manipulasi harga, pihak pemerintah boleh turun tangan
untuk mengaturnya dan melakukan penetapan harga komoditi yang naik itu.
Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah,
membagi bentuk penetapan harga itu kepada dua macam, yaitu: penetapan harga
yang bersifat zalim, dan penetapan harga yang bersifat adil. Penetapan harga
yang bersifat zalim, menurut mereka adalah penetapan harga yang dilakukan
pemerintah tidak sesuai dengan keadaan pasar dan tanpa mempertimbangkan
kemaslahtan para pedagang. Menurut mereka, apabila harga suatu komoditi
melonjak naik disebabkan terbatasnya barang dan banyaknya permintaaan, maka
dalam hal ini pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah harga itu.
Apabila pemerintah ikut menetapkan harga dalam keadaan seperti ini, maka pihak
pemerintah telah melakukan suatu kezaliman terhadap para pedagang. Inilah yang
dimaksud Rasulullah saw dalam sabdanya di atas.
Penetapan harga yang dibolehkan, bahkan diwajibkan, adalah ketika
terjadinya pelonjakan harga yang cukup tajam disebabkan ulah para pedagang.
Apabila para pedagang terbukti mempermainkan harga, sedangkan hal itu
menyangkut kepentingan orang banyak, maka menurut mereka dalam kasus seperti
ini penetapan harga itu menjadi wajib bagi pemerintah, karena mendahulukan
kepentingan orang banyak daripada kepentingan kelompok yang terbatas. Akan
tetapi, sikap pemerintah dalam penetapan harga itupun harus adil, yaitu dengan
memperhitungkan modal, biaya transportasi, dan keuntungan para pedagang. Alasan
mereka adalah sebuah riwayat tentang kasus Samurah Ibn Jundab yang tidak mau
menjual pohon kurmanya kepada seorang keluarga Ansar. Pohon kuram Samurah ibn
Jundab ini tumbuh dengan posisi miring ke kebun seorang keluarga Ansar. Apabila
Samurah ingin memetik buah atau membersihkan pohon kurmanya itu, ia harus masuk
perkebunan keluarga Ansar ini, padahal dikebun Ansar itu sendiri banyak
tanaman. Jika Samurah masuk ke kebun itu pasti ada tanaman yang rusak terinjak
Samurah. Akhirnya orang Ansar ini mengadukan persoalan ini kepada Rasulullah SAW
dan Rasulullah menanggapinya dengan menyuruh Samurah menjual pohon kuramanya
yang tumbuh miring kek kebun Ansar itu kepada orang Ansar itu. Tetapi Samurah
enggan. Lalu Nabi Menyuruhnya untuk menyedekahkan saja satu batang pohon kuram
itu, Samurah juga enggan. Akhirnya Rasulullah memerintahkan orang Ansar ini
untuk menebang pohon kurma itu, seraya berucap kepada Samurah bahwa:
ﺇﻨﻤﺎ ﺃﻨﺕ ﻤﻀﺎﺭ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺨﺎﺭﻯ ﻭﻤﺴﻠﻡ ﻋﻦ ﺃﺑﻰ ﺴﻌﻳﺪ ﺍﻠﺨﺪﺭﻯ)
Artinya: Kamu ini orang yang memneri mudharat orang lain. (HR.
al-Bukhari dan Muslim dari Abi Sa’id al-Khudri).
Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah, inti dari kasus ini
adalah kemudharatan yang diderita orang Ansar ini, disebabkan sikap egois
Samurah yang memaksakan pemanfaatan hak miliknya. Dalam kasus jual beli, para
pedagang telah melakukan permainan harga sehingga merugikan masyarakat banyak.
Oleh sebab itu, menurut mereka sesuai dengan teori Qiyas, lebih pantas
dan sangat logis jika kemudharatan orang banyak dalam kasus penetapan harga
dihukumkan sama dengan kasus Samurah dengan seorang Ansar di atas. Karena pohon
kuram Samurah harus ditebang demi kepentingan seorang Ansar, dan tindakan
pemerintah membatasi harga atas dasar kepentingan masyarakat banyak adalah
lebih logis dan relevan. Cara seperti ini oleh para pakar Usul Fiqh disebut
sebagai qiyas aulawiy (analogi yang paling utama). Alasan lain yang
mereka kemukakan adalah menganalogikan at-tas’ir al-jabari dengan
kebolehan hakim memaksa seseorang yang berutang tapi enggan membayarnya. Dalam
hal ini Rasulullah saw bersabda:
ﻤﻄﻞ ﺍﻠﻐﻨﻲ ﻆﻠﻡ (ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺑﺨﺎﺭﻯ ﻭﻤﺴﻠﻡ ﻭﺍﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺤﻨﺑﻞ ﻭﺍﺑﻭ ﺪﺍﻭﺪ)
Artinya: Orang kaya yang enggan membayar utangnya adalah zalim (HR. al-Bukhari,
Muslim, Ahmad ibn Hanbal, dan Abu Dawud).
Hadits ini juga membicarakan pertentangan kepentingan
pribadi, yaitu kepentingan pribadi yang memberi utang dan kepentingan pribadi
yang berutang. Ketika orang yang berutang dianggap mampu membayar utangnya,
tetapi ia enggan membayarnya, maka Rasulullah SAW menyatakan sebagai zalim.
Oleh sebab itu, para pakar fiqh sepakat menyatakan bahwa hakim berhak memaksa
orang yang berutang itu menjual hartanya untuk membayar utangnya itu. Dalam
kasus at-tas’ir al-jabari inipun
demikian halnya. Apabila para pedagang mempermainkan harga, berarti mereka juga
berbuat zalim kepada para konsumen, padahal kepentingan konsumen lebih dominan
dibanding kepentingan para pedagang itu.
Di samping itu, Imam al-Ghazali (450-505 H/ 1085-1111 M), mengqiyaskan
kebolehan penetapan harga dari pihak pemerintah ini kepada kebolehan pemerintah
untuk mengambil harta orang-orang kaya untuk memenuhi keperluan angkatan
bersenjata, karena angkatan bersenjata berfungsi penting dalam pengamanan
Negara dan warganya. Menurutnya, apabila untuk kepentingan angkatan bersenjata
harta orang-orang kaya boleh diambil, tanpa imbalan, maka penetapan harga yang
disebabkan ulah para pedagang lebih logis untuk dibolehkan, setelah
memperhitungkan modal, biaya tansfortasi, dan keuntungan para pedagang itu.
Logika al-Gazali ini, dalam Usul Fiqh, disebut dengan qiyas aulawiy.
5. Syarat-Syarat Tas’ir Al Jabari
Menurut para ulama fiqh, syarat-syarat at-tas’ir
al-jabari adalah:
- Komoditi atau jasa itu sangat diperlukan masyarakat banyak.
- Terbukti bahwa para pedagang melakukan kesewenang-wenagan dalam menentukan harga komoditi dagangan mereka.
- Pemerintah itu adalah pemerintah yang adil.
- Pihak pemerintah harus melakukan studi kelayakan pasar dengan menunjukan para pakar ekonomi.
- Penetapan harga itu dilakukan dengan terlebih dahulu mempertimbangakn modal dan keuntungan para pedagang.
- Ada pengawasan yang berkesinambungan dari pihak penguasa terhadap pasar, baik yang menyangkut harga maupun yang menyangkut stok barang, sehingga tidak terjadi penimbunan barang oleh para pedagang. Untuk pengawasan secara berkesinambungan ini pihak penguasa harus membentuk suatu badan yang secara khusus bertugas untuk itu.
- Urgensi Penetapan Harga
Menurut Ibnu Taimiyah yang dikutip oleh Yusuf
Qardhawi: “Penentuan harga mempunyai
dua bentuk; ada yang boleh dan ada yang haram. Tas’ir ada yang zalim, itulah
yang diharamkan dan ada yang adil, itulah yang dibolehkan.[12]
Penetapan harga yang tak adil dan haram, berlaku atas naiknya harga akibat
kompetisi kekuatan pasar yang bebas, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan
suplai atau menaikkan permintaan. Ibnu
Taimiyah sering menyebut beberapa syarat dari kompetisi yang sempurna.
Misalnya, ia menyatakan, “Memaksa
penduduk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar kewajiban untuk
menjual, merupakan tindakan yang tidak adil dan ketidakadilan itu dilarang.” Ini berarti, penduduk memiliki kebebasan
sepenuhnya untuk memasuki atau keluar dari pasar. Qardhawi
menyatakan bahwa jika penentuan harga dilakukan dengan memaksa penjual menerima
harga yang tidak mereka ridai, maka tindakan ini tidak dibenarkan oleh agama.
Namun, jika penentuan harga itu menimbulkan suatu keadilan bagi seluruh
masyarakat, seperti menetapkan Undang-undang untuk tidak menjual di atas harga
resmi, maka hal ini diperbolehkan dan wajib diterapkan.[13]
Sedangkan penetapan harga yang adil dan sah sebagaimana pada penjelasan di
atas yaitu penetapan harga diberlakukan apabila ada kedzaliman dalam penentuan
harga atau karena ada ketimpangan harga yang kiranya diperlukan adanya tas’ir.
Dan sah jika untuk kemashlahatan bersama. Menurut Qardhawi, jika pedagang
menahan suatu barang, sementara pembeli membutuhkannya dengan maksud agar
pembeli mau membelinya dengan harga dua kali lipat harga pertama. Dalam kasus
ini, para pedagang secara suka rela harus menerima penetapan harga oleh
pemerintah. Pihak yang berwenang wajib menetapkan harga itu. Dengan demikian,
penetapan harga wajib dilakukan agar pedagang menjual harga yang sesuai demi
tegaknya keadilan sebagaimana diminta oleh Allah.[14]
Sedang menurut Ibnu Taimiyah, ”Harga
ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran”.[15]
Tak dapat dielakkan lagi bahwa
penetapan harga sangat penting dan dibutuhkan sekali pada saat terjadi
monopoli, ketimpangan atau kedzaliman dalam penentuan harga pada suatu pasar.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Kata tas'ir berasal dari kata sa'ara-yas'aru-sa'ran, yang artinya
menyalakan. Lalu dibentuk menjadi kata as-si'r dan jamaknya as'ar
yang artinya harga (sesuatu). Dari berbagai definisi para ahli, sebenarnya
maknanya hampir sama. Kesamaannya ialah definisi-definisi tersebut selalu
menyebut tiga unsur yang sama. Pertama, penguasa sebagai pihak yang
mengeluarkan kebijakan. Kedua, pelaku pasar sebagai pihak yang menjadi sasaran
kebijakan. Ketiga, penetapan harga tertentu sebagai substansi kebijakan.
Mengenai penetapan harga sendiri, sebagian ulama mengharamkannya dan
sebagian lain membeolehkannya. Penetapan harga (tas’ir) pada suatu perdagangan
dan bisnis diperbolehkan jika di dalamnya terdapat kemungkinan adanya
manipulasi sehingga berakibat naiknya harga. Berbagai macam metode penetapan
harga tidak dilarang oleh Islam dengan ketentuan sebagai berikut; harga yang
ditetapkan oleh pihak pengusaha/pedagang tidak menzalimi pihak pembeli, yaitu
tidak dengan mengambil keuntungan di atas normal atau tingkat kewajaran. Tidak
ada penetapan harga yang sifatnya memaksa terhadap para pengusaha/pedagang
selama mereka menetapkan harga yang wajar dengan mengambil tingkat keuntungan
yang wajar (tidak di atas normal). Harga diridai oleh masing-masing pihak, baik
pihak pembeli maupun pihak penjual. Harga merupakan titik keseimbangan antara
kekuatan permintaan dan penawaran pasar yang disepakati secara rela sama rela
oleh pembeli dan penjual. Apabila keseimbangan ini terganggu, maka pemerintah
atau pihak yang berwenang harus melakukan intervensi ke pasar dengan menjunjung
tinggi asas-asas keadilan baik terhadap pihak pedagang/pengusaha maupun
terhadap pihak konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Minawi, At-Ta’ârif,
I/405, Dar al-Fikr al-Mu’ashirah-Dar al-Fikr, Beirut-Damaskus, cet. I. 14140 H.
Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, IV/365, Dar
Shadir, Beirut, cet. I. tt
Ar-Razi, Mukhtâr
ash-Shihâh, I/126, Maktabah Lubnan Nasyirun, Beirut, cet. Baru. 1995 M-1415
H.
Muhammad bin Qasim Al-Anshari, Syarah Hudud Ibnu
Irfah, II/35
Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib Syarah Raudhah
Ath-Thalib, II/38
Al-Bahuti, Syarah Muntaha Al-Iradat, II/26
Imam Syaukani, Nailul Authar, V/335
Taqiyuddin An-Nabhani , An-Nizham Al-Iqtishadi fil
Islam, hlm. 199.
Ibnul Qayyim, Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul Hukmiyah,
Ibnu Taimiyah, dalam kitab Majmu’ul Fatawa, Juz 28
Yusuf Al-Qaradhawi, Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi
Al-Iqtishadi Al-Islami,
DR. Yusuf Qardhawi.Norma Dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta
: Gema Insani, 1997)
Ir.Adiwarman Karim, SE,MA.Ekonomi Mikro Islam (Jakarta
: Penerbit III T Indonesia, 2003)
[1] Al-Minawi, At-Ta’ârif, I/405, Dar al-Fikr al-Mu’ashirah-Dar al-Fikr,
Beirut-Damaskus, cet. I. 14140 H.
[3] Ibid; Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, I/126, Maktabah Lubnan Nasyirun,
Beirut, cet. Baru. 1995 M-1415 H.
[9] Muhammad
Nasyirudin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmizi,
(Kampung Sunnah:2009) Hal 176
[11] Ibnul Qayyim, Ibnul Qayyim, Ath-Thuruqul
Hukmiyah, hlm. 291. Pendapat ini adalah juga pendapat gurunya, Ibnu
Taimiyah, dalam kitab Majmu’ul Fatawa, Juz 28 hlm. 76-77. Lihat Yusuf Al-Qaradhawi,
Daur Al-Qiyam wa Al-Akhlaq fi Al-Iqtishadi Al-Islami, hlm. 429.
T Indonesia, 2003) h. 224
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: