Selasa, 07 April 2015
PEMANFAATAN BENDA NAJIS
PEMANFAATAN
BENDA NAJIS
A.
Pendahuluan
Fiqih adalah suatu bidang ilmu yang
berkaitan erat dengan keseharian manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena
itu fiqih juga sangat tergantung pada kondisi tempat dan masa dimana manusia
itu berada. Seiring dengan berjalannya waktu, muncullah pertanyaan-pertanyaan
baru dalam masalah fiqh yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung
dengan perkembangan teknologi. Kemudian seperti yang kita semua ketahui bahwa
agama Islam seharusnya mencakup segala bidang kehidupan manusia maka begitu
pula dengan fiqih, maka untuk menjawab tantangan zaman itulah muncul
ulama-ulama fiqih kontemporer yang berijtihad dengan menggunakan hukum-hukum
fiqih yang sudah ada kepada masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia
modern. Untuk lebih jelasnya saya paparkan dalam makalah berikut ini.
B.
Pembahasan
Penetapan sesuatu itu disebut najis atau bukan adalah
karena dalil. Bukan melalui perasaan manusia karena jijik atau tidak suka terhadap
sesuatu. Penetapan sesuatu yang najis adalah hak Allah SWT.
Dalam kitab-kitab sholat dan thaharah selalu terdapat
penjelasan tentang najis ini, karena sangat terkait dengan sempurna dan sah
tidaknya bersuci untuk sholat. Syaikh Ali Raghib dalam Kitab beliau Ahkam
As Sholah (1991) memberikan pemahaman tentang benda apa saja yang
terkategori sebagai najis. Menurut beliau yang dikategorikan sebagai
benda najis, adalah: Air kencing, tahi (kotoran manusia atau
hewan), muntah, madzi, wadi, selain mani Bani Adam, darah, nanah,
cairan luka, darah janin (al ‘alaqah),
bangkai, arak, minuman keras selain arak, anjing, babi, daging keledai kampung,
dan setiap benda yang terkena oleh salah satu benda najis tersebut.
Dalil yang menunjukkan bahwa air kencing
najis yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a. :
“Sesungguhnya seorang Arab dari dusun telah kencing
di salah satu sudut masjid (Nabawi). Maka Nabi saw. menyuruh agar mengambil
seember air lalu disiramkannya”
Dalil yang menunjukkan bahwa tahi
(kotoran) manusia najis yaitu ijma’ (konsensus) para shahabat Nabi
saw.
Sedang dalil yang menunjukkan bahwa tahi
binatang dan tahi burung najis adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a. di mana ia berkata :
“Aku datang kepada Nabi saw. dengan membawa dua buah
batu dan sebuah kotoran (keledai). Beliau mengambil kedua batu tersebut dan
melemparkan kotoran (keledai), lalu bersabda: Sesungguhnya itu adalah najis”
Dalil yang menunjukkan bahwa muntah
najis, baik muntah manusia maupun binatang adalah ijma’ (konsensus)
para ulama.Dalil yang menunjukkan bahwa madzi najis adalah
hadits yang diriwayatkan dari Ali karamallahu wajhah yang mengatakan
“Aku adalah seorang yang mudah keluar madzi. Maka
aku menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu bersabdalah beliau:
Bilamana engkau melihat madzi, maka cucilah dzakarmu”.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wadi najis adalah dikarenakan wadi keluar
dari air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Sedangkan
dalil yang menjadi alasan, mengapa wadi selain bani Adam (selain manusia.pen)
juga najis, karena wadi tersebut keluar dari tempat keluar air kencing,
sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Dikecualikan dari air kencing
adalah air mani Bani Adam, yakni bahwa air mani
Bani Adam adalah suci. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.
dikemukakan:
“Bahwasanya ia (Aisyah r.a. menggosak-gosok air mani
agar terkelupas dari baju Rasulullah saw. sedang beliau dalam keadaan shalat”.
Seandainya air mani (bani Adam) najis, sudah barang
tentu shalat tidak akan dikerjakan oleh beliau sementara baju yang dikenakannya
ada air mani yang menempel.
Dalil yang menunjukkan bahwa darah
najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma’ r.a. bahwasanya ia berkata :
“Seorang perempuan telah datang kepada Rasulullah
saw, kemudian ia berkata: Salah seorang diantara kami bajunya terkena darah
haid; bagaimanakah kami harus berbuat dengannya? Beliau bersabda: Gosoklah,
kemudian bilaslah bersama air, kemudian cucilah dengannya (air), kemudian
shalatlah dengannya”.
Begitu juga nanah hukumnya najis
seperti darah, karena nanah ini tidak lain adalah darah membusuk, Sedangkan
cairan luka, hendaklah terlebih dahulu diperhatikan: jika mengeluarkan bau
busuk, maka cairan luka tersebut najis seperti nanah. Sedangkan bila tidak
mengeluarkan bau busuk, maka cairan luka itu bersih, seperti peluh.
Selanjutnya mengenai hukum ‘alaqah (janin yang
masih berupa segumpal darah) sama dengan hukum darah, karena ‘alaqah
ini adalah merupakan darah yang keluar dari rahim sehingga sama dengan darah
haid.
Dalil yang menjadi alasan bahwa bangkai najis adalah ijma’
(konsensus) para ulama. Akan tetapi dikecualikan dari semua jenis bangkai,
bangkai ikan dan belalang serta manusia, ketiganya adalah suci berdasarkan
hadits mauquf yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bahwasanya ia berkata :
“Dihalalkan bagi kita dua (jenis) bangkai dan dua
(jenis) darah. Adapun dua (jenis) bangkai, yaitu ikan dan belalang. Sedang dua
(jenis) darah, yaitu hati dan paru-paru”
Tentang bangkai manusia, Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya orang beriman tidak najis”
Dalil yang menunjukkan bahwa arak najis
adalah ijma’ (konsensus) para ulama (karena mengandung khamer.pen).
Dalil yang menunjukkan bahwa anjing
najis adalah hadits yang meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. pernah diundang untuk hadir
di sebuah rumah, maka beliau pun berkenan memenuhinya. Dan pernah (juga)
diundang untuk hadir di sebuah rumah (yang lain), namun beliau tidak mau
memenuhinya. Lalu beliau ditanya karenanya dan beliau menjawab: Sesungguhnya di
rumah si fulan ada anjing. Kemudian dikemukakan kepada beliau: Bahwa di rumah
si Fulan ada kucing. Bersabdalah beliau: Kucing itu tidak najis”
Dalam hadits yang diriwayatkan dari abu Hurairah r.a.
sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila anjing menjilat perkakas seseorang di
antara kalian, maka tumpahkanlah, kemudian cucilah perkakas itu tujuh kali”.
Berdasarkan hadits di atas, maka anjing itu najis.
Adapun dalil yang menjadi alasan bahwa babi
adalah ijma’ (konsensus) para sahabat Nabi saw.
Dalil yang menunjukkan bahwa daging keledai
kampung adalah najis adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas r.a.,
bahwasanya dia berkata:
“Kami pada waktu menaklukkan Khaibar memasak daging
keledai. Kemudian seseorang yang disuruh Rasulullah memanggil: Sesungguhanya
Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai karena itu adalah
kotor dan najis”.
Alasan dinyatakan najis benda yang terkena benda najis,
karena najis tersebut jadi menempel padanya disebabkan basah umpanya. Sedangkan
bila ternyata najis itu tidak menempel, seperti tangan yang menyentuh anjing
namun dalam keadaan kering sehingga tidak ada bekas yang ditinggalkan, maka hal
itu tidak membuat tangan menjadi najis. Sedangkan bila salah satunya dalam
keadaan basah, maka benda suci yang tersentuh oleh anjing tersebut menjadi
najis.
C.
Memanfaatkan
Benda Najis
Memanfaatkan (intifa’/isti’mal) benda-benda
najis (an-najasat) adalah masalah khilafiyah. Ada yang
membolehkan dan ada yang melarang. Namun, pendapat yang rajih (kuat) adalah
yang mengharamkan. Dalilnya antara lain firman Allah SWT :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur
ãN»s9øF{$#ur
Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã
Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù
öNä3ª=yès9
tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi dengan anak panah itu adalah rijsun (najis) termasuk
perbuatan syetan, maka jauhilah najis itu agar kamu mendapatkan keberuntungan…” (QS Al-Maaidah [5] : 90)
Dalam frase firman Allah diatas: “fajtanibuuhu”
(jauhilah najis/rijsun itu) terkandung perintah untuk menjauhi rijsun
yang berarti kotoran atau najis. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram,
sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.
Maka, haram hukumnya memanfaatkan khamr, memanfaatkan
kotoran binatang untuk pupuk, memanfaatkan alkohol, dan semua benda najis
lainnya, sebab itu semua adalah najis yang wajib dijauhi, bukan didekati atau
dimanfaatkan.
QS al-Maidah : 90 ini juga diperdebatkan oleh sebagian
fuqaha yang mengatakan bahwa kata rijsun pada ayat tersebut hanyalah najis
secara maknawi (atau najis hukmi, yakni najis secara hukum), bukan najis
dzati (atau najis aini, yakni najis secara materi/zat). Karena
kata rijsun tidak hanya khabar (keterangan) bagi khamr, tetapi juga
keterangan bagi perbuatan berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib,
yang semuanya jelas tidak bisa disifati dengan najis dzati. Dalil yang
mereka kemukakan adalah firman Allah SWT (artinya):
“Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu” (QS Al Hajj [22] : 30).
Berhala yang disebut najis pada ayat tersebut adalah
najis maknawi, bukan najis dzatii. Contoh lainnya dari najis maknawi
juga terdapat pada surat At Taubah ayat 28 (artinya):
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” (QS At Taubah [9] : 28).
Yang dimaksud dengan najis pada ayat ini bukanlah najis
dzati (tubuh) mereka, tetapi najis maknawi, yaitu aqidah yang mereka peluk
adalah aqidah syirik yang harus dijauhi, sebagaimana yang dipahami oleh jumhurul
fuqaha’.
Dengan argument ini, menurut mereka, kata rijsun
dalam surat Al Maidah 90 tersebut, adalah najis secara
maknawi, bukan najis dzati. Implikasinya, khamr itu suci, bukan najis.
Alkohol pun lalu adalah suci dan bukan najis. Pandangan tersebut –menurut
mereka– diperkuat oleh bunyi ayat selanjutnya min ‘amal asy-syaithan (dari
perbuatan syetan).. Itu berarti, yang dimaksud dengan najis (rijsun) dalam QS
Al-Maidah ayat 90 adalah najis secara maknawi, bukan najis dzati.[1]
Hanya saja, pendapat jumhur itu (yang memandang bahwa
kata rijsun dalam ayat tersebut juga mencakup najis dzati)
dikuatkan oleh dalil hadits Nabi SAW : “Sesungguhnya kami (para sahabat)
berada di negeri para Ahli Kitab, mereka makan babi dan minum khamr, apakah
yang harus kami lakukan terhadap bejana-bejana dan periuk-periuk mereka?
Rasulullah SAW menjawab,”Apabila kamu tidak menemukan lainnya, maka cucilah
dengan dengan air, lalu memasaklah di dalamnya, dan minumlah.” (HR
Ahmad dan Abu Dawud). Perintah untuk mencuci bejana wadah khamr
dan periuk wadah daging babi itu, menunjukkan bahwa kedua benda tersebut tidak
suci (najis). Sebab, apabila suci dan tidak najis, tentu Nabi SAW tidak akan
memerintahkan mencucinya dengan air.
Dalil lain, Abu Hurairah RA menceritakan bahwa ada
seorang pria akan memberikan hadiah Rasulullah SAW sebuah minuman khamr, maka
Rasulullah SAW berkata:
“Sesungguhnya khamr itu telah diharamkan. Laki-laki
itu bertanya,”Apakah aku harus menjualnya?”, Rasulullah SAW
menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan meminumnya, diharamkan pula
menjualnya”. Laki-laki itu bertanya lagi,”Apakah aku harus memberikan kepada
orang Yahudi?” Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan,
diharamkan pula diberikan kepada orang Yahudi”. Laki-laki itu kembali
bertanya,”Lalu apa yang harus saya lakukan dengannya?” Beliau
menjawab,”Tumpahkanlah ke dalam selokan.” (HR
Al Khumaidi dalam Musnad-nya).
(Ahmad Labib al-Mustanier, Hukum Seputar Khamr.
Perintah untuk menumpahkan khamr ke selokan
ini, menunjukkan bahwa khamr adalah najis dan tidak suci, yakni najis
secara dzati.
Kesimpulannya,
ketika Allah berfirman dalam QS Al-Maidah : 90 yang berbunyi “fajtanibuuhu”
(jauhilah najis/rijsun itu), maka itu adalah perintah untuk menjauhi rijsun
(najis) yang mencakup najis dzati. Oleh karena itu, memanfaatkan benda
najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi
najis itu.[2]
(Al-Baghdadi, Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1986:228).
Dikecualikan dari hal ini adalah jika benda najis tersebut
dijadikan sebagai obat, maka hukumnya makruh. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/109-110 telah menjelaskan
kemakruhannya, dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak
bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi,
ada hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya
hadits Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu
pada apa-apa yang diharamkan.” (HR Bukhari
dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban).
Rasulullah SAW bersabda pula,
“Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan
obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan
janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud).
Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat
dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan
berobat dengan meminum air kencing unta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas
RA, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi
SAW dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut
Madinah. Kemudian Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta
dan meminum air susu dan air kencingnya.[3]
Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu
najis (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).
Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW
memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf
untuk memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal.[4]
Hadits membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebab sutera
haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam
riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
Bagaimana menghadapi dua kelompok hadits yang seolah
bertentangan tersebut? Di sinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani
mengkompromikan (men-jama’) keduanya. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi
SAW untuk tidak berobat dengan yang haram (“janganlah kamu berobat dengan
sesuatu yang haram”) tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar
menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin).
Dalam hal ini, tuntutan yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram.
Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim) —sehingga
hukumnya haram– atau tidak tegas (ghairu jazim) -sehingga hukumnya
makruh–, masih membutuhkan dalil lain (sebsgai qarinah) yang
menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Dua hadits di atas yang membolehkan
berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah
(petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya,
tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang
dihasilkan adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani,
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).
Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya
najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya
adalah makruh. Dengan kata lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam
rangka pengobatan, hukumnya makruh. (Patut dicatat, benda yang haram
(dimanfaatkan) belum tentu najis, seperti sutera. Sedang benda najis, pasti
haram dimanfaatkan).
D.
Menjualbelikan
Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram
Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih “Kullu
maa hurrima ‘ala al-ibaad fabay’uhu haram.” (Segala sesuatu yang
diharamkan Allah atas hamba-Nya, maka memperjualbelikannya adalah haram juga).[5]
Karena itu, memperjualbelikan benda-benda najis atau haram adalah adalah haram
(forbidden).
Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di
antaranya sabda Nabi SAW, “Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan
suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka harga hasil
penjualannya.” (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Imam Asy-Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan
mengatakan,“Sesungguhnya setiap yang diharamkan Allah kepada hamba, maka
menjuabelikannya pun haram, disebabkan karena haramnya hasil penjualannya.
Tidak keluar dari (kaidah) kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali yang telah
dikhususkan oleh dalil.” (Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221).
Dikecualikan dalam hal ini adalah,
memperjualbelikan benda yang najis dan haram untuk kepentingan
pengobatan, tidaklah haram (boleh). Sebab berobat dengan benda najis dan haram
hukumnya makruh, tidak haram.
E.
Kesimpulan
Penetapan sesuatu itu disebut najis atau bukan adalah
karena dalil. Bukan melalui perasaan manusia karena jijik atau tidak suka
terhadap sesuatu. Penetapan sesuatu yang najis adalah hak Allah SWT.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa wadi najis adalah dikarenakan wadi keluar
dari air kencing, sehingga hukumnya sama dengan hukum air kencing. Sedangkan
dalil yang menjadi alasan, mengapa wadi selain bani Adam (selain manusia.pen) juga
najis, karena wadi tersebut keluar dari tempat keluar air kencing, sehingga
hukumnya sama dengan hukum air kencing. Dikecualikan dari air kencing adalah air
mani Bani Adam, yakni bahwa air mani Bani Adam
adalah suci.
Dalam frase firman Allah diatas: “fajtanibuuhu”
(jauhilah najis/rijsun itu) terkandung perintah untuk menjauhi rijsun
yang berarti kotoran atau najis. Maka, memanfaatkan benda najis adalah haram,
sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis itu.
ketika Allah
berfirman dalam QS Al-Maidah : 90 yang berbunyi “fajtanibuuhu”
(jauhilah najis/rijsun itu), maka itu adalah perintah untuk menjauhi rijsun
(najis) yang mencakup najis dzati. Oleh karena itu, memanfaatkan benda
najis adalah haram, sebab Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjauhi
najis itu.
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Sabiq, Fiqhu
Sunnah; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, 2003:205-206. Hal. 1/28
Al-Baghdadi, Radd
‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah, 1986: hal.228.
Lihat Al-Wahidi, Asbabun
Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an,
karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168
Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623
Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248
[3]
Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir]
kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal
168
[4] Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623
[5] Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: