Selasa, 07 April 2015
PROBLEMATIKA MATERI ZAKAT DAN PEMBERDAYAANNYA
A. PENDAHULUAN
Sepengetahuan penulis, persoalan zakat adalah sesuatu yang tidak pernah
habis dibicarakan, wacana tersebut terus bergulir mengikuti peradaban Islam, baik
dari berbagai karya ilmiah, di forum-forum ilmiah, maupun melalui kelembagaan pengelolaan
zakat itu sendiri, bahkan sampai berulang kali dibuat peraturan perundangannya,
terakhir adalah produk UU RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
sebagai perubahan atas Undang-undang sebelumnya
Nomor 38 tahun 1999, ditindaklanjuti pula dengan ke Keputusan Menteri
Agama tentang Pelaksanaan Undang-undang tersebut, ini menunjukkan bahwa
pamerintah menaruh perhatian yang tinggi terhadap zakat agar dikelola berhasil guna dan
berdaya guna sehingga tercapai tujuan pengelolaannnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa zakat
itu merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan,
kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinanan. Dalam rangka
meningkatkan daya guna dan hasil guna, negara melalui undang-undang tersebut
diatas telah mengamanatkan agar zakat dikelola secara melembaga sesuai dengan
syari’at Islam, yaitu amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum,
terintegrasi, dan akuntabilitas[1]
sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan pengelolaan
zakat.
Kemiskinan merupakan bahaya besar
bagi umat manusia dan tidak sedikit umat yang jatuh peradabannya hanya karena
kefakiran. Karena kefakiran itu mendekati pada kekufuran. Zakat merupakan nilai
instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi
manusia dan masyarakat serta pembangunan ekonomi umumnya.[2] Tapi apakah pengelolaan zakat sudah sesuai
dengan tujuannya? Jika tidak, apa permasalahannya? Lalu bagaimana pemanfaatan
hasil pengumpulan dana zakat ditinjau dari aspek pemberdayaan ekonomi umat?
Itulah beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini sesuai dengan judul “Problematika
Materi Zakat dan Pemberdayaannya”. Untuk mendukung persoalan yang lebih mendalam terhadap isi
makalah ini, penyusun berusaha melakukan kajian terhadap literatur yang relevan
terhadap masalah yang menjadi obyek pembahasan.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, dalam
Kamus Besar Lisan al-‘Arab, kata zakat merupakan kata dasar (masdar)
dari kata
ذكا yang berarti tumbuh,
berkah, berkembang, atau bertambah, dan bisa juga berartikan suci atau bersih.[3]
Sedangkan ditinjau dari segi istilah, dalam
kitab al-Fiqh ‘alaa Mazahib al-‘Arba’ah zakat diartikan dengan:
اخراج مال مخصوص الشخص مخصوص بشروط مخصوصة [4]
Artinya:“Mengeluarkan/memberikan
hak milik harta tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dengan
persyaratan tertentu pula”.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dijelaskan bahwa :
“Zakat adalah harta yang
wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha (Muzakki) untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya (Mustahiq) sesuai dengan syariat
Islam” .
Berdasarkan defenisi tersebut di atas, secara sederhana
dapat disimpulkan bahwa zakat adalah memberikan sejumlah harta tertentu yang
dimiliki oleh muzakki disertai dengan syarat-syarat tertentu kepada mustahiq
sesuai dengan ketentuan syara’.
Jadi kaitan antara makna bahasa dan istilah ini berkaitan
erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikeluarkan zakatnya akan
menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh dan berkembang. Dalam penggunaannya, selain untuk kekayaan, tumbuh dan suci
disifatkan untuk jiwa orang yang menunaikan zakat. Maksudnya, zakat itu akan
mensucikan orang yang mengeluarkannya dan menumbuhkan pahalanya.[5] Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS;
at-Taubah, ayat 103. Ayat ini pula yang menjadi salah
satu dasar hukum wajib zakat.
õè{
ô`ÏB
öNÏlÎ;ºuqøBr&
Zps%y|¹
öNèdãÎdgsÜè?
NÍkÏj.tè?ur
$pkÍ5
Èe@|¹ur
öNÎgøn=tæ
(
¨bÎ)
y7s?4qn=|¹
Ö`s3y
öNçl°;
3
ª!$#ur
ììÏJy
íOÎ=tæ
ÇÊÉÌÈ
Artinya; Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[6]
dan mensucikan[7]
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.[8]
2.
Tujuan Zakat
Dalam buku Pedoman
Zakat terbitan Departemen Agama RI yang disusun oleh Tim Proyek Pembinaan
Zakat dan Wakaf disebutkan bahwa tujuan zakat antara lain:[9]
Ø Mengangkat derajat fakir-miskin dan membantunya keluar
dari kesulitan hidup serta penderitaan.
Ø Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para
gharimin, ibnussabil, dan mustahiq lainnya.
Ø Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat
Islam dan manusia pada umumnya.
Ø Menghilangkan sifat kikir pemilik harta
Ø Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial)
dari hati orang – orang miskin.
Ø Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan
yang miskin dalam suatu masyarakat.
Ø Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri
seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta.
Ø Mendidik manusia untuk berdisplin menunaikan kewajiban
dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
Sedangkan
tujuan pengelolaannya sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 Undang-undang Nomor
23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat;
dan meningkatkan manfaat zakat untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Untuk
mewujudkan itu diperlukan organisasi pengelola zakat sebagaimana telah
dijelaskan dalam Undang-undang tersebut.
Menurut hemat penulis, tujuan zakat tidak sekedar menyantuni orang miskin
secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang lebih permanen yaitu
mengentaskan kemiskinan melalui pendayagunaan hasil zakat secara produktif. Sehingga zakat
yang diberikan secara produktif kepada mustahiq
sebagai modal untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi dapat menumbuhkembangkan
tingkat ekonomi dan potensi produktifitas mustahiq.[10] Dengan demikian terwujud kesejahteraan
sosial-ekonomi mustahiq dan tentu akan meningkat pula status
sosial-ekonominya, suatu saat nanti diharapkan si-mustahiq dapat pula
menjadi muzakki baru.
1. Problematika Materi Zakat di
Indonesia
a. Ditinjau
dari Potensi Dana Zakat[11]
Sebagai
negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia yang memiliki kekayaan sumber
daya alam yang melimpah, dan berbagai macam bentuk jenis usaha yang ada, tentu potensi dana zakat Indonesia juga sangat besar,
potensi zakat seperti yang disampaikan
Pimpinan DSUQ Bandung bahwa potensi zakat secara finansial dalam setahun di
Indonesia bisa terkumpul mencapai 2 trilliun rupiah.[12] Jumlah itu baru yang bisa di hitung dari
jumlah orang kaya (muzakki) yang terdeteksi. Zakat
digadang-gadang menjadi salah salah satu instrumen pemerataan pendapatan
dikarenakan potensinya yang besar di Indonesia.
Berdasarkan
riset dari hasil kerjasama UIN Jakarta dan Ford Foundation pada tahun 2003,
ditemukan bahwa potensi zakat di seluruh
nusantara mencapai 19,3 triliun per tahun. Tentunya itu untuk tahun 2003 dan
seterusnya akan lebih besar dari tahun ke tahun.
Selanjutnya berdasarkan
hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) mengatakan
potensi dana zakat di Indonesia yang populasinya sekitar 87 persen muslim,
sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada tahun 2007. Potensi ini
meningkat 4,67 triliun dibandingkan tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar
4,45 triliun.
Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa
potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 20 Triliun per tahun. Jenis harta zakat sangat banyak sekali, tetapi semua itu
telah dirumuskan di dalam undang-undang sebagaimana terdapat di dalam pasal 4 ayat 2 UU Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan bahwa zakat mal meliputi:
a. emas, perak, dan
logam mulia lainnya;
b. uang dan surat
berharga lainnya;
c. perniagaan;
d. pertanian,
perkebunan, dan kehutanan;
e. peternakan dan
perikanan;
f. pertambangan;
g. perindustrian;
h. pendapatan dan jasa;
dan
i. rikaz.
Semua
jenis harta wajib zakat tersebut di atas itu tentu telah melalui kajian yang
sangat mendalam dan melibatkan banyak pakar terutama ulama/fuqaha. Hukum zakat adalah wajib ‘ain dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk
diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain, walaupun dalam
pelaksanaannya dapat diwakilkan kepada orang lain. Tujuan
disyariatkan zakat diantaranya adalah untuk jangan harta itu hanya beredar di kalangan
orang-orang kaya saja. Rukun zakat yaitu orang yang berzakat, harta yang
dizakatkan dan orang yang menerima zakat. Syarat harta yang dizakatkan adalah
harta yang baik, milik yang sempurna dari yang berzakat, berjumlah satu nisab
atau lebih dan telah tersimpan selama satu tahun qamariyah atau haul.
Yusuf al Qaradawi menyatakan bahwa diantara hal yang
sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah
penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian
yang dilakukannya secara sendiri, maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan
secara sendiri misalnya : dokter, bidan, guru, penjahit, mubaligh dan lain
sebagainya. Yang dilakukan secara bersama-sama misalnya pegawai pemerintah
maupun swasta, pejabat Negara, hakim dan lain sebagainya. Wahbah al Zuhaili mengemukakan pendapatan yang
diterima seseorang dalam waktu relatif tetap, seperti sebulan sekali dalam
fikih dikenal dengan nama (al-maal al-mustafaad). Landasan hukum kewajiban zakat profesi adalah firman Allah
SWT.
QS; at-Taubah ayat 103
õè{
ô`ÏB
öNÏlÎ;ºuqøBr&
Zps%y|¹
öNèdãÎdgsÜè?
NÍkÏj.tè?ur
$pkÍ5
Èe@|¹ur
öNÎgøn=tæ
(
¨bÎ)
y7s?4qn=|¹
Ö`s3y
öNçl°;
3
ª!$#ur
ììÏJy
íOÎ=tæ
ÇÊÉÌÈ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[13] dan mensucikan[14]
mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.[15]
QS; al Baqarah ayat 267.
$ygr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
(#qà)ÏÿRr&
`ÏB
ÏM»t6ÍhsÛ
$tB
óOçFö;|¡2
!$£JÏBur
$oYô_t÷zr&
Nä3s9
z`ÏiB
ÇÚöF{$#
(
wur
(#qßJ£Jus?
y]Î7yø9$#
çm÷ZÏB
tbqà)ÏÿYè?
NçGó¡s9ur
ÏmÉÏ{$t«Î/
HwÎ)
br&
(#qàÒÏJøóè?
ÏmÏù
4
(#þqßJn=ôã$#ur
¨br&
©!$#
;ÓÍ_xî
îÏJym
ÇËÏÐÈ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”[16]
QS; adz-Dzaariyat ayat
19.
þÎûur
öNÎgÏ9ºuqøBr&
A,ym
È@ͬ!$¡¡=Ïj9
ÏQrãóspRùQ$#ur
ÇÊÒÈ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”[17]
Semua penghasilan melalui kegiatan professional
tersebut apabila telah capai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Pada saat
Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H
bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat
profesi apabila telah capai nisab, meskipun pesertanya berbeda pendapat dalam
cara mengeluarkannya. Dalam menentukan nisab, kadar dan waktu mengeluarkan zakat profesi misalnya,
dalam hal ini ada 2 pendapat, jika zakat profesi dianologikan kepada zakat
perdagangan, maka nisab, kadar dan waktu mengeluarkan sama dengan zakat emas
dan perak. Nisabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu
mengeluarkan setahun sekali, setelah dikeluarkan kebutuhan pokok.
Contoh : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000 (lima
juta rupiah) setiap bulan dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp. 3.000.000
(tiga juta rupiah), maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp.
2.000.000 = Rp. 600.000 (enam ratus ribu ) per tahun atau Rp. 50.000 (lima
puluh ribu) per bulan.2. Jika dianalogikan kepada zakat pertanian, maka
nisabnya senilai 5 ausaq atau 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5
% dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan, misalnya
sebulan sekali. Dalam contoh kasus : Jika si A berpenghasilan Rp. 5.000.000
(lima juta rupiah) setiap bulan dan kebutuhan pokoknya perbulan sebesar Rp.
3.000.000 (tiga juta rupiah), maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5 % x 12
x Rp. 2.000.000 = Rp. 1.200.000 (satu juta dua ratus ribu rupiah) per tahun
atau Rp. 100.000 (seratus ribu perbulan). Kalau
dianalogikan kepada zakat pertanian, maka bagi zakat profesi tidak ada
ketentuan haul, ketentuan waktu menyalurkan adalah pada saat menerima, misalnya
tiap bulan. Karena itu profesi yang menghasilkan pendapatan setiap hari, seperti : dokter yang membuka praktek sendiri para
da‟i yang setiap hari berceramah, zakatnya
dikeluarkan sebulan sekali. Sama dengan zakat pertanian yang dikeluarkan saat
pada panen, sesuai firman Allah Surat al An’aam ayat 141. Kedua
pendapat di atas menggunakan qiyas yang ‘illat hukumnya ditetapkan berdasarkan metode syabah.
Contoh (qiyas syabah) yang dikemukakan oleh Muhammad al
Amidi adalah hamba sahaya yang dianalogikan pada 2 hal yaitu pada manusia
(nafsiyyah) menyerupai orang yang merdeka (al hur) dan dianalogikan pada kuda
karena dimiliki dan dapat diperjual belikan di pasar. Pada tahun
2003, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang zakat
penghasilan sesuai dengan “Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3
Tahun 2003 tentang zakat penghasilan. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap
pendapatanseperti gaji, honorium, upah, jasa dan lain-lain yang diperoleh
dengan cara yang halal, baik rutin seperti pejabat Negara, pegawai atau
karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan dan sejenisnya,
serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.
Dalam hal ini terdapat perbedaan antaraYusuf
Qardhawi dan Majelis Ulama Indonesia dalam mengartikan penghasilanatau
pendapatan. Kalau menurut Yusuf Qardawi penghasilan adalah didasarkanberdasarkan
keahlian yang dilakukan secara sendiri maupun bersama-sama.Sedangkan dalam
fatwa MUI tersebut penghasilan diartikan sebagai pendapatanrutin atau tidak
rutin. Namun pemakalah lebih memilih mengikuti pendapat berdasarkan fatwa MUI. Dalam fatwa MUI juga
dijelaskan bahwa semua bentuk penghasilan yang halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat
telah mencapai nisab satu tahun yaitu senilai
emas 85 gram. Adapun kadar zakat penghasilan adalah 2,5 %. Waktu pengeluaran zakat yaitu :
1) Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat
menerima, jika sudah cukup nisab.
2) Jika tidak mencapai nisab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu
tahun, kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab.
Berdasarkan uraian diatas, penulis berpendapat bahwa
setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, apabila telah mencapai nisab,
maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini didasarkan pada:
1) Ayat al a Quran yang bersifat umum yang
mewajibkan semua harta untuk dikeluarkan zakatnya.
2) Berbagai pendapat ulama terdahulu maupun
sekarang, meskipun dengan menggunakan istilah berbeda. Sebagian menggunakan istilah
bersifat umum yaitu (al-amwaal), sementara
sebagian lagi secara khusus memberikan istilah dengan istilah (al-maal al-Mustafaad) seperti
terdapat dalam kitab Fikih Zakat dan al Fiqh al Islamy wa ‘Adillatuhu.
3) Dari sudut keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, penetapan
kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas,
dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas-komoditas
tertentu saja yang konvensional. Petani yang saat ini kondisinya secara umum
kurang beruntung, tetap harus berzakat, apabila hasil pertaniannya telah
mencapai nisab. Karena itu sangat adil pula, apabila zakat ini pun bersifat
wajib pada penghasilan yang didapatkan para dokter, para dosen dan guru sertifikasi, dan profesi lainnya.
4) Sejalan dengan kehidupan ekonomi umat manusia, kegiatan
melalui keahlian dan profesi akan semakin berkembang dari waktu ke waktu.
Penetapan kewajiban zakat kepadanya, menunjukkan betapa hukum Islam sangat
aspiratif dan responsif terhadap pekembangan zaman.
b.
Ditinjau dari sisi
muzakki-nya
Peran zakat sebagai salah satu rukun Islam
yang harus ditunaikan muzakki[18]
hanya menjadi kesadaran personal. Membayar zakat merupakan kebajikan individual
dan sangat sufistik sehingga lebih mementingkan dimensi keakhiratan. Muzakki, biasanya
disingkat dengan 3T (Tidak tahu, tidak mau, dan tidak percaya). Pertama, tidak tahu. Mungkin masyarakat tahunya
hanya zakat fithrah saja sehingga berujung pada terabaikannya zakat maal yang nominalnya jauh lebih tinggi daripada zakat fithrah. Kedua,
tidak mau. Mungkin masyarakat tahu akan kewajiban berzakat (maal) namun enggan
untuk menunaikannya. Ketiga, tidak percaya. Mungkin banyak para
muzakki tahu dan mau untuk membayar zakat, tapi lebih memilih untuk menyalurkan
zakatnya secara langsung kepada individu-individu yang diinginkan dikarenakan
kurangnya rasa percaya si-muzakki terhadap lembaga pengelola zakat.
Semestinya zakat adalah
menjadi sebuah gerakan kesadaran kolektif, taruhlah kita bisa canangkan gerakan
sadar zakat, seperti yang pernah dicanangkn oleh Presiden Megawati pada tanggal
2 Desember 2001 di Masjid Istiqlal pada acara peringatan Nuzulul Qur’an,
sehingga zakat menjadi tulang punggung perekonomian umat. Karena, Zakat bukan
hanya sekedar kewajiban yang mengandung nilai teologis, tetapi juga kewajiban
finansial yang mengandung nilai sosial yang tinggi. Persoalan ini, tidak lepas
juga dari pamahaman Muzakki terhadap makna substansi zakat. Zakat hanya
sebagai suatu kewajiban agama (teologis) untuk membersihkan harta milik. Pemahaman masyarakat
seperti itu tentang zakat, akhirnya zakat di berikan tanpa melihat sisi
kemanfaatan ke depan bagi Mustahiq. Padahal zakat memilki peran
signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta berpengaruh nyata
pada tingkah laku konsumen[19].
Dengan zakat distribusi lancar dan kekayaan
tidak melingkar di sekitar golongan elit konglomerat atau orang-orang kaya saja. Namun akhir-akhir ini
kesadaran di kalangan umat Islam menengah atas lainnya makin membaik, selain
membayar pajak mereka juga membayar zakat.
Menurut penulis yang
mendorong masyarakat Islam melaksanakan pemungutan zakat di Indonesia ini
antara lain adalah: (1) keinginan umat Islam Indonesia untuk meyempurnakan
pelaksanaan ajaran agamanya. Umat Islam semakin menyadari
perlunya penunaian zakat sebagai salah satu kewajiban agama, kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mampu melaksanakannya karena telah
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. (2)
Kesadaran yang semakin meningkat di kalangan umat Islam tentang potensi zakat
jika dimanfaatkan sebaik-baiknya, akan dapat memecahkan berbagai masalah sosial
di Indonesia. (3) Usaha-usaha untuk mewujudkan pengembangan dan pengelolaan zakat di Indonesia makin lama makin tumbuh dan
berkembang.[20]
c.
Dilihat dari Organisasi Pengelola Zakat
Meningkatnya kesadaran umat
Islam dalam membayar zakat tidak disertai dengan pengumpulan dan penyaluran
yang terencana secara komprehensif oleh pengelola zakat. Bagaimana zakat yang
punya peran sangat penting dalam menentukan ekonomi umat bisa dapat terkelola
dengan baik dan professional-produktif. Pengelolaan yang tidak baik dan
profesional menjadikan zakat tidak produktif dalam ikut andil mengembangkan
ekonomi umat. Kita dulu punya BAZIS (Badan Amil Zakat dan Shodaqah) yang
semi-pemerintah, sekarang kita punya Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil
Zakat (LAZ) sampai ke Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) yang dibina oleh pemerintah
atas keinginan masyarakat. Hanya saja, system kelembagaan zakat tidak sama
dengan lembaga pajak yang sudah dinilai kuat,[21]
Ditambah lagi dengan persoalan
amanah yang kurang dimiliki oleh pengelola zakat. lembaga pengumpul zakat tersebut dianggap kurang
transparan dalam mengelola dana, dianggap kurang kreatif dalam pengelolaan
dana, dan lain-lain. Semua hal itu hendaknya menjadi pelajaran bagi BAZ/LAZ
untuk terus melakukan improvisasi demi meningkatkan kepercayaan para muzakki yang
bermuara pula pada optimalnya pengumpulan dan pemanfaatan dana zakat di
Indonesia.
Sebenarnya, ada tiga kata
kunci yang harus dipegang oleh organisasi pengelola zakat agar menjadi good
organization governance, yaitu Amanah, Professional dan Transparan. Organisasi Pengelola Zakat merupakan sebuah institusi yang
bergerak di bidang pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah.[22] Kegiatannya meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan
terhadap pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Organisasi pengelola
zakat apapun bentuk dan posisinya secara umum mempunyai dua fungsi yakni:[23]
Pertama, Sebagai perantara
keuangan, yaitu Amil
berperan menghubungkan antara pihak Muzakki dengan Mustahiq. Sebagai
perantara keuangan Amil dituntut menerapkan azas trust (kepercayaan). Sebagaimana layaknya lembaga keuangan
yang lain, azaz kepercayaan menjadi syarat mutlak yang harus dibangun. Setiap
amil dituntut mampu menunjukkan keunggulannya masing-masing sampai terlihat
jelas positioning organisasi, sehingga masyarakat dapat memilihnya. Tanpa
adanya positioning, maka kedudukan akan sulit untuk berkembang.
Kedua, Pemberdayaan, fungsi ini
sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan Amil, yakni bagaimana masyarakat
Muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman kehidupannya
menjadi terjamin disatu sisi dan masyarakat Mustahiq tidak selamanya
tergantung dengan pemberian bahkan dalam jangka panjang diharapkan dapat
berubah menjadi Muzakki baru.
d.
Ditinjau dari
Sisi Pendukung Legal Formal.
Sisi pendukung Legal-formal
kita kurang proaktif dalam melihat potensi zakat yang sekaligus sebagai
aplikasi dari ketaatan kepada agama bagi umat Islam. Seperti potensi zakat yang
penulis sampaikan di atas tapi kenyataannya, pengumpulan zakat, masih dibawah
standar rasio rata-rata jumlah umat Islam yang kena kewajiban zakat (muzakki).
Semestinya sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, negara
proaktif dalam menyikapi kebutuhan umat, dimana ajaran Islam yang asasi seperti
zakat menjadi tulang punggung perekonomian umat dengan melahirkan Undang-undang
zakat dari sejak kemerdekaan.
Babak baru
pengelolaan zakat di Indonesia
telah dimulai menyusul disahkannya UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat oleh pemerintah. UU ini dinilai cukup kontroversial karena menyebabkan
beberapa pertentangan pada keberadaan dan wewenang LAZ itu sendiri. UU
Pengelolaan Zakat inipun sekarang tengah dalam uji materi di Mahkamah
Konstitusi, tuntutan disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz).
Sejatinya Komaz terdiri dari beberapa pihak atau lembaga yang selama ini sudah
mengelola ZIS secara Independen diluar Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)
ataupun Badan Amil Zakat Daerah (Bazda). Menyikapi hal ini Kementerian Agama
(Kemenag) tetap besikeras bahwa pengelolaan zakat harus melibatkan pemerintah.
Menteri Agama, Suryadharma Ali, menilai tuntutan yang diajukan oleh Komaz,
menunjukkan pihak yang bersangkutan tidak mampu melihat secara utuh pentingnya
penertiban administrasi perzakatan.”Pelaporan zakat perlu penertiban. Sebab,
memang seharusnya tak ada lembaga liar yang meng-collect zakat tanpa
terdaftar,tegas Menteri Agama di Jakarta.
Salah satu hal
yang masih disorot adalah terkait tertib administrasi dari setiap lembaga
zakat. Disinilah Profesionalitas lembaga zakat diuji, keberadaan UU Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakt sangat menguntungkan dari Sisi
Administrasi, karena pertanggungjawaban keuangan LAZ yang rapi bisa menjadi
modal utama kepercayaan publik. Sementara bagi pemerintah, pelaporan LAZ dapat
digunakan sebagai parameter pengumpulan dana umat untuk ditindaklanjuti sebagai
distribusi zakat nasional
Aspek Profesionalitas dan Legal Formal memang
menjadi dua hal yang disorot oleh publik untuk menghindari berbagai macam
spekulasi dan persepi negatif tentang pola funding dana masyarakat. Mendudukkan LAZ sebagai lembaga
yang akuntabel,mutlak harus dilakukan oleh segenap institusi zakat yang selama
ini telah berkecimpung dalam mengelola zakat dimasyarakt. Disadari atau tidak,
kekhawatiran sebagian kecil masyarakat akan penyelewengan dana ZIS ini masih
tetap saja ada.
Sebelumnya pernah ada
Undang-undang tentang pengelolaan Zakat No. 38 tahun 1999 yang disahkan pada
tanggal 23 September 1999, walau tidak ada kata terlambat, tidak begitu banyak
memberikan angin segar kepada umat Islam dalam mewujudkan suatu tatanan
perekonomian yang kuat. Tetapi kita masih bisa bersyukur, dengan lahirnya
Undang-undang tersebut, walau terjadi tarik menarik kepentingan (penguasa dan
rakyat) dalam lahirnya Undang-undang tersebut. Ditambah lagi dengan adanya
perubahan atas Undang-undang PPh No. 17 Tahun 2000 yang disahkan tanggal 2 Agustus
2000 dimana zakat menjadi pengurang pembayaran pajak penghasilan. Kedua
undang-undang tersebut memberikan jaminan kepada umat Islam bahwa zakat akan
terkelola dengan baik, walau tidak sedikit kekhawatiran bahwa undang-undang itu
hanya sebuah gerakan yang setengah hati yang hanya membesarkan hati umat Islam
dan akan berhenti di tengah jalan.
Kekhawatiran itu tenyata terbukti dengan adanya stagnanisasi dalam usaha
sosialisasi dan realisasi kedua undang-undang tersebut. Terjadinya banyak
kendala dalam sosialisasi, realisasi dan tekhnis menjadi faktor yang sangat
dominan dalam terjadinya stagnan undang-undang tersebut. Kenapa hal ini bisa
terjadi ? kita mungkin melihat dengan kaca mata sinis terhadap pemerintah dalam
menerapkan konsep zakat, dengan mengatakan, bahwa Undang-undang zakat yang ada
hanya sebagai gerakan setengah hati. Atau kita bisa melihat dengan beragam
kelemahan yang ada pada Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat dan UU No. 7/83 Jo.UU No.10/94 Jo.UU No. 17/2000 tentang Pajak
Penghasilan sebagai pengurang pembayaran pajak apabila sudah membayar zakat
bagi umat Islam, seperti yang disampaikan Hadi Muhammad dalam sebuah makalahnya atas
kelemahan Undang-undang tersebut, mengatakan : “metode Prepaid Tax lebih
baik ketimbang metode Deductible Expenses yang digunakan dalam UU No.
38/99, karena sebetulnya hanya merupakan usaha excuse dari aparat Ditjen
Pajak untuk menunjukkan toleransi birokrasi terhadap ketentuan berzakat umat
Islam”.[24]
2.
Ditinjau dari Segi Pemanfaatan Dana Zakat Kepada Mustahiq
Pemanfaatan
zakat pun tak luput dari sorotan. Zakat yang selamanya disalurkan
langsung kepada masyarakat dalam bentuk barang-barang yang konsumtif tidak akan dapat mengentaskan kemiskinan.
Kenapa, karena zakat yang diberikan dalam bentuk langsung hanya akan bermanfaat
sementara waktu dan setelah itu menguap. Zakat konsumtif tetap perlu di
fase-fase awal pemberian bantuan, tapi selanjutnya zakat produktif lah yang
harus diberikan. Namun, lembaga sosial seperti lembaga pengelola zakat, juga
terbentur pada realitas, bahwa mengemas program produktif guna pemberdayaan
para mustahiq bukanlah suatu perkara yang mudah. Membuat usaha sendiri saja
sulit, apalagi membuatkan usaha untuk orang lain.
Sementara itu
ada hambatan juga di kalangan mustahik untuk menjadikan dana zakat sebagai modal usaha. Membuat usaha memang sulit, pelik,
melelahkan dan penuh resiko. Ada berbagai penyebab sulitnya mengembangkan
usaha. Jika ada modal, apakah produknya layak untuk dikonsumsi. Jika produknya
layak dikonsumsi, apakah banyak yang membeli. Jika produk layak dan pasar
tepat, apakah memang kebijakan mendukung keberlangsungan usaha mereka. Ini
sekadar penyadar, bahwa dalam berusaha mereka terbentur-bentur pada berbagai
kekurangan. Pengetahuan yang mereka miliki amat sederhana. Hingga kreativitas
makanan yang disuguhkan bukan lagi sederhana, melainkan juga amankah
dikonsumsi. Sementara itu ada faktor-faktor lain juga mendukung lestarinya
kemiskinan. Ada kebijakan pemerintah yang tidak berpihak, ada ambisi ekpansi
bisnis perusahaan swasta yg perlahan akan membunuh bisnis-bisnis orang kecil, dan
lain sebagainya. Pada akhirnya harus disadari dengan sesadar-sadarnya, kalau
perjuangan mulia untuk menjadikan para mustahiq yang saat ini berhak
mendapatkan zakat agar dikemudian hari berubah menjadi muzakki sangatlah
menantang, artinya pendayagunaan zakat yang
dikelolanya tidak hanya terbatas pada kegiatan-kegiatan tertentu saja yang
berdasarkan pada orientasi konvensional, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk
kegiatan-kegiatan ekonomi umat, seperti dalam program pengentasan kemiskinan
dan pengangguran dengan memberikan zakat produktif kepada mereka yang
memerlukan sebagai modal usaha.
Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak ada
sistem kontrolnya. Nilai strategis zakat dapat dilihat melalui: Pertama,
zakat merupakan panggilan agama. Ia merupakan cerminan dari keimanan
seseorang. Kedua, sumber keuangan zakat tidak akan pernah berhenti.
Artinya orang yang membayar zakat, tidak akan pernah habis dan yang telah
membayar setiap tahun atau periode waktu yang lain akan terus membayar. Ketiga, zakat secara empirik
dapat menghapus kesenjangan sosial dan sebaliknya dapat menciptakan
redistribusi aset dan pemerataan pembangunan.[25]
Zakat yang diberikan kepada mustahiq akan berperan sebagai
pendukung peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada kegiatan
produktif. Pendayagunaan zakat produktif sesungguhnya mempunyai konsep
perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan,
ketidakadaan modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja, dengan adanya masalah
tersebut maka perlu adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat
produktif tersebut.
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya
dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan
supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara
konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan
tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan
penghasilannya untuk menabung. Dan BAZNAS sebagai wadah
pengelola dana zakat tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka
mendampingi, memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat tersebut
benar-benar dijadikan modal kerja sehingga penerima zakat tersebut memperoleh
pendapatan yang layak dan mandiri.
Seperti Lembaga Amil Zakat Yayasan Solo Peduli
menyalurkan dana zakat produktif pada suatu program yang kemudian dikembangkan
yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi, program ini adalah program pemberdayaan
pembinaan umat atau mustahiq produktif dengan memberikan bantuan modal usaha
yang disalurkan dengan fasilitas Qordhul Hasan untuk bantuan modal yang berupa
uang dan Muḍarabah dengan sistem gaduh untuk bantuan modal ada yang berupa
hewan ternak, mesin jahit, ada yang dikursuskan melalui pelatihan keterampilan tangan
lainnya seperti pembuatan makanan, dan lain sebagainya. Dengan bantuan modal
usaha yang diberikan Yayasan Solo Peduli, mustahiq dapat mengembangkan usaha
mereka dan bisa meningkatkan pendapatan mereka
Dengan berkembangnya usaha kecil menengah dengan modal berasal
dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti angka pengangguran bisa
dikurangi, berkurangnya angka pengangguran akan berdampak pada meningkatnya
daya beli masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya
daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi, pertumbuhan sektor
produksi inilah yang akan menjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan
ekonomi.
Penelitian yang pernah penyusun jumpai yang berkaitan
dengan zakat produktif sebagai sarana pemberdayaan ekonomi yang membahas
pendapat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mengenai pendayagunaan zakat untuk
pemberdayaan ekonomi umat dapat dilakukan dengan memberikan sarana atau
peralatan kepada mustahiq yang disesuaikan dengan kepandaian atau keterampilan
yang dimiliki mustahiq. Sedangkan kepada mustahiq yang mampu mengembangkan
usaha produktifnya agar diberikan modal. [26]
Studi lain yang berkenaan dengan zakat untuk pemberdayaan ekonomi
yaitu, penelitian yang menjelaskan bahwa pendayagunaan zakat yang efektif untuk
menurunkan tingkat kemiskinan tidak hanya digunakan sebagai pemenuhan konsumtif
semata tetapi juga dapat dipergunakan untuk usaha-usaha pemenuhan kebutuhan
produktif, bantuan pendidikan dan usaha-usaha untuk menciptakan lapangan kerja
serta mengurangi pengangguran.[27]
Ulin Ulfa dalam penelitiannya membahas tentang pendayagunaan zakat
secara produktif dalam perspektif hukum Islam adalah dapat dibenarkan,
sepanjang memperhatikan kebutuhan pokok bagi masing-masing mustahiq dalam
bentuk konsumtif yang bersifat mendesak untuk segera diatasi. Selain itu
pendayagunaan dan pengelolaan zakat untuk usaha produktif dibolehkan oleh hukum
Islam selama harta zakat tersebut cukup banyak.[28]
A. Qodri Azizy dalam bukunya menyimpulkan bahwa zakat
hendaknya tidak sekedar konsumtif, maka idealnya zakat dijadikan sumber dana
umat. Penggunaan zakat untuk konsumtif hanyalah untuk hal-hal
yang bersifat darurat. Artinya, ketika ada mustahiq yang tidak mungkin untuk
dibimbing untuk mempunyai usaha mandiri atau memang untuk kepentingan mendesak,
maka penggunaan konsumtif dapat dilakukan.[29]
Dari berbagai penelitian di atas, penyusun belum menemukan penelitian yang
secara khusus membahas tentang hubungan jumlah dana (zakat produktif) yang
dikeluarkan oleh Lembaga Amil Zakat untuk kegiatan produktif dengan pendapatan
yang diperoleh mustahiq, sehingga Ekonomi mustahiq dapat diberdayakan, pada
umumnya penelitian yang ada hanya membahas tentang pengaruh zakat terhadap
pemberdayaan umat.
Pendayagunaan zakat harus berdampak positif bagi mustahiq, baik
secara ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntut benar-benar
dapat mandiri dan hidup secara layak sedangkan dari sisi sosial, mustahiq
dituntut dapat hidup sejajar dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti,
zakat tidak hanya didistribusikan untuk hal-hal yang konsumtif saja dan hanya
bersifat charity tetapi
lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif.
Kelemahan utama orang miskin serta usaha kecil yang dikerjakannya
sesungguhnya tidak semata-mata pada kurangnya permodalan, tetapi lebih pada
sikap mental dan kesiapan manajemen usaha. untuk itu, zakat usaha produktif
pada tahap awal harus
mampu mendidik mustahiq sehingga benar-benar siap untuk berubah. Karena tidak
mungkin kemiskinan itu dapat berubah kecuali dimulai dari perubahan mental si
miskin itu sendiri.
Inilah yang disebut peran pemberdayaan. zakat
yang dapat dihimpun dalam jangka panjang harus dapat memberdayakan mustahiq
sampai pada dataran pengembangan usaha. program-program yang bersifat konsumtif
ini hanya berfungsi sebagai stimulan atau rangsangan dan berjangka pendek.,
sedangkan program pemberdayaan
ini harus diutamakan. Makna pemberdayaan dalam arti yang luas ialah
memandirikan mitra, sehingga mitra dalam hal ini mustahiq tidak selamanya
tergantung kepada ‘amil zakat.
C. KESIMPULAN
Zakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi, apalagi potensi dana zakat Indonesia yang sangat besar, selain
dapat membantu perekonomian masyarakat (mustahiq) juga dapat pula membantu pemerintah dalam
meningkatkan perekonomian negara, karena peningkatan ini membawa berpengaruh
positif terhadap income perkapita penduduk muslim di Indonesia, dan dengan
segala perangkat peraturan perundangan tentang pengelolaan zakat ini akan semakin
meningkat pengumpulan dana zakat dan semakin produktif pula pendayagunaannya,
sehingga akan memunculkan muzakki-muzakki baru dari para mustahiq
itu. Melalui zakat, diharapkan kekayaan tidak hanya terpusat pada segelintir
orang saja. Kekayaan haruslah terdistribusi secara merata pada segenap umat
muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan
Wakaf, cet. 1. Jakarta: UI Press, 1988.
Al Jauziyyah, Ibn Qayyim, Zadul Ma’ad
Bekal Menuju ke Akherat, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999.
al-Jaziri, Abdurrahman,
al-Fiqh ‘alaa Mazahib al-‘Arba’ah, Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.
Anwar, Chairul, Islam
dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat
(Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet.
1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Departemen Agama R.I., Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan Penafsir
Al-Qur’an, 1967.
Dahlan, Abdul Azis, (ed.), Ensiklopedi Islam
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Dahlan, Abdul Azis, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
el-Wafa, Hosnu, Konsepsi Zakat Produktif
dalam Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, studi terhadap kitab
Sabil Al Muhtadin, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003.
Hasanah, Alfiya Nur, “Hubungan Zakat
terhadap Tingkat Kemiskinan pada BAZ Propinsi DIY Tahun 1939-2003, Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir,
Jilid 14, Cet. Ke-1, 1999.
Muhammad dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Muhammad, Rifqi, Akuntansi Lembaga Keuangan Publik Islam, Yogyakarta:
FIAI UII, 2006.
Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf , Pedoman Zakat (4),
Jakarta: Departemen Agama, 1982.
Qadir, Abduracchman, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan
Sosial. Cet. 2. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Qardhawi, Yusuf, Al-Qur’an
dan As-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam. Jakarta: Rabbani Press, 1997.
--------------
,
Yusuf, Hukum Zakat, (Terj.) Jakarta:
Litera Antar Nusa, 1997.
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), cet
2. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Sartika, Mila, Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... JURNAL EKONOMI ISLAM Vol. II, No. 1, Juli 2008
Saefuddin,
Ahmad M., Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1 cet.1. Jakarta: CV Rajawali, 1987.
Ulfa, Ulin, Pendayagunaan Zakat untuk
Usaha Produktif, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Undang-undang RI Nomor
38/1999 tentang Pengelolaan Zakat beserta Penjelasannya. Perubahan atas
UU No. 38 tahun 1999. dan Keputusan Menteri Agama RI tentang Pelaksanaan
Undang-undang Pengelolaan Zakat
Zuhaili, Wahbah, Fiqh al-Islam
wa ‘Adillatuhu,
Beirut: Dar al Fikr, 1997.
LAMPIRAN
[1] Yang dimaksud dengan asas amanah adalah
pengelola zakat harus dapat dipercaya. Yang dimaksud dengan asas kemanfaatan
adalah pengelolaan zakat dilakukan untuk memberikan manfa’at yang
sebesar-besarnya bagi Mustahiq. Yang dimaksud dengan asas keadilan
adalah pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan secara adil. Yang
dimaksud dengan kepastian hukum adalah dalam pengelolaan zakat terdapat
jaminan kepastian hukum bagi Mustahiq dan Muzakki. Yang dimaksud
dengan asas terintegrasi adalah pengelolaan zakat dilakukan secara
hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat. Dan yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah
pengelolaan zakat dapat dipertanggung jawabkan dan dapat diakses oleh
masyarakat.
[2] Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, ed.1 cet.1. Jakarta: CV Rajawali,1987, hlm. 71.
[5] Muhammad dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan Instrumen
Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta:
UII Press, 2005, hlm.
34.
[6] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta
yang berlebih-lebihan kepada harta benda.
[7] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati
mereka dan memperkembangkan
harta benda mereka.
[8] Departemen Agama R.I., Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan Penafsir
Al-Qur’an, 1967.
[9] Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, Pedoman Zakat (4),
(Jakarta: Departemen Agama), 1982, hlm.
27 – 28.81 Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... JURNAL EKONOMI
ISLAM Vol. II, No. 1, Juli 2008
[10] Abduracchman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial.
Cet. 2 Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001, hlm. 165.
[11] Baca QS; at-Taubah ayat 103.
QS; al-Baqarah ayat 267, QS; adz-Dzariyat ayat 19, Qs; al-An’am ayat
[12] Di sampaikan pada Seminar
Zakat ( Pendekatan UU No.38/1999 Tentang Pengelolaan Zakatdan UU No. 17/2000
Tentang Amandemen UU PPh) di adakan oleh DSUQ Cabang Djogjakarta : Ahad Tanggal
29 April 2002 di Borobudur Room Hotel Natour Garuda Yogyakarta
[13] Maksudnya: zakat itu membersihkan
mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[14] Maksudnya:
zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka.
[18] Menurut Pasal 1 UU RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat
disebutkan bahwa Muzaki adalah seorang muslim atau
badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat. Dan zakat itu adalah harta yang
wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya (Mustahiq) yakni ada delapan golongan (asnaf). Ketentuan ini diatur dalam Al Qur’an surat At-Taubah ayat 60.
[19] Muhammad, Training
Manajemen Pengelolaan Zakat, Infak dan Shodaqoh, Yogyakarta: LPPAI UII,
2000
[20] Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
cet. 1. Jakarta: UI Press, 1988, hlm.
52-53.JURNAL EKONOMI ISLAM 78 Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat ...
Vol. II, No. 1, Juli 2008.
[21] Chairul Anwar, Islam
dan Tantangan Kemanusiaan Abad XXI.. Pustaka Pelajar :, Yogyakarta, 2000, hlm.155.
[23] Muhammad Ridwan, Manajemen
Baitul Maal Wa Tamwil(BMT), cet 2. Yogyakarta: UII
Press,2005,
hlm. 207-208.
[24] “Penggunaan metode prepaid tax artinya wajib pajak tidak usah menambah
setoran pajaknya lagi, Namun apabila lebih bayar. Pemisahan yang dianut oleh
pasal 14 ayat (2) Undang-undang No. 38/1999 tentang zakat terhadap pajak adalah
usaha kelompok sekuler tahun 1983 sewaktu dilakukannya reformasi system
perpajakan yang memisahkan agama dengan negara. Pajak ya pajak, zakat ya zakat,
tidak bolah dicampur adukkan. Apadahal apapun namanya, keduanya sama-sama
dikeluarkan oleh kantong yang sama yaitu umat Islam. maka dengan logika seperti
itu, seharusnya pasal tersebut yang menggunakan deductible expenses dirubah
menjadi prepaid tax.”
[25] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil(BMT), cet 2. Yogyakarta: UII
Press, 2005, hlm. 189-190.77 Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... JURNAL
EKONOMI ISLAM Vol. II, No. 1, Juli 2008.
[26] Hosnu El Wafa, Konsepsi Zakat
Produktif dalam Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (studi terhadap
kitab Sabil al-Muhtadin), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003, hlm 7
[27] Alfiya Nur Hasanah, Hubungan
Zakat terhadap Tingkat Kemiskinan pada BAZ Propinsi DIY Tahun 1939-2003, Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm. 73.
[28] Ulin Ulfa, Pendayagunaan Zakat
untuk Usaha Produktif (Kajian Terhadap Pasal 16 ayat 2 UU No. 38 Tahun 1999
Tentang Pengelolaan Zakat), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm. 70-79.
Mila Sartika: Pengaruh Pendayagunaan Zakat ... JURNAL EKONOMI ISLAM Vol.
II, No. 1, Juli 2008
[29] A. Qodri Azizy, Membangun
Fondasi Ekonomi Umat (Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam), cet. 1, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004,
hlm 148-149.
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: